City Of God – Grand Theft Auto: Rio de Janiero

Untuk menikmati film ini sebaiknya langsung tonton! Baru baca review. Kenapa? Ya karena akan ada banyak kejutan disamping kekerasan yang disajikan. Sebaris kalimat di ending lebih membuat ngeri karena naskah film ini ternyata bukan imaji ngawur layaknya kita nonton kartun penuh CGI. Benar-benar mengerikan. Film ini berisi 99% kekerasan, 1%nya adalah waktu yang Anda butuhkan untuk menarik nafas setiap pembunuhan baru selesai terjadi. Itu berarti melihat tembak-tembakan, umpatan tak patut ditiru, jual-beli ganja, sampai dendam kesumat tak terperi terlihat setiap saat. Sekali lagi alangkah bijaknya Anda menonton dulu sebelum membaca ulasan yang bisa jadi mengurangi kenikmatan menonton eksotisnya sebuah kota di Brazil.

Posternya terlihat manis di bagian atas. Seorang cewek mencium pipi lelaki keling dengan pose memunggungi kita sembari duduk menatap ke pantai. Bagian bawahnya sekumpulan remaja menodongkan senjata menghadap kita, dan tagline-nya tak bohong: seorang lelaki akan melakukan apa saja untuk menjelaskan kepada dunia segalanya. Sebuah retorika sang fotografer, karakter utama yang menceritakan (segala) kekerasan gangster dengan gambar-gambar di sebuah kota Tuhan, Cidade de Deus di Rio de Janiero.

Untuk mendapatkan puncak kenikmatan, sebelum menontonnya saya tutup telinga dan mata dari segala sumber, yang pasti film ini menang 48 penghargaan termasuk Oscar dan Golden Globe 2004. Bukti sahih akan kualitas. Kebetulan saya baru menyaksikannya tahun 2015 ini membuatku membandingkan Gang Of New York-nya Leonardo Di Caprio dan film lokal Serigala Terakhir karya Upi. Saya suka Gang, saya senang Serigala, namun segala kekagumanku langsung luruh setelah menonton City. Kalah kelas, kalah naskah, kalah cerita, kalah segala-galanya. Terutama sekali Serigala, endingnya persis bahwa runtuhnya dinasti mafia artinya permulaan munculnya dinasti baru. Sekalipun begitu Serigala perlu diapresiasi, preman lokal ibu kota itu, seperti City bukan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Sesuatu yang ternyata kekerasan bisa terjadi di sekeliling kita. Percayalah, Upi sudah menganalisis City of God.

Salah dua ciri film bagus adalah detail yang mengagumkan dan kejutan yang sukses. City memenuhi dua item itu. Penuturan kisah juga tak kalah bagus, adegan pembuka ketika ayam yang lari dikejar ramai-ramai oleh sekumpulan orang dengan membawa pisau, golok, bedil itu bukan adegan biasa, karena itu adalah ujung cerita panjang ini. Sang fotografer yang jadi center di antara dua begundal gangster itu bukan adegan sembarangan. Begitu juga saat adegan di tengah saat petugas security bank dibunuh, kiranya itu adegan sederhana sebuah efek perampokan yang terpaksa melakukan kekerasan namun ternyata ada benang merahnya. Begitu juga perampokan Geng Tender di bank di awal-awal yang berantak itu, sungguh penyajian cerita yang brilian. Detail ditata dengan sungguh menakjubkan. Kejutan disusun rapi bak lembaran foto milestone sebuah profile seorang tokoh besar.

Melihat anak kecil dengan entengnya membunuh membuat tulang-tulang ngilu. Dengan santainya menarik pelatuk seperti menghabisi seekor kecoa sungguh sadis. Seperti Serigala yang bersetting Jakarta yang kumuh dengan pemukiman padat nan sempit, City dihinggapi warga miskin dengan aktivitas keseharian. Pembentuk karakter, lingkungan memang guru yang wahid. Pilihan ada di tiap individu mau jadi sampah masyararat atau melanjutkan kebobrokan moral pendahulu. Pilihan yang sulit, namun selalu ada pengecualian. Ada karakter yang mencoba lurus dan terpengaruh keadaan. Sebuah konsekuensi berat yang berujung manis. Apa yang kita tanam adalah apa yang kita tuai. Mari belajar dari kota Tuhan yang penuh kejahatan.

Tidak ada review film ditulisan ini. Selesai baca, tontonlah. Ini adalah salah satu film terbaik sepanjang masa. Sekarang juga atau Anda melupakan segalanya selamanya.

Karawang, 180915