Terbata Mengucap Cinta pada Timnas

Dari Kekalahan ke Kematian by Mahfud Ikhwan

Saya tak ingat betul kapan kita terakhir kalah sebanyak ini, Bung.” Kata Bung Towel. “Tanpa ragu saya katakan,” timpal Bung Tris dengan suara tercekat, “ini memalukan!”

Tipis. Mungil. Cepat sekali bacanya, di sela Pi dan Zarathursta yang bahkan sampai separuh bulan baru dapat separuh perjalanan. Ku #unboxing hari Minggu, 17 Januari kuselesikan baca dua hari kemudian. Buku ngomong ngalor ngidul dari hati Cak Mahfud untuk pecinta Tim Nasional Indonesia. Curhatan, makian, ratapan adalah bukti bahwa publik sepakbola Indonesia masih bernyawa.

Mahfud Ikhwan memang jaminan, salah satu penulis hebat di zaman kita. Ini buku kedua darinya tentang sepakbola yang kunikmati, jelas lebih baik ketimbang rangkuman review per pekan sepakbola Eropa dalam ‘Sepakbola Tak Akan Pulang’. Kali ini fokus ke cerita lokal, mayoritas diangkut dari blog-nya belakanggawang.blogspot.com yang diampu bersama Bung Darmanto Simaepa. Sobatnya tersebut, ternyata sobat kental beberapa kali disebut menjadi teman curhat dan nonton bareng. Setara Grandong yang jadi sobat misuhi Liverpool dengan kepleset Gerard-nya. Masih ingat review buku Tamasya Bola? Kata Pengantarnya keren sekali oleh Cak Mahfud, di Dari Kekalahan, dibalik. Pengantarnya oleh Darmanto, panjang meliuk-liuk liar, dan muatan isi bukunya segaris lurus. “Barangkali sepakbola unik karena ia bisa memberikan harapan berulang kali.”

Setengah abad menjadi pecundang menjadi pengantar panjang itu, bagaimana timnas kita seolah pendulum yang tak pernah menyentuh puncak lagi sejak tahun 1991. Berputar bak gasing di dasar dalam kebingungan, kekonyolan berulang, dan senyum busuk politikus. Kita bisa berjilid-jilid menulis makian ke PSSI dan segala kroni-nya. Berisi 16 tulisan, semuanya tentang sepakbola kita, mayoritas timnas, beberapa klub lokal. Hebat. Saya bisa bercerita sampai sisi dalam kulitnya pemain Biancoceleste, detail seolah papan iklan di Olimpico bisa diraba. Namun sulit menelusur sepakbola sendiri, debu-debu Mandala Krida lebih jarang kutemui di layar TV ketimbang gemerlap Nou Camp.

Lebih istimewa, catatan di sini tampak beda. Bukan ulasan pertandingan, pandangan laga sepanjang menit seolah teks tabloid Bola, atau terjemahan La Gazetta Dello Sport, bahasanya terasa bebas sekali, tulisan blog memang personal, bukan olahan berita yang formal. Makanya terbaca bagus sekali, dengan ke’saya’an melimpah Cak Mahfud bercerita pengalaman, sedari kecil, sedari mondok, sedari merantau. Seperti saya, diksi saya lebih terdengar hormat ketimbang aku. Patah hati berulang kali, mengucap cinta pada cewek cantik dah biasa, apapun balasannya hal lumrah sebab targetnya laik; mengucap sayang pada cewek jelex, ia terbata-bata. Hiks, sedih…

Tak banyak buku tentang sepakbola yang kubaca, dari sedikit itu rata-rata mengecewakan atau katakanlah biasa. Sulit memang menulis tentang bola yang bagus, ada yang muluk-muluk sampai bikin muntah sebab nyebut sains sesering Neymar kepleset. Ada yang bernarasi dari menit ke menit menjelaskan bola bergerak seolah kita tak tahu keyword guna searching di Youtube. Maka lebih bijak memang mengambil sudut pandang orang pertama, yang dikupas momen penting, sehingga tampilan kata-nya stabil asyik.

