Tiya


“Ya, Tiya, inilah kehidupan, jika kau menganggapnya biasa-biasa saja, kau tetap hidup, tetapi bila kau menganggapnya terlalu serius, kau binasa.”

Mendayu-dayu penuh petuah. Melimpah ruah, sampai membuat mual. Dasar cerita begitu lemah sehingga, hikmah cerita yang sejatinya harusnya jadi tambahan buku malah jadi landasan untuk jadi tulang punggung. Ini salah, dan tak terlalu berkesan. Dengan label the Alchemist-nya India, apa yang disampaikan memang mirip. Dalam artian, hikamh cerita dan kutipan-kutipan bijak lebih menonjol ketimbang inti cerita. Dan itu salah. Kaau The Alchemist tentang syukur dengan pemburuan harta karun sebagai cerita, di Tiya temanya juga syukur dengan pencarian makna hidup sebagai bekingnya. Sama-sama menawarkan cerita pengembaraan, berpetualang keluar dari rutinitas, yang didapat adalah tekanan hidup, kerasnya kehidupan. Dengan berpulang, orang-orang sekitarlah yang patut disyukuri. So, remaja atau seekor burung, sama saja. Ini tak lebih dari cerita lemah dengan nasehat membuncah.

Kisahnya tentang burung beo bernama Tiya yang bosan di rumah pohon besar Beringin rindang. Bosan akan rutinitas sekalipun punya banyak teman dan tetangga baik-baik. Suatu hari ia mendapati suara antah tak berwujud, sebut saja ‘Han’, yang membisikkan rencana keluar kandang. Berpetualang, melawan dunia. Mengajak terbang ke dunia liar. Entah itu suara tuhan atau suara setan, Hans lantas menjadi pembimbingnya. Sesekali suaranya muncul memberi tahu tindakan apa yang pantas dilakukan dan apa yang patut jadi solusi. Di sini burung dan hewan lainnya bisa berpikir, berkomunikasi, dan menjalin sekutu. Jadi jelas ini fabel dengan kearifan Timur. “Aku penasaran ingin melihat Tuan Hans, tapi belum terlalu ingin melihatnya, maka taka da yang terjadi. Itu Hans, hanya dengan memikirkannya dia hadir di sana. hans, kau imajener.”

Tiya dengan keberanian samar terbang ke tempat antah. Meninggalkan pohon beringin! Itu rasanya adalah sesuatu yang berat untuk ditanggung. Ada lebih banyak kehidupan daripada di pohon ini. Ketika kau memulai, sisanya akan mengikuti. “Mengapa kau ingin terbang dari rasa aman menuju ke keadaan yang tak aman?”

Kunjungan pertama Tiya adalah sebuah lapangan raksasa dengan anak-anak bermain bola, terjadi kericuhan dengan teriakan curang berulang. Lalu mereka berhenti gaduh saat melihat Tiya, mendekat lalu mencoba mengambil bulunya. Tiya kabur sebelum jadi korban buruan. Mengejutkannya, menjadikannya takut akan manusia.

Kedua ke sebuah daratan yang terang, penghuninya bercahaya, menyebut atau memperkenalkannya sebagai Fay. Godaan muncul sebab ini sungguh memberi kenyamanan. Kerumunan Fay itu menjadikan Tiya sebagai tamu istimewa. Tapi hanya sementara, sebab ternyata cahaya itu berisi sisik-sisik tajam menyakitkan. Mereka berpelukan dalam luka.

Dan seterusnya. Dari satu komuni ke komuni lain, dari satu masyarakat satu ke masyarakat lain. Semua memberikan nasehat makna hidup, memberi pelajaran akan pentingnya kebijakan, syukur, sampai kesabaran. Semuanya template tentang itu, tak lebih. Makanya setiap Tiya kejepit akan mampus, percayalah ia akan selamat. Ia akan terbang k eke tampat lain untuk mengambil hikmah kehidupan, memberinya pengalaman, mengajarkan kepada kita bahwa hidup keras, maka bersyukurlah.

Jadi apa yang bisa kita ambil hikmahnya? Jalani aja hidup, ngalir. Tiya hanya representasi manusia labil yang mencari jati diri. Cocok untuk usia awal 20an atau remaja yang sedang bersiap merantau. Untuk manusia usia di atas 30, seharusnya sudah setle dengan keadaan, hanya bisa menasehati, hanya bisa memberi wejangan kaum muda.

Saking banyaknya nasehat atau kutipan, sampai pengen muntah, sampai menjurus muak. Saya ketik ulang saja sebagian yang bisa saya tangkap.

Ada lebih banyak hal penting di dunia ini daripada idealisme yang tak berguna.

Aku terbang meninggalkan pohon beringin menuju tempat yang tak kuketahui – melwati tempat entah berantah – mencari entah apa.

Dituntun oleh masa laluku, didorong oleh keberadaanku dan ditarik oelh masa depanku, aku terbang mencari sesuatu yang tak kuketahui.

Aku terus terbang meskipun perang batin itu memperlambat kecepataku.

Di belakangku adalah anak-anak pengacau, dan di depanku adalah ketidakpastian. Maka, aku terus terbang.

Aku telah mendarat di daratan yang indah. Sebenarnya daratan yang indah sempurna.

Apa pun yang lebih dari itu tak ada maknanya; dan apa pun yang kurang dari itu, tak akan mengurangi kemegahannya.

Membunuh makhluk lain atas nama cinta dan persahabatan adalah aktivitas favorit di waktu senggang mereka.

Kemarahan meniupku seperti balon. Aku adalah burung yang bebas – bebas bertengger, mengobservasi atau berkicau.

Keberadaannya yang tak berwujud menenangkanku dan nasihatnya menyelamatkanku dari kekakuan yang lebih lagi.

“Tak ada satupun makhluk yang aneh, Tiya. Kita menghadapi apa yang kita ciptakan, dan kita menciptakan apa yang kita inginkan. Tak ada satu pun pengalaman yang sia-sia dalam hidup ini.”

Kita merasa kasihan pada segala sesuatu di sekeliling kita dan meneteskan air mata bagi mereka. Inilah cara kita melayani tuhan.
Sukacita atas kesuksesan mereka berada pada kesenangan mereka karena kejatuhan yang lain.

Tempat itu memiliki kekuatan untuk memenjarakan setiap pikiran dan membatasi kemampuannya untuk merasa dengan benar.
Seperti kejadian-kejadian sebelumnyam aku mulai berfilosofi. Inilah hidup, pikiranku, jauh-jauh kau pergi untuk menyelamatkan seseorang tapi malah terjebak sendiri.

Tetaplah tak acuh, keterlibatan membunuhmu, ketidakpedulian membebaskan.

Aku juga tidak melarikan diri dari kata-katanya, atau pengejeknya seperti dulu.
Melekat pada satu pengalaman akan membatasimu. Endingnya sendiri sudah sangat ketebak. Balik lagi ke pohon beringin bak seorang tua yang sudah petualang ke segala tempat, menekuri usia senja, menjadi tetua yang memberi wejangan kepada burung-burung lain di pohon tersebut. Sebuah representasi kehidupan manusia yang berani merantau, pulang selamat dengan segudang cerita. Tak lebih… seperti kata Hans, “aku bisa meraih jauh lebih banyak dari yang kupikirkan.”

Tiya | by Samarpan | Diterjemahkan dari Tiya: A Parrot’s Journey Home | HarperCollins Publishers Indioa, 2009 | Penerjemah Meidyna Arrisandi | Penyunting Dhewiberta | Perancang sampul Tyo | Ilustrasi isi Nida | Pemeriksa aksara Neneng Fatimah | Penata aksara Gabriel | Penerbit Bentang | Cetakan pertama, November 2010 | x + 194 h; 20.5 cm | ISBN 978-602-8811-14-9 | Skor: 3.5/5

Karawang, 160524 – Etta James – Don’t Explain

Thx to Ade Buku, Bdg

Tour de Sanggabuara Part 02


“Dari bawah sampai ke atas enak banget ya, sampai di atas langsung bleek… tidur, makan. Terima kasih.” – Babeh (50 tahun)

“Trip pertama didedikasikan buat 9 tahun berkarier di NICI. Keren viewnya, tracknya lumayanlah. Nanti nest trip, dua kali dari ini masih kuat.” – Rayen

“Dua kali ke Sanggabuana. Bulan Mei 2023, bulan Mei 2024. Alhamdulillah, lancar semuanya dan benar-benar menyenangkan. Terima kasih.” – LBP

Kembali lagi ke sini, 11.05.24. Setahun lalu, 14.05.23. Tak sengaja sebenarnya, hanya mood dan bujet kok ya pas per tahun. Sejatinya, kata-kata ‘naik gunung lagi setelah Lebaran’ adalah kalimat rancu, sebab setelah Lebaran terlalu luas, bisa April, Mei, Juni, dst, sehingga opsinya tak terbatas. Maka pertengahan April setelah kembali aktif bekerja, ingin gegas. Dan karena bujet besar sudah dijadwalkan akhir bulan Mei ke Gn Gede, awal/pertengahan ini yang tipis-tipis saja. Dan jadilah ke gunung kota sendiri, Gn Sanggabuana.

Mulanya, adalah M Iqbal yang mengusulkan pengen ke Sanggabuana lagi. Saya iyakan, tapi karena awal bulan ada acara lain (futsal Lazio Karawang), ditetapkan 11. Kita naik Sabtu agar Minggunya bisa istirahat. Mulanya dalam grup Tour de Sanggabuana ada tiga, sama Babeh (50 tahun) yang rencana sampai di curugnya saja kalau kecapekan. Lalu Rayen fix join. Berdua, bertiga, berempat Ok, ramai-ramai Ok, yang penting nanjak!

Sayangnya, Senin, 6 Mei Iqbal info cancel sebab ada acara antar Om-nya naik Haji. Tinggal 3, rencana cewek-cewek join, Icha dan Leni sempat mengapung, tapi H-1 gagal. Pak Irawan juga sempat akan join, tapi karena mobilnya di bengkel, kita kembali ke 3 orang. Yo wes, bertiga aja. Rayen dari Bekasi naik mobil langsung ke sana, saya dan Babeh (50 tahun) naik motor berangkat dari rumahku jam 06:00. Rencana ketemu di sekitar Pasar Loji, rencana sebelum jam 08:00 mulai nanjak.

Hari H, jam 05:30 Babeh (50 tahun) sudah berucap salam di depan rumahku. Yah, belum mandi, belum ngopi, belum menyiapkan sarapan. Saya ajak sarapan telur dadar, teh hangat. Saya ngopi, dan menyiapkan barang-barang. Saya pakai tas carier baru 45L (Alhamdulillah Ok juga). North Face kw warna hitam. Walau tektok, saya coba banyakin barang bawaan, trial untuk akhir bulan nanti. Bawa peralatan dan makanan/minuman apapun yang sudah dicatat. Karena tektok, catatan ga banyak, saya catat ulang di sini:

Pakai baju olahraga atau yang mudah menyerap keringat, boleh lengan panjang/pendek. Celana sama, yang penting mudah gerak, jangan celana jins. -> saya pakai jersey Lazio 95 sponsor Cirio, celana training panjang karena adanya itu.

Pakai topi jika mau. Pas berangkat topinya ketinggalan di sepeda listrik, justru peci biru yang kebawa.

Membawa obat-obatan pribadi. Counterpain/hot cream/molakrim. Karena saya punyanya molakrim sisa ke gunung Lembu ya saya bawa. Baiknya hot cream lebih keras (akhirnya pakai punya Rayen). Kalau ada betadine, hansaplas, vitamin boleh dibawa.

Bawa makanan: roti, cokelat, snack macam-macam. Saya bawa roti bag 15.000 isi 5 lay. Cokelat sudah kubeli, drama di Alfamart entah ketinggalan di kasir atau jatuh, punya yang kecil di kulkas lupa kebawa. Bawa kacang atom dan kuaci buat ngemil di puncak.

Makan siang, saya masak telur, dioles sambal, bawa ikan asin, dan lauk cacahan daging. Pakai boks plastik, sendok plastik biar langsung dibuang.

Minuman. Nah ini, pengalaman beberapa gunung sebelumnya saya bawa 1 lliter: 2 pcs sebab bakalan habis. Plus bawa 500ml isotonik dan tumbler 500ml. Air teh panas bertumbler, sayangnya sampai pos 1 sudah tak hangat.

Pokoknya bawa minuman yang banyak.
Bawa masker, jaga-jaga berdebu. Terutama sebenarnya buat dipakai selama perjalanan naik motor, jalanan Loji berdebu.

Sunkrim. Saya bawa citra kecil, sisa dari Lembu. Tak terpakai, di Lembu banyak nyamuk dan bikin gatal. Di Sanggabuana, hanya berat-beratin tas.

Sepatu gunung. Saya belum punya, punyanya sepatu lari. Yo wes, saya pakai itu. Karena sudah hapal tracknya, aman.

Membawa tracking pole. Saya belum punya, dan biasanya bawa kayu nemu di hutan saja. Idealnya punya, sempat cari di Tokped, ada yang harganya 50k, nanti beli.

Membawa jas hujan disposable. Sudah punya ini item sejak dari Malang 2018, belum dipakai sampai 2024, haha… alhamdulilah selama ini nanjak tak sampai kena hujan.

Membawa baju ganti. Nah ini wajib sebab yang namanya nanjak pasti baju penuh keringat. Dulu saya bawa 2. Satu buat ganti di puncak, 1 di basecamp sebelum pulang. Namun setelah beberapa kali, selama tektok saya bawa 1 saja pas ganti sampai di bawah. Jadi pas nanjak dan turun sekalian basah dan kotor. Sempat bawa celana dalam dan celana ganti, jaga-jaga kena hujan. Ternyata ga dipakai.

