Demi Cinta

Catatan: Cerpen ini saya ambil dari Antologi yang terbit tahun 2012 lalu. Yang Anda baca ini adalah versi draft-nya. Saya cari yang sudah final ga ketemu.

Demi Cinta

Oleh: Lazione Budy

“Apa? Ini tak mungkin” tangisku meleleh, tubuhku bergetar. Kalut.

“Dunia ini memang kejam nak…”

***

“Sayang aku tak akan meninggalkanmu, aku cinta banget sama kamu.”

“Janji ya, kamu setia.”

“Iya sayang, apapun yang terjadi aku ingin menjadi istrimu.”

“Iya sayang, segera akan kulamar kamu.”

“I love you.”

“I love you too.”

Kukecup keningnya, kugenggam tanganku. Segera kami melangkah pulang dari taman kota. Kegalauan hati Fanny selalu membuatku resah. Kecemburuannya ditumpahkan sore itu gara-gara dia memergokiku suka ber-sms dengan wanita lain. HP yang biasanya selalu kugenggam tak tahu kenapa tiba-tiba ada di tangannya, dan dia membaca beberapa sms yang lupa kuhapus. Segala cara kuusahakan agar dia percaya bahwa mereka hanya teman, tak lebih. Dan janji setia selalu terucap sebagai penutup yang melegakan hatinya. Sumpah aku adalah pria yang setia.

***

Pagi ini ada mata kuliah praktek computer di hari pertama. Sebagai mahasiswa baru tak boleh terlambat, namun sial aku bangun kesiangan sehingga ketika sampai kampus kelas sudah dimulai.

“Maaf pak aku terlambat.”

“Silakan masuk, cari tempat duduk yang kosong di belakang.”

“Terima kasih pak.”

Kuedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk, semua penuh. Lalu kumelangkah ke belakang ruang kelas, kulihat seorang gadis cantik duduk sendirian. Kudekati dia.

“Boleh aku duduk di sini? Satu computer buat dua orang” sapaku sambil tersenyum.

“Silahkan.”

“Oh, terima kasih” lalu kutarik sebuah kursi untuk lebih dekat dengannya.

“Ngomong-ngomong siapa namamu?” lanjutku.

“Fanny” jawabnya. Nama yang indah, aku membatin.

***

“Ayah kamu itu kelewatan!” teriakku padanya. “Kita hanya pacaran biasa dia berani-beraninya menuduhku yang tidak-tidak.”

“Maaf sayang, ayahku memang terlalu protektif.”

“Bukan hanya protektif, tapi dia juga selalu berfikiran negative.”

“Maaf….”

“Seharusnya aku tahu bahwa aku tak diterima di keluargamu. Sejak hari pertama aku berkunjung ke rumahmu, ayahmu selalu bertanya macam-macam. Melarang ini-itu seolah-olah aku ini anak kecil.”

“Maaf.…”

“Kamu orang mana? Sudah punya penghasilan belum? Fanny tak boleh pacaran, dia harus langsung menikah nantinya. Konsentrasi kuliah, selesaikan dulu. Setiap ada lelaki berkunjung ke sini selalu kularang memacari Fanny, termasuk kamu.. “ kutirukan berbagai macam pertanyaan ayah Fanny sebagai bentuk protes kepada pacarku untuk kesekian kalinya.

“Maaf….”

“Pertanyaan macam apa itu, dasar orang tua yang kolot” kemarahanku memuncak.

“Maaf….” dia mengucapkan kata maaf lagi sambil menunduk di hadapanku, air matanya mengalir.

“Sayang, kita sudah melewatkan banyak waktu. Kita sudah melanggar perkataan ayahmu untuk tidak pacaran, kita menjalani cinta backstreet dan aku mulai muak dengan semua ini”

“Maaf…, aku tak tahu harus bagaimana” tangisnya makin terdengar.

“Tahu tidak kenapa aku tetap mempertahankanmu, demi apa coba? Demi kamu, demi kita, demi cinta!”

“Maaf…., aku tahu kamu sangat mencintaiku tapi jika keadaan memaksa kamu bisa kok memutuskanku. Kamu terlalu baik untukku.”

“Tidak, aku takkan memutuskanmu. Akan kuperjuangkan sampai detak jantungku terhenti”

“Janji?”

“Janji! Demi cinta.”

“Ya demi cinta, sayang aku takut kehilanganmu” ucapnya.

****

Sebuah panggilan telepon mengetarkan HP ku, aku yang baru bangun tidur segera saja mengangkatnya. Sebuah nomor baru.

“Hello..”

“Nak kamu jangan mendekati Fanny, apapun alasannya. Mengerti?” tanpa ada sapaan, suara di seberang langsung nerocos.

“Maaf ini siapa ya? Maksudnya apa?”

“Paham apa yang aku bilang?” bentaknya. Oh, ternyata ayah Fanny.

“Maaf pak, tidak bisa. Aku mencintai anak bapak, dan dia juga mencintaiku. Jadi tak ada masalah seharusnya.”

“Oh ya, kalau begitu. Hari ini juga kalian harus menikah”

“Tunggu dulu pak, aku masih kuliah kenapa harus tergesa-gesa?”

“Jadi kalau belum siap jangan memacari anak orang”

“Pak aku mencintai Fanny, dan aku berjanji akan menjaganya” sahutku memelas.

“Benarkah?” katanya, seolah-olah dia baru menyadarinya.

“Apakah Fanny benar-benar mencintaimu juga?” lanjutnya.

