Sikusi 19 Tahun


Pos ini adalah sebuah tribute untuk Sikusi yang sudah menemani banyak hal.

“Buang, udah buang aja motornya. Ngerepotin.” – Ciprut

Maret ini Motor Kharisma biruku berusia 19 tahun, sekaligus dipensiunkan dari rutinitas kerja. Penggantinya, Beat Hitam Silver sudah datang 26 Maret kemarin. Rasanya campur aduk, meninggalkan Sikusi di rumah setelah menemani waktu selama ini.

Memang sudah waktunya ganti sebab sejak tahun lalu olinya bocor. Setiap dua minggu sampai sebulan harus dibelikan oli baru. Setiap mau dipakai diisikan. Ini sebenarnya puncak, setelah berbagai hal terjadi dan tak rasanya tak memungkinkan untuk terus dipakai, sebab akan menyusahkan diri sendiri dan orang-orang sekitar. Ciprut yang seringkali komplain, beberapa kali error tak bisa di-stater karena busi basah kehujanan, atau kehabisan bensin. “Buang, udah buang aja motornya. Ngerepotin.” Kalimat yang beberapa kali diucapkannya ketika Sikusi mogok.

Saya rangkum saja beberapa masalah Sikusi:
#1. Oli bocor, tiap mau dipakai harus isi. Ini faktor utama yang buat tak nyaman sebab oli tercecer di jalan atau di tempat parkirnya jelas mengganggu. Mana asapnya ngebul di penampungan oli ketika oli habis/menipis.
#2. Tidak ada kunci, nyalain pakai dua kabel disambung. Bisa bertahan dua tahun ternyata, waktu itu kuncinya memang rusak jadi bisa dicabut saat motor nyala. Makanya saya pasang gantungan kunci ketika menjalankan motor. Sebuah gantungan kunci panjang mengalung di centelan samping. Nah, apesnya dua tahun lalu lupa ngantelke, sehingga ketika perjalanan berangkat kerja, entah kena polisi tidur atau lubang (dan Karawang banyak sekali lubang di jalan). Tahu-tahu sampai Pabrik, kuncinya tak ada. Benar-benar kaget, dua hari cari tak ketemu. Akhirnya sama teman kerja, dibandrek. Diakali tanpa kunci, bisa dinyalakan dengan dua kabel menjulur. Bahaya? Ya, maling akan dengan mudah mengambilnya. Namun motor tua tersendat-sendat seperti ini siapa yang mau ambil? Sesekali memang saya kunci gembok pengaman, tapi tetap merepotkan. Yo weslah…
#3. Sekrup hilang banyak. Sepintas lihat saja bisa menemukan lubang tanpa sekrup. Entah di body, entah di mesin. Tak heran getarnya terasa sekali. Setiap berapa waktu, menemukan sekrup, mur/baut tergeletak di bawah motor, artinya ada yang jatuh, dan saya bukannya segera memasang, malah membuangnya. Sudah malas cari solusi, selama bisa jalan, saya genjot aja motornya.
#4. Kepala rangka gear sampai soak diikat kabel ties. Ya, Supra getar atau Kharisma getar mungkin sudah sangat akrab buat kalian, tapi ini parah. Selain dikabel, juga dipasang solasi dua layer, tetap getar.
#5. Jok bolong-bolong digaruk Si Belang. Ini ganti jok ke berapa ya? Hhmm… 2015, 2019, 2022. Tiga kali seingatku. Yang pertama karena usia, jadi lubang memanjang. Wajar sebab kena hujan dan panas. Kedua karena kucing, ketiga sama. Nah, yang ini sebenarnya masih Ok. Bolongnya tak besar, kecil banyak. Setiap habis kena hujan, pasti celana ikut basah setelah berkendara.
#6. Pajak mati, tahun 2025 bakalan sulit untuk ganti plat. Sejak 2021, sengaja saya tak proses sebab sudah mulai tak nyaman pakai. Dibiarkan saja mengalir, alasan utamanya sih karena plat Solo sehingga harus kirim STNK, dan gosokan. Kalau mau cepat via calo. Intinya repot.
#7. Aki mati, dan efeknya banyak.
Lampu mati. Repot sekali kalau pulang malam. Sein redup dan tak kedip, tiap mau belok tangan aweawe.
#8. Stater elektrik mati. Ini sudah lama sekali, lebih dari 7 tahun. Jadi setiap nyalain digenjot. Apesnya kalau kehujanan, busi basah sehingga tak langsung bisa distater. Kudu dikeringkan.
#9. Spidometer mati, tak tahu kilometer berapa, tak tahu bensin masih ada enggaknya. Seringkali pakai ilmu perkiraan, dan kehabisan bensin.
Dll

Dengan keluhan sepanjang itu, rasanya memang sudah saatnya ganti.

Kelebihan Sikusi memang awet. Servis terakhir tahun 2016 seingatku, rutin ganti oli 2 bulan. Kepala memang getar, tapi masih nyaman saja, tak mengganggu. Bensin irit. Seminggu habis 35-40 ribu untuk perjalanan PP sekitar 30 kilometer.

Pernah ada yang membandingkan, sama Supranya 20 tahun dan masih bagus. Namun sejatinya tak bisa dibandingkan, sebab supranya tak sesering dipakai. Bagaimana bisa dibandingkan, Supra adalah motor cadangan, punya kendaraan lain yang bagus dan mahal keluaran terbaru. Sikusi adalah pemain inti, dipakai terus untuk ke mana saja. Untuk apa saja, sebab tak ada cadangan. Makanya ngos-ngosan.

Sikusi kubeli di Cahaya Sakti Motor, Solo bulan Maret 2005. Belinya diantar Mas Amin, saudara ipar dan Pak e Andi (alm.), kala itu beli tunai agak susah. Saya tepat setahun kerja di Mushashi Cikarang sebagai operator. Memang sudah janji, kalau diperpanjang kontrak akan ambil motor dan itu harus tunai. Dengan ATM Lippobank, kala itu dibatasi ambil tunia maks 5 juta. Saya udah pegang duit 5 juta, bisa ambil lagi 5 juta, berarti kurang 3 juta. Waduh, kenapa masalah administrasi seperti ini tak dipikirkan? Pak e Andi lalu kasih solusi, pinjam uang saja ke tetangga yang terkenal baik dan kaya, dia sudah banyak bantu tetangga, pinjam hanya untuk 1 hari? yo wes nurut.

Seingatku, tak ribet, sistem percaya saja. Datang, ngobrol, janji besoknya langsung dilunasi. Ketika ditanya bunga? Tak perlu, toh hanya sehari. Lalu Pak e Andi menyarankan beli rokok 1 slop untuk dikasih. Ngikut saja saya, kala itu saya 20 tahunan, masih polos dan apa kata orang tua bakalan diikuti.

Saya sendiri cuma bilang, ingin motor Honda Biru keluaran terbaru. Ketika di dealer, sempat dibuat sulit. Pindah ke dealer lain, sama. Namun akhirnya diberi juga setelah negosiasi. Pak e Andi diminta copy KTP untuk dikasih persenan, sekalipun hanya mengantar saudara, ia jadi penghubung. Dan begitulah Sikusi, Maret 2005 menghuni rumah.

Saat datang, saya sudah balik kerja ke Cikarang. Motornya sebulanan di rumah Palur, dipakai siapa yang mau pakai. Saat dibawa ke Cikarang, dinaikin bareng Mas Amin.

Perjalanan santuy via pantura. Makan di warung yang ingin mampir, mampir pantai utara di Cirebon, sampai pas di Purwakarta di rumah Mas Dwi, kami mampir ke Waduk Jatiluhur. Kala itu belum ada HP berkamera, atau kalaupun sudah ada, terbatas. Kami pakai kamera manual, yang fotonya sekali ambil, 36 pcs-nya nanti dicetak. Oiya, kala itu dalam perjalanan, saya sudah punya HP Poliponic Nokia, di mana setiap persinggahan, saya SMS seseorang. Plus, nada deringku yang pakai nada Peterpan, ‘dimainkan’ dimiscol oleh Mas Harso. Seseruan aja.