Hp cas full sejak pagi. Powerbank juga full saat dibawa buat jaga-jaga. Kepakai pas dari basecamp ke perjalanan pulang cari mie ayam, lumayan nambah 20%.

Bawa headset, buat jaga-jaga bila boring dan mau dengerin musik. Tak terpakai.

Bensin motor sudah isi full, hanya 35k. Nantinya hanya kurang 1 garis. Istirahat yang cukup, saya sudah mapan tidur jam 22:00 tapi malah ga bisa tidur setengah jam kemudian, kupaksa main HP biar ngantuk, baru bisa lelap jam 23:00. Alarm subuh masih ngantuk, baru bangun jam 05:30 main COC bentar, Babeh (50 tahun) datang.

Jam 06:10 kita berangkat, sempat hujan bikin was-was. Estimasi 1 jam 15 menit, hanya 40 kilometer. Pas berangkat tinggal rintik, paksa jalan aja, di KIIC terang. Perjalanan enak sekali pakai motor baru, wuuuzz… tanpa khawatir mogok/error. Janjian di Alfa setelah Pasar Loji, jam 07:00 ketemu. Setelah pasar Loji ada dua Alfa, jadi cocok buat ketemuan. Setelah pasar, sekitar 200 meter, dan dekat Kostrad. Parkir luas, jadi tidak khawatir kalau bawa mobil. Babeh (50 tahun) ikut mobil dari sini. Saya motoran di depan, karena sudah pernah, jadi lancar tanpa sekalipun nyasar. Jam 07:45 sampai parkiran. Banyak warga nongkrong, banyak ojek sampai ke basecamp. Kita jalan kaki sahaja.

Ini track terberat ke Sanggabuana menurutku. Dari parkir ke basecamp tiket, permulaan naik langsung dihajar nanjak panjang, licin. Sesekali motor lewat. Sesuai rencana, jam 8 kudu sudah di basecamp. Bayar tiket 10k per orang, isi formulir 1 orang saja, pakai KTP sebab ada data nomor KTP. Foto-foto. Berangkat!

Mula-mula asyik saja, ikuti rute, ikuti petunjuk. Ada kerbau sedang membajak sawah, ada pohon kelapa menjulang, burung-burung berceloteh, ada mushola. Buang air kecil di sini free. Dekatnya ada aliran air segar melimpah. Kanan kiri pohon, jalanan berbatu, beberapa kali istirahat minum, makan kacang. Babeh (50 tahun) minum susu beli di warung sebelum basecamp (5k). Sampai di saung abah (dekat makam) pukul 09:00. Di sini air minum 1 Liter habis. Lanjut lewati kebun kopi, rumah warga, ada beberapa motor terparkir bukti bahwa kendaraan bisa sampai sana. Akhirnya sampai di pos 1 di Air Macur Kejayan pukul 09:30. Setelah istirahat bentar, foto-foto di ‘Tanjakan 2 Jam’ kita lanjut.

Mulai dari sinilah track nanjak terus. Babeh (50 tahun) mulai kewalahan. Ia mengeluhkan pengaturan napas, kalau kaki tak masalah. Yo wes kita ikuti ritmenya. Di sini suara didominasi suara tenggoret. Ada pohon pisang, ada pohon usia ratusan tahun menjulang, banyak tanaman asing, beberapa berdaun biru, berdaun lebar sekali, berbunga biru, sampai tanaman seperti lumut tapi berbentuk daun memanjang. Track tak ada yang sulit, hanya nanjaknya konsisten saja.

Dapat bonus 5 menut track landai sebelum pos 2. Napas sudah ngos-ngosan, sekali lagi kami ikuti ritme Babeh (50 tahun). Saat ditemukan saung pertemuan banyak jalur, kita istirahat lagi lumayan lama. Sayang bangunannya tak terawatt, banyak sampai, penuh coretan. Sepi. Lanjut ketemu makam lagi, pos 2 pukul 12:00. Di sini tak lama sebab memang buat santuynya justru tak ada.

Dari sini saya sudah tahu, puncak takkan lama lagi. Hanya beberapa meter, belok kanan kiri sampai. Dan benar saja, pukul 12:29 kami towndown puncak. Alhamdulillah… di puncak ada beberapa pendaki yang sedang syuting, berbaju pramuka. Ada beberapa warga lokal yang menyapa, sopan dan bagus. Babeh (50 tahun) karena lapar, langsung pesan makan siang pakai telur dadar dan ikan asin bersambal (15k), saya buka bekal makanan, Rayen tak makan siang, hanya ikut icip telur, dam makan snack. Bekal snacknya banyak. Pesan kopi kapal api 2 (14k). Sebenarnya kurang suka ngopi dalam kondisi lelah sebab jantung akan terpacu, tapi timingnya enak sekali, mana habis makan siang. Yo wes ikut. Berikutnya santuy di puncak.

Babeh (50 tahun) sudah kenyang, pules sekali tidurnya sampai ngigau. Kami maklumi. Saya sendiri tidur-tidur ayam, lumayan capek juga. Rencana jam 14:00 jalan. Di puncak ada banyak makam, memang tempat ziarah. Ada mushola dan toilet, tapi tak ada air bersih. Saya pakai air minum, air kencing lelah warna kuning, dan setelahnya malah anyang-anyangen. Mungkin karena perjalanan jauh, makan minum aneh-aneh.

Ke puncak Sanggabuana ada dua jalur, jalur umum ya via Loji yang kami lewati. Satu lagi jalur Bogor, via makam China. Saya sempat cek jalurnya sisi lain. Belum pernah ke sana. Berdasar Mbah yang menyapa dan ngobrol sama kami, Sanggabuana dimiliki 4 kabupaten: Karawang, Cianjur, Purwakarta, dan Bogor. Warga tinggal di puncak, dan hanya sesekali turun kalau ada acara. Bagaimana dengan sinyal? Beberapa titik ada, di mushola itu ada sinyal. Jadi begitulah kalau ada berkabar ke sana. Tak ada listrik, ada tenaga diesel. Kalau weekend banyak yang ngecamp, atau tidur saja di tempat tidur yang disediakan. Free, tapi kudu beli makanan. Kurasa harga-harganya wajar semua.

Jam 14:00 persiapan turun, foto-foto, video depan plang Sanggabuana. Dan ternyata Rayen mendedikasikan nanjak perdana ini untuk merayakan 9 tahun di NICI. Saya yang registrasi, Babeh (50 tahun) yang siapkan pakaian kerja. Luar biasa! Cara anniversary yang keren. Dari kami bertiga, hanya dia yang tampak tak ngosn-ngosan. Setelah mendengarkan desir angin sepoi-sepoi, menikmati kesunyian. Jam 14:20 kami berangkat turun.

Hebatnya, Babeh (50 tahun) setelah istirahat cukup, langsung gas terus seolah lari. Baterai sudah full, luar biasa. Kami turut senang, menyaksikannya bersemangat. Justru saya yang kali ini kewalahan, dengkul kalau diajak turun cepat-cepat sakit. Beberapa kali istirahat, menghabiskan snack, minuman isotonic habis, dan yang utama oleskan hot cream. Dengkul kanan senut-senut saat di pos 2. Saat istirahat, Babeh (50 tahun) lihat lutung terbang dari satu pohon ke pohon lain, saya karena tak pakai kacamata tak bisa lihat jelas.

Selama perjalanan turun papasan sama banyak pendaki naik, mayoritas jelas akan nginep. Beberapa orang tua, mayoritas anak muda. Sampai di pos 1 pukul 15:30. Babeh (50 tahun) kehabisan air minum, beli 500ml Vit (5k). Sempat berdebat, bagaimana motor bisa sampai di Air Mancur Kejayan? Rayen dan Babeh (50 tahun) bilang ada jalur lain, saya enggak ah, kalau ada jalur lain berarti lebih landai jadi laik kita lalui. Perdebatan selesai, saat di kampung warga ada jalur ke kiri, nah ketemu. Oiya…

Sampai di basecamp pukul 16:15. Setelah salat Asar dan Duhur dijamak takhir, kami jalan santuy menuju parkiran. Sempat istirahat di jembatan, oleh hot cream lagi sebelum akhirnya sampai di parkiran pas jam 17:00.

Alhamdulillah… naik pukul 07:45 jadi sekitar 9 jam kami mengulik Sanggabuana. Parkir mobil 20k, motor 10k. kami turun cari mie ayam
Setelah lewati Pasar, beberapa kali menemukan mie ayam tapi parkiran kurang enak. Baru nemu seberang jalan. Saya dan Rayen pesan 1 bakso 1 mie ayam, es teh poci, air mineral, butuh yang segar. Sayangnya bakso telur pesananku zonk, dapat bakso mercon. Haha… asem, capek-capek kepedesan. Dari sini, Babeh (50 tahun) kembali bareng saya. Ikuti Maps, via KIIC, dan sampailah di rumah 19:03. Lancar segalanya. Capek, senang.

Untung besok Minggu.

Karawang, 150524 – Blossom Dearie – Once Upon a Summertime

Thx Babeh (50 tahun), Rayen.

April 2024 Baca

“Ada lebih banyak kehidupan daripada di pohon ini. Ketika kau memulai, sisanya akan mengikuti.”

April berlalu dengan gegap gempita Lebaran. Disajikan dengan kepadatan waktu kumpul keluarga dan hilir mudik ke Solo. Yang namanya bahagia, waktu terasa lambat. Senang bisa kumpul sama keluarga, maka kegiatan membaca buku menjadi opsi ke sekian ketika bercengkerama keluarga. Satu buku yang terdengar hebat dan saat dibaca betul-betul hebat, adalah Annemarie Schimmel. Idola lama yang tetap menyala.

1. Tiya by Samarpan

Mendayu-dayu penuh petuah. Melimpah ruah, sampai membuat mual. Dasar cerita begitu lemah sehingga, hikmah cerita yang sejatinya harusnya jadi tambahan buku malah jadi landasan untuk jadi tulang punggung. Ini salah, dan tak terlalu berkesan. Dengan label the Alchemist-nya India, apa yang disampaikan memang mirip. Dalam artian, hikamh cerita dan kutipan-kutipan bijak lebih menonjol ketimbang inti cerita. Dan itu salah. Kaau The Alchemist tentang syukur dengan pemburuan harta karun sebagai cerita, di Tiya temanya juga syukur dengan pencarian makna hidup sebagai bekingnya. Sama-sama menawarkan cerita pengembaraan, berpetualang keluar dari rutinitas, yang didapat adalah tekanan hidup, kerasnya kehidupan. Dengan berpulang, orang-orang sekitarlah yang patut disyukuri. So, remaja atau seekor burung, sama saja. Ini tak lebih dari cerita lemah dengan nasehat membuncah.
“Mengapa kau ingin terbang dari rasa aman menuju ke keadaan yang tak aman?”

2. dan Muhammad Utusan Allah by Annemarie Schimmel

Buku ketiga Annemarie Schimmel yang kubaca setelah Dunia Mistik Islam yang keren banget itu, dan Nama-nama Islam yang standar. Ini jelas sebuah biografi yang meletup indah. Dilihat dari sisi penulis tasawuf, sehingga Nabi SAW jadi terlihat makin keren dengan segala mukjizatnya.

3. Lain Waktu by Hilmi Abedillah

Buruk. Ini yang saya maksudkan, buku ngadik-ngadik, kebanyakan gaya, inginnya besar dengan menyebut orang-orang besar, ceritanya bah. Payah sekali. Maksudnya bagus, menghadirkan khazanah sastra dengan menyebut banyak tokoh dunia, disatukan, diabsurdkan, tapi apa daya tak sampai. Lemah segala-galanya. Perpaduan tokoh asing dan lokal sungguh buruk jadinya, lintas generasi lintas waktu, menembus apapun yang bisa diketik tangan seolah ngasal. Bayangkan saja semua tokoh ini diaduk-aduk: Columbus, Srikandi, Bill Gates, Nawangwulan, Marco Polo, Margaret, Gil D. Roger, Sisilia, Elizabeth, Siti Hajar, Varco da Gama, Margono, Geronimo, Kenshin, Pak Dhe dan Bu Dhe, dst. Nama-nama tenar lintas generasi disatukan? Hadeh…
“Aku benar-benar telah jatuh, Srikandi. Sepasang mataku tidak lagi melihat.” / “Seperti cinta itu buta?”

4. Muhammad Ali: Biografi by Thomas Hauser

Kita semua tahu betapa hebat Muhammad Ali, the Greatest. Sudah sangat banyak tulisan tentang petinju yang pernah menolak panggilan wajib militer perang ke Vietnam ini sehingga gelar juaranya dicopot, dan ia dipenjara, izin tandingnya dicekal. Lantas dunia mencatat kehebatannya. Buku ini dapat. diambil dari banyak sumber, Thomas Hauser sendiri adalah seorang wartawan sekaligus sahabatnya sehingga terasa dekat. Banyak saksi hidup, dan ini bisa jadi artefak perjalanan Ali. Salut! Ada bagian yang tebal isinya kutipan Ali atau orang-orang yang bersentuhan.

5. Blue Willow by Doris Gates

Ini adalah cerita anak dengan mengedepankan narasi ketimbang isi cerita. Narasinya bagus, mengalir dengan detail menyenangkan dalam bayang. Air mengalir di sela-sela memancing ikan lele, pohon-pohon berdesir dengan pemandangan perkebunan hijau. Pondok terdapat di tengah hijau daun, langit tampak cerah, dst. Namun untuk cerita, jelas kurang oke. Semua karakter jelas hitam-putihnya. Siapa baik, siapa jahat, dengan alur yang mudah ditebak, si baik akan mengalahkan di jahat. Yang baik akan unggul pada akhirnya. Mungkin bermaksud memberi buku anak dengan hikmah membuncang, tapi ya sekadar itu. Sedang ilustrasinya sungguh biasa. Dicetak hitam putih, gambarnya kurang rapi dan tampak masih kasar.

