
“… manusia Indonesia itu berjiwa feodal. Meskipun salah satu tujuan kemerdekaan ialah juga membebaskan jiwa dari feodalisme, tapi muncul bentuk-bentuk baru feodalisme dan makin berkembang dalam diri dan masyarakat Indonesia…”
Sebuah ceramah pada tanggal 6 April 1977, dan buku ini abadi. Menyentuh cetakan kesepuluh (yang saya nikmati ini), dan hingga kini terus dicetak. Beberapa kali melihat cetakan baru terbitan Yayasan Obor, dan tak menutup kemungkinan terus dibuat. benar-benar buku yang berhasil. Pertama baca tentang manusia Indonesia tahun 2018 di buku Humanisme-nya Romo Mangun. Buku persehaman untuk Romo Mangun. Wah, berani sekali memberi gambaran warga kita dengan banyak detail minor. Dan benar saja, setelah membaca lengkapnya di sini, ternyata di tahun itu dan setelahnya menimbulkan polemik. Membayangkan polemik di tahun 1970-an, dengan surat-surat balasan di mesia massa sungguh aduhai. Surat demi surat di koran, kolom sastra, surat pembaca, sanggahan, hingga balasan kritik. Membutuhkan berminggu-minggu untuk menikmatinya, membutuhkan uang tunai untuk membeli koran, membutuhkan kesabaran. Klasik sekali, tak seperti sekarang segala informasi yang secara instan di dunia digital bisa menyebar bak virus. Cepat sampai, tapi juga cepat terlupakan. Mengutip kata-kata sobat saya Sahala, membaca tabloid Bola semua artikel dilahap, dan ingatannya permanen, tak seperti sekarang, kita membaca berita atas apa yang hanya kita inginkan, Google telah merusak memori?
Ada enam ciri dan lain-lain, serta gambaran masa kini yang menampilkan kenapa argumentasi itu perlu. Salah satunya ciri yang bisa kita terima secara umum adalah, “Orang tambah pandai menyembunyikan kata hatinya yang sebenarnya, perasaan yang sebenarnya, pikiran yang sebenarnya, dan malahan keyakinannya yang seungguhnya.” Tak perlu berkecil hati, lihatlah sinetron kita. Kata-kata dalam hati dinarasikan dengan nyaring!
Semantics yang sebenarnya bukanlah mencari makna kata-kata yang dijelaskan lagi oleh kata-kata lainnya, tetapi seperti yang ditulis oleh Pemenang Hadiah Nobel Bridgeman, seorang ahli nuklir, “Makna sebenarnya dari sesuatu kata hanya dapat ditemukan dengan meneliti apa yang dilakukan seseorang dengannya, dan bukan dengan apa yang dikatakannya dengan kata tersebut.”
Berikutnya yang juga bisa tampak nyata adalah, manusia Indonesia masih lemah dalam mengaitkan sebab dan akibat. Ditambah pula dengan sikap nrima, percaya pada takdir, pada ksimet, semua ini sudah bergitu ditakdirkan Tuhan, maka makin kendorlah proses logikanya. Kita mudah menerima hal-hal yang serba bertetangan (paradoks), dan maknnya bisa bermacam (ambigu), karena kita enggan melihat ciri-ciri yang saling bertentangan, dan kita cenderung mencari ciri-ciri yang saling komplementer. Bukankah hal-hal seperti ini sudah sering kita lihat di kehidupan sehari-hari?
Umpamanya kita mengatakan kita menegakkan hukum, tetapi pada waktu yang sama kita juga dengan senang memperkosa hukum. Atau yang lebih umum lagi, hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas, itu tak serta merta omong kosong. Apa yang disampaikan tak seperti apa yang diharapkan, tak seperti apa yang terjadi, tak seperti kenyataan! Bingung? Yah, seperti itulah apa adanya.
Mengganti nama tanpa perombakan sesungguhnya instansi juga sering kali kita lihat. Karena kita hanya menukar nama, tetapi tidak berbuat sesuatu apa untuk mengisi nama baru itu sengan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru. Namanya bertukar, semboyannya berubah, pada hakikatnya tidak banyak berubah. Kita masih dibelenggu oleh belenggu lama juga, hanya dengan merek baru.
Idealnya somboyan Jawa ini sepi ing pamrih, rame ing gawe, amemayu ayuning bawana (tanpa pamrih, kerja keras, memajukan dunia). Contoh Jamsostek, berganti nama BPJS, apakah pelayaan berubah? Apakah birokasinya berbenah? Mungkin hanya sedikit. Terus terang saja, warga tentunya lebih memilih pakai asuransi ke Rumah Sakit bila sakit dan bila punya, ketimbang BPJS yang diwajibkan, apakah itu karena pelayanan BPJS kurang Ok? Jelas dong.