Saat sampai di Cikarang, Mas Amin tahu kontrakan bocor dan betapa terkejutnya. Rumah kayak kapal pecah, barang-barang semrawut, cucian numpuk (kala itu belum punya mesin cuci), dst. Maklumlah anak muda, sehingga tak mementingkan urusan rumah.

Motor Sikusi jadilah teman rutin sejak itu.
Banyak kenangan tak terlupa, perjalanan kos (akhirnya saya pindah kos Ruanglain_31) PP tempat kerja. PP pula ke kampus tercinta. Mengantar banyak teman, dll. Mushasi akhirnya hanya setahun lagi, pindah ke Aisin, lalu LKS/GGS, dst. Kenangan-kenangan itu memberi warna. Menjadi saksi bisu pacar pertama, kedua, dst. Menjadi motor yang sering pula dipinjam teman, salah satunya adalah teman kerja GGS, Julius. Orang Kalimantan yang tak punya motor, dia sering pinjam, sering bawa, bahkan setiap berangkat pulang kerja, dia yang bawa motor.

Beli plat AD karena memang rencana, tak mau lama di perantauan. Ngumpulke modal buat nantinya mudik. Walaupun tiap tahun bakalan repot, sebab pajaknya berarti harus kirim STNK dan KTP untuk diurus di Solo. Jadi tiap awal Maret, saya kirim dan transfer 500 ribu (saya lebihin selalu), Mas Amin akan bantu urus. Setelah selesai, dikirim balik. Hufh… repot ya. Dan itu demi, suatu hari yang tak jelas. Sayangnya, rencana tinggal rencana. Kini 19 tahun kemudian, saya tetap di tanah rantau.

Lupa berapa kali saya pakai buat mudik Solo, kalau ditelaah seingatku ya, hanya seingatku. Ada 4 kali mudik bermotor. Pertama, bulan November 2005 ketika Lebaran. Mudik ramai-ramai ngumpul di Vila Mutiara Cikarang. Kala itu saya masih kerja di Mushasi, dan sudah kuliah sambil kerja. Perjalanan yang rencana 12 jam menjadi 24 jam sebab rombongan, beberapa mengalami kecelakaan. Saya sendiri kala di daerah Cirebon, ban motor bocor. Untungnya ada tukang tambal ban keliling, ditunggui Iksan. Seingatku hanya bayar 35 ribu. Ikhsan sendiri apes, sebab kabel headset-nya putus saat di pom bensin, ketarik dari tas. Kecelakaan teman-teman ini akhirnya memang membuat tertunda, saling tunggu. Dan saya ingat sekali, sama ikhsan dan Iim berteduh di kedai/warung makan Semarang. Ah, kenangan buruk yang jadi indah saat dikenang.

Kedua, mudik Tahun Baru 2006. Hanya berjeda tak ada dua bulan, mudik lagi karena libur panjang. Kali ini, kami naik gunung Lawu sama teman-teman. Hendi dan temannya, Iim, Ikhsan dan saya. Sikusi ke Lawu, yo jelas lancar. Ini adalah pengalaman pertama naik gunung, dan di akhir tahun jelang pergantian. Jam 00:00 di puncak, badai dan hujan menyapa. Kalau dibayangkan, serem juga ya. Pas turun gunung paginya, saya dapat SMS dari May, calon istri. Sinyal untuk dekat setelah pertama kali bertemu beberapa waktu lalu.

Dalam perjalanan balik ke Cikarang, janjian sama teman-teman ketemu di Solo Square waktu subuh. Andi H yang nganggur, ikut ke Cikarang mau cari kerja. Nginep di kosku. Ramai-ramai, dan di sinilah keteledoran terjadi. Ketika sampai di area Subang, salah ambil belokan. Hendi dkk kena tilang polisi karena spion satu (waktu itu trend, spion motor hanya kanan, bila pasang kiri juga tampak banci). Saya, Ikhsan dan Iim salah lewat alternatef Subang yang jalannya gelombang lewat hutan. Dan bum! Saya kecelakaan. Lumayan parah, Andi tak papa, saya yang harus gendong tangan kanan. Mampir ke tempat urut, ditarik diluruskan sakit banget. Lalu mampir ke Purwakarta, ke rumah Mas Dwi. Mampir ke RS Siloam Pwk. Fufufu…

Februarinya saya habis kontrak. Pindah Aisin yang sebelahan setelah tes di BKK STM 1 Solo. Dan hanya 6 bulan, keluar. Pindah ke LKS/GGS, Ketiga Lebaran 2006 saya mudik lagi dengan Sikusi. Kali ini bareng Mas Dwi dan keluarga, bareng Teguh dan Joko (boncengan). Saya sendiri, karena ini mudik motor kedua, jadi lebih tahu siasat dan celahnya. Lancar semua, termasuk saat arus balik. Saya sempat berpikir, Mas Dwi bawa istri dan anak kecil dua bermotor, Purwakarta-Solo. Wow…

Keempat, entah di momen Lebaran atau nganggur, yang jelas pas arus balik sendiri. Santuy, sayangnya terlena. Saya jatuh di belokan jelang Alas Roban. Karena roda yang tipis dan ceceran oli kendaraan, di tengah hari yang terik bikin licin. Dibantu warga, dan sisa perjalanan pelan sampai Purwakarta. Hanya luca lecet.

Setelah itu, rutinitas menjelma. Pindah kerja lagi ke Dexa (6 bulan), Wahyu (9 bulan), Cahaya (6 bulan), dan akhirnya Furniture lagi. Di sini, saya terhubung kembali dengan May, dan tahun sudah menunjuk 2011. Kos sudah pindah ke Adirfa Lamaj, Cikarang Utara. Kos ternyaman sebab dekat kuburan. Sepi kanan kiri sawah, di sinilah saya merenungkan hidup. Monoton, membosankan. Lajang yang galau, mau ke mana? Titik pentingnya adalah Desember 2010, saya gagal tes CPNS Sukoharjo, sehingga putuskan tetap di tanah rantau.

2011 itulah, saya bolak-balik Cikarang-Karawang. Sempat tes juga di Bandung di Feb 2011, tapi kala itu sudah janjian menikah sama May November sehingga kalau cari kerja ya di sekitarnya aja yang terjangkau, sehingga tak perlu jauh-jauhan. Kala itu saya sudah putuskan ketika menikah harus satu atap, tak boleh terpisah. Sempat tes di Alfamart, ketrima sebagai surveyor tapi tak kuambil karena kerjanya keliling kota-kota. Sempat MCU di Astra Otto, Cakung, tapi tak ada kelanjutan. Kerja dua hari di Yayasan Outsoure Bekasi, pernah PP ke Karawang lokasi penempatan, eh setelah diskusi sama calon mertua, out saja. Tes di Jababeka Cikarang, nego gaji ga cocok, tes di MM2100 bagian PPIC gagal, tes di Indoteisei sama aja tak ada kejelasan (dekat Dunlop padahal). Tes di Unilever, sampai tes MCU, gagal. Tes MCU ambil darah lagi, senyap, dll. Tes di banyak tempat, terlalu pilah pilih sehingga malah nganggur jelang menikah. Di saat itulah Sikusi menemani ke mana-mana. benar-benar bandel dan setia lintas kota. Pokoknya jelang menikah, ujian berat banget.

Sampai akhirnya, setelah kesabaran itu diuji muncul panggilan tes kerja di Cahaya Murni Kasindo (Bigland dan Napolly produk). Kala itu perjalanan Cikarang-Karawang, HP Nokia tergetar pas di perlintasan kereta api, HRD telepon (Bu Irma) tes panggilan. Karena bising, saya minta SMS saja. Seingatku bulan Agustus 2011, Sikusi saksinya bahwa feelingnya dapat. ya, dapat.