“Ayah percaya ada banyak hal yang menjadi pelengkap bagi kebutuhan makan dan tempat tinggal. Membaca adalah salah satunya.”

Karawang, 140524 – Teri Thornton – Where Are You Running?

Lain Waktu


“Aku benar-benar telah jatuh, Srikandi. Sepasang mataku tidak lagi melihat.” / “Seperti cinta itu buta?”

Buruk. Ini yang saya maksudkan, buku ngadik-ngadik, kebanyakan gaya, inginnya besar dengan menyebut orang-orang besar, ceritanya bah. Payah sekali. Maksudnya bagus, menghadirkan khazanah sastra dengan menyebut banyak tokoh dunia, disatukan, diabsurdkan, tapi apa daya tak sampai. Lemah segala-galanya. Perpaduan tokoh asing dan lokal sungguh buruk jadinya, lintas generasi lintas waktu, menembus apapun yang bisa diketik tangan seolah ngasal. Bayangkan saja semua tokoh ini diaduk-aduk: Columbus, Srikandi, Bill Gates, Nawangwulan, Marco Polo, Margaret, Gil D. Roger, Sisilia, Elizabeth, Siti Hajar, Varco da Gama, Margono, Geronimo, Kenshin, Pak Dhe dan Bu Dhe, dst. Nama-nama tenar lintas generasi disatukan? Hadeh…

Kisahnya acak, jadi tak perlu risaulah apa yang terjadi. Ngalir saja sebab sedari pembuka saja, para tokoh mau ke mana atau ngapain sudah tak penting. Jadi jelas, ini gagal menautkan emosi pembaca. Gagal total. Tak ada khawatir-khawatirnya, tak ada rasa was-was, bahkan di pertarungan epic Margono dan Kenshin melawan ratusan pasukan Indian, feelnya hilang. Berakhir mati atau tidak sudah tak perlu kita pedulikan, walaupun akhirnya mati sesuai harapan pembaca, tetap lenyap feel itu.

Perjalanan yang dimaksud Pak Dhe menjemput Columbus, lalu malah Pak Dhe mati di jalan karena usia tua nan lelah juga sudah terasa hambar. Keluarga? Apa itu keluarga? Harusnya ada susunan pondasi dulu, membangun tautan dengan pembaca, tapi jelas tidak, Lain Waktu simpang siur seenak penulis arahnya. Zig-zag tak jelas. “Kita telah saling berguru dan bermurid selama satu bulan setengah. Tepatnya empat puluh satu hari. bagaimana kalau kita berhenti?”

Termasuk diskusi uang, adakah yang tak terbeli di dunia ini? kalau disusun pas, kutipan ini bakalan bagus. “Keluarga, waktu, kesetiaan, kebersamaan.” / “Kenapa? Kenapa hal semacam itu tidak bisa dibeli uang?” / “Um… mungkin saking berharganya.” / “Makanya, jangan bertuhan kepada yang ada di genggaman. Karena mungkin saja ia menyesatkan.” “Hal yang tidak bisa dibeli uang adalah… hal-hal yang tidak dijual.” Mereka berdua sama-sama lahir pada tanggal 25. Dua angka yang hampir simetris, sering disebut kakak beradik.

Kurasa endors Candra Malik satu lembar itu sekadarnya, sejenis basa-basi. Kurasa endors Ahmad Tohari di sampul belakang juga ala kadar. Ingat kata unik bisa bermata dua, bagus dan buruk. Jadi malah jadi lubang kritik untuk dipermak. Jadi apakah kita perlu mengkhawatirkan nasib para karakternya? Tidak. Jadi seberapa penting? Kurasa kali ini jawaban Pak Dhe tidak relevan, “Sepenting kau berobat ke dokter ketika sakit.”

Ini adalah buku pertama Hilmi yang kubaca. Kubeli hanya karena taglinenya novel absurd, yang dalam bahasa Indonesia artinya mustahil, tidak masuk akal, menjurus ke menggelikan. Bisa jadi benar sebab memang segalanya simpang siur, dan karena itulah malah benang merahnya kabur, tak jelas mana sudut pandang yang pantas untuk dipantau pembaca. Tak mengapa, sah-sah saja. Walau begitu, jelas jenis novel seperti ini lebih baik ketimbang novel remaja labil mengkhawatirkan cinta, atau chicklit wanita dewasa yang terhempas cinta.

Walau ini novel buruk, saya tak kapok untuk menikmati buku Hilmi yang lain, kalau ada kesempatan. Semoga muncul hal itu, mohon maaf review ini bila tak berkenan. Sukses terus ke depannya untuk tulisan yang lebih baik. Thx.

Lain Waktu: Sebuah Novel Absurd | by Hilmi Abedillah | Copyright 2019 | Penerbit Elex Media Komputindo | Tata letak Kum@art | Desainer sampul Erson | 719031429 | ISBN 978-623-00-0815-3 | 978-623-00-0816-0 (Digital) | Skor: 2.5/5

Untuk NDF

Karawang, 090524 – Kevyn Lettau – Love You Madly

Thx to Richelle Bukoe, Bekasi

Last Letter


“Kamu melukis untuk orang lain? Atau supaya dipuji orang bahwa lukisanmu bagus? Jangan pernah berpikir begitu, lukislah apa saja yang kamu suka!”

Gadis itu bernama Aya Kito, lahir dan tumbuh normal sampai SMP. Ceria, berbakat, dan memiliki semangat belajar begitu tinggi. Sampai suatu ketika di usia 16 tahun, kelas 2 SMP tiba-tiba menderita penyakit langka spinocerebellar degeneration. Seketika, kehidupan berubah. Bolak-balik rumah sakit, walau akhirnya tetap berhasil lulus SMP, ia masih bisa lanjut SMA pada umumnya. Namun di tengah jalan, penyakitnya makin parah sehingga terpaksa ke sekolah khusus, yang otomatis memutus persahabatan dengan teman sebaya. Dari situlah surat-surat itu lahir. Totalnya ada 58. Dikirimkan kepada teman-teman sekolahnya, ditulis di rumah dan di rumah sakit. Mayoritas tentang kerinduan akan pertemuan normal. Berjumpa kawan-kawan lama, menanyakan kabar dan perkembangan dunia, sampai pesan-pesan khusus untuk terus terhubung.

Latar utama tahun adalah 1980-an di mana teknologi belum secanggih sekarang. Masih model kirim-kiriman surat, maka terkumpullah semuanya dalam buku ini.

Beberapa saya kutipkan di sini: “Sebenarnya, nilai seorang manusia itu ditentukan dari apanya sih?” Ini menunjukkan betapa dirinya yang dalam keseharian menggunakan kursi roda memertanyakan nilai kehidupan. Apakah yang salah dengan dirinya, apa yang salah dengan sakitnya?

Lalu, “Hanya saja, seseorang pernah berpikir untuk menghentikannya. Menulis, berpikir seperti itu, rasanya aku jadi tak mau melepaskan kuas dari tangan.” Ini menunjukkan bakat menulis dan melukisnya. Suka membuat sketsa, suka mencurahkan kegalauannya dalam tulisan. Ada satu curhatannya yang dibukukan, tulisan panjang berjudul ‘1 Litle Teardrops’ yang akhirnya diadaptasi drama TV. Dan itu menjadikan kisah sedihnya menjadi terkenal, baru buku ini menyusul.

Ada juga ‘nasehat’nya, “Lakukanlah kesia-siaan. Dengan begitu, kita akan menikmati apa artinya tahu (belajar).” Dengan melakukan kesalahan atau sesuatu yang menyimpang, maka aka nada waktu berbenah, dan itu memberikan kesempatan untuk belajar. Belajar tak melulu di sekolah, dari lingkungan sekitar jelas perlu. Dan itu menjadi titik penting untuk bersabar. Dunia berjalan dengan anehnya, maka Aya dengan jiwa remajanya yang meluap, menyajikannya dalam cerita. Lakukan, dan kamu akan mengerti.

Satu lagi, “Aku bukannya tidak bahagia. Aku dikelilingi banyak cinta.” Ini menjadi dasar utama bahwa ia dicintai, memberinya semangat hidup untuk terus bertahan. Sahabat-sahabatnya memberi semangat, memberinya kunjungan-kunjungan baik melalui balasan surat ataupun langsung. Keluarga, terutama ibunya memberinya cinta tak terbatas. Maka kesimpulan Aya dikelilingi cinta menjadikan kuat. Dari didiagnosa sakit usia 16 tahun, Aya akhirnya meninggal dunia di usia 25 tahun. Ibunya Kito Shioka lebih suka menyebut, “Tiket ke surga terlalu cepat didapat Aya, bukanlah tiket Pergi Pulang’.

Saya sempat membayangkan, kalau Aya hidup di masa sekarang. Bisa jadi ia akan kirim pesan WA ke teman-temannya untuk rasa kangen, menghabiskan waktu dengan menonton Youtube atau Netflix, tanpa lupa terus melukis. Dunia memang berubah banyak sejak era digital, dan dengan itu surat-surat kangen Aya ini tak akan ada. Pesan digital dengan mudahnya dikirim, dengan mudahnya pula dihapus dan dilupakan. Sisi dua ujung pisau yang memiliki plus dan minusnya.

Di akhir buku ada 3 surat balasan dari Tomita Yoshiko, Nishimura Ako, dan Kinimatsu Yoko yang menyatakan sedihnya kurang waktu untuk bercengkerama dengan Aya. Aya dan keluarga yang menanti kemajuan teknologi di bidang kesehatan yang seolah menunggu keajaiban memang akhirnya tak tiba. Mati muda, meninggalkan kenangan orang-orang sekitar.

Terakhir, saya ingin berkomentar terkait karya tulis dari surat-surat yang dikirim. Yang pertama terbesit jelas adalah R.A Kartini, putri Jawa yang gundah mengirim surat ke Belanda karena pendidikan kaum perempuan yang dinomorduakan. Surat-surat itu terkenal dan akhirnya jadi buku, dan seperti sejarah mencatat, menjadikannya tokoh inspiratif. Uniknya, beliau juga mati muda.

Aya pernah bilang, “Menangis terisak-isak karena hal sepele. Tapi tetap sabar, sebab kebaikan lahir dari kesabaran.”

Last Letter (Aya’s 58 Letters) | by Aya Kito | Copyright 2006 | First published Gentosha Inc. Tokyo | Penerjemah Hartiningsih | Jakarta, 2011 | Penerbit Elex Media Komputindo | 188111903 | ISBN 978-602-00-0996-4 | Skor: 3/5

Karawang, 080524 – Erin Boheme – Teach Me Tonight

Thx to Daniel, DIY

Mahfud Ikhwan 44 Tahun

Foto diambil dari buku Kepikiran Dangdut

“Aku menulis apa yang aku tahu.”

Adalah salah satu penulis terbaik di era kita. Saya hanya satu dari sekian juta orang yang mengikutinya, dalam artian setiap karyanya saya tunggu dan beli dan baca, dan tentu saja kuulas. Rentetan bukunya kukejar, sepengetahuanku ada 18 buku yang sudah diterbitkan, saya punya 15. Terbaru, Kepikiran Dangdut yang kubeli pas bulan puasa lalu, saat ini dalam proses baca. Tinggal separo langkah untuk diulas. Catatan ini saya buat mendadak sebab pagi ini dapat notif di Facebook beliau ulang tahun ke 44 tahun. Menurutku angka 4 adalah angka eksotik, saya menyukai nomor 14 (Diego Simone, Keita Balde, Hoedt, Alonso, Conceicao, dan yang utama: T. Henry), dan dengan dua deret sama angka 4, baiknya dibuatkan catatan khusus. Saya ulas singkat semua bukunya yang sudah kupunya, acak atau hampir urut dari pertama punya sampai yang terakhir. Let’s go.

#1. Dawuk

Ini adalah pintu pembuka saya mengenalnya. Sebagai novel pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017, ekspektasi tinggi ya wajar. Dan itu terpenuhi. Shock, sebagus itu.Langsung saya masukkan novel terbaik sepanjang masa versiku. Ceritanya tentang Dawuk yang melalangbuana mencari cinta. Menemukan belahan hatinya Iin si cantik. Dan utamanya, ending tragis tersaji. Saya suka.

#2. Kambing dan Hujan

Setelah gegap gempita Dawuk, saya lanjut dengan novel pemenang Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Ini lebih soft, lebih personal kurasakan. Seteru antara Muhammadyah dan NU, seteru masa lalu kedua orangtuanya (tahun ’65 yang legendaris itu disenggol), dan di masa kini seteru cinta antara dua remaja Mif dan Fauzia. Latar agama seolah tempelan, tapi tidak, justru menjadi isu menarik. Akan relate setiap perayaan hari besar agama Islam, penentuan awal puasa, penentuan hari Lebaran. Tak aka nada pemenang, Muhammadyah dan NU adalah sama-sama benar, sama-sama penting. Keduanya, baik kambingnya atau hujannya, sama romantisnya.

#3. Sepakbola tak Akan Pulang

Ini adalah tulisan non fiksi pertama yang kubaca, seperti kumpulan review/preview semusim liga-liga top Eropa, dan sejenisnya. Seperti komen beliau yang pernah bilang, ulasan tabloid Bola terlalu formal dan translate dari media luar, buku ini nyaris seperti itu. Sekadar nyaris ya, sebab kumpulan hasil yang disajikan terasa umum. Bisa jadi sampai sekarang, buku ini yang paling biasa dari semuanya. Inggris tetap jadi olok-olok ketika ngomongin kompetisi Piala Dunia atau Piala Eropa, makanya sulit untuk membawa piala ke sana.

