“Bagaimana Cara Mendapatkan Ide?”

Menumis itu Gampang, Menulis Tidak by Mahfud Ikhwan

Saya berharap bisnisnya kali ini bagus, atau setidaknya baik-baik saja. Namun, melihat intensitasnya ngopi bersama saya, saya khawatir yang terjadi adalah sebaliknya. Ia memang banyak gagal, dan mungkin karena itu kami berteman.”

Tentu saja tak banyak, karena menulis tidak memberi saya banyak uang…

Melihat ilustrasi bukunya saja sudah bikin males, tiga pose santuy, rebahan dalam kebosanan. Dan warna kuning, jersey Malaysia yang mengesalkan itu. Banyak hal mewakili pengalamanku sendiri, otomatis banyak hal pula menjadikannya ironi hidup. Sepakbola, buku, Muhammadyah, resign di tahun 2009, males keluar rumah (apapun modanya), kopi melimpah dst. Lazio, Chelsea, La Coruna rasanya hanya tim gurem yang tak ada apa-apanya dalam sejarah Eropa dibanding gelimang gelar AC Milan, Liverpool, dan eehhheemmm Madrid. Saya benar-benar mencintai bola lebih belakangan, baru di Piala Dunia 1998 kala Italia bersama aksi Vieri-nya, yang hanya semusim, maka ketika hijrah dengan rekor hatiku tetap bertahan di Olimpico. Sepakat sekali segala apa yang dikisah panjang lebar dalam ‘Menunggu”, yang menyata bahwa kecintaan pada permainan ini sungguh absurd.

Walau terkesan sombong, seperti yang terlihat dalam wawancara di Youtube, “saya punya buku baru lagi…” atau ketika mengunggah gambar di sosmed saat membubuhkan untuk momen pra-pesan. Keterangan yang tertera, ‘resiko penulis produktif’ bagiku, Cak Mahfud adalah pribadi rendah hati. Dalam esai yang diproduksi untuk kolom Mojok selama 2020 ini, kita bisa mengenal Sang Penulis, sebagian besar lucu, sebagian besarnya lagi ngomong ngalor ngidul nostalgia masa lalu. Apa yang disampaikan adalah hal-hal umum, kegiatan sehari-hari, hal-hal yang biasa kita hadapi. Tak ada yang muluk-muluk, ngawang-ngawang, atau seperti yang sering disebut sama beliau, “tak rumit dan tidak ndakik-ndakik”.

Kebetulan saya baru saja menyelesaikan baca Zarathustra. Bagus sih, tapi benar-benar melelahkan, serius sekali, dan mencoba ‘mengesankan’, bagus di sisi lain tapi tak nyaman. Benar-benar Menumis Itu adalah penawar jitu. Sebagai buku pertama yang kuselesaikan baca bulan ini, ini benar-benar fun, ketawa ketiwi sendiri, dan seringkali bilang, ‘wah aku banget’ hahahaha…. Berisi 21 tulisan dengan tema yang berkutat di kontrakan. Sebenarnya mau ulas acak dan sekenanya aja, ternyata malah ketikannya tak bisa dihentikan. Lagian baca biografi Bung Karno sudah selesai, dan waktuku melimpah. Yo wes, setiap kolom kukupas singkat-singkat sahaja.

#1. Ayam di Beranda

Dibuka dengan cerita ayam yang suka ‘main’ di beranda kontrakan, suka buang tahi, dan gelisah nangkring di pohon kala hujan. Apa yang ditampilkan adalah kejadian lumrah yang seringkali dialami masyarakat Pedesaan. Sampai akhirnya seorang penulis muda berkunjung, menyingkirkan kursi dari beranda, dan membantu ngepel. See, tak ada bom yang meledak di pekarangan!

#2. Dapur Hijau

Tentang dapur yang asri, memberi corak hijau di dalamnya dengan sebuah wastafel. Well, so sorry bukannya sombong kita-kita warga urban, sudah biasa dengan wastafel rumah. Bukan perabot mewah, bukan pula sesuatu yang patut dibanggakan. Namun inilah keunikan kisah, ia lalu bernostalgia ke era masa perjuangan semasa kecil. Dan, sayangnya apa yang dicerita di masa lalu, sungguh mirip denganku di Palur. Lantai tanah, cuci piring dengan abu gosok, nimba sumur buat ditampung di ember cuci.