Sejak itulah Cikarang-Karawang terus dilakukan. Kos dan kerja di Cikarang, tinggalnya istri di Karawang. Pengantin baru. Kalau dipikir-pikir, kenapa ga bolak-balik aja sih. Makanya pergantian tahun 2012 akhirnya saya pindah ke Karawang. Sikusi akhirnya legaan lagi saat Februari 2012 saya dapat kerja di Karawang. Di FCC inilah finansial saya membaik. May masih kerja, saya siap cicil rumah. Sikusi 7 tahun, dan masih baik-baik saja.

Tahun 2015 Sikusi turun mesin sebab ngebul, kala itu sudah pindah NICI. Saya ganti mesin ori, lebih mahal tak apa yang penting bagus. Dan memang bagus banget mesinnya. 10 tahun ganti mesin, rasanya giras banget. Nyaman sekali jalannya. Karena sudah punya mobil, tak terbesit ganti motor, selama jalan dan ok ya dipakai.

Memang, dalam kurun 2017-2023 Sikusi mulai berulah. Beberapa item rusak, seperti yang saya sampaikan di mula. Puncaknya memang oli bocor sekitar Agustus 2023. Sejak itu ganti oli rutin, mulanya sebulan sekali, sempat kosong mogok di jalan. Lalu sebulan 2 kali, tetap pernah mogok di jalan. Akhirnya sejak Desember 2023, saya bawa obeng. Tiap pagi sebelum berangkat kerja isi oli. Diisi dikit saja, asal jalan. Total habis 600 ribu ganti oli selama 7 bulan ini. Case ini benar-benar close ketika 25 Maret 2024 transfer tunai (koperasi) beli motor baru. Keesokan harinya dikirim ke rumah.

Beat CBS warna Jazz silver black. Pilih warna hitam sebab elegan, dan ada kata ‘jazz’ nya. Dengan demikian maka sikusi resmi pensiun di usianya yang ke 19 tahun. Sikusi hanya akan dipakai weekend ketika main ke rumah teman/saudara yang dekat, atau untuk refreshing seperti mancing. Sudah kulakukan weekend kemarin. Moga tetap sehat ya sikusi.
Ada yang menawar 1 juta, tidak kuterima. Barusan banget tadi teman kerja nawar 500 ribu. Tetap kutolak. Terlalu banyak yang rusak, takutnya tak cocok sama pemilik baru. Namun sejatinya, terlalu banyak kenangan yang dicipta. 19 tahun bukan waktu yang sebentar. Sikusi menjadi banyak saksi perjalanan hidupku, sayang kalau dilepas.

Selamat ulang tahun Kusi, I love you forever…

Karawang, 280324 –Etta James – Don’t Explain

Best Films 2023


“Tahun kedelapan menulis Terbaik-terbaik.”
Semangat menonton sudah menurun drastis. Setahun nonton 45 film, dengan semangat hanya di saat jelang Oscars. Setelah itu, langsung terjun kembali ke buku. Jadi benar-benar sudah bukan prioritas. Namun tetap Terbaik Terbaik harus didata. Ini adalah tahun kedelapan saya buat daftar 14 film terbaik. Masih nyaman dan konsisten. Total film rilisan 2023 yang kutonton adalah 23. Inilah film-film terbaik 2023 versi LBP (Lazione Budy Poncowirejo):

14. Petualangan Sherina 2 by Riri Riza

Lanjutan Sherina yang lebih ringan. Menyelamatkan Orang Utan dari penculikan, alurnya teramat sederhana untuk remaja, terlalu gampang untuk anak-anak. Untuk penonton dewasa? Sekadar tameng menemani keluarga ke bioskop saja. Lupakan logikan, dengarkan saja nyanyiannya.
“Hah…, yayang…”

13. About The Dry Grass by Nuri Bilge Ceylan

Perjalanan cinta pengajar di tanah Turki. Semula kukira ini adaptasi bebas novel Snow-nya Orhan Pamuk sebab pembukanya mirip, salju di mana-mana, dan asmara menggelora dijadikan landasan untuk ditunggangi alur cerita. Namun tak mudah mencerna puisi orang sakit hati.

12. The Killer of the Flower Moon by Martin Scorsese

Film pertama Opa Martin yang kutonton di bioskop. Dan sayangnya, kurang memuaskan, kurang maksimal. Nonton The Killer of the Flower Moon, atau disingkat saja Kmebnag Bunga, di mula rilis, takut tak lama di bioskop pada 18.10.23 bersama tiga pasang penonton, sepi banget, dan memang tak bertahan lama. Film panjang Opa di layar lebar, justru beberapa detik adegan sukses bikin ketiduran. Ini jelas bukan karena durasi yang lama, bukan pula karena kondisi badan lelah sepulang kerja. Film terakhir Opa, The Irishman yang durasinya panjang, nonton di HP saja bisa bikin viewgasme. Ini di layar besar malah, melelahkan. Yang pasti, cerita tak sebombastis The Irishman. Nyaris tak ada kejutan, sebagai syarat film Ok-nya Opa. Ngalir saja seolah, film bertutur lurus dengan narasi umum.
“Kejahatan itu seperti hantu, ia merasuki jiwa seseorang.”

11. Guardian of the Galaxy Vol. 3 by James Gunn

Mungkin, saya jarang nonton film up to date. Nonton nunggu mood dan waklu luang, atau menanti film dengan bintang favorit, Saoirse salah satunya. Untuk Marvel, beberapa memang dinanti, ini salah satunya. Makanya nonton di hari mula sebelum kena bocoran (H+1). Bagus, sungguh menghibur. Jelajah angkasa dengan sentuhan personal. Semua perjalanan penyelamatan Roket sangat amat layak, setiap menitnya menyenangkan. Hebat yang buat cerita, setiap tokoh punya porsi pas. Masing-masing punya kepentingan yang laik diperhatikan. Harusnya lima jam, biar makin plong. Dalam pertarungan, ada tiga kubu, tiga kepentingan. Satu kubu dibiarkan mengambang, harusnya sekalian saja didedah, biar plong. Mungkin ini terdengar kejam, ada dua adegan yang harusnya jagoan dimampusin aja sekalian, malah berbelok secara dramatis.
“I love you, guys.”

10. The Holdover by Alexander Payne

Pesahabatan murid dengan gurunya. Libur Natal tanpa mudik, hanya di asrama sekolah? Buat apa? Jenius yang kesepian ini lantas melakukan perjalanan spiritual dengan gurunya. Mencipta ikatan aneh yang tak terkata.

9. American Fiction by Cord Jefferson

Bagaimana bisa sebuah kontradiksi dijadikan patokan kesuksesan? Juri memberi 2 suara untuk sesuatu yang memuakkan yang jelas-jelas mewakili sisi kemanusiaan. Sementara 3 suara adalah tawa, tapi karena banyak-banyakan, yang menertawa tetaplah menang. Tanggung jawab bermula dari setiap individu, dan dari pilihan yang diambil. Setiap orang memiliki pilihan. Ini karya fiksi, tapi bisa jadi nyata dalam kehidupan berdemokrasi. Sejatinya, lapisan negosiasi takdir itu jadi meruncing (sedikit) mengkhawatirkan, sampai akhirnya bisa berdamai dengan arus, mengalir saja. Rangkaiannya tak rumit, tapi sungguh menyentuh hati, betapa minoritas harus ditenangkan.
“Saya senang kamu tak berkulit putih.” / “Me too!”

8. Oppenheimer by Christopher Nolan

Luar biasa, ya kita harus sepakat ini film ngobrol yang luar biasa. Selama tiga jam kita menyaksi orang-orang ngegoliam. Ngomong terus, seolah kata yang satu harus ditimpa kata lainnya. Film musim panas bisa-bisanya adalah film bom kata-kata. Isinya saling silang orang berbincang, berdebat. Serius, tegang, tak ada komedi. Seluruh penonton begitu semangat sampai-sampai harus terdiam terpana, full sampai kredit film muncul.
“Prometheus muncuri api dari para Dewa dan memberikannya kepada manusia. Lalu dia dihukum rantai di batu untuk selamanya.”