#4. Cerita Bualan Kebenaran

Ini benar-benar bagus. Curhat proses kreatif menulis dengan segala latarnya. Saya runut lebih dalam, buku ini terasa personal dengan menggunakan ‘keakuan’ jadi lebih terasa. Tulisan dengan keakuan jelas berdasar pengalaman pribadi, dengan segala dramatisasinya. Kisah blandong sendiri kemudian muncul dominan dalam buku Anwar Tohari.

#5. Anwar Tohari Mencari Mati

Lanjutan Dawuk. Sempat ketakutan sebab Dawuk terlalu bagus untuk dilajutkan. Ternyata luar biasa. Menjadi pendengar Ida Laila, dan begitu nyaman di telinga. Cerita silat juga jadi begitu hidup, adegan di atas jembatan seolah kit abaca komik, wa-de-zzzinnnk… endingnya juga keren, dan potensial jadi trilogi.

#6. Belajar Mencintai Kambing

Kumpulan cerpen yang kocak, tragis, dan rada aneh. Terutama tentang kambing, di mana zaman dulu pengen dibelikan sepeda, malah dibelikan kambing sebab akan mendewasakan. Nah, ini kebalikanku dulu. Pengen dibelikan kambing, malah dibelikan sepeda. Hasilnya ya gitulah. Ikut trenyuh sama kera-kera yang dibantai.

#7. Dari Kekalahan ke Kematian

Ini kumpulan esai terbaik. Begitu personal tentang pengalaman mendukung Timnas Indonesia. Seperti yang kita tahu, masa 2010-2011 adalah puncak kegetiran kita. Bagaimana bisa kalah sama Malaysia. Dan sama Cak Mahfud disajikan dengan pengalaman antenna, nonton sama teman, begitu juga sajian berita kematian fans. Lelah kita mendukung Timnas kita, sampai nyaris ke rasa muak. Tapi tetap cinta.

#8. Menumis itu Gampang, Menulis Tidak

Ini kolom di Mojok per minggu. Terasa sekali ada rasa gesa di tiap kalimatnya. Ada sejenis tulisan pesanan yang kudu dikejar karena benturan waktu. Namun tetap menarik karena memang sudah ciri khasnya, menggunakan keakuan sebagai sudut bertutur jadi ya nyaman saja. Tentang proses kreatif menulis saya suka, tentang perabot di kos dan masalah makan, ya gitulah.

#9. Aku dan India Melawan Dunia I

Ini rangkuman review/ulasan di blog tentang tontonan film India. Dulu saya suka sama kata-kata, kurang lebih seperti ini: “Seperti film porno, film India disukai sekaligua tidak diakuia, dikonsumsi tapi dianggap terlalu kotor untuk dibincangkan, ditonton sendirian kemudian dihinakan di depan banyak orang.” Pada dasarnya buku ini menjadi acuan pilihan nonton film India, terutama zaman sebelum 2010.

#10. Melihat Pengarang tidak Bekerja

Ini mirip sama Menumis itu Gampang, selevel rasanya. Tak bisa melewati Cerita Bualan. Pengalaman menulis, dan seolah menunjukkan betapa produktifnya Cak Mahfud. Sajian pengalaman mengapa menulis itu susah. Tak semua orang bisa.

#11. Ulid Tak Ingin ke Malaysia

Luar biasa, keren banget ini. Pengalaman pribadi sejak kecil sampai bekerja, lika-liku kehidupan orang desa didesak oleh kemajuan teknologi. Betapa beruntungnya tumbuh kembang di masa 80-90an dengan hiburan minim tapi malah begitu syahdu. Masuknya listrik, masuknya tv, masuknya kebudayaan global ke kampung kecil itu. Pengalaman Ulid adalah pengalaman kita yang lahir di tahun 1980-an, sebuah keterwakilan.

#12. Setelah Argentina Juara

Rangkuman cerita Piala Dunia 2022 yang dilakukan 2023 di Qatar. Saya sudah tahu beliau suka Madird, Pool, dan AC Milan. Namun menjago Messi yang jadi seteru Madrid sungguh terasa absurd. Sama seperti saya menjago Italia di tahun 2006 dan juara, tapi Totti angkat piala! Begitulah, pada akhirnya Lionel Messi memimpin Argentina juara dunia.

#13. Dari Belakang Gawang; ditulis bersama Darmanto Simaepa

Saya beli langsung dari beliau, ber-ttd. Feel-nya terasa rangkuman tanding. Sulit memang menulis tentang bola yang keren tuh. Jatuhnya seperti Sepakbola tak akan pulang. Kubaca sejak rilis tahun 2021, kutunda terus ulasannya (menulis ulasan buku kurang, juga otomatis mengurangi antusiasme), sampai sekarang belum juga jadi. Padahal ulasan buku rerata hanya seribu halaman, rasanya berat. Kurang keakuan mungkin.

#14. Aku dan India Melawan Dunia II

Ini sama, beli bareng Setelah Argentina tahun lalu, sampai sekarang belum juga ulas. Baca tinggal 2 bab, terseok-seok sama bacaan lain yang juga antri, mungkin karena saya sudah baca Aku dan India Melawan Dunia I sehingga polanya mirip. Ke-India-an dalam plagiat Hollywood. Ok sih, tetap menarik, tapi saya jarang sekali nonton Bollywood jadinya sekadar membayangkan.

#15. Kepikiran Dangdut

Sedang kubaca. Nah kalau ini bagus banget. Sampai saat ini sudah seratusan halaman, dan tulisannya terasa hidup. Mungkin karena kita semua suka musik, tak peduli jenis apapun. Ini bukan hanya dangdur, pop juga sesekali rock disinggung. Semacam riwayat singkat para musisi. Mayoritas sudah dengar dan tahu, makanya seperti didongengkan. Kecuali tentang ludruk, blas tak paham.

Berarti ada 15 buku Mahfud Ikhwan di rak perpusku. Pernah terbesit merapikan rak, menjejer buku-bukunya. Senang rasanya menyukai pengarang yang setiap tahun merilis buku baru. Selalu ada alasan untuk sesuatu yang ditunggu. Sampai sekarang saya masih mencoba mencari buku Lari, Gung! Lari! Yang sudah langka. Satu lagi buku dengan nama samaran Owen A. McBall (sejauh yang kutahu) adalah buku tentang sepakbola berjudul Football Villains. Sama langkanya. Atau ia menyumbang tulisannya dalam Ensiklopedia Kretek, juga belum punya. Bek ada di web Kumparan, pernah baca beberapa bab pernah punya akun premium, tapi tak nyaman baca di HP jadi tak kulanjutkan. Nunggu rilis buku fisik sahaja. Kalau kalian menemukan buku Cak Mahfud yang lain yang tak tertera di sini, bolehlah berbagi info. Wait, selain buku pendidikan Pancasila dan sejenis ya.

Novel sudah, cerpen sudah, non fiksi (esai) sudah. Tinggal puisi sahaja yang belum, atau kumpulan wawancara/khutbah/ceramah kalau bisa juga laik koleksi. Yang juga belum kelakon sampai sekarang adalah nonton seminar bedah buku atau diskusi bahas buku atau sekadar santuy menikmati kopi. Kemungkinan itu besar, tapi memang belum saatnya ketemu langsung. Selamat ulang tahun 44, makin keren berkarya. Karyamu selalu kunanti.

Mahfud Ikhwan dapat dijumpai di akun Facebook: Mahfud Ikhwan atau Mah Hwan.

Karawang, 070524 – Karrin Allyson – All or Nothing All

Blue Willow


“Ayah percaya ada banyak hal yang menjadi pelengkap bagi kebutuhan makan dan tempat tinggal. Membaca adalah salah satunya.”

Ini adalah cerita anak dengan mengedepankan narasi ketimbang isi cerita. Narasinya bagus, mengalir dengan detail menyenangkan dalam bayang. Air mengalir di sela-sela memancing ikan lele, pohon-pohon berdesir dengan pemandangan perkebunan hijau. Pondok terdapat di tengah hijau daun, langit tampak cerah, dst. Namun untuk cerita, jelas kurang oke. Semua karakter jelas hitam-putihnya. Siapa baik, siapa jahat, dengan alur yang mudah ditebak, si baik akan mengalahkan di jahat. Yang baik akan unggul pada akhirnya. Mungkin bermaksud memberi buku anak dengan hikmah membuncang, tapi ya sekadar itu. Sedang ilustrasinya sungguh biasa. Dicetak hitam putih, gambarnya kurang rapi dan tampak masih kasar.

Kisahnya tentang Janey Larkin, mengambil sudut pandang pertama. Semua kejadian dari dirinya memandang keadaan. Dibuka di pondok Ngarai San Joaquin, tempat tinggal baru keluarga Larkin. Ayahnya adalah pemetik kapas, ibunya rumah tangga. Mereka baru saja pindah ke sana. itu bukanlah kos/kontrakan yang legal, itu adalah sebuah pondok tempat istirahat para petani atau tukang kebun yang mereka dapatkan begitu saja, kosong. makanya ditinggali, berharap tak ada uang sewa yang dibayarkan. Pondok sederhana, sebuah ruangan itu benar-benar mirip kandang ayam dan juga tidak lebih besar.

Tetangga mereka adalah keluarga keturunan Meksiko, keluarga Romero memiliki beberapa anak, salah satunya Lupe yang sepantaran dengan Janey. Makanya mereka berkenalan, saling sapa mengakrabkan diri, menjadi teman. Lupe mulanya tampak sombong, memandang rendah Janey yang memang selama ini dari keluarga kurang mampu, nomaden. Tinggal di mana ada perkebunan yang mau menyewanya sebagai buruh pemetik kapas. Namun, berjalannya waktu mereka akrab dan saling mengisi.
Sayangnya, memang keluarga Larkin ini hanya tinggal sebentar-sebentar di setiap perkebunan. Jadi usaha untuk mengakrabkan diri dengan tetangga/teman baru selalu dibatasi. Janey dengan segala kenangannya yang tertinggal.

Ibu Janey sakit, tak punya uang. Mereka kebingungan mencari obat, tak bisa juga dibawa ke rumah sakit karena kendala biaya. Untung mereka dikelilingi orang baik. Dokter Pierce memberi perawatan, memberi reset serta uang untuk menebusnya. Sebab sakitnya sudah parah, seharusnya sudah rawat inap! Harus dilakukan perawatan intens, tapi memang Tuhan mengirim orang-orang baik untuk membantu umatnya.

Sekolah Janey juga tak rutin, kadang masuk, kadang main, makanya malas mengakrabkan diri sebab segalanya sementara. Tak seperti sekolah pada umumnya yang murid-murid berangkat pagi pulang siang dan kembali mengulangnya keesokan harinya. Janey disekolahkan seperti sekolah darurat, kadang ada gurunya, lebih sering kosong. Ketika sekolah lain naik kendaraan jemputan, ia hanya diantar ayahnya, sesekali. Sedih membayangkan anak sekecil itu berjuang melawan kerasnya hidup.

Janey memiliki piring peninggalan neneknya, piring dari neneknya nenek, neneknya nenek ini merupakan barang favoritnya. Mungkin di mata orang awam tak guna, hanya piring tua tak bernilai, tapi bagi Janey merupakan barang istimewa, sebuah piring bergambar yang bisa bercerita. Berilustrasi pohon willow sebagai lanskap utama, burung terbang di langit, anak berjalan di dekat jembatan dengan air mengalir di bawahnya. Dan rumah! Ya rumah sebagai tempat tinggal ideal. Rumah tetap sebagai impian. Seolah hidup, seolah nyata. Rasa terima kasihnya lebih besar karena uang itu segera habis, sedangkan kata-kaya “Sungai-sungai yang mengalir di tempat gersang” menjadi miliknya selama-lamanya. Kata-kata itu menjadi sesuatu yang tiada habisnya seperti piring wilow.

Masalah muncul kala seorang pekerja perkebunan datang meminta uang sewa, Bounce Reyburn bukan pemilik perkebunan, ia orang kepercayaan bos. Ia hanya penanggungjawabnya, saat melihat pondok dihuni keluarga ia datang dan meminta uang sewa. Alot dan tegang sebab memang tinggal di situ tanpa izin adalah salah, tapi meminta uang sewa semena-mena juga salah, ayah Janey untung cerdik, meminta kuitansi. Dengan kertas seadanya, ditulislah serah terima tersebut dengan tandatangan dan nama jelas. Barang ini jadi barang bukti penting untuk eksekusi ending.

Hari-hari Janey sejatinya menyenangkan. Ke pekan raya sama keluarga Lupe, naik komidi putar, makan permen, sampai ada sebuah bus perputakaan keliling. Penuh buku, membuatnya bahagia. Pada dasarnya memang Janey ini terpelajar. Seringkali diingatkan ayahnya untuk baca dan memahami al kitab, karena memang di rumah adanya bacaan itu. Makanya menemukan tumpukan buku membuatnya melayang. Bertemu bu guru Nona Peterson, guru favoritnya.

Ada lomba memetik kapas dengan hadiah puluhan dolar. Jadi lombanya memetik kapas di masa panen, dibantu asisten. Hasil petikan tetap dibayar sesuai haknya, lalu ditimbang, siapa yang paling banyak dapat hadiah. Nomor 1-3 tentu besar, 3 berikutnya juara harapan. Ayah Janey semangat, semangat cari hadiahnya, dibantu ayahnya Lupe. Hasilnya, luar biasa. Minimal keperluan Janey seperti baju, lalu ban kendaraan bekas tapi bagus akhirnya terbeli, serta keperluan dapur. Motivasi orang miskin memang tinggi kalau masalah uang. “Apa lagi yang kurang sekarang? Kita sudah cukup kenyang. Ada sedikit uang di kantong, dan atap untuk berteduh. Aku belum pernah menyaksikan tempat yang lebih mennenyangkan daripada tempat ini.”

