(review) Rembulan Tenggelam Di Wajahmu: Apakah Hidup Ini Adil?

https://lazionebudy.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/09/c360_2014-09-15-06-06-59-0061.jpg
Inilah novel kedua Tere Liye yang saya baca setelah “Negeri Para Bedebah”. Novel ini adalah satu dari empat buku hadiah ulang tahun ke 31, di mana kesemuanya adalah karya Tere Liye. Hanya dalam dua hari saya selesaikan baca. Buku cetakan ke tiga belas pada Juli 2014, luar biasa produktif dan best seller. Betapa bangga dan kayanya ini bung (Darwis) Tere Liye, karena nyaris di semua toko buku yang saya kunjungi ada bukunya.
Kisah diawali dengan bagus, di sebuah malam takbir di mana orang-orang bersuka cita merayakan hari kemenangan ada seorang anak di sebuah panti asuhan sedang bersedih. Seorang yatim piatu yang menangis di sebuah ayunan, dia sedih karena tak tahu siapa ayah dan ibunya yang meninggal saat dia lahir. Tetes tangisnya seperti sebuah mantra pemanggil hujan. Cuaca yang sebelumnya cerah dalam gegap gempita takbir di sepanjang jalan tiba-tiba hujan lebat. Seakan mengajak kita ikut bersedih akan tanya, “apakah hidup ini adil?.” Anak kecil bernama Rinai inilah yang akan menjadi garis merah seluruh cerita.
Sementara di masa yang sama di sebuah rumah sakit, tergeletak seorang tua bernama Rehan. Pria 60 tahun yang sekarat sedang dirawat oleh dokter dan tim medis paling ahli agar nyawanya selamat. Seorang konglomerat pemilik kongsi bisnis imperium terbesar yang pernah ada. Saat sepertinya nyawa Ray sudah mustahil tertolong, tiba-tiba seperti ada keajaiban karena organ tubuhnya kembali berfungsi normal. Dan tubuh Ray seperti terhempas di sebuah tempat. Lalu datanglah (malaikat?) dengan wajah menyenangkan yang menepuk bahunya. Di sinilah dijelaskan bahwa Ray mendapat kesempatan untuk menemukan lima jawaban atas pertanyaan hidupnya. Apakah cinta itu? Apakah hidup ini adil? Apakah kaya adalah segalanya? Apakah kita memiliki pilihan dalam hidup? Apakah makna kehilangan? Terdengar familiar? Ya, kalau kau sudah membaca bukunya Mitch Albom.
Ray terhempas di sebuah terminal yang hangat. Lho, bukankah dia tadinya terbaring lemah di rumah sakit? Ternyata dia memulai ‘tur’ untuk mengenang masa lalu bersama Pria Dengan Wajah Menyenangkan. Tur inilah yang akan menjadi kisah panjang dalam novel ini. Ray adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di sebuah panti asuhan yang tak menyenangkan. Dirinya kesal dengan sang pengasuh yang sering menghukumnya. Menurut Ray, sang pengasuh adalah seorang munafik yang menghalalkan segala cara untuk bisa menunaikan ibadah haji. Sehingga berusaha mengumpulkan banyak uang, tak peduli itu memeras uang panti dan menyuruh anak-anak bekerja. Hingga pada suatu pagi di hari raya Ray memutuskan kabur membawa box istimewa milik pengasuh panti yang dikira Ray berisi uang. Tersebutlah teman Ray yang setia bernama Diar. Seorang lugu yang mengagumi Ray, sungguh bertolak belakang sifat mereka. Diar yang polos suka membantu Ray yang suka mencuri dan berjudi.
Lalu sebuah fakta yang mengejutkan Ray terkuak. Alasan kenapa dirinya saat berusia 16 tahun bisa terbaring lemah di rumah sakit di ibu kota, padahal sebelumnya dia sedang terbaring lemah di rumah sakit di sebuah kota di timur pulau Jawa pasca dirinya dirampok. Ternyata ada sebuah rahasia besar alasan kenapa Ray yang merasa membuang sia-sia waktu 16 tahun di panti. Itulah sebab-akibat kehidupan, bahwa kehidupan kita saling terkait dengan orang lain.