#3. “Pulang

Cerita ketiga bisa jadi yang terbaik (yah yang kedua deh), memaknai kata ‘pulang’. Pengalaman pribadi jua, sebagai perantau sejak lulus STM, saya tenggelam dan ada kesan sentimental bila berbicara rumah. Dulu saya selalu bilang, pulang kampung. Pulang ya ke Palur, dan selalu bilang berangkat kembali ke Cikarang. Namun sejak terikat gadis di Karawang, arti rumah memberi kesan berbeda sebab ada tujuan di sini, dan apa yang ditampilkan dalam kolom ini sungguh tepat sekali. Jadi pas ia mudik ke Lamongan, lalu pamit balik ke Bantul, ia berujar ‘pulang’ ke temannya. Rasanya apakah ia menemukan rumah baru di Yogyakarta? Apalagi, tiap update berita, “saya sudah tak tahu lagi, siapa yang lahir, siapa yang mati.” Sungguh tepat sekali. Bukankah apa yang terjadi pada saya juga terjadi dengan kebanyakan perantau? BIG ya!

#4. Menumis itu Gampang

Tulisan keempat lucu, dan cocok jadi judul buku. Kita harus hargai orang-orang yang mau memasak sendiri. Dan ini ia lakukan, dengan nada tak serius. “Saya memang ahlinya melakukan tindakan sia-sia dengan cara yang rumit.” Begitu katanya ketika nasi gagal itu dikasih ke ayam di halaman. Patut dihargai pula tentang pijakan hidup dalam pergulatan fikih tentang nasi orang mati. Dan poin utamanya, memasak tumis kangkung yang nikmat dengan sachet produksi Indofood Racik ternyata gampang, rasanya sama dengan kuliner Yogya yang enyak-enyak itu. Rahasia penting seolah terbongkar. Hahaha tawa Plankton Sheldon. Mereka memakai bumbu instan yang sama. Oh catet!

#5. Perjalanan

Dalam Perjalanan, ini jelas mewakili kata hatiku. Tahun 2009 atau 2010, dalam catatan facebook saya pernah nulis 100 about me, salah satu poinnya saya tak suka jalan-jalan, tapi selalu ingin merenung di gunung atau main air di pantai, selfi di bukit hijau, nah kok bisa? Saya tak suka traveling. Di sini dibongkar. Ia menyebutnya, “kegelisahan yang tak terjelaskan.

#6. TV

Saya punya TV merek-nya Oke tahun 1998 kala Piala Dunia berlangsung (atau setahun sebelumnya, lupa), dan betapa bangganya saya bisa nonton di rumah sendiri, biasanya saya nebeng nongkrong di tetangga atau saudara sekadar menikmati Layar Emas RCTI atau Dunia dalam Berita TVRI. Kalau remote rusak, kaki menjulur untuk mengganti channel, antena harus diputar bila kena angin, atau baru baterai yang di-pepe di atap kala ‘habis’.

#7. Bonsai

Ketika tahun 2009 saya keluar dari pekerjaan, punya waktu berlimpah untuk ngopi dan punya sedikit tabungan untuk bersantai…” Persis saya, pengen leha-leha menyusun bebek rencana di pematang sawah. Namun saya mbalik ke tanah rantau untuk kembali jadi buruh, karena menurut bebek rencana umur 28 harus nikah, dan ngopeni anake wong, harus punya penghasilan. Oh, saya pecundang sejati, tak punya keberanian penuh mewujudkan impian liar, tak berani bertaruh. Hanya berani separuh gerak, lalu terpenjara lagi. “Kurang lebih seperti orang-orang yang memelihara pohon hanya untuk dikerdilkan.” Hiks, sedih mengingat itu. Ternyata masa itu baru 11 tahun, dan pertaruhan telah luntur. Salut buatmu, Cak Mahfud.

#8. Beradab

Rebahan, tidur, bengong berlama-lama memandang rak buku. Saya juga sudah sering melakukan sebelum pandemi. Maka kini menjadi beradab, dianjurkan, bahkan didesak. Sewaktu kecil, sudah biasa menunggu jambu jatuh di bawah pohon tetangga, sudah jadi kebiasaan menanti pelem ranum kena goyang angin atau badai, bahkan sisa codot juga kita embat, setelah jatuh di kalen? Kenapa tidak? Yah, kalau tak mau jatuh karena alam, gmana kalau kita jatuhkan. Pakai ketapel misalnya. Di sini, kita tahu iklan ‘belum lima menit’ adalah lelucon. Tisu? Idem!