Lalu acara mancing lele di sepanjang sungai, membawa bekal makanan untuk pesta kebun. Jadi hasil mancing, langsung dieksekusi diang itu juga, buat makan siang keluarga. Makan di bawah pohon rindang dengan gemericik aliran sungai, sungguh syahdu. Saat kedua orangtua istirahat rebahan di atas tikar, Janey jalan-jalan petualangan. Alangkah terkejutnya, saat melihat pemandangan seperti di gambar piring willow! Seolah ia memasuki lukisan tersebut. Dalam keterpukauan, malah ketemu penjahat Bounce beserta anjing penjaganya bernama Si Gawat yang merasa terusik Janey masuk ke pekarangan rumahnya. Cekcok itu malah menghasilkan seplastik telur sebab sang pemilik lahan Pak Anderson datang melerai dan meminta maaf.

Puncak konfliks terjadi kala keluarga Janey ini harus pergi sebab panen kapas sudah selesai, maka selesai pula tinggal di pondok tersebut. Belum pernah Janey meninggalkan begitu banyak hal di belakangnya. Dengan piring willow di tangan Bounce, sebagai ganti pembayaran sewa pondok, Janey melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan seorang anak 10 tahun. Ia melakukan perlawan terakhir.

Ini adalah novel anak dengan tema mendasar. Dari keluarga migran, mendamba kehidupan normal. Pekerjaan normal, dan yang utama rumah tinggal tetap. Tema pemenuhan kebutuhan pokok: sandang, pangan, papan. Ketiganya di sini sama-sama dominan. Janey senangnya punya baju baru dari hadiah lomba. Keluarga ini untuk bisa makan saja susah, mengesampingkan kebutuhan lainnya. Dan yang utama, kebutuhan tempat tinggal permanen. Menjadi krusial sebab memang yang namanya rumah itu mahal. Kehidupan kelas bawah di Amerika era 1930-an yang disajikan dengan pandangan anak-anak. Happy ending.

Kisah Sebuah Piring | by Doris Gates | Ilustrasi Paul Lantz | Judul asli Blue Willow | 189 hlm; 19 cm | ISBN 979-38130-7-5 | Copyright 1940, N.Y | Alih bahasa Rahmat Widada | Editor SM Anasrullah | Desain sampul dan tata letak Windutampan | Penerbit Liliput | Cet. 1 – Yogyakarta, Maret 2005 | Skor: 4/5

Karawang, 060524 – Billie Holiday – A Foggy Day

Thx to Andre F, Jkt

Maret 2024 Baca

“Pernah dengan pepatah ini? Manusia mengalami kesedihan bukan karena dia belum pernah merasakan kebahagiaan, melainkan karena dia sudah pernah merasakan kebahagiaan tapi kebahagiaan tersebut direnggut dari hidupnya.” – November by Felix Martua
Bulan ketiga di bulan puasa, menikmati masa-masa singkat waktu luang. Hanya 4 buku yang selesai. Permulaan kejar buku-buku Noura, langsung dapat 2. Kalau tahun lalu saya kejar Sejarah Tuhan-nya Karen Armstrong selama bulan puasa, dini hari sebelum sahur, tahun ini saya baca Dan Muhammad Utusan Allah-nya Annemarie Schimmel. Target selesai akhir bulan Ramadan, meleset dikit. Baru selesai April. Fufu… yo wes, benar-benar mengalir.

1. November by Felix Martua

Perjalanan cinta November dengan lima orang (saya tak tulis lelaki sebab nantinya ada kejut kecil), sebagai perwujudkan proses kehidupan, dari remaja hingga dewasa. Fredio untuk sekolah, Bara untuk kuliah, Laksamana untuk masa kerja, Dioffan untuk fantasi online, dan Cloud untuk bentangan tak tersentuh, ketinggian spek. Kelimanya memberi porsi masa perkembangan manusia, dan itu wajar. Bahasannya gaul abis, pakai lo gue sebagai mayoritas percakapan. Untuk pembaca seusia gue, bahasannya tak nyaman. Benar-benar untuk anak muda novel ini. Eh, muda ‘kan relatif?
“Enggak apa-apa. Hujan di Indonesia emang cukup dahsyat.” / “Iya… Gue… Terdahsyatkan.”

2. Filsafat Sudah Tamat by Martin Heidegger

Judulnya ngeri, filsafat tamat? Maksudnya sudah tak bisa digunakan sebagai pegangan, dasar berlogika? Atau gmana? Dengan judull seprovokatif ini, maka pembaca atau calon pembaca akan terpatik. Saya salah satunya, tampak menggelegar dengan tendesi kata ‘tamat’. Isinya sendiri juga kurang nyaman dicerna, muter-muter penuh perumpanaan, ‘jembatan’ berulang-ulang dibahas sebagai sarana penghubung. “Ciri fundamental menghuni adalah dilupakan. Ciri tersebut tampak pada semua jenis hunian.” Atau arti Empat lipatan, berisi bumi dan langit, keilahian dan kefanaan. Melebur jadi satu.
“Kefanaan menghuni bumi agar dapat menyelamatkannya – meminjam baris syair lama Lessing: Menyelamatkan bukan hanya melepaskan seseorang atau sesuatu dari bahaya. Menyelamatkan juga berarti meletakkan mereka tetap bebas di dalam esensinya.”

3. Red Queen by Victoria Aveyard

Revolusi menggulingkan kemapanan. Kisah fantasi dengan tema menggulingkan pemerintahan yang bermasalah sudah sangat banyak dibuat, dibaca, dan diikuti. Paling mudah dan hype-nya mencapai puncak sebut saja The Hunger Games. Pertarungan anak muda sampai mati, diatur oleh pemerintah. Akar rumput melawan, menggulingkan kekuasaan. Red Queen sama saja, secara garis besar. Pemerintah berdarah Perak (membayangkannya saja bikin gidik) memerintah, memimpin kaum jelata berdarah Merah (manusia pada umumnya, seperti kita). Perang terjadi, dan pemberontakan disusun. Revolusi itu belum tuntas, sebab ini buku satu. Ada lanjutan, dan lanjutannya lagi. Kali ini karakter utama, memiliki darah istimewa (langsung mengingatkan Darah Campuran-nya Harry Potter), dan terpilih (seperti Potter juga). Melakukan pemberontakan dari dalam, dan pada akhirnya sang raja tewas.
“Aku bisa saja menyulut di dunia ini, dan menyebutnya sebagai hujan.”

4. Zen dalam Seni Menulis by Ray Bradbury

Luar biasa. Selalu menyukai penulis mencerita proses kreatif. Terutama, tentu saja penulis-penulis keren. Ray jelas salah satu yang terhebat di zaman kita. Konsisten menulis, karyanya buanyaaak. Alhamdulillah, sudah baca karyanya, walau hanya 1. Buku paling terkenalnya, Fahrenheit 451. Sejatinya pengen juga menikmati buku-buku lainnya, belum kesampaian saja. nah, di buku Zen ini kita disodori banyak sekali kisah di balik karya, proses kreatif, dan tips and trick menulis tanpa menggurui. Salah satunya bahkan terdengar keren, membaca karya-karya bermutu setiap hari selama 1000 hari akan mengubah pola pikir.
Karawang, 300424 – Dinah Shore – My Funny Valentine

Libur Lebaran 2024


“Saatnya buat podcast mancing nih…”

Akhirnya libur Lebaran 2024 berakhir sudah. Semua tinggal kenangan. Berkesan? Jelas, setiap mudik pasti berkesan. Untuk kali ini momen mudik bermobil hanya bertiga. Biasanya ditemani mertua atau bersama adik ipar. Jadi benar-benar mandiri. Liburnya juga lumayan lama, hampir dua minggu. Sebagian dihabiskan di Karawang sih, istirahat dan mancing. Namun jelas tahun ini lebih padat dan benar-benar menguras energy sebab di kampung halaman semua dipepet waktu, ke Ngawi, ke Jatipuro, ke Yogya. Jatah ngopi sama teman-teman banyak yang ke skip.

Libur Lebaran 2024 dimulai Sabtu, 6 April 2024 dan kembali bekerja Jumat, 19 April 2024. Masuk sehari, libur dua hari lagi. Sengaja masuk Jumat, rencana mau main futsal. Hehe… baiklah, untuk memermudah catatan saya buat per hari saja kenangan ini. dimulai dari hari pertama…

Hari #1. Sabtu, 6 April 2024
Sedari malamnya, Hermione dan May sudah sibuk persiapan. Dari setrika baju yang mau dibawa, bawa dua koper. Kami berdua, Hermione punya koper sendiri. Namanya cewek, ribet banget milih baju yang akan dibawa. Saya sendiri, hanya menyiapkan 2 buku novel dibawa, 1 pancing yang bisa dilipat biar masuk mobil, dan memastikan aman rumah selama mudik. Dari ikan di akuarium dikasih makan, makanan ditaruh dekat akuarium agar Bapak tak lupa kasih makan. Kendaraan Sikusi dimasukkan ke garasi, Motor Beat dikunci rahasia dan kunci rem depan, sampai baterai sepeda listrik kucabut agar tidak soak. Isi tol 1 juta, isi bensin full 250k.
Paginya, sejak sahur berdua makan sahur, saya niatkan tidak puasa sebagai musafir yang menyetir tetap fokus. Makanya selepas subuh langsung ngopi. Persiapan sendiri selalu berulang, siapa yang mandi duluan, siapa yang belum siap, siapa bertanggungjawab apa. Baru benar-benar siap pukul 06:30. Cek Maps macet panjang sampai pintu tol Cikampek, yah nikmati saja. Sebelum masuk tol, mampir dulu ke rumah Ibu. Kasih kunci rumah, ucapkan pamit dan hati-hati.

Rutenya merah, sesampai di pintu utama tol Cikampek disarankan ambil kanan untuk ambil one way. Dan wuuuz… benar-benar lancar. Memainkan kecepatan, sesekali macet di rest area yang antri masuk. Menikmati perjalanan dengan musik, dan spotify dengerin podcast Zainuddin MZ. Saat masuk Cipali, May sudah minta untuk ke rest area sebab mau buang air kecil. Bisa nahan sampai 3 jam perjalanan dulu baru istirahat? Bisa. Akhirnya ambil kanan di rest area KM 164. Ngopi, ngemil, santuy.

Lanjut lagi, lewat kanan pokoknya lancar banget, sampai-sampai bilang nanti buka puasa di rumah. Pukul 14:00, syarat 3-4 jam istirahat kita di rest area Batang KM 344, salat Duhur. Dan berhubung yakin buka puasa di rumah, tak dijamak. Di sini tak ngopi, hanya ngemil. Baca Quran 1 halaman, saat mudik ada di juz 26. Kejari 4 juz lagi untuk khatam, jadinya waktu sekecil apa ya dimanfaatkan.
Perjalanan kembali dilanjutkan, dan kejutan pertama terjadi di pukul 14:30 jelang pintu tol Kalikangkung. Merayap lama dan panjang. Cek Maps, merah menyala. Mau sisi kanan atau kiri sama padatnya. Dan ini benar-benar mengejutkan, sebab jarang sekali macet di area Semarang. Tersendat-sendat, main gigi, kompling, gas rem, war biasa. Salah langkahnya, tak ambil kanan one way. Tersendat-sendat terus, bahkan sampai di Salatiga. Istri menemani, di Jateng radio bagus-bagus. Sementara Hermione kebanyakan tidur. Bangun, buka puasa. Dan banyak diam. Setelah 4 jam yang mengerikan, pukul 17:00an saya ambil rest area Salatiga. Bensin tinggal 2 garis, mau isi antri panjang. Yang pertamax jalur khusus habis. Istirahat 2 jam, salat, ngopi, rebahan. Kenalan sama pemudik Madura, satu keluarga full bermobil dan sama teparnya.

Pukul 20:00an jalan lagi, cari bensin atau kalau kedip terpaksa keluar tol. Rest area berikutnya penuh, dipaksa lanjut. Begitu juga rest area berikutnya, tahu-tahu sudah di Boyolali, bensin 1 garis. Gmana nih? Pas di Kartosuro diskusi sambil jalan pelan, lanjut saja. Tol Bandara? Lanjut saja. Belum kedip juga. Pas di Tol Solo, yo wes cari aman keluar. Ini pertama kalinya keluar tol Solo, karena Solo Utara tak familiar, saya buka Maps cari SPBU terdekat. Isi 100k, ambil ATM 500k di BNI. Lalu santuy. Jalan-jalan Solo aja, nikmati suasana. Kala itu pukul 21:00an, untuk menemukan terminal butuh muter-muter. Setelah ketemu terminal Tirtonadi, yo wes tak perlu Maps. Sempat mau mampir hek atau cari camilan, tapi tak usahlah. Istirahat di rumah saja. Sampai rumah pas jam 22. Total 15 jam.
Senangnya disambut ibu, saudara semuanya. Mas Dwi, kakak dari Purwakarta yang juga mudik sudah sampai rumah jam 20an. Udah istirahat. Tak perlu waktu lama, selepas mandi langsung tidur. Besok masih puasa.

Hari #2 – 7 April 2024
Sahur bersama keluarga, menunya ikan lele, telur dadar, dan tak lupa andalan teh hangat. Subuh ke masjid Ar Rouf, ketemu Sudar, teman masa perjuangan di TPA. Selepas Subuh, tidur. Lelah sekali. Hermione main sama Pakde amin. Saya sendiri lebih banyak tidur, bangun sore, main HP. Info ke teman-teman, kapan ngopi, dll.

Sama May ngabuburit, rencana lihat waduk Lalung. Mampir ke SMP Mojolaban, sekolahku. Foto-foto, cari camilan. Lanjut ke Timur, malah hujan deras. Akhirnya putar balik. Nunggu sampai pukul 17:00 masih deras, terpaksa hujan-hujanan. Ketimbang buka di jalan. Mampir ke SPBU ambil uang, kosong. malah transfer arisan 500k.