Kehidupan baru Ray di Jakarta dimulai. Dirinya mencoba melupakan masa lalu kelamnya dengan kembali membuka diri dengan teman-teman barunya di Rumah Singgah. Sebuah rumah di pinggiran kota yang menampung orang-orang dengan masa lalu tak jelas. Ada Natan yang pandai bernyanyi, ada bang Ape yang dituakan yang selalu memberi nasehat penyemangat hidup, ada Ilham yang suka melukis, ada si kembar Oude dan Ouda. “Kalian akan menjadi saudara di manapun berada, kalian sungguh akan menjadi saudara. Tidak ada yang pergi dari hati. Tidak ada yang hilang dari kenangan. Kalian sungguh akan menjadi saudara.” Ray lalu sekolah mengambil kelas kesetaraan. Tak ada kata terlambat untuk belajar. Saat akhirnya Ray sepertinya menemukan keluarga barunya, sebuah tragedi terjadi. Lukisan Ilham yang akan dibawa ke pameran dirusak sekelompok preman. Ray yang marah menghajar preman-preman tersebut. Celaka, mereka membalas menghajar Natan yang waktu itu masuk 12 besar kontes nyanyi di tv. Dengan amarah dan dendam yang membara Ray memporakporandakan gerombolan preman. Hal yang membuat Bang Ape marah besar. Ray yang membela diri, bahwa kalau ada saudaranya disakiti maka harus dibalas bukannya malah berdiam diri. Ray yang emosional akhirnya memutuskan kabur dari rumah singgah.
Memulai kehidupan baru sendirian di sebuah kontrakan di Selatan ibukota. Kesehariannya mengamen di kereta. Hobi lama memandang bulan di atap rumah dilanjutkan di atap kontrakan dekat tower air. Tower air yang akan menjadi twist di cerita berikutnya. Di sana Ray berkenalan dengan pria misterius bernama Plee. Setelah pendekatan beberapa bulan, akhirnya Plee berterus terang bahwa dirinya adalah seorang pencuri berlian. Dirinya mengajak Ray bergabung setelah melihatnya turun dari tower air dengan lincah. Apa salahnya menjadi orang jahat? Pencurian pertama mereka lakukan di sebuah malam takbir hari raya di sebuah gedung berlantai 40. Pencurian yang awalnya lancar berubah menjadi petaka saat ada kesalahan kecil salah perhitungan memicu alarm. Melalui adegan bak film action, mereka melarikan diri. Naas, kaki Ray tertembak dan mereka terpaksa membalas tembakan yang mengakibatkan dua orang security tewas.
Dalam pelarian, akhirnya terungkap bagaimana Ray bisa lolos sementara Plee tertangkap. Sebuah flash back yang mengharu biru menghantar Plee dihukum mati. Merasa bersalah dan hatinya hancur, Ray memutuskan kembali ke kota kelahirannya dengan naik kereta pertama di hari eksekusi Plee. Di dalam kereta itulah Ray menemukan cinta pertamanya, seorang gadis cantik bernama Fitri. Gadis yang ternyata ada sangkut-pautnya dengan garis cerita panjang ini. Ray yang memulai hidup baru sebagai buruh bangunan bekerja dengan giat. Dengan berjalannya waktu dia naik pangkat jadi wakil kepala mandor. Dengan kecerdasan di atas rata-rata, dia belajar cepat tentang arsitektur. di atas gedung setengah jadi, Ray melanjutkan hobinya memandang rembulan. Bersama anak buahnya Jo, Ray menemukan kembali gadis cantik di dalam kereta. Hingga terkuak sebuah kenangan kelam yang menyedihkan. Namun hal itu tak menghalangi Ray untuk meminang Fitri.
Kehidupan baru Ray yang lebih mapan bersama keluarga ternyata tak berlangsung lama. Enam tahun yang terasa cepat membuat kita ikut bertanya, betapa kejam takdir yang digariskan Tuhan untuk Ray. Dengan kesedihan mendalam, Ray kembali ke ibukota. Menelusuri kenangan dengan berkunjung di Rumah Singgah, kontrakan tower air. Dan akhirnya dirinya memutuskan menjadi pembisnis di bidang arsitektur. singkat cerita Ray kaya raya, tapi hatinya hampa. Dirinya menghabiskan masa tua dengan kesendirian, sampai di usia 54 tahun dimulailah sakit-sakitan.