#9. Tiga Jumat

Kita semua di masa yang sama, larangan kumpul apapun termasuk menggelar Jumatan sungguh terasa janggal. Apalagi ancamannya adalah label munafik, hadisnya jelas dan shahih. Dan dengan bijak (jiah… memang bijaksana) ia menjawab, “Aku ikut keputusan PP Muhammadyah saja.”

#10. Kolom

Akhirnya ketemu juga yang namanya ‘ide mandek’ (saya tak buntu, hanya kosong). Menulis kolom memang pekerja, ada tuntutan bergaris waktu yang harus dipenuhi, persis sama buruh yang harus datang dan pulang di waktu yang ditentukan. Maka ia pun ngedabrus panjang lebar betapa tanggung jawab itu harus dilaksanakan. “…Anda haruslah seorang tukang jagal sekaligus juru masak untuk tulisan Anda.”

#11. Festival

Ramadan dan hingar bingarnya. Dari sekian banyak festival rutin ini, saya nyaris turut serta semua yang disebut. Menambahkan daftar sahaja; main monopoli, catur, ular tangga di teras rumah orang dari subuh sampai capek. Kadang jalan kaki memutar kampung, sambil ngobrol apapun. Malamnya tadarus menanti makanan, hingga petasan yang membahana di banyak malam. Kalau siang, ada ‘long bumbung’ dari pring (bambu) yang dilubangi, sulut api, saling tembak (apa kabar The Gunners?) Sungguh merindu masa-masa itu. Yah, kurang lebih begitulah Cak Mahfud menuturkan tulisan kesebelas ini. “Sekolah ke luar daerah kemudian mencipta rutinitas baru, dan menempatkan rutinitas lama sebagai nostalgia.”

#12. Kolom (2)

Ketemu lagi kata mandek? Yah, mirip. Mungkin ini yang digambarkan dalam cover. “Jika siang malas karena lapar, saat malam malas karena kekenyangan.” Di masa pandemi, dengan banyak larangan keluar, beli gorengan sang penjual mengucap terima kasih dengan begitu tulus.

Baik, bulan depan saya baca The Year of Living Dangerously-nya Christopher Koch yang katamu murahan, nge-pop.

#13. Sepeda

Sepeda, idem. Saya baru bisa naik sepeda saat kelas tiga atau empat SD dan menjadi olok-olok teman sekampung. Lambat benar ya, bahkan saya tak punya sepeda sendiri sampai akhirnya jelang lulus SD punya federal ungu ke-merah jambu-an. Itupun second, dari tetangga yang menang hadiah, bosan pakai, lalu dijual murah ke kita. Dibayar kredit, berbunga! Mantab. Kali ini Sang Penulis berkisah sejarah sepedanya, “angin dan kumbang”. Well, suatu saat saya mau cerita Sikusi, sepeda (motor) berusia 15 tahun dan akan terus kugunakan hingga ia kehabisan energi.

#14. Perayaan

Lega setelah libur paksa lama sepakbola, akhirnya bisa menyaksikan Haaland beraksi dan merayakan gol tanpa pelukan, ‘jaga jarak’. Yah, bahkan saya yang tak suka Bundeslig, saya tonton laga come bek itu seiklan-iklannya! Saya sendiri juga tak terlalu antusias Hari Raya, keliling kampung salaman. Saya lebih suka Cuma sama keluarga dekat, santuy ngumpul saja. Nyatanya, tahun 2020 tak ada mudik. Benar-benar Lebaran tak biasa, “Bagaimana lagi”, katanya, memaklumi.

#15. Berguna

Ini mungkin yang terbaik, lebih bagus dari “Pulang” sebab hakikat manusia yang berguna itu sangat lebar jabarannya. Jadi ingat, siang tadi istriku May menggalang baju layak pakai, makanan, dan segala bantuan buat korban banjir sama ibu-ibu sekompleks. Saya berdalih, “Kaosku mayoritas tak layak sumbang, bisa lima enam tahun sekali belinya” Ia memulai menggalangnya, tanpa banyak rencana, refleks saja melihat berita banjir di Karawang meluas. Dan berhasil. Tepuk tangan untuk May, hebat sayang. Saya turut terharu menyaksikan, barang bantuan itu menumpuk di rumahku hanya dalam waktu kurang dai 24 jam! Sungguh mulia dan berguna istriku, untuk masyarakat.

