Jacob Julian, teman kemah sastra tahun 2011 hari ini namanya ada di koran Tempo. Selamat JJ!
Bagaimana Babi Menumbuhkan Sayapnya?
Oleh: Jacob Julian
Sebenarnya Poet pernah mengatakan pada teman wanitanya bahwa babi bisa terbang saat malam hari saat mereka berdua bertemu di pos kamling. Dia menceritakan babi-babi itu terbang tiap malam dengan tugas sendiri-sendiri.
“Ada yang ditugaskan untuk menjaga anak yang kesepian sebab ditinggal orangtua mereka bekerja di malam hari. Ada yang menemani orang yang sedih sebab kepergian orang yang dicintai.”
Teman wanitanya mengikik mendengar cerita itu. Poet menambahkan bahwa babi-babi itu jauh lebih indah daripada kunang-kunang. Elok bagai kerlip bintang.
“Kalau kau beruntung, mereka akan terbang berkawanan menuju ke timur. Ada yang melihatnya bagai aurora atau pasukan malaikat yang turun mewartakan kabar gembira. Selebihnya akan mengira itu adalah teluh yang dikirim orang yang jahat. Kita tak pernah tahu tujuannya sampai kita sendiri menemui salah satu dari babi itu dan bercakap-cakap dengannya.”
Teman wanita Poet menatapnya dalam garis malam yang melekat pada bayangan dan membentuk sebuah tanya yang besar.
“Jangan kau kira aku pernah menemui babi-babi itu. Tidak. Aku pernah menemui salah satu malaikat, iya.”
Semakin kagum teman wanita itu mengucapkan kehebatan Poet, lelaki itu mengembangkan hidung dan merasakan desir panas pada pipinya. Poet tak ingin sombong. Dia bukan merak yang memamerkan keindahan tubuh demi mendapatkan betina. Dia hanya punya cerita apik yang ia simpan sendiri dan kelak diceritakan sebagai ganti bulu-bulu indah merak.
“Tentang malaikat itu sebenarnya ceritanya sambil lalu saja,” kata Poet sambil mengusir beberapa nyamuk yang setia mendengarkan ocehannya sambil mengudap darah.
Poet menemui malaikat itu belum lama ini. Tak bisa menghitungnya dengan satuan waktu, tapi dia masih ingat persisnya. Poet melakukan perjalanan sendirian. Saat itu dia kehabisan tinta dan ingin membeli pulpen di mini Market terdekat dari rumahnya. Mungkin sekalian membeli sabun sebab sabunnya selalu habis di saat dia belum mandi.
“Mungkin saat itu gerimis atau mendung. Kau tak bisa melihat mendung pada malam hari bukan?”
“Aku bisa melihatnya.”
Poet terdiam. Mungkin teman wanitanya benar. Berarti saat itu memang gerimis atau seusai gerimis karena banyak halimun tercipta di bawah lampu-lampu jalanan. Poet tidak menemui orang bahkan anjing kampung yang kerap melolong saat dia gelisah di kamarnya. Dia tetap berjalan sampai dia menemui malaikat itu.
“Kau akan tertawa melihatnya. Dia malaikat paling miskin yang pernah ada. Lupakan penggambaran malaikat oleh para pelukis jaman Renaissance.”
Malaikat yang dilihat Poet berpakaian serba hitam dan kain yang menutupi tubuh manusianya compang-camping.
“Ya dia punya tubuh manusia. Aku mengutuk diriku setelahnya. Kupikir malaikat itu jauh lebih dari manusia. Mungkin dia seperti, apa ya … ah. Babi! Aku berharap malaikat itu tak punya tangan dan tubuh.”
“Babi punya tangan dan tubuh.”
“Mungkin. Tapi aku sungguh tak menyangka makhluk suci seperti mereka kenapa harus disejajarkan dengan manusia? Malaikat bukan manusia, manusia ingin seperti malaikat namun tak bisa. Lalu apa malaikat mau disandingkan dengan manusia? Dia mungkin protes. Aku mengira malaikat di sana sedang rapat merundingkan seperti apa bentuk manusia. Tak ada malaikat yang sempurna. Itu pasti.”
“Lalu?”
Malaikat kumuh itu tak menampakkan matanya di depan Poet. Poet sadar dia telah ditelanjangi oleh malaikat itu karena ada ribuan tatapan dingin tak terlihat mengiris dirinya. Poet tak sempat bergerak tapi malaikat itu berjalan menyeberang jalan.
“Dia seperti siput. Dia jauh lebih berhati-hati daripada emak-emak yang naik motor. Dia melihat ke kiri kanan sebelum menyeberang. Beberapa langkah dia berhenti dan menengok ke kiri dan kanannya. Dia lebih mulia daripada cewek-cewek menaiki motor yang menggunakan spionnya hanya untuk merias diri.”
Teman wanitanya tidak terlalu tertarik. Dia terus menunggu lanjutan cerita Poet. Tubuh malaikat itu disinari cahaya dari lampu jalanan. Poet masih terpaku menatap laku malaikat itu sampai dia berada di seberang jalan.
“Aku memanggilnya.”
“Kau memanggilnya?”
“Ya.”
“Dengan sebutan apa?”
Itulah yang dilupa Poet sampai saat ini. Dia lupa menyapa malaikat itu dengan sebutan apa. Poet juga belum sadar kalau itu malaikat. Jadi dia menyapanya selayaknya manusia biasa.
“Itu tak sopan,” ucap lirih teman wanita Poet.
“Kenapa?”
“Makhluk semacam itu katamu tak suka disamakan dengan manusia. Kenapa kamu menyapanya sebagai manusia? Beberapa hantu lokal bakal senang dipanggil mbah.”
