Zarathustra by Friedrich Nietzsche
“Adalah kata-kata paling hening yang mendatangkan badai. Pikiran-pikiran yang datang pada kaki merpati-merpati membimbing dunia…”
Buku yang luar biasa (membingungkan). Kubaca ditanggal 1 Januari di rumah Greenvil sebagai pembuka tahun, di tengah mulai kehilangan arah (bosan dan mumet), maka kuselipkan bacaan-bacaan lain yang setelah bulan berganti kuhitung ada 9 buku, tapi tetap target baca kelar buku ini di bulan Januari terpenuhi tepat di tanggal 31 di lantai 1 Blok H, walau tersendat dan sungguh bukan bacaan yang tepat dikala pikiran mumet. Awal tahun ini banyak masalah di tempat kerja, pandemik harus ini itu, aturan baru semakin meluap, dan tindakan-tindakan harus diambil. Di rumah, lagi mumet urusan buku yang menggunung. Maka lengkap sudah Sang Nabi menambah kesyahduan hidup ini dengan sabda aneh nan rumitnya. Tuhan adalah sebuah dugaan, tetapi aku ingin dugaan kalian tidak lebih kuat dari kehendak cipta kalian.
Kisahnya dibuka dengan Zarathustra yang berusia tiga puluh tahun meninggalkan kampung halaman dan danau di dekatnya demi melangkah ke pegunungan. Menikmati gairah jiwa dan kesunyian, selama sepuluh tahun tanpa jemu. Dan inilah segala cerita ia kembali menuruni gunung menyebar sabdanya. Kita bangunkan sarang kita di atas pohon Masa Depan; elang elang akan membawa kita makanan dengan paruh-paruh mereka. Balas dendam terpatri dalam jiwamu: sebuah kerak hitam tumbuh di bekas gigitanmu, dengan dendam, racunmu, membuat jiwa puyeng.
Dari awal sampai akhir kita disuguhi kata-kata tak berkesudahan. Semacam motivasi, inspirasi, sampai hal-hal nyeleneh. Tak semua sepakat, tak semua bagus, bahkan ada beberapa yang bertentangan dengan norma. Namun tetap saja, apa yang disampaikan memang seperti omong kosong. Ada orang-orang yang mengkhotbahkan dokrin kehidupanku: namun pada saat yang sama mereka adalah pengkhotbah-pengkhotbah persamaan, dan tarantula-tarantula.
Menyerang Tuhan, dan semua pengikutnya tak terkecuali. Semua kepercayaan dicoret, segala teologi dikecam. Ia memiliki pendengar berbagai kalangan, dari rakyat biasa di pasar, pendeta, elang, ular, hingga tembok-tembok gua. Semua diceramahi, semua diocehi berbagai hal. Aku ini pagar di samping sungai, ia dapat meraihku, biarkan saja ia berpegang padaku. Namun aku bukan tongkat kruk bagimu.
Banyak kalimat saling silang, pernyataan pertama dibantah pernyataan kedua, dari orang yang sama pula. Kalian menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Bukan ketinggian, tetapi juranglah yang mengerikan. Kiasan juga tersebar di mana-mana. Semenjak engkau membunuh, usahakan agar engkau membenarkan kehidupan.
Zarathustra adalah pemecah suatu krisis intelektual yang berlarut-larut. Kita mencintai kehidupan, bukan sebab kita sudah biasa hidup tapi sebab kita biasa mencintai. Di mana kehidupan adalah kerja yang tak ada batasannya dan kecemasan: tidakkah engkau lebih menghadapi hidup? Bukankah engkau pun sangat masak bagi khotbah kematian? Di mana kesunyian usai, mulailah pasat, sedang di mana pasar bermula, mulailah aum para aktor agung dan dengung lalat-lalat berbisa.
Ambigu menjadi hal yang biasa di sini. “… Namun aku duduk dalam kereta itu, lagi pula sering akulah kereta itu.” Hahaha… rancu. Membuang sesuatu berarti, membuktikan sesuatu. Menimbulkan kekalutan – baginya berarti: meyakinkan. Dan darah adalah argument terbaik baginya. Segala sesuatu yang direnungkan dalam-dalam akhirnya dipikirkan dengan curiga.
Gagasan dapat membuatmu demam. Tak sedikit yang berusaha mengenyahkan setan mereka, ternyata malah kerasukan babi. Penilaian itu penciptaan: dengarlah, hai manusia berdaya cipta! Penilaian itu sendiri adalah nilai dan pertama dari seluruh benda bernilai. Cintamu yang buruk pada dirimu membuat kesunyian menjadi penjara bagimu.