Berbanding terbalik denganku. Saya males keluar rumah, males turut ngopi bapak-bapak kompleks (beda sama teman lama rasanya), males ronda, males ikut kerja bakti. Dua minggu ini ada kegiatan perbaikan fasum, dan saya absen keduanya. Males sekadar nyupir antar arisan. Benar-benar tak guna saya ini, egois atau lebih ke cuek. Nah, tema itu dijabarkan panjang lebar sama Cak Mahfud di sini, jelas kamu sangat berguna, peranmu lebih besar Mas. Saya HRD Perusahaan, yang bahkan ketika ada sanak family nitip lamaran saja saya tolak, atau ketika saya terima (dengan terpaksa) surat lamarannya, saya ikutkan tes dengan fair, banyak yang gagal. See, benar-benar tak berguna ‘kan saya?! Lebih ke males urusan sama orang aja, dan kerjaanku setiap hari adalah konsultasi, konseling karyawan, kasih nasehat, mendengar orang-orang bermasalah menjelaskan masalah. Lalu memberi opsi solusi. Ironis, malesi ‘kan?

Karena melihat ke-“berguna”-an buku/tulisan bisa sangat konkret sekaligus abstrak, bisa sangat spesifik tapi juga bisa sangat luas, dank arena itu sulit diukur, maka tujuan “berguna” untuk buku pelajaran ini saya modifikasi yang lain lagi, saya lakukan untuk novel berikutnya lagi.”

#16. Menunggu

Ini menarik. Bagaimana menunggu Liverpool juara Liga, dirayakan dalam kekaleman. Tak perlu emosional, setelah rontok pertama kali tiga gol di tangan Watford, kalah sama Atletico, dan lepas FA. Akhirnya penantian itu berakhir kala Chelsea ‘membantu’ memastikan gelar juara Reds di tengah pekan, ini terjadi setelah laga-laga sepakbola ditunda. Lalu ia bercerita bagaimana mencintai tiga klub BESAR di Eropa. Jadi pengen cerita detail bagaimana saya mencinta klub jagoan. “Nikmati selagi bisa. Jika gembira, terharu, keranjingan, edan, atau diksi-diksi meluap-luap yang lain…

#17. Ideal dan Ironi

Dulu, kos terakhir saya sebelum nikah adalah sebuah rumah sepi, kontrakan terpencil dengan pemandangan sawah, dan kuburan tepat di depan halaman rumah. Rumah sendirian di tengah lapang, rumah terdekat sekitar lima puluh meter, selepas Isya, benar-benar sunyi. Kontrakan itu tak laku, maka sama induk semang disewakan teramat murah. Saya betah tinggal di sana sebab sepi banget. Tiap malam kubaca buku di teras, ditemani suara jangkrik ya sesekali dengar mp3 HP track list George Benson, semilir angin, selepas nyeruput kopi dan jeda baca memandang ke depan, kuburan yang sungguh tenang. Batu-batu nisannya jelas terlihat sebab kuburan itu di atas, rumah yang kuhuni di bawah. Manteb! Saya merindukan masa itu.

Maka Cak Mahfud terasa terganggu saat pohon-pohon di dekat rumah itu ditebang, suara pembangunan menggeber, menyayat sepi, lalu ia bercerita masa kecilnya sebagai side-kick pencuri kayu di hutan.

#18. Tercerabut

Sungguh ironis, seorang bocah tegalan seperti saya membutuhkan wabah untuk kembali ke umbi-umbian.” Mana salah kupas lagi, hahahahaha… well, di kampung saya punya kebun penuh singkong dan ketela. Entah dari jenis apa, dulu sampai muak sama pohong. Benar banget, tanamnya simple. Tinggal tancap, di pelajar IPA baru kutahu namanya stik, bisa dilakukan untuk pohon-pohon istimewa, sebab tahan segala cuaca, dan sehat.

#19. Perempuan Tua dan Benang Rayutnya

Menyukai sepakbola, seperti benang yang susah payah dirajut dan kemudian dibongkar, adalah rasa sakit dan sulit yang dinikmati, kebahagiaan yang fana dan dengan cepat memudar, dan ia lakukan berulang-ulang. Dan saya kira karena itulah, saya tak membutuhkan rasa sakit yang lain.”