7. Poor Things by Yorgos Lanthimos

Filsafat menjadi mainan di mula, lalu paham sosialis diapungkan. Pilihan-pilihan hidup jadi bahan perenungan, tapi memang pada dasarnya ini adalah film fantasi. Bagaimana solusi membalas dendam menjadi seni yang tak mudah dilogika. Kalau kalian perhatikan, Godwin makin bijak di usia senjanya, sebab pandai seseorang dalam bidang keilmuan maka harus makin luhur landasan moralnya. Maka dendam itu dilakukan setelah ia meninggal, dan mereka melakukan kegilaan dengan pencakokan otak kambing.
“Kau tak tahu dunia, dan kau tak takut akan hal ini.”

6. Past Lives by Celine Song

Sebuah kompromi yang terhormat. Akhir yang pas dan realistik. Seperti itulah kehidupan, seperti itulah seharusnya film dibuat. Di era kebebasan, tindakan hormat itu seharusnya memang harus tetap ada. Tidak membabibuta. Pertemuan itu, setelah sekian lama ditunggu memang berjalan semestinya.
“Kita harus belajar untuk menerima misteri kehidupan.”

5. The Zone of Interest by Jonathan Glazer

Mencekam. Membayangkan saja bikin gidik. Bagaimana bisa rumah keluarga damai dengan kebun bunga, kolam renang, arena bermain anak, sampai saung santai buat ngopi ini dibangun bersebelahan dengan gedung pembantaian. Membunuh manusia semudah itu, sementara di area damai berbicara tenang seolah tak ada apa-apa. Ironis, dan ini adalah masa yang tak jauh dari sekarang. Belum seabad lalu.
“Aku bisa meminta suamiku menyebarkan abumu ke seluruh ladang Babice.”

4. The Boy and the Heron by Hayao Miyazaki

Ghibli mengisi film ini dengan banyak sekali fantasi karena fantasi menjadi titik awal yang diperlukan. Banyak pikiran yang sama berputar-putar di dalam kepala seperti sebuah pengulangan. Ini adalah film anak-anak walau hanya konteksnya, sebab isinya berat. Hermione sendiri semangat sekali, walaupun pada akhirnya bingung. Saya yang lebih antusias, sebab jadi Ghibli pertama yang kusaksikan di layar lebar, harus dimaklumi, film-film Gibli menawarkan antusiasme kekanak-kanakan dengan muatan kisah tak anak-anak. Pixar sekadar mendekat. Dreamwork, apalagi Sony, terasa jauuuh.
“Oh Salmon, saya ingin tulangnya.”

3. Monsters by Hirokazu Kore-eda

Monster sejati takkan berubah karena dikucilkan. Monster menawarkan cerita dengan alur tak biasa. Satu frame cerita memberi gambaran si bocah A bermasalah dan salah, frame berikutnya justru si Bocah B yang salah, frame berikutnya lagi si Guru yang disalahkan, frame berikutnya ibunya yang dipojokkan. Saling silang pecahan dengan sudut pandang acak seperti ini sering kali memberi tantangan kepada penonton untuk merajut. Dan monster sungguh bagus, rajutannya sangat rapi. Ditambah, beberapa akhir tak terjelaskan. Mati? Bertahan menggantung? Ataukah semuanya selamat? Ini bukan film tentang bully, ini juga bukan tentang tata kelola sekolah yang buruk, ini film tentang monster yang bersemayam di tubuh kita menjadi tutur kata orang lain. Makhluk seram itu mendekam dalam hati tiap manusia, yang setiap saat bisa mengaum tak terkendali, bisa menerkam jiwa-jiwa yang resah. Ini ramuan ajaib pemberi garis samar kerut kening mikir penonton, dan saya suka!
“Kita adalah monster di cerita orang lain.”

2. Anatomy of a Fall by Justine Triet

Cuaca sepanjang film bersalju; dingin dan tidak bersahabat, berangin dan mendung, cocok untuk menyongsong kematian. Tiupan angin merontokkan daun-daun yang masih tersisa pada dahan-dahan, dan membuat semuanya berceceran di pelataran rumah di bawah. Film ngegoliam dan berpikir. Anatomy of a Fall adalah film dengan tingkat kepusingan di ambang tinggi. Ceritanya runut, dijelaskan dengan tensi sedang, deduksinya juga enak diikuti, tapi memang tak serta merta terjawab siapa pelakunya. Sebab segala alibi masuk akal. Opsinya cuma tiga: bunuh diri, overdosis dan terjatuh, atau dibunuh. Ketiganya sangat kuat, dan saling menindih alibi lain. Keseruan diselimuti tanda tanya, apakah sang istri bersalah? Sedari mula saya sudah sangat mantab bilang tidak, saat sang istri bilang: Saya tidak membunuhnya kepada sang pengacara. Kemantaban saya perlahan-lahan goyang sebab selama deduksi pemeriksaan di pengadilan justru memberatkannya. Seperti inilah film bagus dibuat, penonton tak hanya menonton, tapi dilibatkan untuk berpikir. Diajak mendengarkan kata-kata yang membuncah, meluap tak terkendali. Dan diri kitalah yang menentukan.
“Apa perdebatan sastra ini penting?”

1. Perfect Days by Wim Wenders

Tenang, seperti karakternya yang pendiam, filmnya benar-benar tenang, cocok untuk orang tua, ga grusa-grusu, atau lebih pas, ini film untuk orang santai dengan sehamparan kesunyian. Ini film untuk penyuka kelambanan. Segala yang lamban sebelum era digital mengglobal disajikan dalam sinema nostalgik. Tak hanya template yang nempel, tapi menjadi benang merah cerita. Tak hanya jadi kuda tunggangan, tapi benar-benar menjadi motivasi sang tokoh utama untuk mengambil keputusan. Orang jadul terjebak di dunia materialistik, terdampar di dunia serba digital, orang sederhana dikelilingi kehidupan mewah. Namun kebahagiaan tak bisa dibeli dengan uang. Kenikmatan hidup memang misteri, tak bisa menjadikan item satu dengan item lain untuk banyak individu. Perfect Days benar-benar sempurna. Menyenangkan sekali, ada karakter merepresentasikan kita dalam gerak gambar. Buku, pita kaset dengan musisi dengan lagu-lagu masa-masa kejayaan pita kaset, foto, dan yang utama sekali, kelambanan. Dunia menjadi begitu damai. Merasuki, menghayati.
“Begitulah kehidupan berakhir.”
Karawang, 310324 –Diane Schuur – Love Come Back to Me
Happy Birthday Winda Luthfi Isnaini 18 tahun.

Februari 2024 Baca

“1666, Tahun Dajjal.” – Balthasar’s Oddyssey by Amin Maalouf
Bulan kedua 2024 saya lebih santuy lagi sebab ada kegiatan-kegiatan yang menyita akhir pekan. Mancing menjadi hobi baru yang gencar-gencarnya. Februari saya ke Singapura, perjalanan keluar negeri pertama kali, dan naik gunung yang pending berulang-ulang (akhirnya terealisasi 3 Maret 2024). Makanya lima buku yang berhasil dituntaskan baca dan ulas rerata tipis, kecuali nomor 4 yang dibacanya sejak tahun lalu. Februari 2024 juga diwarnai semarak Pemilu, coblos 5 pilihan. selamat buat para pemenang, yang kalah jangan stress. Berikut lima buku itu.

1. Liku-liku Menjadi Penulis Sukses by Wilson Nadek

Teori menulis lagi. Tak pernah bosan membacai kiat sukses menulis. Belajar terus, prakteknya nanti-nanti. Ini salah satu yang terbaik (selain Mengarang Novel itu Gampang nya Arswendo) dan menohok. Poinnya langsung ke inti, mau jadi penulis nggak? Kalau mau mari gasss, dengan segala kerumitannya. Kalau engga, sudahi usahamu dan hiduplah dengan bijak dengan profesi lain. Lalu detail bagaimana menulis dijelaskan dengan sangat memikat.
“Anda akan berjuang untuk memperbaiki cara-cara Anda, baik dengan usaha kecil maupun besar.”

