(review) Negeri Para Bedebah: Manusia Di Atas Perahu Bocor

Gambar
Kemarin saat nonton film The Raid 2: Berandal bersama May dan teman kuliahnya, saya mampir sebentar di toko buku Salemba di Mal Lippo Cikarang. Baru kali ini saya masuk toko buku dengan kondisi AC mati, siang yang gerah. Karena cuaca di luar saat ini panas, maka kunjungan lihat-lihat buku tak senyaman seperti biasanya. Paling 10 menit saya langsung ke rak novel dan mencari buku, yang siapa tahu ada yang diincar. Di rak novel baru ternyata dipenuhi buku remaja, gila dua rak panjang isinya mayoritas novel teenlit lokal. Beneran, dunia literasi kita makin bergairah. Perkembangan yang menarik, walau saya tak tertarik membelinya. Akhirnya teman-teman yang kepanasan menyerah keluar toko duluan menunggu di kursi mal di luar. Saya yang ga enak berlama-lama segera menyusul, tapi saat akan melewati pintu keluar ada tumpukan cetakan baru novel best seller. Iseng lihat bentar, dan ternyata ada novel karya Tere-Liye bejibun. Semua cetakan baru dengan design sampul baru. Incaran lama saya, Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk ada di sana. Tanpa pikir panjang saya comot keduanya. Namun saat konfirm ke istri untuk belfi dua buku, dia malah manyun yang itu berarti berkata, ‘hemat, beib hemat!’. Apalagi saat ini saya jobless sehingga rasanya egois sekali kalau langsung beli dua buku tebal. Akhirnya mengalah mengambil yang seri pertama, 60 ribu rupiah. Masuk ke antrian kasir yang panjang, yang ternyata gara-gara komputernya mati sehingga belanjaan ditulis manual dengan nota, macam kuitansi pasar loak.
Malamnya saat lelah karena perjalanan Cikarang-Karawang, si May bahkan sudah tidur sebelum Isya’ saya sempatkan baca Negeri Para Bedebah. Ini buku sudah saya incar lama setelah baca review dari teman-teman yang rata-rata bilang buku bagus. Buku yang saya pegang adalah cetakan ke-6 di Desember 2013. 3-4 bulan sekali ini buku cetak ulang, betapa hebatnya sang Penulis selain produktif bukunya banyak yang cetak ulang. Yang pertama kubaca jelas, backcover-nya: Di Negeri Para Bedebah, kisah fiksi kalah seru disbanding kisah nyata. Di Negeri para bedebah, musang berbulu domba berkeliaran di halaman rumah. Tetapi setidaknya kawan, di Negeri para bedebah petarung sejati tidak akan berhianat. Kalimat-kalimat yang bagus yang akan membuat calon pembeli tertarik.
Sebelum masuk ke daftar isi, kita sudah diperingatkan bahwa cerita yang akan saya baca ini hanya fiktif jadi apabila ada kesamaan nama tokoh atau kisah itu hanya kebetulan belaka. Sepertinya Tere akan bermain api dengan cerita yang akan tersaji. Bab pertama, di sini ditulisnya episode 1 berjudul ‘krisis dunia’ pun saya lahap dengan cepat. Kisah dibuka dengan sebuah wawancara seorang konsultan keuangan bernama Thomas bersama wartawan majalah ekonomi mingguan bernama Julia. Wawancara terpaksa dilakukan di atas pesawat karena kesibukan Thom yang luar biasa, bahkan kesibukannya mengalahkan sang presiden. Sindiran ini akan terbukti dalam rentang tiga hari ke depan dia akan luar biasa sibuk. Perjalanan dari London ke Singapura ini menjadi pengalaman yang pertama buat Julia wawancara di atas pesawat kelas eksekutif: “Anda tahu, terus terang saya sedikit gugup. Bukan untuk wawancaranya tapi saya begitu antusias. Ya Tuhan, saya baru pertama kali menumpang pesawat besar. Ini mengagumkan, ini lebih besar dibanding dengan foto-foto rilis pertamanya. Berapa ukurannya? Paling besar di dunia? Tiga kali lebih pesawat biasa, dan saya menumpang di kelas eksekutif. Teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu redaksi kami menghabiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket agar saya satu pesawat dengan Anda.”
Permulaan wawancara yang buruk, permulaan perkenalan yang kurang bagus antara dua karakter yang nantinya akan terus bersinggungan. Lalu saat Thomas sampai di Jakarta di akhir pekan, dia disibukkan dengan jadwal yang padat. Jumat malam ini, dia yang seorang petarung di klub petarung. Semacam klub berkelahi di buku ‘Fight Club’ nya Chuck Palahniuk. Premisnya sama, di mana mereka professional berkelahi hanya untuk kesenangan. Lupakan pangkat, lupakan derajat di rutinitas. Siapa saja yang bergabung di klub akan berkelahi di atas lingkarang merah, selesai tanding semua lupakan, tak ada dendam tak ada kemarahan. Benar, aturannya sama dengan fight club, rekrutnya rahasia hanya teman-teman dekat. Bedanya tak ada twist, dua karakter satu tubuh di sini. Saya jadi bertanya, apakah Tere harus meminta izin kepada Chuck untuk mencantumkan sebagian aturan kisahnya ke dalam buku ini.