#20. Hasil

Apakah lagi-lagi saya sedang bercerita tentang hal-hal sia-sia yang bias akita alami?” Ya, kok tahu? Setelah membaca tujuh halaman, saya sempat agak boring, mana menariknya penghijauan dapur itu? Dan hebatnya, ia tahu, ia sudah merasakan apa yang akan pembaca rasakan.

Bagaimana merasakan simpati atas ‘nyawa’ tanaman kangkung, memberi tambahan waktu hidup walau tak lama. Hahaha… pengen tak lempar potnya ke tembok, biar ambyar sekalian. Hahaha

#21. Dua Jendela

Sebagai cerita penutup, tertanggal tulis 14 Juni 2020 yang berarti kolom ini berlangsung enam bulan. Cerita ini lebih tenang, memandang jendela dengan perpektif dua arah. Jendela depan dan belakang rumah yang memberi pandang horizon bahwa Cak Mahfud ternyata jarang menulis tentang masa kini, seorang sentimental? Ya lebih tepatnya, ia adalah pemuja masa lalu. Idem, sepakat, seiya sekata. “Gampangnya, semulia apa pun pekerjaanmu, pada akhirnya larinya ke dapur juga.”

Kubaca dalam tiga hari (5-7 Feb 21), Karawang hujan bertubi-tubi, saya yang memang dasarnya malas keluar rumah, makin rapat selimut dan membuncahkan daftar baca. Ini adalah buku ke, hhmm… bentar saya hitung lagi. Dawuk check, Kambing dan Hujan check, Sepakbola Tidak akan Pulang check, Cerita Bualan check, Dari Kekalahan check, dan ini. berarti sudah lebih dari separuh karya beliau kulahap. Ulid, Belajar Mencintai, Aku dan India (jilid 1) sudah kumiliki, rencana bakal kubaca tiap bulan satu bukunya. Jilid II India sudah pesan, kemungkinan kubeli bersamaan dengan sekuel Dawuk. Itu artinya, setidaknya sampai bulan Juli sudah terjejer daftar baca-ulasnya. Mantab bukan? Mahfud Ikhwan adalah salah satu Penulis terbaik di era kita, jaminan kualitas, tak pernah mengecewakan setidaknya sampai buku keenam yang kulahap.

(Ket: Kambing dan Hujan setelah ku bongkar rak sejam tidak ketemu, ternyata dulu pernah dipinjam teman, dikembalikan, kutaruh laci, terlupakan. Sampai sekarang, terlelap di sana)

Salut sama keberanian pilihan hidup kala di persimpang jalan, hal yang nyaris kulakukan tahun 2009 saat resign dari kerja dan coba menata ulang arti hidup. Namun saya tak seberani itu, saya hanyalah manusia kebanyakan yang turut dibelenggu jam kerja, terpenjara kewajiban tahun 2011 menikah. Darani pernah bilang, “Kenikmatan pujian dan kepasrahan hati yang bisa dirasakan bujangan tidak akan bisa dihayati orang yang kawin.” Ibrahim ibn Adham mengungkapkan hal serupa, “Ketika seorang lelaki kawin, ia naik perahu; kalau anaknya lahir, perahu itu karam.”

Sebagai penutup saya kutip ‘kebanggan’ Cak Mahfud yang sukses dengan pilihan hidupnya. Seperti Murakami yang berani menutup kafe-nya demi fokus menulis. Walaupun taraf-nya beda, tapi keberaniannya di frekuensi yang sama. “Meski sering menolak menyebut kegiatan menulis saya sebagai pekerjaan, pada dasarnya memang inilah pekerjaan saya. “Menjalankan darma”, “membeli buku”, “bersenang-senang”, “melakukan apa yang bisa saya lakukan”, atau frasa lain yang kadang terlalu agung dan selalu sulit diverifikasi…”

Sekali lagi, selamat, kamu berhasil memukauku. kapan-kapan saya pengen icip-icip tumis kangkung buatanmu.

