Bokis 2 #19

“Kebahagiaan tidak bisa dipaksakan bro. Apa gunanya awet, kalau kata orang Sunda, awet rajet. Kelihatannya awet, nyatanya compang-camping!”

Apa yang bisa diharapkan dari buku gosip? Sambil lalu, lalu menghilang. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah buku yang isinya curhat, cerita kebobrokan dunia selebrita? Tak muluk, walaupun ditulis oleh seorang jurnalis pengalaman, CV-nya merentang dari hiburan cetak sampai visual. Buku yang tak terlalu berfaedah, buku sekadar hiburan, yang kurang relate sama jelata macam saya. Jauh dari hingar bingar infotainment, jelas ini akan gegas terlupakan, hanya mampir di memori sementara. Bokis, tahu artinya? Enggak? Sama. Baik saya ketik ulang Prabokis-nya ya.

Ini istilah gaul dari generasi 80’-an, di mana banyak istilah gaul dengan banyak sisipan ‘ok’ di tengahnya. Bapak menjadi b-ok-ap, sepatu jadi sep-ok-at, BF jadi be ef atau be ep sehingga jadi b-ok-ep, duit jadi d-ok-u, dan banyak lagi. Semua tak berubah makna, kecuali bisa jadi b-ok-is. Haha… pantas saya tak paham, zaman ortu-ku to.

Dibagi dalam lima bab utama, dipecah dengan cerita-cerita seputar kehidupan pesohor. Uang, wanita, kedudukan para artis. Kutat dunia itu dikupas dengan gamblang, sayangnya bukan sesuatu yang baru. Hanya penegasan bahwa dunia lender infortaiment itu benar adanya. Ditulis oleh jurnalis yang benar-benar bersinggungan. Lantas kalau benar, kenapa? Ya tak mengapa, sekadar tahu saja. Jangan cari hikmahnya apa, ini buku haha-hihi, huhu-hoho yang memang apa adanya.

Seperti kisah jual anak, itu dicerita baha untuk mendongkrak karier anak, sang anak dijual ke senior. Termasuk ibunya, demi popularitas apapun dilakukan. Dari peran kecil dulu, hingga merangkak booming menjadi artis terkenal nantinya. Atau yang mengerikan, jual ginjal demi kesempatan tampil. Kompetisi ala kadar, menarik rating, sampai intermezzo berulang kali.

Lalu bagaimana menanggapi kabar miring itu? Beragam, namanya juga manusia. Seperti gugat menggugar yang tak ingin menyewa pro bono, demi saving uang hingga mendongkrak nama, hingga jadi teman tidur. Sekali lagi buat apa? Mungkin buku ini dicipta bagi orang yang niat terjun ke dunia hiburan, betapa keras dan memuakkan.

Nama baik penting, seperti akting depan tv menyumbang. Demi disorot kamera, necis dan baik hati. Namun tak semua juga, beberapa malah tak peduli nama baik atau buruk, selama diliput media asyik-asyik aja. Menjadi pembicaraan penikmat infotainment, hal itu penting.

Sampai penasehat spiritual. Pernah heboh masa itu Eyang Subur, yang viral berhari-hari karena gugat menggugat, gebrak meja, sampai para artis yang tuding nebeng tenar. Ya ampun, info-info tak penting ini. nyatanya, diikuti, dimintai, dibaca, diperbincangkan.

Kemuakan juga ditampakkan, bagaimana data-data kekerasan diapungkan dan banyak. Meningkat tiap tahunnya, walau tak semua. Lalu seorang jurnalis lain malah nyeletuk atau menyanksikan sebab data diambil dari Komnas Perempuan, ia berpegang pada kepolisian yang lebih ramah. Well, jangan kaget, dan tak perlu heran, wajar saja kok. Orang pro ke mana, selalu ada. Yang jelas-jelas busuk saja banyak yang dukung. Dunia memang seperti itu, di era digital ini saja kelihatan. Zaman dulu juga ada, hanya bedanya kita lihat blak-blakan saat ini. ya itu, kebebasan.