2. Koran Kami by Bre Redana

Cerita tentang penerbitan, biasanya kutat orang-orang yang memang profesinya di situ. Makanya tak heran, buku ini ditulis oleh wartawan yang sudah 35 tahun malang melintang. Saya sendiri lebih mengenalnya di kolom Koran Kompas tiap Minggu di Udar Rasa, bukan bentuk cerita fiksi seperti ini, apalagi bentuk novel. Mulanya, pas beli juga kukira kumpulan esai, dengan embel-embel kata ‘Koran’. Nyatanya, ini adalah novel pendek. Sebuah impian mendirikan Koran ditengah gempuran digital. Impian menulis sejarah Koran, menyewa cewek cantik lulusan Universitas luar negeri.
“Kamu cari penulis, jangan penulis-penulis terjenal, konvensional. Membosankan. Mudah ditebak. Orang yang terlalu gemar menulis terperangkap asumsinya sendiri. Cari yang iseng-iseng, cari yang muda. Generasi mereka kadang memberikan sesuatu yang tak terduga.”

3. Keluarga Qurani by Dedhi Suharto Ak. M.ak, CIA, CISA

Buku yang menonjolkan penulis dengan penuh keagungan dan kemakmuran dan kehebatan. Bukankah seperti ini justru riya’? Kurang suka menikmati buku dengan ke-aku-an seperti ini, pamer pengalaman yang baik-baik, menunjukkan bahwa inilah contoh keluarga Qur’ani, saya dari keluarga biasa, bisa sukses sampai mengisi ceramah ke Amerika. Ini istri saya baik, mementingkan orang lain daripada keluarga, ini teladan berkurban dari keluarga saya. “Saya sendiri pernah terkesan dengan jiwa berkurban yang dimiliki istri saya, Maidah Nursalmiyah). Dan yang paling memuakkan adalah pamer buku-buku yang pernah ditulis, seperti buku pertama saya, bla bla bla. Jadi dalam buku kedua saya yang bla bla bla. Sementara di buku ketiga saya bla bla bla… dan ini sering banget. Mengesalkan, isinya justru dominan pamer.
“Takwa lebih bersifat umum dan abstrak, sedang al-birr bersifat khusus dan konkret. Takwa merupakan kesolehan pribadi, sedangkan al-birr kesolehan sosial.”

4. Balthasar’s Oddyssey by Amin Maalouf

Buku tebal yang pernah kubaca tahun 2009/2010 pinjam teman. Sebagian besar memori itu nempel, seperti perburuan buku langka, ramalan kiamat 1666, perjalanan jauh ke Turki dan Eropa, perjuangan bertahan di laut, dan yang utama Marta. Nama ini nempel terus menghantui sepanjang 2010-an sampai sekarang sebab memang karakter istimewa. Selain karena namanya yang simpel, satu kata dan mudah diingat. Marta memberi pengaruh besar sepanjang cerita, tak hanya misi mencari suaminya, status janda palsu membuat tokoh utama kepincut sampai mabuk cinta. Banyak hal bisa dicerita, dan diluapkan, makanya saya beli sendiri buku ini tahun lalu, dan kubaca santuy sepanjang tahun.
“Tertulis di sini bahwa akan muncul Anti-Kristus, menurut alkitab di tahun Masehi seribu enam ratus enam puluh enam.”

5. Tuhan dan Negara by Bakunin

Buku tipis yang gegas selesai saat dimulai. Ekspektasi ketinggian, jadi terasa wah pemikiran radikal yang luar biasa. Di masa itu mungkin masih bisa diwujudkan, masa perang dan huu-hara, tapi untuk masa sekarang sulit. Sulit dibayangkan manusia tanpa Tuhan dan Negara. Yang pertama menyangkut hati, bisa saja, tapi tak akan menyeluruh, yang kedua yang susah. Manusia tanpa kewarganegaraan, mau ke arah mana? seperti yang dia bilang, Lembaga terkemuka perbudakan manusia – “dua bêtes noires”, begitulah dia menyebutnya – adalah gereja dan Negara.
“Seluruh sejarah umat manusia, intelektual dan moral, politik, dan sosial, hanyalah pantulan dari sejarah ekonomi.”
Karawang, 160424 – Dinah Shore – My Funny Valentine

Tour de Lembu Part 02


“Bayangkan saja, di tengah kabut tebal yang menggulung, terdengar suara gamelan Jawa mengalun konstan. Bikin gidik.”

Tour de pertama 2024 ini ternyata Gunung Lembu. Mulanya mau ke Gunung Parang, tapi karena kendala alam, malah belok ke Gunung Lembu yang September 2024 kemarin sebagai penutup Tour de 2023 sekaligus gunung terakhir yang saya daki. Fufufu… dalam setengah tahun dua kali ke sana. Well, tak mengapa, setiap pendakian memiliki kenangannya tersendiri. Jadi mari kita catat.

Bersama teman-teman kerja sudah merencana ke Purwakarta, jadwalnya sebelum puasa harus dapat satu. Walaupun musim masih hujan, dan teman naik tambah turun kuantitinya. Wajar saja, dari sama Len dan Icha, sampai Pak Ir. Dari kemungkinan sama teman-teman Produksi, dan yang terakhir Aldi yang sudah join grup WA seminggu sebelum hari H, mengabarkan tidak jadi join sebab Sabtunya ke Jakarta, pulang malam takut kelelahan. Yo, wes akhirnya tersisa 4 bermobil + 1 naik sepeda motor langsung ketemu di sana.

Minggu pagi, 3 Maret pukul 06:00 mepo di rumahku sebab dekat sama pintu tol Karawang Barat. Satu per satu datang, pertama Ajay jalan kaki dari kosnya yang dibelakang rumah. Lalu Theo yang pertama kalinya ke rumahku, ia merupakan pendaki yang sudah kenal Herry dan Ajay. Baru yang join terakhir Herry. Seperti biasa, santuy dulu sama kopi/teh. Sementara dari Karawang Timur, Iqbal naik motor langsung ketemu di basecamp.

Bujet kita tipis saja, 75 ribu per orang. Sudah saya hitung, cukup. Bensin 50k, tol 26kx2 (realisasi 34.5kx2), tiket masuk 12kx4 (realisasi 10kx2), parkir 10k, makan mie ayam 30kx4 (realisasi berlima 108k). Dan ternyata nantinya setelah saya realisasikan, gap sisa 5k doang. Mantab kan. Hiking hemat ke Purwakarta.
Kukira sudah sarapan semua, ternyata Herry belum. Mampir pinggir jalan dekat Pustaka 2000 beli nasi kuning, 2 bungkus. Satu dimakan langsung di mobil, 1nya untuk makan siang di puncak. Perjalanannya sendiri lancar, estimasi 1.5 jam tak meleset jauh. Sempat salah masuk ke pasar sebelum jembatan utama Sukadana, putar balik untuk ke jalur utama. Bahkan di pasar itu ketemu Iqbal yang naik motor. Sempat pula kepikiran, Iqbal suruh cari penitipan motor untuk join mobil. Namun tak jadi.

Jalur yang dilewati sama dengan jalur ke Lembu tahun lalu, hanya saat di pertigaan yang seharusnya lurus ke Lembu, kita belok kiri arah Parang. Ada jalur beberapa meter rusak parah, yang infonya karena kena longsoran sehingga aspal geser, hanya menyisakan jalanan berbatu/tanah. Mobil bagian bawah seperti kena batu besar, gasruk dikit, aman. Di sinilah masalah timbul.

Ternyata terjadi tanah longsor beberapa waktu lalu masuk menutup akses. Sudah beberapa waktu jalan ke Gunung Parang terhalang longsor. Itupun kita baru tahu saat papasan dengan mobil pengangkut bambu, bahwa jalur utama ditutup. Kalau mau tetap ke Parang, bisa lewat alternatif Plered, silakan putar balik. Infonya jalurnya menanjak tajam, risiko kalau bawa mobil. Akhirnya kita diskusi kilat. Dengan kaca mobil dibuka, nyamuk hitam banyak sekali mengerubung.