Menumis itu Gampang, Menulis Tidak | by Mahfud Ikhwan | 2021 | Penyunting Prima Sulistya | Pemeriksa aksara Dyah Permatasari | Penata isi dan desain sampul M. Saddam Husaen | Ilustrator isi Nurul Ismi Fitrianty | Cetakan pertama, Januari 2021 | xiv + 252 halaman | ISBN 978-623-7284-48-2 | Penerbit Mojok | Skor: 4/5

Karawang, 090221 – Dizzy Gillespie feat. Charlie Parker – A Night in Tunisia

Thx to Dema Buku, Jakarta

Sabda dari Gua

Zarathustra by Friedrich Nietzsche

Adalah kata-kata paling hening yang mendatangkan badai. Pikiran-pikiran yang datang pada kaki merpati-merpati membimbing dunia…”

Buku yang luar biasa (membingungkan). Kubaca ditanggal 1 Januari di rumah Greenvil sebagai pembuka tahun, di tengah mulai kehilangan arah (bosan dan mumet), maka kuselipkan bacaan-bacaan lain yang setelah bulan berganti kuhitung ada 9 buku, tapi tetap target baca kelar buku ini di bulan Januari terpenuhi tepat di tanggal 31 di lantai 1 Blok H, walau tersendat dan sungguh bukan bacaan yang tepat dikala pikiran mumet. Awal tahun ini banyak masalah di tempat kerja, pandemik harus ini itu, aturan baru semakin meluap, dan tindakan-tindakan harus diambil. Di rumah, lagi mumet urusan buku yang menggunung. Maka lengkap sudah Sang Nabi menambah kesyahduan hidup ini dengan sabda aneh nan rumitnya. Tuhan adalah sebuah dugaan, tetapi aku ingin dugaan kalian tidak lebih kuat dari kehendak cipta kalian.

Kisahnya dibuka dengan Zarathustra yang berusia tiga puluh tahun meninggalkan kampung halaman dan danau di dekatnya demi melangkah ke pegunungan. Menikmati gairah jiwa dan kesunyian, selama sepuluh tahun tanpa jemu. Dan inilah segala cerita ia kembali menuruni gunung menyebar sabdanya. Kita bangunkan sarang kita di atas pohon Masa Depan; elang elang akan membawa kita makanan dengan paruh-paruh mereka. Balas dendam terpatri dalam jiwamu: sebuah kerak hitam tumbuh di bekas gigitanmu, dengan dendam, racunmu, membuat jiwa puyeng.

Dari awal sampai akhir kita disuguhi kata-kata tak berkesudahan. Semacam motivasi, inspirasi, sampai hal-hal nyeleneh. Tak semua sepakat, tak semua bagus, bahkan ada beberapa yang bertentangan dengan norma. Namun tetap saja, apa yang disampaikan memang seperti omong kosong. Ada orang-orang yang mengkhotbahkan dokrin kehidupanku: namun pada saat yang sama mereka adalah pengkhotbah-pengkhotbah persamaan, dan tarantula-tarantula.

Menyerang Tuhan, dan semua pengikutnya tak terkecuali. Semua kepercayaan dicoret, segala teologi dikecam. Ia memiliki pendengar berbagai kalangan, dari rakyat biasa di pasar, pendeta, elang, ular, hingga tembok-tembok gua. Semua diceramahi, semua diocehi berbagai hal. Aku ini pagar di samping sungai, ia dapat meraihku, biarkan saja ia berpegang padaku. Namun aku bukan tongkat kruk bagimu.

Banyak kalimat saling silang, pernyataan pertama dibantah pernyataan kedua, dari orang yang sama pula. Kalian menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Bukan ketinggian, tetapi juranglah yang mengerikan. Kiasan juga tersebar di mana-mana. Semenjak engkau membunuh, usahakan agar engkau membenarkan kehidupan.

Zarathustra adalah pemecah suatu krisis intelektual yang berlarut-larut. Kita mencintai kehidupan, bukan sebab kita sudah biasa hidup tapi sebab kita biasa mencintai. Di mana kehidupan adalah kerja yang tak ada batasannya dan kecemasan: tidakkah engkau lebih menghadapi hidup? Bukankah engkau pun sangat masak bagi khotbah kematian? Di mana kesunyian usai, mulailah pasat, sedang di mana pasar bermula, mulailah aum para aktor agung dan dengung lalat-lalat berbisa.

Ambigu menjadi hal yang biasa di sini. “… Namun aku duduk dalam kereta itu, lagi pula sering akulah kereta itu.” Hahaha… rancu. Membuang sesuatu berarti, membuktikan sesuatu. Menimbulkan kekalutan – baginya berarti: meyakinkan. Dan darah adalah argument terbaik baginya. Segala sesuatu yang direnungkan dalam-dalam akhirnya dipikirkan dengan curiga.