“Aku tak tahu dia malaikat,” bela Poet.
“Terus?”
Malaikat itu tidak menengok pada Poet setelah dia menyapanya.
“Kubilang juga apa.”
“Tapi setelah panggilan ketiga dia menengok. Tidak sopan kalau kita sudah dipanggil tiga kali tak menemui sang pemanggil.”
“Kau berteriak padanya?”
“Mungkin. Saat itu jalanan sepi. Sebuah bisikan mungkin akan terdengar seperti tabrakan beruntun. Teriakan mungkin membuat malaikat itu sadar akan kehadiranku.”
Malaikat itu termenung memandangi Poet yang melambai di seberang jalan. Poet berniat menyusul malaikat itu ke seberang.
Memangnya kenapa kau memanggil orang asing di pinggir jalan? Kau tidak tahu dia malaikat bukan? Apa urusanmu?”
Alasan Poet memanggilnya adalah dia meninggalkan sepasang sayap hitam di depannya. Bulu sayap itu hitam legam dan teronggok begitu saja di depan Poet. Mungkin orang lain mengiranya itu sampah.
“Tapi itu tidak sopan kalau membuang sampah tidak pada tempatnya. Aku memanggilnya agar dia membuang sampahnya pada tempat yang sudah disediakan.”
Teman wanitanya terdiam. “Itu alasanmu?”
“Kau tak suka melihat orang membuang sampah sembarangan bukan? Yang dilakukan malaikat itu mungkin seperti itu. Namun apapun dia, dia tetap boleh melakukannya.”
Terdengar kikik teman wanita Poet. “Lalu?”
Poet menjelaskan perihal sampah itu kepada malaikat. Malaikat itu diam. Poet mengulanginya dan malaikat itu tetap saja berada di seberang jalan.
“Apa kau tuli?” teriak Poet.
“Kau memarahi malaikat.”
“Andaikan aku tahu dia malaikat.”
“Lalu?”
Poet masih tidak terima bahwa sarannya tidak diperhatikan. Dia mengangkat sayap atau sampah yang ditinggalkan malaikat itu. Poet merasakan berat sayap itu membuat kakinya tertekuk. Tangannya juga basah dan bau anyir menyengat. Sayap itu menjadi bangkai hewan yang tak pernah dia temui sebelumnya. Juga tak pernah dia lihat di ensiklopedi hewan di dunia karena hewan hitam itu berdarah. Poet mengira yang dia angkat adalah bangkai anjing kampung yang sudah dimutilasi, dia mencoba menaruhnya kembali ke tanah. Tangannya belepotan cairan hitam sepekat malam. Sementara yang ia angkat kembali menjadi sepasang sayap yang hitam pekat dan terluka.
“Bagaimana kau tahu itu terluka?”
“Aku mencium darah. Darah yang kental dan terpekat yang pernah kulihat dan kucium baunya. Darah itu kini melumuri tanganku.”
“Jadi itu adalah sayap malaikat?”
Poet tidak tahu. Malaikat di seberang jalan masih memandanginya saat Poet ketakutan dan kebingungan melihat tangannya yang berlumuran cairan hitam yang berbau amis serta anyir.
“Aku memutuskan untuk meminta tolong pada dia. Takut terjadi sesuatu tapi malaikat itu malah berlalu. Dua langkah dia berjalan, tubuhnya ambruk. Aku semakin kebingungan. Aku takut bila ada orang lain yang lewat jalan itu melihat keadaanku dan orang itu akan menduga yang tidak-tidak. Aku juga tak bisa lari. Aku masih merasakan berat beban sayap itu di kakiku.”
Yang terjadi kemudian adalah malaikat itu kemudian bangkit berdiri. Dia tanggalkan pakaiannya dan menampakkan sayap keabu-abuan di punggungnya.
“Dia melesat pergi.”
Ada kesunyian setelah Poet menceritakan kisah pertemuannya dengan manusia bersayap yang digambarkan sebagai malaikat. Teman wanitanya juga tak berkata apa-apa lagi. Poet mendengar ada suara orang-orang mendekat ke arahnya. Para petugas malam sudah bersiap melaksanakan tugasnya.
“Kadang di malam hari, di luar rumahmu, kau akan menemui kejadian yang tak terduga,” ucap Poet akhirnya.
“Lalu bagaimana babi menumbuhkan sayapnya?”
Orang-orang itu menyenteri Poet yang duduk sendirian di pos ronda sementara teman wanitanya sudah melesat pergi dengan suara tawa yang nyaring sebelum Poet sempat menjawabnya. Orang-orang mengejar teman wanitanya sementara Poet ingin menjelaskan apa yang terjadi setelah malaikat itu pergi.
Dia membawa sepasang sayap yang terluka itu menjauh dari jalanan. Dia tidak ingin orang lain melihat sampah itu dibuang sembarangan. Poet membawanya dan membiarkan jejak darah menetes ke jalanan. Karena tak ada tempat sampah, Poet membuangnya di dekat kandang babi milik warga. Dia tahu babi suka makan apapun termasuk bangkai manusia. Jadi sepasang sayap di lahap habis oleh babi-babi itu. Poet melihat mereka makan dan melihat babi-babi itu menumbuhkan sayap-sayap di punggungnya lalu terbang pergi menuaikan tugas-tugasnya.
“Harusnya aku ikut makan bangkai itu untuk mengikutimu,” ujar Poet sambil berjalan menjauh dari pos ronda. Sementara teman wanitanya masih berlompatan di atas pohon sambil tertawa nyaring.
Madiun, 5-1-2015