Begitu pula, kritik pemirsa yang ditanggapi malah menjadi boomerang. Contoh, berita dan tampilan tv banyak yang negative, gmana kalau yang ditampilkan yang bagus-bagus. Maka ketimbang isinya berita perceraian, gugatan demi gugatan, atau perkelahian psikis. Mending menampilkan keluarga artis yang samara. Maka diciptalah program “Romantika”. Menampilkan keluarga harmonis yang bertahan pernikahan minimal 10 tahun, dan baik-baik saja. Kesannya. Nyatanya tak bertahan lama, program tv-nya hanya sampai 26 episode. Resource yang sulit, tak semua mau tampil, pamer keharmonisan, hingga nasehat: ngapain pamer kemesraan di tv? Begitulah, sulit memenuhi kemauan orang banyak. “… sudahlah, nggak usah dipaksakan. Bikin yang seperti biasa saja. Yang sensasional-sensasional. Masyarakat kita suka gosip sensasional.”

Buku ini dicipta tahun 2013, setelah selang hampir sedekade, apakah masih berlalu? Banyak hal sudah berubah, begitu pula cara pandang penikmat tv. Saat ini internet sudah menjamur ke segala pelosok. Info dengan mudahnya didapat. Jurnalis masih eksis, tapi tampilannya sudah mayoritas digital, kecepatan menjadi penting, akurasi saja yang perlu diperhatikan. Trust jadi momok penting, dan sangat berharga.

Kenapa saya punya buku ini? yang jelas enggak banget. Ceritanya, tahun 2017 saya menang kuis FPL (Fantasy Premier League) dari Gangan Januar, Bandung. Sekalipun saya kutu buku, tak serta merta semua buku gegas disikat. Baru nggeh belum tuntas, bulan ini, saya menemukannya di rak, dan ingat utang tuntas. Gegas kusikat, kilat dan tanpa banyak pertimbangan. Saya dapat dua buku, satunya lagi kumpulan puisi: Penyair Midas nya Nanang Suryadi. Saya jadi curiga, ini GG niat lepas buku karena tak suka, atau beneran kasih hadiah? Well, setidaknya, lunas dulu deh.

Bokis 2: Potret Para Pesohor, dari yang Getir sampai yang Kotor | by Maman Suherman | KPG 901 13 0679 | Cetakan pertama, Juni 2013 | Ilustrasi sampul dan Isi Setianto Riyadi | Perancang sampul Fernandus Antonius | Penataletak Fernandus Antonius | x + 142 hlm.; 13.5 x 20 cm | ISBN-13: 978-979-91-0585-1 | Skor: 2.5/5

Karawang, 190622 – Shane Fillan – Beautiful in White

Thx to Gangan Januar, Bandung

#30HariMenulis #ReviewBuku #19 #Juni2022

Para Penjahat Dan Kesunyiannya Masing-Masing #27

Bahwa di dalam diri mereka. Kekuatan adalah saat mereka mampu membuat orang lain kesuliatn dan memohon-mohon.” – Yusuf Yasa

Ini adalah cerita orang-orang terusir dalam program membangun kota yang serupa New York dan Sydney. Para mantan bajingan bersatu dalam perenungan. Buku yang hhhmmm…, OK, tapi gmana ya. Ada semacam hal janggal yang mengganjal. Plotnya mirip 100 Tahun Kesunyian-nya Gabriel Garcia Marquez, kalau ga mau dibilang contek. Gaya berceritnya agak aneh, dengan sering berujar ‘pada suatu masa’. Seperti para pencerita lokal macam Eka Kurniawan, Triyanto Triwikromo, AS Laksana, dkk, yang suka memakai nama-nama unik, Eko Triono juga melakukan hal serupa. Nama-nama karakter yang ‘muluk-muluk’ lucunya: Dari Massa Jenis, Gendis, Tulus Tapioka, Kembang Surtikanti, Yusuf Yasa, Rizal Gibran, Parta Gamin Gesit, Darma Gabus, Marzuki Kazam, Muhammad Basyirin, Jaya Kadal, Darman Gabus, Kembang Surtikanti, Dirjo Wuyung, Rodi Pahrurodi dan seterusnya. Boleh saja sih, sah-sah saja. Namun karena saya sering menemui, lama-kelamaan bosan juga. Lebih senang dengan nama-nama Indonesia yang membumi. Pilihan diksi dalam gaya bertutur kental dengan nilai lokal, kata Seno Gumira Ajidarma. Sementara Anton Kurnia bilang, menggelitik kita dengan semacam karnaval unik. Yup, sebagian sepakat. Kaya atau miskin datang dengan cara yang sama, bahagia dengan cara yang sama.

