https://lazionebudy.files.wordpress.com/2014/09/c360_2014-09-28-11-52-46-550.jpg?w=199
Saat penat akan bacaan panjang sebuah novel, saya sesekali membeli kumpulan cerpen untuk bacaan santai kalau lagi sempit waktu. Ini adalah buku yang saya beli pertama pasca kelahiran Hermione, Agustus 2014 lalu. Niatannya dulu untuk teman jaga malam saat Hermione butuh minum susu 2 jam sekali. Review akan saya pecah jadi 2, total ada 14 cerpen dan berikut ini bagian pertamanya:
1. Rumah Amangboru
Haji Sudung yang sudah tua, sudah 4 tahun ditinggal mati oleh istrinya. Sering ia mengiau dan melamunkan masa lalu sampai merembes air matanya kalau ingat istrinya. Anak-anaknya yang sudah hidup di tanah rantau membuatnya kesepian. Akhirnya setelah dirembug keluarga diputuskan ia ikut anaknya di tanah rantau, agar bisa dirawat. Dulu saat anak-anaknya kecil dialah yang berkuasa, kini dialah yang menurut. Berat rasanya meninggalkan kampung halaman, namun bagaimana lagi. Di rumah anaknya dia tinggal bersama menantu, Risda dan dua cucunya Veri dan Andhika. Awalnya segalanya berjalan mulus, adaptasi di tempat baru juga ga terlalu banyak kendala. Namun semakin menua, haji Sudung makin pelupa. Pernah dia pulang dari masjid salah masuk rumah tetangga. Tambah pikun ia, sudah sering buang hajat di celana. Warga di belakang kompleks pernah memulangkan Haji Sudung karena berak saat sembahyang Magrib. Dengan kesibukan Risda mengurus salon akhrinya terbesit ide kepada Marsan, anak Haji Sulung, agar beliau dititipkan. Antara sadar dan tak sadar, Haji Sulung mendengarkan. Oh ternyata hanya mimpi buruk, namun Hasan menyusun kejutan di kalimat akhir cerita dengan manis.
2. Gokma
Gokma memang pelupa. Tapi ia tak pernah lupa bagaimana cara merayakan selera suaminya. Daulat gemar menyantap gulai daun ubi tumbuk. Apalagi dalam keadaan letih atau takkala seleranya sedang sulit disetir. Gokma kini hamil, sudah 6 bulan. Ekonomi mereka sedang sulit, Daulat yang kerja hanya sebagai penambang tak pernah mencukupi kebutuhan keluarga. Sering Gokma penjam kanan kiri untuk biaya berobat Daulat yang kini sering sakit-sakitan. Awal pernikahan mereka, keluarga banyak yang menentang karena Daulat keturunan Jawa, beda marga nanti kena kutukan. Gokma bergeming, kini saat Daulat sakit parah dia tetap berpikiran positif. Ini bukan kutukan, namun lika-liku kehidupan dalam berkeluarga, Daulat sebelum menikah juga sudah sering sakit-sakit-kan?! Makanya kalau Gokma pinjam uang ke ibunya, Daulat pasti marah karena akan diungkit-ungkit masalah awal pernikahan mereka. Sampai pada suatu ketika Gokma mencari di mana suaminya pamit setelah selesai makan? Trenyuh…
3. Parompa Sadun Kiriman Ibu
Parompa sadun, sebidang kain tenun adat berbentuk persegi panjang (mirip ulos Batak Toba). Lamrina yang menikah dengan orang Jawa, Hadi sempat ditentang ibunya. Sebenarnya bukan asal usulnya yang dipermasalahkan, tapi kalau dia segera menikah maka Lamrina akan melangkahi kakaknya Masniari yang belum menikah. Saat Lamrian merantau ke ibukota niatan untuk bekerja tapi malah bertemu jodoh. Setelah tarik ulur yang melelahkan, akhirnya lamaran diterima dan pesta adat pun digelar di Jakarta, ibunya menyaksikan. Namun berjalannya waktu, ibunya kadang menyinggung nasib kakaknya lewat telepon yang tak kunjung ketemu jodoh sampai dikait-kaitkan dengan pernikahannya yang dianggapnya sebagai penghalang. Saat Lamrina akhirnya hamil, diberitahunya ibu. Hasil USG janinnya perempuan, namun karena ibu ingin anak laki-laki maka parompa sadun yang dikirim bertulis Doli Hasian – nama seorang laki-laki. Saat ditelpon, walau Lamrina menyampaikan dengan hati-hati kejanggalan itu ibunya marah. Keinginan ibunya punya cucu laki-laki menyeret perasaannya ke pojok serba salah. Lamrina Mintaito – artinya Memohon Saudara Laki-laki, besar harapan akan berikutnya laki-laki, namun sayang ayahnya meninggal jadi harapan kini ada pada generasi berikutnya, harapan mempunyai nama Doli Hasian dalam keluarga mereka. Kejutan disimpan Hasan, ternyata kesedihan dari awal cerita yang dialami Lamrina bukan melulu masalah kegagalannya memberi cucu laki-laki tapi sebuah kabar via telpon interlokal membuatnya meratapi takdir hidup.