Di enam tahun akhir hidupnya, Ray menderita. Enam tahun sepertinya menjadi angka yang digariskan dalam hidupnya. Semua dijelaskan oleh sang malaikat untuk menjawab lima pertanyaan Ray. Sampai akhirnya kita kembali ke masa kini, masa saat Ray terbaring lemah di rumah sakit. Apakah Ray sudah meninggal? Belum. Dirinya masih punya hutang yang harus diselesaikan! Lalu apa kaitannya dengan gadis kecil bernama Rinai yang menangis di ayunan? Usianya enam tahun. Dan itu sudah cukup menjelaskan garis merah takdir hidupnya.
Well, saya sudah membaca novel ‘The Five People You Meet In Heaven’ karya Mitch Albom yang anehnya diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi ‘Meniti Bianglala’, nanti saya review juga. Temanya sama, dimana Eddie seorang tua yang sekarat mendapat kesempatan bertemu lima orang yang hidupnya bersinggungan dengannya. Dijelaskan secara runut flash back, persis seperti kisah Ray. Seperti yang saya bilang di review novel Tere Liye sebelumnya. Saya yakin beliau memakai teori ATM – Amati, Tiru, Modifikasi. Jelas bung Darwis sudah membaca bukunya Albom. Karena dari setting waktu pun sama. Orang sekarat, lima hal, flash back kehidupan dari kecil sampai akhirnya kembali ke masa kini. Pertanyaan sama, apakah bung Darwis harus meminta izin kepada Albom untuk menyemi sebagian ceritanya? Seperti Fight Club yang diambil aturannya secara mentah-mentah oleh bung Darwis untuk dua buku “Negeri Para Bedebah” dan “Negeri Di Ujung Tanduk”, jelas cerita “Rembulan Tenggelam Di Wajahmu” tidaklah original.
Terlepas dari itu, buku ini layak dinikmati untuk menggugah kita bahwa setiap tindakan kita baik atau buruk akan kita tuai hasilnya di kemudian hari. Bahwa segala tindakan kita berpengaruh terhadap nasib orang lain, kehidupan sebab-akibat. Betapa kita harus banyak berkorban dan menebus dosa masa lalu untuk orang lain. Diar berkorban untuk Ray, pengasuh panti berkorban untuk Diar, Ray berkorban untuk Natan, Plee berkorban untuk Ray, dan banyak pengorbanan yang lain saat sang malaikat mengungkap fakta kehidupan yang berputar di antara kita semua. Seperti dua paragraf yang saya nukil berikut:
“Pengorbanan,” kata Kapten. “Kau membuat pengorbanan. Aku membuat pengorbanan. Kita semua membuat pengorbanan. Tapi kau merasa marah atas pengorbanan yang kau berikan. Kau selalu memikirkan apa yang telah kau korbankan.”
“Kau belum mengerti, pengorbanan adalah bagian dari kehidupan. Harusnya begitu. Bukan sesuatu untuk disesali. Tapi sesuatu yang didambakan. Pengorbanan kecil, pengorbanan besar. Seorang ibu bekerja keras agar anaknya bisa sekolah. Seorang anak perempuan pindah rumah untuk merawat ayahnya yang sedang sakit…”
Bukan. Dua paragraf di atas bukan dari “Rembulan Tenggelam Di Wajahmu”, tapi di buku “Meniti Bianglala.”
Ruang HRD NICI – Karawang, 150914

21 komentar di “(review) Rembulan Tenggelam Di Wajahmu: Apakah Hidup Ini Adil?

  1. saya punya bukunya Mitch Albom yang tuesday with morrie. tapi sampai sekarang belum selesai bacanya. hehe
    tentang tere liye, beliau ini penulis yang meski sering kecewa sama novelnya tapi tetap saya baca juga ceritanya 😀

    Suka

  2. Setelah bertahun-tahun kenal nama penulis ini, saya pun baru memulai membaca karyanya. Beberapa novel Tere Liye yang sempat saya intip halaman-halaman awalnya memang melelahkan. Nggak ada hal yang ‘wow’ selain kisah inspiratif yang berderai-derai klise hehehe..

    Tapi saya sadar, saya mungkin bukan target pembaca novel-novel Tere Liye. Terima kasih atas ulasannya ini.

    Oh ya, boleh minta emailnya?
    Saya sudah ubek-ubek blog ini tapi nggak ketemu..

    Suka

  3. Ping balik: The Five People You Meet In Heaven #22 | Lazione Budy

  4. Ping balik: Rekayasa Buah: Mengapa Aku Bilang Buku ini Jeleq | Lazione Budy

Tinggalkan komentar