Kisahnya tentang sebuah keluarga yang melakukan transmigrasi dari Jawa ke tanah seberang. Lika-liku kehidupan para penjahat memulai petualangan baru. Yang lelaki sangat aneh, tapi terlihat jenius, yang perempuan adalah anak kiai yang termasyur. Putri pemilik pesantren baik-baik yang juga kelihatan cerdas, tapi memilih suami dengan tak lazim pula. Pasangan aneh yang menginginkan anaknya jadi ilmuwan, sekaligus ulama. Kombinasi tak wajar ini lalu berbaur dalam tiga puluh tiga kepala keluarga diangkut dengan dua bus biru. Berdesakan dengan kardus, barang dalam karung dan ikatan dalam plastik melakukan perjalanan ke Barat. Menyeberangi lautan, menancapkan bambu di tanah hutan perawan, dan drama umat manusia dimulai. “Tiap pendosa akan memiliki masa depan, sebagaimana tiap ulama yang telah memiliki masa lalu.”

Alurnya tak runut, pokoknya mirip sekali, bahkan polanya seperti 100 Tahun yang mendeskripsikan ending, lalu ditarik jauh ke belakang, Para Penjahat melakukan ‘napak tilas’ bagaimana menjalani kehidupan asing di rantau. Nama tanah rantau fiktif itu Jabalekat, nah apa bedanya dengan Macondo yang fiktif? Walau secara regional kita arahnya ke Sumatra. Nama areanya juga dibuat semenarik mungkin, seperti Gang Tokyo, Asia Kecil, Afrika Kecil, Australia Kecil, Pemukiman Perambah Hutan, Gang Shanghai Kecil, Balai Kumpul Jabalekat, dan seterusnya. Tokoh utamanya Parta Gamin, eks narapidana Nusakambangan yang tobat. Beristri jelita anak kiai, Kembang Sutikanti, putranya menjadi seorang pejuang revolusioner. Massa Jenis yang namanya diambil dari kemasan di tempat sampah, yang dibalik ya terdiri atas komposisi, produksi sampai identitas produk: Massa jenis adalah massa benda dibagi dengan volume. “Sudah kubilang, kau mencomot nama dari tempat sampah.” Dan nantinya mereka akan dikarunia anak kedua yang juga istimewa. Nama adalah doa.

Menghadapi orang-orang lokal yang sebagian tak ramah, hutan yang masih rimbun dipangkas, mengusir dan menghadapi hewan-hewan liar. “Jadi jangan percaya kalau kamu dengar tawa hantu, itu hanya tangis yang disamarkan.” Jangan memberikan ucapan dan komentar apa pun, katanya, pada orang yang belum bekerja dan bahkan tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Secara teori nenek moyang kita dari surga dan itulah sebabnya kita mabuk pada dunia. Para transmisgran ini selalu dijejali donkrin bahwa New York dan Sydney mula-mula dibangun dari migrasi bandit-bandit Inggris. Kalau mereka bisa kenapa kita enggak? Penyakit terberatnya adalah perasaan sunyi yang sering muncul tiba-tiba dan ketombe yang sulit dihilangkan; hingga sering kehilangan konsentrasi. “Jika ragu-ragumu dalam hal baik itu dari setan. Jika ragu-ragumu dalam hal buruk, itu dari malaikat.”

Parta Gamin sekalipun dapat istri istimewa dia punya pikiran liar juga tentang cinta masa lalu. Tapi, hanya ingatan diam. Karena kenyataannya tidak ada mantan yang lebih baik dibandingkan dengan mantan pacar yang menjadi istri. “Cinta dan sakit hanya beda istilah.”

Berikutnya yasu dah, segala cerita masyarat pindahan ini mengarungi kehidupan. Semacam rapat RT, koordinasi mengusir hewan buas, paguyupan membersihkan selokan, goyong royong mbangun desa, dan seterusnya. Apakah peran kucing lebih penting secara psikologis daripada peran ikan gabus secara biologis? Kelahiran para penerus, kematian para tetua hingga konfliks vertical dengan pemerintah yang memicu para penerus untuk melawan, memberontak demi revolusi. Dan begitulah kehidupan, selalu berputar, selalu pada akhirnya kita akan pergi dan diganti generasi berikutnya. Para Penjahat dan Kesunyian menampilkan sepenggal kehidupan orang-orang terasing tersebut dengan masam. Keunikan selain nama-nama yang aneh, adalah cara bercerita yang tak biasa, di mana plot-nya dipermainkan, tak segaris lurus laiknya waktu, tapi alurnya bolak-balik. Kalau kita harus menggugat Tuhan karena telah menciptakan dan memberi hidup pada orang jahat, maka kita pun harus menghukum orang-orang baik, sebab hanya dengan adanya orang-orang baiklah kita mampu menunjuk siapa orang-orang yang dianggap jahat. Kadang kita meragukan terhadap hal-hal sudah jelas. “Ini bukan tanah yang dijanjikan, ini tanah kutukan, tanah para binatang.