Magrib buka puasa bersama, Mbak Pur dan Ibu ke masjid Al Hadi ada bukber. Salat Tarawih ke masjid Ar Rouf, adem dengan 8 rakaat saja. Dan hari ini ditutup dengan ngobrol di teras. TV rusak, tak bisa dinyalakan. Dapat kabar, Joko dan keluarga masih dalam perjalanan mudik bahkan sampai pukul 22:00 masih terjebak di Semarang. Memang puncaknya hari ini.

Hari #3 – 8 April 2024
Hari ini fit, setelah Sahur langsung gas ke masjid. Baca buku, ketemu teman-teman. Siangnya pukul 10:00 mancing ke waduk Lalung, beli cacing cuma 3 ribu di toko penjual ikan/burung. Lewat kidul, dari Pasar Bekonang lurus terus. Cari masuk waduk kebingungan muter sisi Timur, tak ketemu. Muter sisi Barat, kelihatan para pemancing. Panase pol. Akhirnya setelah tanya sana-sini, masuk waduk. Join pemancing, ta-daa… ikannya mujair gaes. Lebih mudah. Dan banyak banget, sampai lompat-lompat serta ikan kecil bergerumbul. Yang disayangkan Cuma 1, panas e pol.

Para pemancing pada pakai payung. Yang di tengah waduk juga banyak, bayangkan saja, mancing dengan badan pinggang ke bawah terendam air! Gila saja. Saya tak bisa tahan lama di bawah terik, sebab masih puasa, luar biasa haus, daripada mokah mending nyerah mancingnya. Istirahat di pintu air yang idum, terdengar adan duhur, kenalan sama pemancing lain, dari Matesih sampai area Bejen. Perlengkapan mereka pada komplit, ada yang joran panjang, ada yang pakai jaring, dan tentu saja payung.

Pulangnya langsung tepar, sampai buka puasa. Karena ada buka bersama, di rumah Mbak Pur jadi tuan rumah, bu ibu pada masak sejak siang. Yo wes, join bukber penutup tahun ini. total bukber ada: 6 kali: 2 kali HR, 2x pabrik, 1 kali Office, 1 kali keluarga. Bukber paling berkesan jelas ya ini. Seluruh keluarga Mbah Kario Rejo ngumpul. Menunya gudangan, favorit. Ikan lele, minuman manis teh, yang dingin ada es buah. Camilan banyak. Yang paling berkesan memang ngumpulnya. Sungguh bersyukur punya keluarga besar yang terus terjalin. Apalagi tahun ini, Wildan bisa mudik setelah beberapa tahun sebelumnya tugas ke Papua. Magrib ke Ar rouf sedikit mundur setelah bukber, ketemu Supardi teman lama yang dulu sangat akrab. Sehat selalu kawan.

Malamnya taraweh ke masjid Al Hadi, ada khataman, menunya tengkleng di mbah Jarot. Imam dan khotib Sudar, isinya apik tentang sejarah sedekah yang samplenya di Mesir, sakit parah mau operasi, pagi sebelumnya ke pasar bersedekah daging kepada jelata, pas ke Belanda mau operasi, penyakitnya hilang. Khataman lama sekali, sebab nunggu pendoa yang terlambat, ada lelayu sehingga mundur sampai 1 jaman.

Hari #4 – 9 April 2024
Sahur terakhir, ikut iqtikah dan subuh ke Baabul. Ada masalah, setelah ngaji pagi jam 2-3, salat malam 8 rakaat, saya memutuskan tidur lagi di sisi kidul karena ngantuk. Sahur yang kukira jam 4, ternyata jam 3.30 sudah makan menu ikan. Untungnya, masih ada 2 pcs saat saya dibangunkan. Selepas subuh diskusi panas tentang salat ied di Oror-oro atau Yonif 413? Well, di Karangayar Palur ada 4 masjid sekarang. Beda banget sama zaman saya dulu, hanya satu dan salatnya selalu di Yonif. Mulai beberapa tahun terakhir panitia bergiliran. Tempat eid selalu di Oro-oro atau di jalan perempatan kampung. Tahun ini panitia adalah masjid kulon, dulu takmirnya Mas Hari, sahabatku, kini sudah ganti ke Pak Arifin. Nah karena militer, ia dengan keputusan sepihak memilih Yonif, tanpa persetujuan tiga masjid lain. Akhirnya terpecahlah massa. Setahuku, dari info teman-teman: Baabul dan Kulon ke Yonif, Rouf dan Hadi ke Oro-oro, berhubung keluargaku berpikir praktis yang terdekat saja, jadi besok ke Oro-oro seperti sebelumnya.
Ketemu banyak teman. Di sini adalah masjid masa kecilku, jadi subuh meriah sampai pukul 07. Kebetulan ada ceramah special ustaz Sunandar, pimpinan Pompes. Kulkum jadi setengah jam, dan isinya sangat bagus. Betah sekali mendengarkan ceramah bermutu. Salah satunya, ingat 5 perkara sebelum 5 perkara. Disampaikan dengan kocak, apa adanya, bahkan saat lupa pun tak apa, dirunut. Atau bagian saat tua, kita semua akan menjalaninya. Tak ada obat untuk ‘penyakit’ tua.

Install spotify untuk mas Harso, dibuat premium. Oiya, jadi mudik ini saya sering kali bersama spotify. Sepanjang perjalanan, sepanjang malam, sepanjang santuy. Total ada 3 orang yang kuintalin: Winda, Mas Amin, Mas Harso.

Sebelum pulang, sempat cek sungai kidul pinjam motor mas Harso, wah banyak ikannya. Tapi kok timbul tenggelam? Ikan pembersih kaca nih, susah dipancing. Ketemu pemancing lain, ngobrol bentar. Yo wes, ntar sore coba.

Setelah istirahat, sorenya sebelum Asar sama Wildan ke kali kidul. Cacing yang kubeli kemarin lusa sudah punah, entah hilang di mana, tinggal tanahnya saja. Dekat Jatimalang ada toko burung, jual cacing juga. Harganya sama 3 ribu. Mancing di kali kidul ternyata sulit sekali, ikan pembersih kaca tak mau makan. Setelah setengah jam coba, nyerah. Ke kulon, jembatan Klaruan. Ternyata sama, saja. Ke sendang juga podo wae. Ketemu dua pemacing yang sama-sama frustasi. Akhirnya pukul 16:00an langit terlihat gelap, hujan datang. Sandal jepit putus, fufufu… sandal siapa ini, asal pakai.

Sampai rumah, hujan deras. Sandal kubuang depan rumah, malamnya ada drama Tasya cari sandal. Ya Allah, maaf. Kukira sandalku tahun lalu yang kutinggal, ternyata mirip saja. sembari nunggu magrib, saya baca buku di teras. Tahun ini saya bawa dua novel: Amin Maalouf dan Phillip Reeves. Keduanya sudah kuduga tak akan selesai baca, sebab mudiknya hanya seminggu, dan terbukti.

Saat adzan Magrib, Alhamdulillah khatam 30 juz. Takbir sudah terdengar di mana-mana, bahkan sebelum sidang isbat, sebab memang di sini mayoritas Muhammadyah. Sesuai prediksi, Lebaran tahun ini sama. Alhamdulillah….
Pulang Isya, saya tak ikut takbiran, tiduran saja. Agak malas ke Baabul sebab bakalan ketemu banyak teman, dan sedang tak tertarik ngerumpi. Sepulang Hermione ingin es krim Mixue, sekalian ambil uang di BNI. Ke Jaten saja, sebelum tidur ngobrol bapack-bapack di teras Mas Maridi tentang masa depan Wahid. Mau ke mana? Kuliah di stan? Bekerja? Biayanya bagaimana dan seterusnya. Sambil diskusi, intal spotify premium ke HP mas Amin.

Hari #5 – 10 April 2024
Alhadulillah… kita di hari kemenangan. Sedari subuh, saya sudah antri kamar mandi sebab pengalaman sebelumnya, masalah mandi di hari raya bakalan jadi polemik. Pakai baju baru, untuk tema tahun ini warga ungu. Seluruh keluarga Kario Rejo, nyaris seluruh keluarga pakai baju ungu. Jalan kaki ke Oro-oro, dengerin ceramah. Umum, tentang hari kemenangan. Ketemu teman-teman, salam salim dengan yang ketemu. Tahun ini salat Ied jejer Andi. Karena saya bukan panitia, y owes langsung pulang.

Acara sungkeman dilakukan di rumah Lor, saling bergantian. Mbah Yem sebagai sentralnya. Tiga keluarga, Mbak Pur (nomor 1), Mas Dwi (nomor2), dan saya. Dan tentu saja foto-foto. Sebelum makan besar, lontong dan menu Lebaran, semua beres dulu. Setelah itu, seluruh keluarga besar ngumpul di rumah Andi. Menghabiskan waktu sampai Duhur, di sana. Ini sejatinya Lebaran. Hari H, ngumpul seluruh keluarga. Saling memaafkan, saling bertukar cerita, saling bercanda.

Hermione sendiri dapat porsi untuk tampil, bercerita di tengah keluarga dengan iming-iming dapat 150 ribu. Dengan motivasi uang fitrah dari Mas Amin, Mas Maridi dan Mas Dwi, serta dariku, ia sempat ragu. Namun dibujuk dan digoda, uang mudah nih, akhirnya ia tampil. Bercerita tentang kenangan 1 Hari Bersama Ayah, di mana pakaian ketinggalan dan dimarahi bunda. Hehe… sebelum pulang mampir mas Harso, ketemu mas Hadi dan suaminya Mbak Hety. Ngerumpi bapack-bapack temanya mancing, seru sekali. “Saatnya buat podcast mancing nih…”

Siangnya, selepas duhur bubar ke keluarga masing-masing. Keluarga Mas Maridi ke Palur Kulon ke keluarga istri, keluarga Andi ke Wonogiri, keluarga Joko ke Karanganyar, keluargaku ke Karang Asem (tahun lalu tidak ke Benowo, sebab mbah Benowo sudah meninggal, tahun ini tidak ke Kandang Sapi, sebab Mbah Las Kandang Sapi sudah meninggal dunia). Yo wes, selama tiga jam kami di Karang Asem, sungkem, bercerita sana-sini. Dapat kabar, Putri sepupu kami mau menikah November 2024. Sapi dan kambing tak sempat disapa, hujan deras. Sorenya pulang, kebetulan saudara Kandang Sapi datang, untuk lanjut ke Karanganyar. Saya istirahat saja.

Malam selepas Isya, akhirnya bisa makan mie ayam sama Joko P, Andi H, dan Mas Prih. Tranktir hanya habis 50 ribu. Kebetulan sedang cekak duitnya. Makan mie ayam, esensinya adalah kebersamaan. Ngerumpi, mengenang masa lalu. Sempat diajak main PS, tapi enggak dulu. Rasanya ingin istirahat, dan waktunya sangat mefet.

Hari #6 – 11 April 2024
Lebaran kedua, sesuai plan. Tahun ini tak ke tempat wisata, kami ke Ngawi. Ke rumah keluarga istri Mas Dwi. Mas Dwi sekeluarga, satu mobil lagi disopiri Mas Amin. Sudah sepakat, bensin mereka, saya sedia e-toll. Ternyata lumayan juga biayanya. Tol Karanganyar – Ngawi 90k. Rumahnya lumayan jauh dari pintu tol. Nanti pulangnya via yang dekat, tapi biaya lebih mahal, 130k. Tak apa, menyingkat banyak waktu.

Di Ngawi kami bercerita banyak hal. Ini kali kedua setelah 20 tahun berselang. Tentu saja banyak perubahan. Ada kambing banyak, Hermione kasih makan. Ada banyak pohon, saya naik, tanahnya luas, untuk jalan-jalan. Namun memang rencana tak lama, hanya mengantar keluarga Mas Dwi. Setelah Duhur pulang, sebab sore harus berbagi ke keluarga Jatipuro. Perjalanan lancar sekali, musik oleh spotify, ada kabel aux-nya.

Sampai rumah Asar, rencana mandi langsung berangkat. Namun Hermione susahnya disuruh mandi. Akhirnya ya cerita, rebahan, santai nunggu. Baru berangkat pukul 17:00. Mana belum beli gula teh pula. Kabel aux ternyata dikasih ke mobilku, biar jadi kenangan, terima kasih. Perjalanan ke Jatipuro sendiri tampak eksotik, sebab gelap naik turun dan berkelok. Mampir ke Alfamart, lama. Tak terkendala macet sama sekali, jalurnya sudah familiar, ke Bekonang, ke terminal Sukoharjo, ke arah Jatipuro.

Sampai sana sudah Isya, sempat diajak ke pasar malam. Namun kami tidak mau, mau istirahat saja. Cuaca sempat gerimis, makin dingin, Jatipuro ada di lereng Lawu. Makanya tak perlu waktu lama untuk pules tidur. Sembari nonton tv berita mudik…

Hari #7 – 12 April 2024
Hermione bangun siang, saya dan May jalan-jalan ke sawah. Foto-foto, menghirup udara bersih dan alami. Lanjut baca buku dengan backsound alam. Nyaman sekali, karena harus berbagi waktu, sebelum Jumatan sudah pamit. Ke saudara 1 dan 2, dengan selingan Salat Jumat. Sesuai plan, jam 13:30 harus sudah balik, sebab setelah Asar saya janjian ketemu Grandong di Sragen.
Perjalana balik, kena macet di DKR. Lampu merah, antri panjang. Sampai di Jatimalang cari oleh-oleh, dapat murah. Per bag hanya 13 ribu. Beli 11 bag dengan berbagai varian. Asar, langsung ke Sragen. Mana, mala mini setelah Isya harus sudah di rumah karena akan antar Wildan ke Balapan. Segalanya tergesa. Walau sudah beberapa kali ngopi sama Grandong, kali ini pakai Maps malah tersesat sampai ring road. Apes, HP jatuh dan retak-retak. Sampai sana sudagh jam 16:30, saya sudah wanti-wanti Magrib pulang. Makanya tak katok ngerumpinya. Ketemu Dwi, adiknya Grandong yang sukses di Bogor.
Poinnya, Grandong bulan Mei akan ke Inggris. Minta doanya lancar semua. Alhamdulillah, akhirnya temanku ini berangkat juga ke Eropa. Sebenarnya waktu ke Jatipuro bawa pancing, tapi gagal. Ke Sragen juga bawa pancing, sepanjang jalan banyak orang mancing, tapi gagal juga, terlalu sore. Yo wes, waktu sudah sangat sempit. Terima kasih banyak kawan, sukses dan sehat selalu ya.