4. Ijazah
Pak Toras marah-marah, ijazahnya – yang setingkat SMA itu hilang bak ditelan bumi. Seisi rumah kena omelan, istri dan 3 anaknya diperintahkan untuk mencarinya. Katanya terakhir lihat tersimpan di ruang laci lemari ruang tamu. Setiap hari selama sepekan ini, pasti saja menggerutu karena istri dan anknya tak kunjung menemukan ijazahnya. Pak Toras yang kini berusia 43 tahun adalah seorang Kepala Desa, sepintas pandang sosok dan tingkahnya tak cocok untuk disebut Kepala Desa, sedikitpun tak berwibawa apalagi berkharisma. Bicaranya amburadul, cengengesan, mudah tertawa karena suka melucu. Tapi kalau sudah tersinggung, kepal tangannya gantian meninju, sudah sifatnya begitu. Awalnya pak Toras tak mau dipilih jadi Kepala Desa, tapi karena didesak kawan-kawannya termasuk sanak dan kerabatnya, ia pun maju mencalonkan, dan terpilih! Kekayaannya mulai bertambah, ternyata enak juga jadi Kepala Desa. Namun waktu berjalan cepat, sampai akhirnya masa jabatannya akan segera berakhir. Ia pun ancang-ancang mau mencalonkan lagi. Di zaman reformasi, aturan makin rumit, begitu juga untuk menjadi Lurah, harus memiliki ijazah setingkat SMA – minimal. Padahal dulu pas dia mencalonkan diri aturannya tak begitu. Makanya siapa yang tak pening, ijazah yang diperlukannya itu tiba-tiba menghilang entah kemana. Matilah aku! Makinya berulang kali. Sampai kini belum ketemu, sampai stress mencarinya. Saat keputusasaan menderanya, tiba-tiba pak Toras kedinginan, peluhnya bercucuran, tubuhnya gemetar. Ia menggigil, benar-benar menggigil. Ada apa gerangan?!