Dari klub petarung, Thomas berkenalan dengan Rudi sang polisi, Randy sang petugas imigrasi, dan Erik seorang perekayasa data yang ulung. Tiga karakter yang akan sangat membantu menggerakkan cerita. Lalu ada kadek yatch Pasifik, kapal milik keluarga yang cerdas dan setia. Ada Ram, orang kepercayaan keluarga yang mengurus bermacam bisnis. Ada sektetaris cantik yang selalu jadi andalan, Maggie. Antagonisnya, dua orang yang mempunyai dendam masa lalu. Sang jaksa dan seorang polisi bintang tiga. Sementara karakter dalam keluarga ada om Liem yang memimpin bank Semesta di ambang pailit. Opa, yang di usia senjanya menjadi penasehat bijak dengan cerita masa lalunya tentang perjalanan dari Cina daratan menuju tanah yang dijanjikan, Indonesia. Perjalanan laut di atas perahu bocor yang dituturkan berulang kali bagai kaset rusak. Ada sahabat lama dalam bisnis keluarga tuan Shinpei, orang yang dulu bersama saat berjuang di zaman susah dalam memasok bisnis tepung terigu. Semua dirajut dalam cerita tentang kebobrokan Negara ini, plot utamanya adalah penyelamatan bank Semesta dari lukuidasi dengan dana talangan bail out dari pemerintah. Intrik itulah yang membuat Thomas selama tiga hari harus tunggang-langgang dari kebisingan ibu kota sampai ke Yogya dan Bali.
Kisah panjang 48 episode ini dimulai dengan dering telepon tengah malam, Sabtu dini hari di bab 4. Saat itu Thomas sedang istirahat di hotel, pasca bertarung dengan Rudi. Telepon yang menggangu itu, rasanya ingin tak diangkatnya. Namun ternyata telepon sedini ini datang dari keluarganya. Ram, sang pengurus bisnis keluarga memberitahu bahwa tantenya sakit keras, karena om Liem tersangkut kasus. Terpaksa dia bangun dan bergegas ke rumah om-nya yang tak pernah dijumpainya selama 20 tahun. Dari adegan ini sampai dengan titik kalimat terakhir, kalian akan disuguhkan adegan action non-stop. Pelarian ke bandara, lalu ke tempat persembunyian, tertangkap namun bisa kabur lagi. Berlayar tak tentu arah, meeting dengan orang-orang penting di pesawat. Adegan baku tembak, kabur lagi. Suap kepada sipir penjara, tipu-menipu demi kepentingan pribadi. Berlagak jadi kader partai berwarna lembayung, sandera yang berharga sampai akhirnya sebuah ending yang mengapung di atas laut haru-biru. Bak mimpi yang terlihat samar namun terasa nyata, dalam tiga hari itu Thomas terus berlari bagai dikejar monster tak berwujud. Ketika akhirnya dalang dan penghianat ditemukan, ternyata itu hanya ikan teri. Penghianat kelas kakapnya terlepas dari tangkapan, dan buku ini ditutup dengan dendam menuju target utama.
Manarik? Jelas, sungguh bagus ada buku karya anak bangsa sedinamis ini. Walaupun yah harus diakui, Tere tak menyajikan cerita original. Harus diakui pula di dunia ini tak ada yang original, semua pakai teori ATM-Amati, Tiru, Modifikasi. Coba tonton film Fight Club, 21, The Beautiful Mind, The Wallstreet, The Coruptor sampai Crash. Semua dinukil dan dirajut dengan cerita panas korupsi bank nasional yang bail out –nya mewarnai berita selama 5 tahun terakhir. Bahkan terang-terangan Tere menyebut ibu menteri, orang yang ditemuinya bersama Julia yang akan mengubah keputusannya. Juga angka talangannya 7T, walau akhirnya angka itu dimodifikasi Erik jadi hanya 1,5T. Tere bermain-main dengan fakta, dan di sinilah hebatnya dia. Luar biasa, salute bro!
Secara keseluruhan saya sepakat dengan beberapa review bahwa buku ini recommended buat dilahap. Saya membacanya dengan perseneling penuh, cepat sekali. Hanya dua hari di sela kesibukan semu di rumah. Saya bahkan meletakkan sejenak buku The Man Who Loved Book Too Much yang sudah kebaca separo, demi kenikmatannya. Dan sepertinya menyenangkan sekali mempunyai seorang kakek pencerita yang hebat, walau kisah yang dituturkan berulang kali sama layaknya kaset rusak. Di situ selalu ada hikmah. Seperti Opa yang terombang-ambing di atas perahu bocor dengan ketidakpastian, kita semua kini hidup di negeri para bedebah. Kita semua berjudi dengan masa depan. Tahun pemilu dengan segala janji manisnya? Bah!
Karawang, 020414

22 komentar di “(review) Negeri Para Bedebah: Manusia Di Atas Perahu Bocor

  1. Aku belom punya buku ituh jugaaa
    Sebulan ini lagi menahan diri dari toko buku yang melambai2 menggoda.
    Tapi buku di rumah jg banyak yg masih masuk daftar tunggu sik.

    Suka

Tinggalkan komentar