Ia ambil satu-satunya jalan yang terbuka baginya; ia mendorongnya sampai ke tapal batas terjauh. Wuuuuuzzzzz….. Tabiat perempuan adalah permukaan, lapisan tipis bisa berubah yang bergolak di muka perairan dangkal. Tabiat laki-laki itu dalam, aliran derasnya menggemuruh di gua-gua bawah tanah: perempuan merasakan kekuatannya tapi tidak memahaminya.
Aku ingin kemenanganmu dan kemerdekaanmu merindukan anak. Engkau harus membangun kenangan-kenangan hidup buat kemenangan dan pembebasanmu. Banyak orang terlambat mati dan beberapa mati terlalu dini. Tapi dokrin itu masih terdengar asing, “Matilah pada saatnya yang tepat.”
Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Lagi pula ia tak begitu sendu: ia memahami hidup dan mati dengan lebih mantab. Bilamana roh kalian ingin bicara lewat citra, perhatikanlah; sebab itulah saat terbentuknya asal mula kebajikan. Kemudian jiwa kalian terangkat naik, dengan kegembiraannya ia menyenangkan roh, karena ia bisa menjadi pencipta dan penilai dan kekasih dan dermawan apa saja.
Kita masih berkelahi selangkah demi selangkah dengan raksasa Peluang, dan hingga kini si tolol dan si rak bermakna itu, masih berkuasa atas umat manusia. Pada padang rumput yang lembut di hati-hati kalian, teman-temanku – pada cinta kalian dia ingin menidurkan anak-anak tersayang.
Sering pula mengulang-ulang ‘Manusia Unggul’. Sosok yang ideal atau tinggi ketimbang orang lain. Pernah kalian katakan, “Tuhan” ketika kalian memandang laut-laut yang jauh itu, tapi kini telah ajari kalian mengatakan “Manusia Unggul.” Tuhan adalah sebuh dugaan, Pada padang rumput yang lembut di hari-hati kalian, teman-temanku! – pada cinta kalian dia ingin menidurkan anak-anak yang tersayang.
Jam pasir kehidupan yang abadi akan dibolak-balik lagi dan lagi, engkau ada di dalamnya. Pernah kalian katakan, “Tuhan” ketika kalian memandang laut-laut yang jauh itu; tapi kini aku telah ajari kalian mengatakan, “Manusia Unggul”
Segala yang kekal – itu tidak lain hanyalah khayalan! Dan para penyair itu terlalu banyak dusta. Dan kita sangat tidak adil, bukan terhadap dia yang tidak kita sukai, melainkan terhadap dia yang tak ada urusan sama sekali dengan kita.
Dan seandainya teman kalian itu melakukan suatu kesalahan, maka katakan, “Aku memaafkan engkau apa yang engkau perbuat padaku, tetapi kalau itu engkau lakukan terhadap dirimu sendiri – bagaimana bisa aku memaafkan itu?”
Kesombongan-diri yang masam, rasa iri yang dipendam, barangkali kesombongan-diri dan iri kakek moyang kalian: senua itu menyembur dari kalian bagaikan sebersit api dan kegilaan balas dendam. Dan bilamana mereka menyebut diri, “yang baik dan yang adil”, jangan lupa bahwa mereka itu sudah menjadi golongan Farisi dan hanya kekurangan satu hal – kekuasaan.
Dan umat manusia itu tidak boleh menjadi sama! Buat apakah aku mencintai Manusia-Unggul jika aku berkata yang lain itu dari itu? Sesuatu yang tak terpuaskan, tak bisa terpuaskan, berada dalam diriku, ingin berbicara. Sebuah kelaparan terhadap cita berada dalam diriku, ia sendiri berbicara bahasa cinta.
Ah, es di sekelilingku, tanganku terbakar oleh es! Ah, haus dalam diriku, yang merindukan kehausanmu! Dan ketika aku berbicara diam-diam dengan Kearifanku yang liar, dia berkata kepadaku dengan marah: “engkau berkehendak, engkau berkeinginan, engkau mencinta, itulah satu-satunya alasan engkau memuji Kehidupan.”
Itulah keseluruhan kehendak kalian, kalian manusia-manusia paling bijak; ialah kehendak untuk kuasa; dan itu tetap demikian bahkan bilamana kalian berbicara tentang baik dan jahat dan tentang penilaian atas nilai-nilai.