Pulang, mampir masjid kulon. Akhirnya pembagian salat sudah semua. Magrib dulu, nunggu Isya dibel rumah, suruh pulang karena mau berangkat. Ketemu pak e Hari, dan seorang mantan anggota DPRD Sukoharjo. Pulang, sudah siap-siap ke Balapan. Mengharu, Wildan akan melakukan latihan intens di Bogor. Tahun ini dapat giliran untuk tugas ke Papua yang berbatasan dengan area merah, jadi ini perjalanan ke Jakarta, lanjur ke Bogor. Di Balapan, dipuas-puaskan foto dan dadah-dadah. Pulangnya isi e-toll dua kartu buat besok.

Hari #8 – 13 April 2024
Jadwalnya ke Yogyakarta, Hermione janjian sama Kanza ketemu di Malioboro. Sari stasiun Palur berangkat pukul 07:15, naik KRL dapat tempat duduk sebab startnya dari situ. Kartu e-toll sudah saya siapkan, namun baru juga dua stasiun, di Balapan saya sudah berdiri untuk kasih kursi ke anak-anak. Sampai klaten, gantian May yang berdiri. Penuh sesak penumpang. Sampai Stasiun Tugu, pemberhentian terakhir, hanya bayar 8 ribu per orang.

Jalan kaki ke Malioboro, hawanya sangat panas. Janjian di Mal Malioboro, tapi ternyata di Plaza Malioboro, di McDnya. Mampir ke Teras Malioboro, beli gelang, cincin perak untuk dipakai, brem, dll. Belanja-belanja… saya sendiri pasif sebab duitnya mefet. Hanya pengen es teh, haus. Hawanya luar biasa membakar. Setelah salah di Mal, kita jalan ke Plaza. Ketemu ayah ibu adik Kanza. Dan, tahu ga kemana belanjanya? Ke Teras! Hehe, balik lagi. Poinnya memang menikmati Yogya. Saya sendiri tak terlalu antusias belanja, hanya duduk-duduk memandang kerumunan orang lewat, menyaksi kemacetan, menjadi orang pasif yang membaca Koran Jawa Pos. Langka, ketemu orangtua jualan Koran. Sama kopi, dan Koran, duduk di tengah trotoar Malioboro. Nikmat sekali.

Siang jam 2 balik ke stasiun, wooowww… membludak. Benar-benar penuh, penumpang KRL memenuhi peron. Desak-desakan, bahkan saat kereta berjalan, masih desak mendesak. Alamat sampai Palur berdiri. Yang disayangkan, ternyata di Yogya – Solo, banyak yang tak sadar diri untuk memberikan tempat duduk untuk wanit/anak-anak, padahal masih muda. Hermione duduk di sandal, di kakiku sebab kelelahan. Tak mengapa Nak, inilah seninya liburan di masa Lebaran.
Sampai Palur jam 16:00, ambil ke BNI lanjut makan mie ayam ke arah Bremoro. May kagetm harga mie ayam 9k, bakso 12k, es teler 7k, karak 5k. Hehe, bertiga tak sampai 50k. Mana, mie ayam baksonya enak banget. Dia berulangkali bilang, nanti liburan makan ke sini lagi. Mampir bentar beli telur 1 kilo, 26.5k. Sampai rumah, langsung asar dan mandi. Lelah sekali perjalanan kali ini, berdiri 2 jam PP Solo-Yogya.

Malam terakhir di Palur, saya tak ke mana-mana, isya di Ar Rouf, ketemu Dwi B, teman lama yang bertukar nomor WA dan sher foto. Isi bensin full 260k. Isi etoll 400k, main aman saja. Dan ketika May gerundel persiapan barang ke mobil untuk besok arus balik, saya tepar tertidur lebih cepat.

Hari #9 – 14 April 2024
Karena plat mobilku genap, mudik dan arus balik di tanggal genap. Ada acara ke Dufan 16nya, jadi memang 15nya mau istirahat. Maka, Minggu pagi kami bersiap-siap arus balik. Berangkat pukul 07:00, setelah pamit ke keluarga lain, sayang pipi kanan-kiri, kata-kata perpisahan, hiks, sedih. Akhirnya kami melakukan perjalanan ke Barat. Sementara Mas Dwi dari Ngawi rencana berangkat agak siangan.

Sempat adu argument sama May, saat di sebuah masjid ada juru parkir mau memajukan mobil, saya tetap ambil jalurnya. Bikin tak konsen, marahan. Kami keblabasan sampai Gading, yang seharusnya masuk tol Karanganyar. Putar balik, May ngambek tetap ambil video di pintu tol, begitulah cewek. Tak paham navigasi, tak bisa naik kendaraan dengan benar, tapi kalau jadi penumpang ngomelnya tak ketulungan. Sepanjang Karanganyar – Salatiga banyak diam, saat itulah saya menyalakan Linkin Park sebagai penyemangat.

Sampai tol Semarang tak terkendala macet, hanya sesekali kena di area rest. Tak ada one way, sampai Kalikangkung lancar sekali. Masuk ke kanan, masuk one way. Benar-benar lancar. Tinggal mainkan gas aja. Saya membatasi diri, kecepatan maksimal 100 km/jam. Istirahat pertama pukul 11:00 di rest area Batang, makan siang, ngopi, duha, isi bensin 100 ribu. Mumpung pom bensinnya sepi, main aman saja walaupun sebenarnya full sampai rumah aman.

Rest area berikutnya di pukul 13:30 di Cipali, kali ini istirahat lama. 1,5 jam, salat Duhur jamak Asar, makan siang, ngopi lagi. Makan snack, Hermione ingin beli nasi bungkus di Indomaret pakai susi, saya tinggal rebahan di kursi panjang bawah pohon, sejuk nyaman sekali, cuaca enak setelah hujan. WA keluarga update perjalanan, dll.

Saat adzan Asar jalan, dan benar saja sesuai Maps akhirnya merasakan macet di jelang pintu tol utama Cikampek. Tersendat panjang, untungnya polisi baik. Sisi kanan yang penuh, kami dipindahkan ke kiri. Di sisi kiri walau macet, masih gerak. Tak seperti one way kanan, sungguh panjang (salah satu sopir temanku, kejebak lama). Sampai pintu utama, langsung ambil kiri terus karena rencana keluar pintu tol Karawang Timur. Sekitar sejam di situ kami lolos, keluar arah Kawasan Surya Cipta, ikuti alur sampailah rumah. Pukul 18:20, sungguh Maps akurasinya hebat sebab sebelum berangkat saya cek pukul 16:00an, saya cek ulang setelah istirahat 18:15, dan benar-benar Ok.

Hari #10 – 15 April 2024
Istirahat. Seharian rebahan, main HP, beberes sekenanya. Niat makan nasi padang siang-siang kelakon, langsung kulakukan sejak sampai Karawang. Sorenya mancing.

Hari #11 – 16 April 2024
Dufan Day. Punya 3 tiket gratis dari giveaway I Radio, terakhir hari ini. Makanya, daripada hangus. Sejak pagi, Hermione susah dibangunkan. Rencana pagi berangkat, baru jam 09:00-an, itupun sarapan dulu di rumah ibu. Ini pertama kali nyupir ke Ancol sendiri, estimasi 1,5 jam. Cocok, ikuti Maps, kena macet dikit sisa arus balik. Bayar tiket Ancol di Pintu Timurm via Qris: 3 tiket (30 ribu x 3 orang) + parkir 30 ribu. Masuknya tinggal scan tiket freenya. Dan ta-daa… berhasil bersama keluarga ke Dufan. Cerita Dufan akan saya tulis di catatan terpisah.

Pulang pukul 20:30, lelah. Naik tol Marunda – Cibitung, mahalnya 44 ribu. Tapi benar-benar menyingkat waktu. Sampai rumah nge-indomie.

Hari #12 – 17 April 2024 & #13 – 18 April 2024
Sejatinya 2 hari berikutnya adalah sekadar istirahat, pengen nonton Liga Champions, paginya baca buku + kopi + jazz, siangnya mancing. Puas sekali, bisa istirahat full melakukan hobi. Walaupun kepotong bentar di Rabu pagi, saat baca buku di taman bapack-bapack komplek datang, salaman malah jadi ngumpul ngopi. Jadilah podcast lagi. Memang selalu meriah, seru kalau sudah ngumpul sama teman-teman. Obrolan Bapack2 tiada duanya. Diskusi acak sampai kemungkinan serangan UFO.

Demikian catatan 13 hari libur Lebaran. Hari ke-14 masuk, lalu libur dua hari lagi. lebaran 2024 sungguh menyenangkan, penuh kenangan. Terima kasih.

Karawang, 230424 – Madeleine Peyroux – Dance Me to the End of Love

Sikusi 19 Tahun


Pos ini adalah sebuah tribute untuk Sikusi yang sudah menemani banyak hal.

“Buang, udah buang aja motornya. Ngerepotin.” – Ciprut

Maret ini Motor Kharisma biruku berusia 19 tahun, sekaligus dipensiunkan dari rutinitas kerja. Penggantinya, Beat Hitam Silver sudah datang 26 Maret kemarin. Rasanya campur aduk, meninggalkan Sikusi di rumah setelah menemani waktu selama ini.

Memang sudah waktunya ganti sebab sejak tahun lalu olinya bocor. Setiap dua minggu sampai sebulan harus dibelikan oli baru. Setiap mau dipakai diisikan. Ini sebenarnya puncak, setelah berbagai hal terjadi dan tak rasanya tak memungkinkan untuk terus dipakai, sebab akan menyusahkan diri sendiri dan orang-orang sekitar. Ciprut yang seringkali komplain, beberapa kali error tak bisa di-stater karena busi basah kehujanan, atau kehabisan bensin. “Buang, udah buang aja motornya. Ngerepotin.” Kalimat yang beberapa kali diucapkannya ketika Sikusi mogok.

Saya rangkum saja beberapa masalah Sikusi:
#1. Oli bocor, tiap mau dipakai harus isi. Ini faktor utama yang buat tak nyaman sebab oli tercecer di jalan atau di tempat parkirnya jelas mengganggu. Mana asapnya ngebul di penampungan oli ketika oli habis/menipis.
#2. Tidak ada kunci, nyalain pakai dua kabel disambung. Bisa bertahan dua tahun ternyata, waktu itu kuncinya memang rusak jadi bisa dicabut saat motor nyala. Makanya saya pasang gantungan kunci ketika menjalankan motor. Sebuah gantungan kunci panjang mengalung di centelan samping. Nah, apesnya dua tahun lalu lupa ngantelke, sehingga ketika perjalanan berangkat kerja, entah kena polisi tidur atau lubang (dan Karawang banyak sekali lubang di jalan). Tahu-tahu sampai Pabrik, kuncinya tak ada. Benar-benar kaget, dua hari cari tak ketemu. Akhirnya sama teman kerja, dibandrek. Diakali tanpa kunci, bisa dinyalakan dengan dua kabel menjulur. Bahaya? Ya, maling akan dengan mudah mengambilnya. Namun motor tua tersendat-sendat seperti ini siapa yang mau ambil? Sesekali memang saya kunci gembok pengaman, tapi tetap merepotkan. Yo weslah…
#3. Sekrup hilang banyak. Sepintas lihat saja bisa menemukan lubang tanpa sekrup. Entah di body, entah di mesin. Tak heran getarnya terasa sekali. Setiap berapa waktu, menemukan sekrup, mur/baut tergeletak di bawah motor, artinya ada yang jatuh, dan saya bukannya segera memasang, malah membuangnya. Sudah malas cari solusi, selama bisa jalan, saya genjot aja motornya.
#4. Kepala rangka gear sampai soak diikat kabel ties. Ya, Supra getar atau Kharisma getar mungkin sudah sangat akrab buat kalian, tapi ini parah. Selain dikabel, juga dipasang solasi dua layer, tetap getar.
#5. Jok bolong-bolong digaruk Si Belang. Ini ganti jok ke berapa ya? Hhmm… 2015, 2019, 2022. Tiga kali seingatku. Yang pertama karena usia, jadi lubang memanjang. Wajar sebab kena hujan dan panas. Kedua karena kucing, ketiga sama. Nah, yang ini sebenarnya masih Ok. Bolongnya tak besar, kecil banyak. Setiap habis kena hujan, pasti celana ikut basah setelah berkendara.
#6. Pajak mati, tahun 2025 bakalan sulit untuk ganti plat. Sejak 2021, sengaja saya tak proses sebab sudah mulai tak nyaman pakai. Dibiarkan saja mengalir, alasan utamanya sih karena plat Solo sehingga harus kirim STNK, dan gosokan. Kalau mau cepat via calo. Intinya repot.
#7. Aki mati, dan efeknya banyak.
Lampu mati. Repot sekali kalau pulang malam. Sein redup dan tak kedip, tiap mau belok tangan aweawe.
#8. Stater elektrik mati. Ini sudah lama sekali, lebih dari 7 tahun. Jadi setiap nyalain digenjot. Apesnya kalau kehujanan, busi basah sehingga tak langsung bisa distater. Kudu dikeringkan.
#9. Spidometer mati, tak tahu kilometer berapa, tak tahu bensin masih ada enggaknya. Seringkali pakai ilmu perkiraan, dan kehabisan bensin.
Dll

Dengan keluhan sepanjang itu, rasanya memang sudah saatnya ganti.