5. Pasar Jongjong
Suatu pagi 28 tahun silam, Ompung Laut memundak sekeranjang ikan sepat tangkapannya. Sepat-sepat itu ia perangkap ketika ia dan istrinya bermalam di sawah, menunggui bunting padi yang sedang ranum. Pagi saat ia pulang, dibawanya ikan sepat sekeranjang itu. Mungkin karena penat, ia rehat tepat di tanah kosong milik Haji Mahot. Beberapa warga melintas, saling bertegur sapa, lantas pergi menjinjing ikan tiga-empat ekore sepat yang ia bagikan. Ompung Laut menolak imbalan uang yang mereka sodorkan, ya karena memang ikan sepat tersebut memang untuk dibagikan bukan dijual. Tapi tetap, orang-orang meninggalkan uang ke dalam sisi keranjangnya. Nah, beriringan masa, saat warga bertemu Ompung Laut, orang bertanya mengenai ikan sepat. Maka saat di sawah ada waktu luang, ia menagkap ikan sepat lalu berdiri di tanah Haji Mahot untuk membagikan ikan sepat, tetap warga selalu menyisihkan uang untuknya. Jadilan rutinitas, dia menjual ikan sepat di sana. Namun pernah ikannya ga laku sama sekali, maka ia pun memasaknya lalu menjajakannya di sana. Laris. Kemudian hari, Nek Arse malah ikut menjajakan sayurannya di sisi Ompung Laut. Pemilik lahan tak keberatan, bahkan ia turut menjual hasil ladangnya di sana. Turut pula Mursalim yang memasarkan telur-telur ayamnya. Makin ramailah transaksi jual-beli di tanah Haji Mahot. Secara tak resmi, akhirnya jadilah pasar. Mengenai nama Pasar Jonjong, itu karena awalnya Ompung Laut ‘kan cuma berdiri sebentar menjinjing ikan di sana. Namun dengan bergulirnya waktu, sengketa tanah terjadi. Milik pribadi atau Pemerintah? Sebuah ending sengketa tanah yang mungkin sering kita lihat di berita, terjadi. Bagaimana nasib pasar Jongjong?
6. Rabiah
Rabiah dihukum gantung! Seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia, saat ini sedang menunggu pelaksanaan eksekusi mati di negeri ringgit, Malaysia. Kini ia hanya bisa mengunyah sisa hari di dalam jeruji. Lalu cerita ditarik mundur, asal mula kenapa Rabiah dijatuhi hukuman mati. Rabiah yang orang tak berpunya memutuskan merantau di negeri seberang, maka berkat saran bu Ifah, Rabiah meminta restu ibunya. Bekerja yang halal, bukan yang macam-macam. Saat itu ibunya tanpa berpikir panjang memberi izin. Saat berangkat, ibunya tersenyum dan mengecup Rubiah sambil menasehati, “Yang penting pandai-pandailah menjaga diri. Kita memang bukan orang berada, Rabiah. Tapi kita punya harga diri, itu mesti dijaga. Hati-hati, apalagi kita ini perempuan, jangan mudah terperangkap rayu.” Dan berangkatlah Rabiah ke negeri Jiran bersama 24 perempuan lain naik kapal feri. Namun harapan tinggal harapan, mereka dijual. Memberontak, sampai akhirnya terjadi pembunuhan. Seperti yang disampaikan di awal cerita, Rabiah akan dihukum gantung di negeri seberang. Salah siapa ini?!
7. Kurik
Kurik adalah seekor ayam kesayangan milik Giling pemberian uda-nya, saudara kandung mendiang suami Deslima. Deslima adalah janda yang sering sulit ekonomi. Kurik berbulu hitam lebat, dan ditumbuhi rerintik putih. Nah, setiap ayam yang demikina disebut kurik. Saban pagi Kurik diberi makan, dibebaskan Giling dari kandang di taruma rumah mereka. Kalau sedang rajin, Giling pergi mengorek tanah lembab di sekitar parik, memburu cacing kegemaran Kurik. Terus, Giling tak jera meski berulang kali menanggung cubitan Deslima karena ketahuan menabur segenggam beras untuk Kurik. Pernah bibir Giling koyak dipatuk Kurik, saat itu Giling sedang duduk di tangga dan sedang menyantap jagung rebus. Tiba-tiba Kurik melesat untuk menjarah jagung rebus, namun patukan Kurik luput sehingga malah mengenai bibir Giling. Begitupun, cuma dua hari Giling marah. Selepas itu Kurik kembali dipangku dan dielus-elus. Singkatnya Kurik menjadi binatang peliharaan Giling. Bukan, inti konflik cerita ini bukan berfokus tentang ayam kesayangan. Tapi tentang pengorbanan. Karena saudara Deslima ada yang datang dari Jakarta, mudik. Biasanya membawa amplop untuk sekedar salam tempel, seperti sebelum-sebelumnya. Sayang untuk kali ini, demi sebuah angpao harus ada yang dikorbankan. “Kurik… Kurik…”
KGV V5/23 – Karawang, 280914