Kalau tetap ingin naik, opsinya cuma Lembu. Ke Plered rasanya tak memungkinkan, selain putar jauh, mobil sempit, tanjakan pula. Akhirnya dari Maps kita langsung cek posisi ke Lembu yang hanya 8 menit! Yo wes, disepakati kita ke Lembu aja. Kasih kabar ke Iqbal, kita ganti tujuan. Dan benar saja, 8 menit pas kita sudah di basecamp, jam 9. Karena sudah pernah ke sini belum lama ini, jadi rasanya semua sudah familiar.

Sayangnya tak bisa gegas nanjak, nunggu Iqbal lama sekali. Pakai masalah makanan ketinggalan pula, kirain balik Cikampek, ternyata ketinggalan di warung fastfood. Saya ngopi, buka snack, makan kuaci bareng, yang lain main HP (sinyal 3 hilang, lainnya ada). Sekitar 30 menit setelah dinanti akhirnya tiba. Waktu itu gerimis, cuaca memang sedang sering hujan, jadi agak was-was juga mau naik. Alhamdulillah, pukul 09:30 tak jadi hujan. Setelah bayar registrasi per orang 10 ribu, kita berangkat.

Rutenya tentu masih sangat ingat. Jalur bamboo yang licin, tanjakan curam dengan pegangan di kiri, rute paling sulit di Lembu hanya menuju pos 1, jadi saya sudah mempersiapkan momen itu, yang membedakan ini licin habis diguyur hujan. Jadi makin hati-hati dalam setiap langkah. Tak sampai setengah jam kita sudah di pos satu. Betapa mengejutkannya, banyak sapi/lembu di pos satu. Tempat dulu kami rebahan di bawah pohon, bau kotoran hewan. Sebuah kubangan besar di sisi jauh jadi ajang mandi mereka.

Ayunan yang dulu kami mainkan, rusak lepas. Dari empat yang ada sisa dua yang masih bisa dipakai. Dan entah kenapa, auranya tak seceria dulu. Ini lebih muram, mungkin karena tanah basah, udara lembab, bau, mungkin pula karena antusiasme menurun sebab sudah tahu alur-alurnya.

Kali ini kami mengambil rute ke puncak lewat kanan, bukan jalur utama. Jadi mau dibalik, nanti turunnya dari kiri yang bagus. Bertemu pendaki asli Purwakarta, dua pemuda yang jam sepagi itu sudah menuju turun. Sisi pendakian kanan ini terbilang mudah, ternyata malah ketemu dua pohon besar tumbang sehingga tak semudah yang diperkiran. Belum terlalu lama jatuhnya, ada yang lewat atas dengan manjat pohon, ada yang lewat bawahnya. Sementara pohon satunya lagi menimbulkan longsoran yang membuat akses tertutup, kanan jalur, jurang dalam! Akhirnya mutar cari jalur alternatif, ada jejak kaki sempit, kami ambil. Ya, karena ini bukan jalur utama, tak ditemukan pos-pos di sana. banyak cacing tanah pada kelenjotan di atas tanah, banyak banget. Karena cuaca basah saja sehingga mereka bermunculan. Tahu-tahu sudah di puncak aja. Bukan puncak penanda itu, tapi area batu yang memiliki view keren itu.

Sejujurnya walaupun banyak keringat bercucuran, lelahnya belum terasa. Hanya butuh satu jaman untuk sampai puncak. Kami foto-foto, buka kuaci lagi, menikmati pemandangan, main HP sebab ada sinyal 3. Warung abah tutup, jadi hanya mengandalkan bekal. Nah, apesnya banyak monyet turun. Satu dua mulanya datang mencoba mengganggu kami yang sedang ngemil roti atau kuaci, tapi lama-lama serangan makin banyak, para binatang turun dari pohon.

Selepas foto-foto di batu dengan background waduk Jatiluhur, kami sudah siap-siap buka bekal makan siang, pas adzan duhur. Namun tak semudah itu, seekor monyet liar menyerang dekat sekali dengan tempat duduk kami, sehingga gegas kabur menyelamatkan bekal dan barang-barang. Diputuskan makan siang di tempat lain. Monyetnya makin ganas saat tahu para pendaki bawa bekal makanan.

Sesuai rencana jalur turun lewat jalur utama. Menemukan penanda puncak, lalu masuk ke belakang penanda yang ada batu besar untuk makan siang di sana. Areanya curam, dan memang sempit untuk makan, tapi tetap kami pakai. Makan siang sambil menikmati suasana gunung yang sejuk. Luar biasa, indahnya.
Apesnya, penutup minuman Theo jatuh. Lalu kabut tiba-tiba datang. Langit yang mulanya cerah, langsung seketika tertutup kabut putih.

Foto-foto sama Ajay terhenti. Full cover sehingga pandangan kami tak bisa jauh, gegas saja turun dari batu, gegas turun. Ini tampak aneh, sungguh menakutkan, kabut itu seolah dikirim untuk menyuruh kami gegas turun dari puncak. Apalagi, beberapa saat kemudian gerimis. Fufufu… ini lebih mengkhawatirkan. Gerimis + kabut, takutnya monyet turut menyerang. Akhirnya cepat gerak.
Batu yang dulunya tampak eksotik untuk tempat foto-foto lama itu bahkan kami lewati, pos tiga tak disentuh. Lalu jalur sambung dua bukit, di mana langitnya awan, pemandangan menakjubkan itu, yang juga jadi tempat foto-foto kami dulu, dilewati begitu saja. Sesekali ambil foto dan video, tapi tetap saja tak lama. Kanan kiri yang dulu gersang, jurang, kali ini penuh pepohonan hijau, gerimis mengubah banyak hal.

Pos dua juga tak terasa jauh. Nah dari pos dua ke pos satu ini, terdengar suara-suara aneh seperti gamelan. Bayangkan saja, di tengah kabut tebal yang menggulung, terdengar suara gamelan Jawa mengalun konstan. Bikin gidik. Agar tak menimbulkan ketakutan ke yang lain saya diam saja. Namun makin turun, suaranya makin jelas. Istigfar berkali-kali dalam hati. Hufh… mana ketemu kuburan Mbah Surya Kencana pula. Permisi…

Namun segalanya jadi jelas saat jelang pos satu. Ada gerombolan sapi/lembu merumput. Lega. Bukan suara gaib yang kedengeran, tapi genta lembu yang berdentang saat jalan. Mereka terpencar dan menggerombol. Anehnya, mereka bisa naik gunung. Saya lihat sendiri, mereka bisa nanjak. Bahkan, saat ada lembu kecil turun, dengan pede-nya seperti prosotan, yang saat ada lembu di bawahnya remnya pakem, berhenti pas di depan lembu lain. Lalu suara ‘eemmmoooohhh’ sahut-sahutan. Intinya, itu bukan suara gamelan, tapi genta berdenting bergantian.

Sampai pos satu, kita istirahat bentar. Minumanku sudah habis. Bawa 600 ml dan 500 ml isotonik. Untung sudah dekat. Setelah istirahat bentar, kita turun, melewati area bamboo yang licin itu. saya berkali-kali terpeleset. Tangan sampai lecet, perih. Inilah kenapa sepatu gunung yang safety perlu. Nanti setelah lebaran, beli ah.

Sampai di basecamp pukul 14:15. Bergantian mandi, sebab selain basah juga penuh lumpur. Bagusnya, ada mushola dengan air bersih melimpah. Duhur aman. Lalu teh pucuk dingin disuguhkan. Nikmat sekali. Dan begitulah, perjalanan pulang dilakukan. Mampir makan mie ayam di tempat yang sama dengan yang dulu. Ketemu dengan guru SMK Telagasari, Bu Wiwiek (pas ketemu saya lupa namanya, dia yang menyapa duluan). Dia sudah tidak ngajar di sana, sudah jadi warga Purwakarta. Sebuah kebetulan. Persentase ketemu teman lama di warung mie ayam di kota yang jarang kita kunjungi adalah momen jarang.

Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang. Iqbal naik motor, say thanks, kami turut masuk tol Ciganea. Dan wuuuz… pukul 17:00 sudah sampai rumah. Sesuai jadwal, sesuai run down. Termasuk estimasi biaya, urunan 75k per orang setelah dihitung, sisa 5k yang disepakati masuk kotak amal. Ringkas, cepat, tektok, fun.

Alhamdulilah, Tour de 2024 pertama berjalan lancar. Next trip kemana? Gede? Sangar? Prau? Sumbing? Mari kita nanti, ke manapun semoga diberi keselamatan, kebahagiaan, dan kebersamaan dengan teman makin akrab. Oiya, finansial yang mapan buat menunjang hobi ini. Nabung, untuk Rinjani dua tiga tahun lagi? Thx.

Karawang, 250324 – Erin Boheme – Teach me Tonight

Thx to Herry, Theo, Ajay, Iqbal

Filsafat sudah Tamat


“Kita adalah tanda yang tidak terbaca… kita tidak merasakan sakit, kita memilikinya. Kehilangan lidah kita di tanah asing.” – Syair Holderlin

Judulnya ngeri, filsafat tamat? Maksudnya sudah tak bisa digunakan sebagai pegangan, dasar berlogika? Atau gmana? Dengan judull seprovokatif ini, maka pembaca atau calon pembaca akan terpatik. Saya salah satunya, tampak menggelegar dengan tendesi kata ‘tamat’. Isinya sendiri juga kurang nyaman dicerna, muter-muter penuh perumpanaan, ‘jembatan’ berulang-ulang dibahas sebagai sarana penghubung. “Ciri fundamental menghuni adalah dilupakan. Ciri tersebut tampak pada semua jenis hunian.” Atau arti Empat lipatan, berisi bumi dan langit, keilahian dan kefanaan. Melebur jadi satu. “Kefanaan menghuni bumi agar dapat menyelamatkannya – meminjam baris syair lama Lessing: Menyelamatkan bukan hanya melepaskan seseorang atau sesuatu dari bahaya. Menyelamatkan juga berarti meletakkan mereka tetap bebas di dalam esensinya.”

Bukanya menjelaskan, tapi ini menjadi memutar. Tamat sendiri jadi titik fana, yang mana untuk merangsang kefanaan memasuki esensi kematian, tidak ada cara lain kecuali menjadikan kematian sebagai tujuan, dan bukannya sebagai sesuatu yang hampa atau tiada.

Saya ketik ulang saja beberapa kutipan bagus buku ini, selamat menikmati.

Apa pun jenisnya, jembatan selalu menghubungkan dua tempat dan membawa kefanaan dari tempat ke tempat lain.
Bahkan, mesti kehilangan genggaman terhadap hal-hal seperti yang muncul pada kondisi depresi, tetap saja mustahil bagi kita kehilangan esensi – kendati ini bukan kondisi normal manusia – kita tetap tinggal bersama hal-hal.

Kita? Siapa? Kita, manusia-manusia hari ini, hari ini yang sudah berlangsung sejak lama dan akan terus berlangsung untuk waktu yang lama, selama tidak ada kalender di dalam sejarah dapat melakukan pengukuran atasnya.
Memori mengumpulkan kenanangan, dan memikirkankannya kembali. Memori menjaga kenangan dengan aman, dan menjaganya tetap tersembunyi dalam dirinya agar kapan pun pikiran kembali, ia mendapat segala esensinya sudah tersingkap: Menunjukkan pada kita apa yang sudah membentuk kenangan dan bahwa kenangan itu pernah Mengada. Memori, ibu para Muse – memikirkan kembali apa yang pernah dipikirkan – adalah sumber sekaligus landasan bagi puisi.

Alih-alih terlontar konstan ke depan, kita pelan melayang tanpa sadar dari satu hal ke hal berikutnya sehingga segalanya terkesan tetap, kondati lompatan ini telah membawa kita secara tiba-tiba ke suatu tempat yang sama sekali baru, yang begitu berbeda sampai-sampai terasa asing.

Seni dan sains total berbeda, meskipun keduanya dalam blueprint yang sama.
Terdapat ketakutan berpikir bahwa berpikir akan menjadi musuh sains, meremehkan keseriusannya, dan merusak kesenangannya dari kerja ilmiah.

Ketika kita berbicara tentang sains seperti membabat hutan maka kita tidak akan berbicara untuk melawan, tapi berbicara untuk mendukung mereka: kejernihan berkaitan dengan Mengada esensial mereka.
Dalam ‘Mnemosyne’, Holderlin berkata: “Kita adalah tanda yang tidak terbaca… kita tidak merasakan sakit, kita memilikinya. Kehilangan lidah kita di tanah asing.”

Yang paling misterius adalah permainan timbal-balik antara Lethe dan Aletheia dalam proses penjernihan Mengada. Mengada obsolut, cara yang menjadi suatu isu menjadi yang paling orisinil bagi filsafat. Ia tidak sekadar melekat pada isu seperti kunci melekat pada gembok. Melainkan melekat pada isu karena ia adalah ‘materinya sendiri’. Jika ada yang dimana prinsipnya semua prinsip mendapatkan haknya yang obsolut? Mungkin jawabnya dari subjektivitas transendal yang sudah diasumsikan sebagai pokok soal filsafat.

Goethe menegaskan, Jangan cari apapun di belakang fenomena-fenomena, mereka itu sendiri yang harus dipelajari.

Syair Parmenides, “…Namun kalian harusnya belajar semua: inti tak tergoyahkan dari penyingkapan bulat-bulat, dan juga opini makhluk-makhluk fana, yang tidak punya kemampaun untuk memercayai apa yang tersingkap.” [fragment 1, 28]

Manusia yang merenung memiliki inti tak terguncang dari penyingkapan. Namun, apakah maksud dari frasa ‘inti tak terguncang dari penyingkapan’? penyingkapan itu sendiri dilakukan dengan caranya sendiri; berarti tempat yang stabil untuk mengumpulkan dalam dirinya apa yang memberinya penyingkapan. Ini berarti menjernihkan apa yang terbuka… jalan berpikir entah spekulatif atau intuitif, perlu penjernihan yang dapat dinegasikan.

Buku tipis ini mulai dibaca di Singapura pada 24 Februari 2024 dalam perjalanan sama teman-teman kerja, dan selesai baca pada 10 Maret 2024 di Karawang, santai di rumah. Circa lagi, bukunya tipis-tipis sehingga nyaman untuk yang ingin tak berlarut waktu, atau mudah dbawa ke mana-mana. Inilah alasan utama kubaca keluar negeri, kecil sehingga bisa diselipkan. Bukan prioritas baca, jadi ya gampang dimasukkan tas di sela-sela pakaian.
Saya sendiri sudah punya belasan buku Circa, tak muluk sampai koleksi komplit, tapi ya kalau ada kesempatan baca ulas, kalau bisa juga beli, ya digas juga. Di masa saat ini, koleksi komplit atau ingin melengkapi deret sedap dilihat di rak bukan prioritas, yang utama adalah menikmati waktu, meluangkan waktu untuk sendiri, santai sama buku dan kopi lebih esensial ketimbang kejar ini-itu. Seperti itulah filsafat sejatinya, waktu mengada untuk dipeluk erat.

Filsafat sudah Tamat | by Martin Heidegger | Copyright 2019 | Diterjemahkan dari berbagai artikel, San Francisco, HarperSanFrancisco, 1976 | Penerjemah Yudi Santoso | Penyunting Prima Hidayah | Penata letak isi Difalsifikasi | Perancang sampul Viona Daisy | xii + 109 hlm.; 12×18 cm | Cetakan pertama, September 2019 | ISBN 978-623-90721-9-3 | Skor: 4/5

Karawang, 200324 – Diana Krall – Cry Me a River

Thx to Daniels, DIY

Red Queen #2


“Aku bisa saja menyulut di dunia ini, dan menyebutnya sebagai hujan.”