Kelebihan Sikusi memang awet. Servis terakhir tahun 2016 seingatku, rutin ganti oli 2 bulan. Kepala memang getar, tapi masih nyaman saja, tak mengganggu. Bensin irit. Seminggu habis 35-40 ribu untuk perjalanan PP sekitar 30 kilometer.

Pernah ada yang membandingkan, sama Supranya 20 tahun dan masih bagus. Namun sejatinya tak bisa dibandingkan, sebab supranya tak sesering dipakai. Bagaimana bisa dibandingkan, Supra adalah motor cadangan, punya kendaraan lain yang bagus dan mahal keluaran terbaru. Sikusi adalah pemain inti, dipakai terus untuk ke mana saja. Untuk apa saja, sebab tak ada cadangan. Makanya ngos-ngosan.

Sikusi kubeli di Cahaya Sakti Motor, Solo bulan Maret 2005. Belinya diantar Mas Amin, saudara ipar dan Pak e Andi (alm.), kala itu beli tunai agak susah. Saya tepat setahun kerja di Mushashi Cikarang sebagai operator. Memang sudah janji, kalau diperpanjang kontrak akan ambil motor dan itu harus tunai. Dengan ATM Lippobank, kala itu dibatasi ambil tunia maks 5 juta. Saya udah pegang duit 5 juta, bisa ambil lagi 5 juta, berarti kurang 3 juta. Waduh, kenapa masalah administrasi seperti ini tak dipikirkan? Pak e Andi lalu kasih solusi, pinjam uang saja ke tetangga yang terkenal baik dan kaya, dia sudah banyak bantu tetangga, pinjam hanya untuk 1 hari? yo wes nurut.

Seingatku, tak ribet, sistem percaya saja. Datang, ngobrol, janji besoknya langsung dilunasi. Ketika ditanya bunga? Tak perlu, toh hanya sehari. Lalu Pak e Andi menyarankan beli rokok 1 slop untuk dikasih. Ngikut saja saya, kala itu saya 20 tahunan, masih polos dan apa kata orang tua bakalan diikuti.

Saya sendiri cuma bilang, ingin motor Honda Biru keluaran terbaru. Ketika di dealer, sempat dibuat sulit. Pindah ke dealer lain, sama. Namun akhirnya diberi juga setelah negosiasi. Pak e Andi diminta copy KTP untuk dikasih persenan, sekalipun hanya mengantar saudara, ia jadi penghubung. Dan begitulah Sikusi, Maret 2005 menghuni rumah.

Saat datang, saya sudah balik kerja ke Cikarang. Motornya sebulanan di rumah Palur, dipakai siapa yang mau pakai. Saat dibawa ke Cikarang, dinaikin bareng Mas Amin.

Perjalanan santuy via pantura. Makan di warung yang ingin mampir, mampir pantai utara di Cirebon, sampai pas di Purwakarta di rumah Mas Dwi, kami mampir ke Waduk Jatiluhur. Kala itu belum ada HP berkamera, atau kalaupun sudah ada, terbatas. Kami pakai kamera manual, yang fotonya sekali ambil, 36 pcs-nya nanti dicetak. Oiya, kala itu dalam perjalanan, saya sudah punya HP Poliponic Nokia, di mana setiap persinggahan, saya SMS seseorang. Plus, nada deringku yang pakai nada Peterpan, ‘dimainkan’ dimiscol oleh Mas Harso. Seseruan aja.

Saat sampai di Cikarang, Mas Amin tahu kontrakan bocor dan betapa terkejutnya. Rumah kayak kapal pecah, barang-barang semrawut, cucian numpuk (kala itu belum punya mesin cuci), dst. Maklumlah anak muda, sehingga tak mementingkan urusan rumah.

Motor Sikusi jadilah teman rutin sejak itu.
Banyak kenangan tak terlupa, perjalanan kos (akhirnya saya pindah kos Ruanglain_31) PP tempat kerja. PP pula ke kampus tercinta. Mengantar banyak teman, dll. Mushasi akhirnya hanya setahun lagi, pindah ke Aisin, lalu LKS/GGS, dst. Kenangan-kenangan itu memberi warna. Menjadi saksi bisu pacar pertama, kedua, dst. Menjadi motor yang sering pula dipinjam teman, salah satunya adalah teman kerja GGS, Julius. Orang Kalimantan yang tak punya motor, dia sering pinjam, sering bawa, bahkan setiap berangkat pulang kerja, dia yang bawa motor.

Beli plat AD karena memang rencana, tak mau lama di perantauan. Ngumpulke modal buat nantinya mudik. Walaupun tiap tahun bakalan repot, sebab pajaknya berarti harus kirim STNK dan KTP untuk diurus di Solo. Jadi tiap awal Maret, saya kirim dan transfer 500 ribu (saya lebihin selalu), Mas Amin akan bantu urus. Setelah selesai, dikirim balik. Hufh… repot ya. Dan itu demi, suatu hari yang tak jelas. Sayangnya, rencana tinggal rencana. Kini 19 tahun kemudian, saya tetap di tanah rantau.

Lupa berapa kali saya pakai buat mudik Solo, kalau ditelaah seingatku ya, hanya seingatku. Ada 4 kali mudik bermotor. Pertama, bulan November 2005 ketika Lebaran. Mudik ramai-ramai ngumpul di Vila Mutiara Cikarang. Kala itu saya masih kerja di Mushasi, dan sudah kuliah sambil kerja. Perjalanan yang rencana 12 jam menjadi 24 jam sebab rombongan, beberapa mengalami kecelakaan. Saya sendiri kala di daerah Cirebon, ban motor bocor. Untungnya ada tukang tambal ban keliling, ditunggui Iksan. Seingatku hanya bayar 35 ribu. Ikhsan sendiri apes, sebab kabel headset-nya putus saat di pom bensin, ketarik dari tas. Kecelakaan teman-teman ini akhirnya memang membuat tertunda, saling tunggu. Dan saya ingat sekali, sama ikhsan dan Iim berteduh di kedai/warung makan Semarang. Ah, kenangan buruk yang jadi indah saat dikenang.

Kedua, mudik Tahun Baru 2006. Hanya berjeda tak ada dua bulan, mudik lagi karena libur panjang. Kali ini, kami naik gunung Lawu sama teman-teman. Hendi dan temannya, Iim, Ikhsan dan saya. Sikusi ke Lawu, yo jelas lancar. Ini adalah pengalaman pertama naik gunung, dan di akhir tahun jelang pergantian. Jam 00:00 di puncak, badai dan hujan menyapa. Kalau dibayangkan, serem juga ya. Pas turun gunung paginya, saya dapat SMS dari May, calon istri. Sinyal untuk dekat setelah pertama kali bertemu beberapa waktu lalu.

Dalam perjalanan balik ke Cikarang, janjian sama teman-teman ketemu di Solo Square waktu subuh. Andi H yang nganggur, ikut ke Cikarang mau cari kerja. Nginep di kosku. Ramai-ramai, dan di sinilah keteledoran terjadi. Ketika sampai di area Subang, salah ambil belokan. Hendi dkk kena tilang polisi karena spion satu (waktu itu trend, spion motor hanya kanan, bila pasang kiri juga tampak banci). Saya, Ikhsan dan Iim salah lewat alternatef Subang yang jalannya gelombang lewat hutan. Dan bum! Saya kecelakaan. Lumayan parah, Andi tak papa, saya yang harus gendong tangan kanan. Mampir ke tempat urut, ditarik diluruskan sakit banget. Lalu mampir ke Purwakarta, ke rumah Mas Dwi. Mampir ke RS Siloam Pwk. Fufufu…

Februarinya saya habis kontrak. Pindah Aisin yang sebelahan setelah tes di BKK STM 1 Solo. Dan hanya 6 bulan, keluar. Pindah ke LKS/GGS, Ketiga Lebaran 2006 saya mudik lagi dengan Sikusi. Kali ini bareng Mas Dwi dan keluarga, bareng Teguh dan Joko (boncengan). Saya sendiri, karena ini mudik motor kedua, jadi lebih tahu siasat dan celahnya. Lancar semua, termasuk saat arus balik. Saya sempat berpikir, Mas Dwi bawa istri dan anak kecil dua bermotor, Purwakarta-Solo. Wow…

Keempat, entah di momen Lebaran atau nganggur, yang jelas pas arus balik sendiri. Santuy, sayangnya terlena. Saya jatuh di belokan jelang Alas Roban. Karena roda yang tipis dan ceceran oli kendaraan, di tengah hari yang terik bikin licin. Dibantu warga, dan sisa perjalanan pelan sampai Purwakarta. Hanya luca lecet.

Setelah itu, rutinitas menjelma. Pindah kerja lagi ke Dexa (6 bulan), Wahyu (9 bulan), Cahaya (6 bulan), dan akhirnya Furniture lagi. Di sini, saya terhubung kembali dengan May, dan tahun sudah menunjuk 2011. Kos sudah pindah ke Adirfa Lamaj, Cikarang Utara. Kos ternyaman sebab dekat kuburan. Sepi kanan kiri sawah, di sinilah saya merenungkan hidup. Monoton, membosankan. Lajang yang galau, mau ke mana? Titik pentingnya adalah Desember 2010, saya gagal tes CPNS Sukoharjo, sehingga putuskan tetap di tanah rantau.

2011 itulah, saya bolak-balik Cikarang-Karawang. Sempat tes juga di Bandung di Feb 2011, tapi kala itu sudah janjian menikah sama May November sehingga kalau cari kerja ya di sekitarnya aja yang terjangkau, sehingga tak perlu jauh-jauhan. Kala itu saya sudah putuskan ketika menikah harus satu atap, tak boleh terpisah. Sempat tes di Alfamart, ketrima sebagai surveyor tapi tak kuambil karena kerjanya keliling kota-kota. Sempat MCU di Astra Otto, Cakung, tapi tak ada kelanjutan. Kerja dua hari di Yayasan Outsoure Bekasi, pernah PP ke Karawang lokasi penempatan, eh setelah diskusi sama calon mertua, out saja. Tes di Jababeka Cikarang, nego gaji ga cocok, tes di MM2100 bagian PPIC gagal, tes di Indoteisei sama aja tak ada kejelasan (dekat Dunlop padahal). Tes di Unilever, sampai tes MCU, gagal. Tes MCU ambil darah lagi, senyap, dll. Tes di banyak tempat, terlalu pilah pilih sehingga malah nganggur jelang menikah. Di saat itulah Sikusi menemani ke mana-mana. benar-benar bandel dan setia lintas kota. Pokoknya jelang menikah, ujian berat banget.

Sampai akhirnya, setelah kesabaran itu diuji muncul panggilan tes kerja di Cahaya Murni Kasindo (Bigland dan Napolly produk). Kala itu perjalanan Cikarang-Karawang, HP Nokia tergetar pas di perlintasan kereta api, HRD telepon (Bu Irma) tes panggilan. Karena bising, saya minta SMS saja. Seingatku bulan Agustus 2011, Sikusi saksinya bahwa feelingnya dapat. ya, dapat.

Sejak itulah Cikarang-Karawang terus dilakukan. Kos dan kerja di Cikarang, tinggalnya istri di Karawang. Pengantin baru. Kalau dipikir-pikir, kenapa ga bolak-balik aja sih. Makanya pergantian tahun 2012 akhirnya saya pindah ke Karawang. Sikusi akhirnya legaan lagi saat Februari 2012 saya dapat kerja di Karawang. Di FCC inilah finansial saya membaik. May masih kerja, saya siap cicil rumah. Sikusi 7 tahun, dan masih baik-baik saja.

Tahun 2015 Sikusi turun mesin sebab ngebul, kala itu sudah pindah NICI. Saya ganti mesin ori, lebih mahal tak apa yang penting bagus. Dan memang bagus banget mesinnya. 10 tahun ganti mesin, rasanya giras banget. Nyaman sekali jalannya. Karena sudah punya mobil, tak terbesit ganti motor, selama jalan dan ok ya dipakai.

Memang, dalam kurun 2017-2023 Sikusi mulai berulah. Beberapa item rusak, seperti yang saya sampaikan di mula. Puncaknya memang oli bocor sekitar Agustus 2023. Sejak itu ganti oli rutin, mulanya sebulan sekali, sempat kosong mogok di jalan. Lalu sebulan 2 kali, tetap pernah mogok di jalan. Akhirnya sejak Desember 2023, saya bawa obeng. Tiap pagi sebelum berangkat kerja isi oli. Diisi dikit saja, asal jalan. Total habis 600 ribu ganti oli selama 7 bulan ini. Case ini benar-benar close ketika 25 Maret 2024 transfer tunai (koperasi) beli motor baru. Keesokan harinya dikirim ke rumah.

Beat CBS warna Jazz silver black. Pilih warna hitam sebab elegan, dan ada kata ‘jazz’ nya. Dengan demikian maka sikusi resmi pensiun di usianya yang ke 19 tahun. Sikusi hanya akan dipakai weekend ketika main ke rumah teman/saudara yang dekat, atau untuk refreshing seperti mancing. Sudah kulakukan weekend kemarin. Moga tetap sehat ya sikusi.
Ada yang menawar 1 juta, tidak kuterima. Barusan banget tadi teman kerja nawar 500 ribu. Tetap kutolak. Terlalu banyak yang rusak, takutnya tak cocok sama pemilik baru. Namun sejatinya, terlalu banyak kenangan yang dicipta. 19 tahun bukan waktu yang sebentar. Sikusi menjadi banyak saksi perjalanan hidupku, sayang kalau dilepas.

Selamat ulang tahun Kusi, I love you forever…

Karawang, 280324 –Etta James – Don’t Explain