Begitu pula. Bagaimana kita dapat menyelamatkan bahasa Indonesia dari segala rupa jargon, semboyan, kehampaan, kebasian, impresisi, keburukan dan kacau balau semantik? Bahasa asing menyerbu adalah keniscayaan. Kita tak punya konsepsi tentang waktu, bahwa waktu itu mengalir pergi dan setelah lewat dia tak lagi dapat ditarik kembali. Di buku ini seringkali disebut tahun 2000 yang akan datang, masa depan yang diprediksi, akan begini akan begitu. Kita sebagai generasi yang diramal itu, merasakan banyak kebenaran kata-kata sang Penulis. Ketika Bacon mengatakan bahwa tujuan manusia dengan pengetahuan ialah untuk “menganugerahkan hidup manusia dengan penemuan baru dan kekayaan.” Dan dia menganjurkan agar manusia… membina dan meluaskan kekuasaan dan penguasaan umat manusia terhadap jagat raya.
Ilmu adalah kekuasaan, dan kekuasaan tidak pernah netral. Siapapun yang memenagnya akan sulit untuk objektif. Dan agama di sini sungguh kental, Tujuan terakhir manusia adalah untuk mengabdi pada Tuhan. Namun banyak yang munafik, dengan tetap mementingkan materialistik ketimbang rohani. Kebutuhan akan mitos dan mistik memang merupakan kebutuhan hakiki manusiawi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman.
Banyak orang kini percaya bahwa teknologi itu satu sisi yang lain dari mata uang yang dinamakan modernisasi.
Tangapan-tanggapan. Pertama oleh Sarlito Wirawan Sarwono (Fakultas psikologi UI). Keras dan sangat menghantam. Bagaimana ia menyanggah segala hal negatif yang disampaikan. Poin pentingnya, ialah tidak semua argumentasi, termasuk argumentasi ilmiah, harus didasari oleh data penetian. Pengamatan subjektif dilakukan asal cukup tajam dan kritis seringkali sudah cukup memadai untuk menyusun analisis. Dan dengan dalil, “Saya hanya ingin mendudukkan masalah pada proposi yang sebenarnya, dengan meluruskan kepribadian Indonesia.”
Profil kepribadian manusia Indonesia yang digambarkan bukanlah tidak benar sama sekali, hal-hal yang dikemukakan banyak benarnya dan fakta yang tak terbantah.
Lalu ditanggapi dengan keras pula oleh Muchtar Lubis. Dalam memberikan gambaran secara umum tantang sesuatu soal, patut dipahami secara implinsit, bahwa selalu ada pengecualian. Jadi beliau memberikan gambaran umum saja, sifat-sifat ini tak serta merta seluruhnya. Contoh, ia bilang manusia Indonesia hipokritis alias munafik. Ya jangan langsung ngegas, tak semuanya. Kalau kamu manusia Indonesia dan tak munafik ya jangan tersinggung. Selalu ada pengecualian. Selow, ini sebagai referensi kak.
Kedua tanggapan dari Margono Djojohadikusumo, dan makin panas, sebab sampai bilang agak terlika sehingga mencoba menyingkirkan perasaan tersinggungnya. Ia mencerita bagaimana keluarganya mengabdi pada NKRI, berjuang untuk negeri sehingga sifat-sifat itu terbaca berat. Ditanggapi pula oleh sang penulis, lebih keras? Enggak, malah lebih selow kubaca.
Tanggapan ketiga oleh Wildan Yatim. Ini lebih condong pro, bagaimana Pertamina busuk di dalam, dan satelit Palapa boros sekali, menghabiskan dana milyaran padahal fungsinya sebentar saja, mending dialihkan ke dana pendidikan negeri, misalnya. Dan seterusnya, kukira ini tanggapan yang manusiawi dan lebih bagus dalam merespons masalah.
Dan terakhir dari Dr. Abu Hanifah lebih ke sifat umum, menilik sejarah perjuangan kemerdekaan, hingga suku-suku kita yang beragam sehingga ciri mencolok itu tentunya ada, dan sekali lagi ini sifat umum. Sifat orang Jawa contohnya yang terkenal santai, atau Batak yang keras, dst.
Ingat, Italia pernah punya penulis keren nan sinis terhadap manusia, Machiavelli yang bilang “Siapa yang akan mendirikan suatu negara yang teratur, harus mulai dengan asusmi, bahwa semua manusia itu pada hakikatnya jahat, dan pada waktu tertentu sedia memperlihatkan sifat jahatnya, di mana saja ia mendapat kesempatan.”
Dan ditutup dengan tanggapan sang penulis, langsung dua. Well, apapun itu saya senang saja mendapati pendapat dan sanggahan disampaikan dengan seru seperti ini. Saya tak mencantumkan secara keseluruhan sifat manusia Indonesia di sini, agar kalian mencari dan menikmati bukunya. Jelas recomended!
Manusia Indonesia: (sebuah pertanggungjawaban) | by Mochtar Lubis | Jakarta, 1977 | Cet 10, Jakarta: Haji Masagung, 1993 | iv, 134 hlm.: 21 cm. | ISBN 979-435-000-1 | Penerbit CV. HAJI MASAGUNG (eks Penerbit Gunung Agung, Penerbit PT Inti Idayu Press, dan Penerbit Yayasan Masagung) | Gambar sampul G.M. Sudarta, Kompas, Jakarta | Skor: 4.5/5
Karawang, 050522 – Adele – Hello
Thx to Der Son, Jakarta
#5 #Juni2022 #30HariMenulis #ReviewBuku