Gagasan dapat membuatmu demam. Tak sedikit yang berusaha mengenyahkan setan mereka, ternyata malah kerasukan babi. Penilaian itu penciptaan: dengarlah, hai manusia berdaya cipta! Penilaian itu sendiri adalah nilai dan pertama dari seluruh benda bernilai. Cintamu yang buruk pada dirimu membuat kesunyian menjadi penjara bagimu.

Ia ambil satu-satunya jalan yang terbuka baginya; ia mendorongnya sampai ke tapal batas terjauh. Wuuuuuzzzzz….. Tabiat perempuan adalah permukaan, lapisan tipis bisa berubah yang bergolak di muka perairan dangkal. Tabiat laki-laki itu dalam, aliran derasnya menggemuruh di gua-gua bawah tanah: perempuan merasakan kekuatannya tapi tidak memahaminya.

Aku ingin kemenanganmu dan kemerdekaanmu merindukan anak. Engkau harus membangun kenangan-kenangan hidup buat kemenangan dan pembebasanmu. Banyak orang terlambat mati dan beberapa mati terlalu dini. Tapi dokrin itu masih terdengar asing, “Matilah pada saatnya yang tepat.”

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Lagi pula ia tak begitu sendu: ia memahami hidup dan mati dengan lebih mantab. Bilamana roh kalian ingin bicara lewat citra, perhatikanlah; sebab itulah saat terbentuknya asal mula kebajikan. Kemudian jiwa kalian terangkat naik, dengan kegembiraannya ia menyenangkan roh, karena ia bisa menjadi pencipta dan penilai dan kekasih dan dermawan apa saja.

Kita masih berkelahi selangkah demi selangkah dengan raksasa Peluang, dan hingga kini si tolol dan si rak bermakna itu, masih berkuasa atas umat manusia. Pada padang rumput yang lembut di hati-hati kalian, teman-temanku – pada cinta kalian dia ingin menidurkan anak-anak tersayang.

Sering pula mengulang-ulang ‘Manusia Unggul’. Sosok yang ideal atau tinggi ketimbang orang lain. Pernah kalian katakan, “Tuhan” ketika kalian memandang laut-laut yang jauh itu, tapi kini telah ajari kalian mengatakan “Manusia Unggul.” Tuhan adalah sebuh dugaan, Pada padang rumput yang lembut di hari-hati kalian, teman-temanku! – pada cinta kalian dia ingin menidurkan anak-anak yang tersayang.

Jam pasir kehidupan yang abadi akan dibolak-balik lagi dan lagi, engkau ada di dalamnya. Pernah kalian katakan, “Tuhan” ketika kalian memandang laut-laut yang jauh itu; tapi kini aku telah ajari kalian mengatakan, “Manusia Unggul”

Segala yang kekal – itu tidak lain hanyalah khayalan! Dan para penyair itu terlalu banyak dusta. Dan kita sangat tidak adil, bukan terhadap dia yang tidak kita sukai, melainkan terhadap dia yang tak ada urusan sama sekali dengan kita.
Dan seandainya teman kalian itu melakukan suatu kesalahan, maka katakan, “Aku memaafkan engkau apa yang engkau perbuat padaku, tetapi kalau itu engkau lakukan terhadap dirimu sendiri – bagaimana bisa aku memaafkan itu?”

Kesombongan-diri yang masam, rasa iri yang dipendam, barangkali kesombongan-diri dan iri kakek moyang kalian: senua itu menyembur dari kalian bagaikan sebersit api dan kegilaan balas dendam. Dan bilamana mereka menyebut diri, “yang baik dan yang adil”, jangan lupa bahwa mereka itu sudah menjadi golongan Farisi dan hanya kekurangan satu hal – kekuasaan.

Dan umat manusia itu tidak boleh menjadi sama! Buat apakah aku mencintai Manusia-Unggul jika aku berkata yang lain itu dari itu? Sesuatu yang tak terpuaskan, tak bisa terpuaskan, berada dalam diriku, ingin berbicara. Sebuah kelaparan terhadap cita berada dalam diriku, ia sendiri berbicara bahasa cinta.

Ah, es di sekelilingku, tanganku terbakar oleh es! Ah, haus dalam diriku, yang merindukan kehausanmu! Dan ketika aku berbicara diam-diam dengan Kearifanku yang liar, dia berkata kepadaku dengan marah: “engkau berkehendak, engkau berkeinginan, engkau mencinta, itulah satu-satunya alasan engkau memuji Kehidupan.”