Seperti AFF 1997, bagaimana Sang Penulis bilang digebuki sarung sama ustaz-nya sebab nonton semifinal di jam ngaji bersamaan pula magrib, berbarengan dengan acara pondok. Ia bercerita, seolah dua momen itu penting. Kenapa? Kita jelas tahu Indonesia ke final, lalu luluh lantak, yang jelas kita tak tahu bagaimana ia menikmatinya, dan menyakitkannya. Uang makan melayang. Tjakep! Kisah semacam ini setara dengan narasi-ku ketika menonton final Copa Italia tahun 2013. Saya menjelujur kata bagaimana rencana nobar Lazio Indonesia ke Jakarta, kunci motorku diumpetin istri karena tak boleh keluyuran dini hari ke Ibukota, sempat ngambek kucari tumpangan ke Laziale lainnya, pada udah cabut, juga berbarengan pula rekan nonton dari Lazio Cikarang terjebak macet dalam perjalanan arus balik, dan bagaimana saya berteriak sendirian memandang Lu71c di layar TVRI di rumah. Narasi satu sudah diketahui banyak orang, narasi kedua bukan sekadar sisipan, tapi malah menjadikan info bagus kefanatikan. Walaupun Lazio menang, Indonesia kalah, jelas cara bernarasi saya kalah telak sama Cak Mahfud, ‘Kisah Tiga Pelanggaran dan Narasi Kekalahan’. Manusia semacam Pak Amrozi, Mayistri tersayang yang galaknya minta ampun kalau audit koleksi buku dan bola–, dan pengganggu-pengganggu cara menikmati kulit bundar selalu ada di sekeliling kita.

Seperti bagaimana proses Indonesia kalah menyakitkan tahun 2010, momen bangsat nomor seribu itu, kita sudah di puncak permainan ketika kaki menapaki garis final. Berlanjut antiklimaks Sea Games bercumbu lagi sama Malaysia, dan bagaimana kekalahan itu menewaskan dua supporter. Asyik cara nulisnya, dibagi dua babak laiknya sepakbola: sebelum kekalahan bercerita proses nonton dengan bantingan antena berulang kali, dan setelah kekalahan cuma sekalimat. Hahaha… kok kepikiran ya.

Seperti kisah-kisah dystopia kebanyakan yang fantastis, Sang Penulis memiliki angan-angan gila, mencipta tokoh seorang ilmuwan yang berhasil menciptakan alat pembunuh massal di Indonesia. Setiap manusia yang memiliki pikiran dalam kepala mengenai sepakbola, mati. Percobaan me-reset pola pikir dan olahraga asyik ini. Oh, ok. Endingnya? Diberi dua alternatif: Pertama, Sang sarjana biokimia mencipta benthik yang diajarkan ke anak-anak yang ia temui pertama. Yang kedua, semua tewas termasuk si ilmuwan gila ini sebab gagal cipta penangkal, semua orang-orang sepakbola tewas tak tersisa, kecuali orang-orang PSSI dan beberapa bos klub, kenapa? Sebab kata ‘sepakbola’ bahkan tak terbesit di kepala mereka. Hahahahahaha… jleb-jleb-jleb. Benar-benar kocak, fakta pula. Ini jelas kupilih terbaik ada di judul ‘Sepakbola Indonesia: Sebuah Cerita Distopia.’

Seperti iklan rokok yang kerap muncul bersama sepakbola, saya sepakat sekali. Saya tak merokok lagi setelah Muhammadyah mengharamkannya, saya melihat hal-hal yang ditulis dalam ‘Peringatan Saya: (Iklan) Rokok Bisa Menimbulkan Masyarakat yang Sehat, Bahagia, dan Penuh Harapan.’Tak seperti manipulasi-manipulasi lain yang saya sebut tadi, rasanya senang dan bahagia yang ditimbulkan oleh sepakbola tidak didirikan di atas sejenis moralitas, tidak dibangun dengan mengatasnamakan kebenaran. Itulah kenapa sepakbola jadi terasa menyenangkan dan membahagiakan… sayangnya dipersembahakn oleh iklan rokok.” Asem, musiknya Gloomy Sunday cuy. Saya lebih nyaman merenung libur bersama Bill Withers saja, Lean on Me.