Awalnya memang sesuai harapan, tapi keterpencilan, perhatian pemerintah yang kecil, abai aturan, dan konfrontasi antar warga mencipta banyak masalah mendasar. Lalu saat muncul pemikiran generasi berikutnya, anak-anak mereka yang lebih modern mecuat, timbul gerakan pemberontakan, gerakan pembaruan yang coba dibasmi itu melibatkan orang-orang penting. Dan satu lagi, cerita akan semakin seru saat ditaruh seorang penghianat. Godaan komplit: harta, takhta, wanita. Siapa yang berani melawan suara rakyat? Siapakah yang teganya menjilat uang demi kenikmataan sesaat? “Saya resmi jadi penghianat. Demi cinta, ya demi cinta, saying. Apa pun saya rela, asalkan jangan menjadi kenanganmu.”

Awalnya saya kasih skor 3.5 karena kemiripan novel masterpiece Gabriel Garcia Marquez, tapi setelah kupikir-pikir sulit juga menjaga konsistensi sepanjang 200 halaman bertutur kata dalam drama yang memusing, walaupun ‘agakhappy ending. Biasanya kita menikmati Triono dalam cerita pendek, maka cerita panjang pertama beliau, novel pertama beliau yang kulahap ini sangat patut diapresiasi. Berlabel juara 3 UNNES – International Novel Writing Contest 2017. Yel-yel dan jargon itu – konon digali oleh Parta Gamin dari amanat penderitaan rakyat – bahkan telah bergema di hati mereka sendiri meski dalam diam bermain catur. Apakah perjuangan itu sebuah kesia-siaan besar?

Aku sudah melakukannya selama tiga puluh dua jam. Nggak jadi presiden nggak sipilis.”

Para Penjahat Dan Kesunyiannya Masing-Masing | Oleh Eko Triono | GM 618202020 | Editor Sasa | Desain sampul Chandra Kartika (@kartikagunawan) | Desain isi Nur Wulan | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | ISBN 978-602-03-8315-6 | Skor: 4/5

Karawang, 180419 – Nikita Willy – Lebih Dari Indah // 270619 – Westlife – I Don’t Wanna Fight

#30HariMenulis #ReviewBuku #Day27 #HBDSherinaMunaf #11Juni2019

Pesta Para Juara

Gambar

(Setelah musim ini berakhir, kembalilah ke London segera)

Gambar

(9 tahun penantian itu berakhir sudah Proff)

Gambar

(double Winner di musim perdana Pep)

Gambar

(Merusak dominasi Barca-Madrid)

Gambar

(Robben sang pemecah kebuntuan)

Gambar

(Ramsey yang luar biasa)

Gambar

(Start yang buruk, akhir yang manis)