“Tentu saja, apakah dia tak pernah bercerita kepada Anda selama ini?”

“Tidak!” jawabnya ketus.

“Aneh, Fanny bilang dia sudah bercerita pada Anda. Dia seorang piatu yang membutuhkan kasih sayang. Anda selalu menolak tiap kali dia pacaran, semua mantannya selalu menyerah mundur tiap kali menghadpi Anda. Tapi tidak buatku, aku akan maju terus untuk memperjuangkan Fanny. Demi cinta! Jadi sekarang bapak sudah tahu kan.” Terangku setenang mungkin.

“Tidak…”

“Pak dia sudah dewasa, jangan terlalu protektif terhadap anak. Kami bisa jaga diri kok, jadi percayakan padaku. Anda takkan kecewa, Fanny tak akan kukecewakan.”

“Tidak…” hanya itu yang kudengar di seberang.

“Pak bolehkan aku tahu bagaimana istri Anda meninggal?”

“Tidak…” kupicingkan telinga ini di speaker, suara ayah Fanny memelan. Sepertinya dia mulai bisa menerimaku.

“Bapak tidak apa-apa?”

“Tidak…, nak bisakah kita bertemu? Bisakan kamu ke sini sekarang ke rumahku, kita butuh bicara.”

“Baiklah, aku ke rumahmu sekarang”

Tanpa ada kata-kata, telpon sudah ditutup. Sialan, dasar orang tua tak punya sopan santun. Tapi tak mengapa, mungkin setelah ini dia merestui hubunganku dengan Fanny jadi sebaiknya aku bergegas kerumahnya sekarang dengan bersemangat.

***

Tak lebih dari setengah jam aku sudah di sana. Seperti biasa, rumah ini sepi. Hanya Fanny dan ayahnya yang tinggal di sana. Katanya ibu Fanny sudah meninggal ketika Fanny masih kecil, tak ada pembatu di rumah semewah ini rasanya aneh juga. Setelah dipersilahkan masuk di ruang tamu, kulihat Fanny duduk tertunduk di kursi, dia menangis. Sementara ayahnya di sampingnya membuka map berwarna hijau. Sepertinya surat nikah. Ah, ada-ada saja. Aku belum siap kalau menikah hari ini.

“Nak, kita butuh bicara. Fanny sebagai saksi.”

“Oh, mau membicarakan apa ya?” jawabku bingung.

“Sebelumnya biarkan aku bercerita tentang masa lalu Fanny dengan sejujur-jujurnya, mohon jangan disela selama aku bercerita. Setelah ceritaku selesai terserah kalian mau bagaimana, apakah mau melanjutkan ke jenjang serius atau tidak. Paham?”

Aku tersenyum, “Paham”

“Baiklah, nama asli Fanny adalah Paniyem, dia terlahir dari keluarga yang miskin. Profesi kedua orang tuanya adalah pengemis. Rumahnya terbuat dari gubuk reyot di pinggiran desa. Paniyem kecil tidak sekolah, kesehariannya selalu membatu orang tuanya mengemis. Sampai suatu hari ada seorang duda yang murah hati datang ke gubuknya untuk mengambilnya sebagai anak angkat. Walau terlambat akhirnya Paniyem bersekolah dan ayah angkatnya mengganti nama Fanny..”

“Tunggu dulu, maksudnya apa ini?” aku gemetar, lalu kutatap Fanny yang tertunduk terus menangis.

“Benarkan itu Fanny?” tanyaku padanya. Dia diam, sesengguk air matanya adalah jawab yang tak kuinginkan.

“Nak, sudah kubilang ketika aku bercerita mohon jangan disela!”

“Oh tidak..” kupegangi kepalaku yang berdenyut. Aku turut menunduk tak berdaya. Katanya Fanny adalah anak orang kaya.

“Baik, aku lanjutkan. Bertahun-tahun setelah masa sekolah, sang duda membawanya ke kota untuk lanjut study kuliah. Aku selalu menjaganya, selalu berharap dia akan menjadi manusia yang berguna suatu saat…” ada jeda beberapa detik.

“Duda itu adalah aku nak…” lanjutnya.

Sambil terus menunduk aku berguman, “Bagiku tak masalah Fanny dari keluarga mana, aku tetap mencintainya. Selama dia juga mencintaiku aku akan tetap menikahinya…” tak terasa air mataku mulai keluar.

“Tunggu dulu, ceritaku belum selesai. Fanny apakah kamu mencintainya?” kulirik Fanny sesaat, dia tak menjawab dan terus menangis. Ayahnya hanya menggelengkan kepala. Aku turut tak percaya, dia tak menjawab. Lalu dia menatapku dan lanjut bercerita.

“Nak, pada suatu hari ayah kandung Fanny sekarat. Sebelum meninggal dia berwasiat kepadaku untuk menjaganya. Dan…”

“Cukup! Aku tak peduli, aku tetap akan menikahinya. Titik!” sela-ku emosi.

“…dan menikahinya..” ujarnya lirih.

“Apaaaa? Ini tak mungkin!” tanganku bergetar hebat. Tubuhku panas dingin, rasanya seperti ada berkilo-kilo benda menghantam kepalaku.

“Ya, dia istriku, Fanny adalah istriku nak…” lalu dia menyodorkan surat nikah yang ada di map hijau tersebut sebagai bukti.

“Oh tidak, ya Allah apa salahku?” aku tak kuat, kepalaku pusing. Dunia gelap.

Story inspired by movie: An Education starring Carey Mulligan.

10 komentar di “Demi Cinta

Tinggalkan komentar