Itulah keseluruhan kehendak kalian, kalian manusia-manusia paling bijak; ialah kehendak untuk kuasa; dan itu tetap demikian bahkan bilamana kalian berbicara tentang baik dan jahat dan tentang penilaian atas nilai-nilai.

Tetapi di mana pun aku temukan makhluk-makhluk hidup, di sana pula aku dengar bahasa kepatuhan. Semua makhluk hidup adalah makhluk patuh.

Di mana aku temukan makhluk hidup, di situ aku temukan kehendak untuk kuasa, dan bahkan dalam kehendak aksi aku temukan dalam kehendak tuan. Dan dia yang harus menjadi pencipta dalam kebaikan dan kejahatan, sungguh mula-mula harus menjadi penghancur dan pelanggar nilai-nilai. “Makhluk hidup menghargai banyak hal yang lebih tinggi daripada kehidupan itu sendiri; namun dari penilaian ini sendiri berkata – kehendak untuk kuasa!”

Tidak ada perselisihan tentang rasa dan merasakan? Semua kehidupan adalah perselisihan atas rasa dan merasa. Ia ingin menyedot laut dan meminum kedalaman laut sampai ketinggiannya: kini nafsu laut membumbung dengan seribu susu. Aku panas dan hangus oleh pikiran-pikiranku: itu sering membuatku tidak bisa bernapas.

Mereka menunggu orang-orang yang kehendaknya berjalan dengan kaki-kaki lemah – mereka menunggu-nunggu seperti laba-laba. Akhirnya dia mendesah dan menarik napas. Aku adalah dari hari ini dan dari yang telah-terjadi (kemudian dia berkata); tetapi terdapat sesuatu dalam diriku yang dari hari esok dan hari lusa dan dari yang-akan-terjadi. Semua rengekan biola mereka bagiku hanyalah batuk dan dengus hantu-hantu; tahu apa mereka itu tentang hangatnya nada-nada!

Kehidupanmu sendiri merupakan tafsir impian ini kepada kami, O Zarathustra! Dan kenapa Zarathustra tidak belajar dari rakyat, bila rakyat belajar dari Zarathustra? “Memang sulit hidup di antara manusia karena berdiam diri itu sulit sekali. Terutama untuk seorang yang nyinyir.”

Bukankah bangga-diri yang dilukai itu ibu dari semua tragedi? Tetapi dimana terdapat keangkuhan di situ pasti tumbuh sesuatu yang lebih baik daripada keangkuhan.

Roland Barthes memandang teks dari segi plaisir (kenikmatan karena mengerti yang dibaca) maupun jouissance (kenikmatan ekstatik kare efek-efek tak terduga dari yang dibacanya) – termasuk misalnya jika pembaca terbosankan. Dan rasanya tanpa banyak perdebatan buku ini masuk golongan kedua. Puisi-puisi yang di-prosa-kan mencipta keindahan yang membosankan. Begitulah pembalasan menyebut dirinya: ia menenangkan nuraninya dengan sebuah dusta.

Tak perlu telaah mendalam, ngalir saja seakan kalian hanyut di tengah rimba kata-kata. “Kita adalah realis komplit dan tanpa kepercayaan atau takhayul.”

Entah kalian memasukkan dalam fiksi atau non-fiksi yang jelas buku ini laik dikoleksi, sangat layak dibuka dan baca ulang suatu ketika. Segala hampa, segalanya satu, segalanya sudah berlalu. Namun ada pengecualian, Zarathustra abadi. Embun jatuh di rumput ketika malam pada saat terheningnya.

Zarathustra | by Friedrich Nietzsche | Diterjemahkan dari Also Sprach Zarathustra | Terbitan Alfred Kroner derlag, Leipzig & Thus Spoke Zarathustra | Penguin Books, 1977 | Penerbit Narasi | Kerjasama Pustaka Promethea, 2015 | Penerjemah H.B. Jassin, Ari Wijaya, Hartono Hadikusomo | Penyunting Hartono Hadikusumo | Desain cover Sugeng | 16 x 24 cm | vi + 438 hlm | ISBN Soft cover (10) 979-168-464-2 (13) 978-979-168-464-4 | Cetakan pertama, 2015 | Skor: 5/5

Karawang, 050221 – 080221 – The Corrs (Breathless) – Boyzone (Father and Son)

Thx to Olih (stan buku), Yogya
Buku ini dibeli 260115, Prepare for audit Nestle