Karawang, 190514

(review) Negeri Para Bedebah: Manusia Di Atas Perahu Bocor

Gambar
Kemarin saat nonton film The Raid 2: Berandal bersama May dan teman kuliahnya, saya mampir sebentar di toko buku Salemba di Mal Lippo Cikarang. Baru kali ini saya masuk toko buku dengan kondisi AC mati, siang yang gerah. Karena cuaca di luar saat ini panas, maka kunjungan lihat-lihat buku tak senyaman seperti biasanya. Paling 10 menit saya langsung ke rak novel dan mencari buku, yang siapa tahu ada yang diincar. Di rak novel baru ternyata dipenuhi buku remaja, gila dua rak panjang isinya mayoritas novel teenlit lokal. Beneran, dunia literasi kita makin bergairah. Perkembangan yang menarik, walau saya tak tertarik membelinya. Akhirnya teman-teman yang kepanasan menyerah keluar toko duluan menunggu di kursi mal di luar. Saya yang ga enak berlama-lama segera menyusul, tapi saat akan melewati pintu keluar ada tumpukan cetakan baru novel best seller. Iseng lihat bentar, dan ternyata ada novel karya Tere-Liye bejibun. Semua cetakan baru dengan design sampul baru. Incaran lama saya, Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk ada di sana. Tanpa pikir panjang saya comot keduanya. Namun saat konfirm ke istri untuk belfi dua buku, dia malah manyun yang itu berarti berkata, ‘hemat, beib hemat!’. Apalagi saat ini saya jobless sehingga rasanya egois sekali kalau langsung beli dua buku tebal. Akhirnya mengalah mengambil yang seri pertama, 60 ribu rupiah. Masuk ke antrian kasir yang panjang, yang ternyata gara-gara komputernya mati sehingga belanjaan ditulis manual dengan nota, macam kuitansi pasar loak.
Malamnya saat lelah karena perjalanan Cikarang-Karawang, si May bahkan sudah tidur sebelum Isya’ saya sempatkan baca Negeri Para Bedebah. Ini buku sudah saya incar lama setelah baca review dari teman-teman yang rata-rata bilang buku bagus. Buku yang saya pegang adalah cetakan ke-6 di Desember 2013. 3-4 bulan sekali ini buku cetak ulang, betapa hebatnya sang Penulis selain produktif bukunya banyak yang cetak ulang. Yang pertama kubaca jelas, backcover-nya: Di Negeri Para Bedebah, kisah fiksi kalah seru disbanding kisah nyata. Di Negeri para bedebah, musang berbulu domba berkeliaran di halaman rumah. Tetapi setidaknya kawan, di Negeri para bedebah petarung sejati tidak akan berhianat. Kalimat-kalimat yang bagus yang akan membuat calon pembeli tertarik.
Sebelum masuk ke daftar isi, kita sudah diperingatkan bahwa cerita yang akan saya baca ini hanya fiktif jadi apabila ada kesamaan nama tokoh atau kisah itu hanya kebetulan belaka. Sepertinya Tere akan bermain api dengan cerita yang akan tersaji. Bab pertama, di sini ditulisnya episode 1 berjudul ‘krisis dunia’ pun saya lahap dengan cepat. Kisah dibuka dengan sebuah wawancara seorang konsultan keuangan bernama Thomas bersama wartawan majalah ekonomi mingguan bernama Julia. Wawancara terpaksa dilakukan di atas pesawat karena kesibukan Thom yang luar biasa, bahkan kesibukannya mengalahkan sang presiden. Sindiran ini akan terbukti dalam rentang tiga hari ke depan dia akan luar biasa sibuk. Perjalanan dari London ke Singapura ini menjadi pengalaman yang pertama buat Julia wawancara di atas pesawat kelas eksekutif: “Anda tahu, terus terang saya sedikit gugup. Bukan untuk wawancaranya tapi saya begitu antusias. Ya Tuhan, saya baru pertama kali menumpang pesawat besar. Ini mengagumkan, ini lebih besar dibanding dengan foto-foto rilis pertamanya. Berapa ukurannya? Paling besar di dunia? Tiga kali lebih pesawat biasa, dan saya menumpang di kelas eksekutif. Teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu redaksi kami menghabiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket agar saya satu pesawat dengan Anda.”
Permulaan wawancara yang buruk, permulaan perkenalan yang kurang bagus antara dua karakter yang nantinya akan terus bersinggungan. Lalu saat Thomas sampai di Jakarta di akhir pekan, dia disibukkan dengan jadwal yang padat. Jumat malam ini, dia yang seorang petarung di klub petarung. Semacam klub berkelahi di buku ‘Fight Club’ nya Chuck Palahniuk. Premisnya sama, di mana mereka professional berkelahi hanya untuk kesenangan. Lupakan pangkat, lupakan derajat di rutinitas. Siapa saja yang bergabung di klub akan berkelahi di atas lingkarang merah, selesai tanding semua lupakan, tak ada dendam tak ada kemarahan. Benar, aturannya sama dengan fight club, rekrutnya rahasia hanya teman-teman dekat. Bedanya tak ada twist, dua karakter satu tubuh di sini. Saya jadi bertanya, apakah Tere harus meminta izin kepada Chuck untuk mencantumkan sebagian aturan kisahnya ke dalam buku ini.