Seperti ketika AFF edisi 2016, Sang Penulis ‘muak’ sama bola tapi ternyata timnas bisa melaju juga dari sergapan grup. Ini mengenai Riedl yang terharu, dengan skuat seadanya karena kompetisi sedang berjalan, setiap tim hanya boleh diambil dua pemain. Timnas bisa melaju, mengalahkan Singapura. Saya mengalami era ini, tapi kok saya lupa-lupa ingat ya? Saking bobroknya roda kompetisi, saya memang sempat ‘cuek’, dan hal yang sama juga dilakukan Sang Penulis. Ia baru tahu skornya justru dari ayahnya, bukan langsung menatap layar. Dengan judul ‘Kembali (Mencoba) Berharap’, memang harapan itu melayang bersama bom telur, meledak dalam kekonyolan, busuk dan buruk.

Seperti komentarnya tentang Nurdin Halim yang muncul di banyak layar, padahal suporter muak. Dan kata-kata Sang Penulis yang menyindir langsung betapa Johar Arifin lebih buruk dari pendahulunya, kalimat yang dikutip juga jleb, “Saya masih memberi kesempatan kepada klub-klub untuk kembali ke kompetisi yang resmi. Paling tidak sampai Senin ini. Ya, paling lambat Senin malamlah.” Lihat, betapa memuakkan boneka ini. Pengen muntah rasanya, dolanan bal dadi sembelit politik dan kekuasaan.

Dan seperti-seperti yang lain, jelas Cak Mahfud mewakili banyak hal. Mewakili uneg-uneg ratusan juta pecinta sepakbola, timnas pada khususnya. Dan seperti buku sebelumnya yang memicuku untuk nulis tentang bola, saya jadi terpicu lagi untuk turut nulis uneg-uneg.Sepakbola Tak Akan Pulang’ membuat gebu, walau nyatanya setelah sembilan bulan baru nulis satu artikel yang dipos ke fandom.id; niat ini memang harus dibakar terus. Baik, nanti saya coba lagi ke Fandom atau ke Pandit sekalian. Nulis bola memang butuh keuletan, butuh konsistensi tebal ketimbang review film, atau buku.

Mengenal bola, saya sedikit lebih baru. Baru klik sepakbola tahun 1998, kala Vieri join Lazio. Timnas momen paling menyakitkan bagiku ya tahun 2004 kala era Bejo Sugiantoro dkk kalah pinalti dan tahun 2010-11 dua kali dipecundangi tetangga. Muntab, patah hati berkali-kali, dan seperti kata Cak Mahfud, saya tetap juga mencintai tim rombeng ini.

Catatan penutup mengharukan sebab teruntuk Bapak, orang yang berjasa mengenalkan sepakbola, yang mencintainya dengan penuh, dari tim antah sampai tim elit dilibas, dari era radio sampai satelit, dari kekalahan satu ke kekecewaan lain. Jadi ingat almarhum Ayahku, mencintai Arsenal dengan Petit-nya. “Seng dikucir koyo jaran, mlayune kenceng tenan.”

Ok Cak, monggo cari solusi ideal timnas ini, bikin koalisi buat geruduk tahun 2024! Hehehe, ‘tuyo-tuyo kloyongan!’

Dari Kekalahan ke Kematian: Keluhan, Makian, Ratapan, alih-alih Catatan, Seorang Pencinta Sepakbola Indonesia yang Putus Asa | by Mahfud Ikhwan | EA Books. 2018 | Cetakan pertama, Mei 2018 | xxvi + 140 hlm., 12×19 cm | ISBN 978-602-50222-9-6 | Pemeriksa aksara Margareth Ratih Fernandez | Tata letak isi Mawaidi D. Mas | Desain sampul Azka Maula | Penerbit EA Books bekerja sama dengan Fandom.id | Skor: 4/5

Karawang, 210121 – Boyzone – Everyday I Love You

*) Thx to Dema Buku, Jakarta

**) Review khusus menyambut buku ‘Menumis itu Gampang’ yang baru saja terbit

3 komentar di “Terbata Mengucap Cinta pada Timnas

  1. Ping balik: #Januari2021 Baca | Lazione Budy

  2. Ping balik: “Bagaimana Cara Mendapatkan Ide?” | Lazione Budy

  3. Ping balik: 130 Buku Rentang Setahun | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s