Tetapi di mana pun aku temukan makhluk-makhluk hidup, di sana pula aku dengar bahasa kepatuhan. Semua makhluk hidup adalah makhluk patuh.
Di mana aku temukan makhluk hidup, di situ aku temukan kehendak untuk kuasa, dan bahkan dalam kehendak aksi aku temukan dalam kehendak tuan. Dan dia yang harus menjadi pencipta dalam kebaikan dan kejahatan, sungguh mula-mula harus menjadi penghancur dan pelanggar nilai-nilai. “Makhluk hidup menghargai banyak hal yang lebih tinggi daripada kehidupan itu sendiri; namun dari penilaian ini sendiri berkata – kehendak untuk kuasa!”
Tidak ada perselisihan tentang rasa dan merasakan? Semua kehidupan adalah perselisihan atas rasa dan merasa. Ia ingin menyedot laut dan meminum kedalaman laut sampai ketinggiannya: kini nafsu laut membumbung dengan seribu susu. Aku panas dan hangus oleh pikiran-pikiranku: itu sering membuatku tidak bisa bernapas.
Mereka menunggu orang-orang yang kehendaknya berjalan dengan kaki-kaki lemah – mereka menunggu-nunggu seperti laba-laba. Akhirnya dia mendesah dan menarik napas. Aku adalah dari hari ini dan dari yang telah-terjadi (kemudian dia berkata); tetapi terdapat sesuatu dalam diriku yang dari hari esok dan hari lusa dan dari yang-akan-terjadi. Semua rengekan biola mereka bagiku hanyalah batuk dan dengus hantu-hantu; tahu apa mereka itu tentang hangatnya nada-nada!
Kehidupanmu sendiri merupakan tafsir impian ini kepada kami, O Zarathustra! Dan kenapa Zarathustra tidak belajar dari rakyat, bila rakyat belajar dari Zarathustra? “Memang sulit hidup di antara manusia karena berdiam diri itu sulit sekali. Terutama untuk seorang yang nyinyir.”
Bukankah bangga-diri yang dilukai itu ibu dari semua tragedi? Tetapi dimana terdapat keangkuhan di situ pasti tumbuh sesuatu yang lebih baik daripada keangkuhan.
Roland Barthes memandang teks dari segi plaisir (kenikmatan karena mengerti yang dibaca) maupun jouissance (kenikmatan ekstatik kare efek-efek tak terduga dari yang dibacanya) – termasuk misalnya jika pembaca terbosankan. Dan rasanya tanpa banyak perdebatan buku ini masuk golongan kedua. Puisi-puisi yang di-prosa-kan mencipta keindahan yang membosankan. Begitulah pembalasan menyebut dirinya: ia menenangkan nuraninya dengan sebuah dusta.
Tak perlu telaah mendalam, ngalir saja seakan kalian hanyut di tengah rimba kata-kata. “Kita adalah realis komplit dan tanpa kepercayaan atau takhayul.”
Entah kalian memasukkan dalam fiksi atau non-fiksi yang jelas buku ini laik dikoleksi, sangat layak dibuka dan baca ulang suatu ketika. Segala hampa, segalanya satu, segalanya sudah berlalu. Namun ada pengecualian, Zarathustra abadi. Embun jatuh di rumput ketika malam pada saat terheningnya.
Zarathustra | by Friedrich Nietzsche | Diterjemahkan dari Also Sprach Zarathustra | Terbitan Alfred Kroner derlag, Leipzig & Thus Spoke Zarathustra | Penguin Books, 1977 | Penerbit Narasi | Kerjasama Pustaka Promethea, 2015 | Penerjemah H.B. Jassin, Ari Wijaya, Hartono Hadikusomo | Penyunting Hartono Hadikusumo | Desain cover Sugeng | 16 x 24 cm | vi + 438 hlm | ISBN Soft cover (10) 979-168-464-2 (13) 978-979-168-464-4 | Cetakan pertama, 2015 | Skor: 5/5
Karawang, 050221 – 080221 – The Corrs (Breathless) – Boyzone (Father and Son)
Thx to Olih (stan buku), Yogya
Buku ini dibeli 260115, Prepare for audit Nestle
Ping balik: #Januari2021 Baca | Lazione Budy
Ping balik: 14 Best Books 2021 – Non Fiksi | Lazione Budy
Ping balik: 130 Buku Rentang Setahun | Lazione Budy