Dari klub petarung, Thomas berkenalan dengan Rudi sang polisi, Randy sang petugas imigrasi, dan Erik seorang perekayasa data yang ulung. Tiga karakter yang akan sangat membantu menggerakkan cerita. Lalu ada kadek yatch Pasifik, kapal milik keluarga yang cerdas dan setia. Ada Ram, orang kepercayaan keluarga yang mengurus bermacam bisnis. Ada sektetaris cantik yang selalu jadi andalan, Maggie. Antagonisnya, dua orang yang mempunyai dendam masa lalu. Sang jaksa dan seorang polisi bintang tiga. Sementara karakter dalam keluarga ada om Liem yang memimpin bank Semesta di ambang pailit. Opa, yang di usia senjanya menjadi penasehat bijak dengan cerita masa lalunya tentang perjalanan dari Cina daratan menuju tanah yang dijanjikan, Indonesia. Perjalanan laut di atas perahu bocor yang dituturkan berulang kali bagai kaset rusak. Ada sahabat lama dalam bisnis keluarga tuan Shinpei, orang yang dulu bersama saat berjuang di zaman susah dalam memasok bisnis tepung terigu. Semua dirajut dalam cerita tentang kebobrokan Negara ini, plot utamanya adalah penyelamatan bank Semesta dari lukuidasi dengan dana talangan bail out dari pemerintah. Intrik itulah yang membuat Thomas selama tiga hari harus tunggang-langgang dari kebisingan ibu kota sampai ke Yogya dan Bali.
Kisah panjang 48 episode ini dimulai dengan dering telepon tengah malam, Sabtu dini hari di bab 4. Saat itu Thomas sedang istirahat di hotel, pasca bertarung dengan Rudi. Telepon yang menggangu itu, rasanya ingin tak diangkatnya. Namun ternyata telepon sedini ini datang dari keluarganya. Ram, sang pengurus bisnis keluarga memberitahu bahwa tantenya sakit keras, karena om Liem tersangkut kasus. Terpaksa dia bangun dan bergegas ke rumah om-nya yang tak pernah dijumpainya selama 20 tahun. Dari adegan ini sampai dengan titik kalimat terakhir, kalian akan disuguhkan adegan action non-stop. Pelarian ke bandara, lalu ke tempat persembunyian, tertangkap namun bisa kabur lagi. Berlayar tak tentu arah, meeting dengan orang-orang penting di pesawat. Adegan baku tembak, kabur lagi. Suap kepada sipir penjara, tipu-menipu demi kepentingan pribadi. Berlagak jadi kader partai berwarna lembayung, sandera yang berharga sampai akhirnya sebuah ending yang mengapung di atas laut haru-biru. Bak mimpi yang terlihat samar namun terasa nyata, dalam tiga hari itu Thomas terus berlari bagai dikejar monster tak berwujud. Ketika akhirnya dalang dan penghianat ditemukan, ternyata itu hanya ikan teri. Penghianat kelas kakapnya terlepas dari tangkapan, dan buku ini ditutup dengan dendam menuju target utama.
Manarik? Jelas, sungguh bagus ada buku karya anak bangsa sedinamis ini. Walaupun yah harus diakui, Tere tak menyajikan cerita original. Harus diakui pula di dunia ini tak ada yang original, semua pakai teori ATM-Amati, Tiru, Modifikasi. Coba tonton film Fight Club, 21, The Beautiful Mind, The Wallstreet, The Coruptor sampai Crash. Semua dinukil dan dirajut dengan cerita panas korupsi bank nasional yang bail out –nya mewarnai berita selama 5 tahun terakhir. Bahkan terang-terangan Tere menyebut ibu menteri, orang yang ditemuinya bersama Julia yang akan mengubah keputusannya. Juga angka talangannya 7T, walau akhirnya angka itu dimodifikasi Erik jadi hanya 1,5T. Tere bermain-main dengan fakta, dan di sinilah hebatnya dia. Luar biasa, salute bro!
Secara keseluruhan saya sepakat dengan beberapa review bahwa buku ini recommended buat dilahap. Saya membacanya dengan perseneling penuh, cepat sekali. Hanya dua hari di sela kesibukan semu di rumah. Saya bahkan meletakkan sejenak buku The Man Who Loved Book Too Much yang sudah kebaca separo, demi kenikmatannya. Dan sepertinya menyenangkan sekali mempunyai seorang kakek pencerita yang hebat, walau kisah yang dituturkan berulang kali sama layaknya kaset rusak. Di situ selalu ada hikmah. Seperti Opa yang terombang-ambing di atas perahu bocor dengan ketidakpastian, kita semua kini hidup di negeri para bedebah. Kita semua berjudi dengan masa depan. Tahun pemilu dengan segala janji manisnya? Bah!
Karawang, 020414