Revolusi menggulingkan kemapanan. Kisah fantasi dengan tema menggulingkan pemerintahan yang bermasalah sudah sangat banyak dibuat, dibaca, dan diikuti. Paling mudah dan hype-nya mencapai puncak sebut saja The Hunger Games. Pertarungan anak muda sampai mati, diatur oleh pemerintah. Akar rumput melawan, menggulingkan kekuasaan. Red Queen sama saja, secara garis besar. Pemerintah berdarah Perak (membayangkannya saja bikin gidik) memerintah, memimpin kaum jelata berdarah Merah (manusia pada umumnya, seperti kita). Perang terjadi, dan pemberontakan disusun. Revolusi itu belum tuntas, sebab ini buku satu. Ada lanjutan, dan lanjutannya lagi. Kali ini karakter utama, memiliki darah istimewa (langsung mengingatkan Darah Campuran-nya Harry Potter), dan terpilih (seperti Potter juga). Melakukan pemberontakan dari dalam, dan pada akhirnya sang raja tewas.

Kisahnya tentang Mare Barrow yang berdarah merah, memiliki keluarga sederhana berbahagia Daniel dan Ruth. Namun di masa perang, ketentraman jadi barang mahal. Anak sulung Shades tewas di medan perang antara Lakelands vs. Norta, karena melakukan disersi. Adiknya Gisa masih kecil. Sahabat karib Kilorn dkk melakukan perlawan, ada amarah besar di dalam Mare ke pemerintahan Perak. Ini di masa depan yang tak jelas, di wilayah antah, karena ini kisah fantasi, maka nama-nama daerah juga fantasi. “Kau bukan lagi Mare Barrow, seorang gadis Merah dari desa Jangkungan.”

Wilayahnya antah, seperti kisah fantasi lainnya, nama-namanya fiktif. Mereka terkepung, dengan bertahan dari cuaca musim dingin di wilayah utara, wilayah timur adalah lautan, wilayah barat lebih banyak peperangan lagi, wilayah selatan berpusat ke semua neraka.

Orang Merah adalah orang biasa, seperti kita. Orang Perak memiliki kekuatan supernatural, seperti X-Men yang tiap orang beda-beda. Kesemua orang Perak bertubuh jangkung, rupawan, dingin, bergerak dengan keanggunan lamban yang tak akan pernah bisa ditiru oleh seorang Merah.

Mare sendiri memiliki keahlian mencuri, di pasar, di kerumunan, di Summerton. Mulanya itu jadi kelebihan umum, tapi kemudian malah memertemukan dengan pangeran Perak Cal sehingga mereka saling mengenal, yang nantinya jadi kunci hubungan di kerajaan. Jatuh hatinya sama Cal, eh jodohnya sama Maven. Malah membawanya ke lingkar kerajaan. Dan punya kesempatan membunuh raja bila mau. Mare Barrow, hanya beberapa meter jaraknya dari baginda raja. Apa yang akan dipikirkan keluarga, atau bahkan Kilorn? Pria ini mengirim rakyat ke medan perang untuk tewas, dan ia dengan sukarela mengabdikan diri sebagai pelayannya. Kenyataan itu membuatnya mual.

Dan sinilah akhirnya kita tahu bahwa Mare istimewa. Dalam kemelut, Mare mengeluarkan kekuatan ajaib. Kekuatan langka, petir. Dan setelah interogasi serta penyelidikan, ternyata dia adalah bayi yang hilang, sang Lady Mareena Titanos, putri dari Ethan Titanos, yang dulu hilang kini telah kembali. Kemampuan kedua orang tuanya bercampur – ayahku seorang penghancur, ibuku seorang pencipta badai. Dan jadilah ia pemilik petir.

Hal ini mengubah banyak hal, Mare menjadi punya koneksi dalam lingkar Perak dan kini menjadi bagian dari kerajaan yang turut menyebarkan pro-pemerintah. Mare adalah Merah sekaligus Perak, sebuah keganjilan dengan konsekuensi mematikan yang tidak bisa dipahami. Seperti pengakuannya, “Aku adalah gadis Merah di lautan orang Perak.” Jelas ini berlawanan dengan hati kecilnya. Ia bahkan turut kampanye ke wilayah-wilayah, dan muncullah kalimat ikonik novel ini. Kata-kata bisa berbohong, “Jayalah baginda raja.”

Pemberontakan terjadi, pasukan Merah sebagian itu tertangkap dan terancam eksekusi mati. Salah satunya si Kilorn, teman akrab Mare. Namun dengan segala kehebatannya, kolaborasi dengan teman-teman, akhirnya bisa lolos, selamat. mengkambinghitamkan orang lain, dan pada akhirnya bom yang meledak bukanlah mereka pelakunya.

Penghianat muncul, dan pembunuhan raja sukses. Kerajaan coba digulingkan, tapi kambing hitam ditangkap sehingga pecah perang. Mare sebagai darah campuran tindakannya mewakili Perak, tapi hatinya Merah. sampai akhirnya sekelompok pasukan ‘menculik’ nya membawanya ke area tak terdeteksi, area bawah tanah, pasukan revolusi yang mengejutkan Mare, dan juga pembaca. Setiap orang bisa menghianati siapa pun.

Yang namanya revolusi, pasti korban berjatuhan. Maka Mare sudah diingatkan, “Mengubah dunia adalah harganya, Mare. Banyak orang akan mati, kaum Merah terutama, dan pada akhirnya tak ada kemenangan, tidak bagi dirimu. Kau belum tahu gambaran besarnya.”

Ini kisah menukil dari banyak cerita, dan sah-sah saja. Yang mengerikan memang membayangkan bahwa darah yang keluar dari tubuh adalah perak, bukan merah. Seperti robot yang kehabisan oli? Bikin gidik ngeri. Kalau masalah menggulingkan kekuasaan dari remaja yang memimpin pemberontakan terlihat biasa. Yang terbesit saat memasuki babak, pembentuk pasukan bawah tanah, jelas langsung teringat Katniss Everdeen. Tingkah lakunya juga mirip, jiwa besar, nyali besar, perang gaas… pengorbanan demi adik. Dst… yang buat kurang nyaman justru nama-nama wilayah, tak terbaca familiar. Mungkin butuh buku dua, tiga untuk klik menghapalkan nama-nama wilayahnya. Seperti Lord of The Rings yang bejibun nama-nama antah.

Buku ini ditulis tahun 2015, dan rasanya hanya masalah waktu saja untuk diadaptasi film. Semoga sih bernasib seperti Hunger Games yang sukses komersil dan kualitas, jangan seperti Divergent yang terkatung, atau The Maze Runner yang ambyar. Asal pilih orang orang yang sesuai saja. Apalagi sosok Mare yang istimewa, memiliki kekuatan petir bak Storm-nya X-Men. Mari kita tunggu.

Alhamdulillah, Tantangan Baca Noura #2 selesai baca ulas. Meleset dikit waktunya, seharusnya hari pertama puasa, mulai baca buku Annemarie Schimmel, ini hampir seminggu. Tak mengapa, santuy saja, Desember masih jauh.

Selamat menjalankan ibadah puasa. Lancar semua…

Red Queen | by Victoria Aveyard | Judul asli Red Queen | Copyright 2015 | Jacket art Micahel Frost | Jacket design Sarah Nichole Kaufman | Penerjemah Nuraini Mastura | Penyunting Jia Effendi | Penata aksara CDDC | April 2016 | Cetakan ke-2, Juni 2016 | ISBN 978-602-385-062-4 | Penerbit Noura Books (PT Mizan Mizan Publika) | Skor: 4/5

Untuk Mama, Papa, dan Morgan

Karawang, 150324 – Madeileine Peyroux – Between the Bars

Thx to Dhika, DIY

TantanganBacaNoura #2

November #1


“Enggak apa-apa. Hujan di Indonesia emang cukup dahsyat.” / “Iya… Gue… Terdahsyatkan.”

Perjalanan cinta November dengan lima orang (saya tak tulis lelaki sebab nantinya ada kejut kecil), sebagai perwujudkan proses kehidupan, dari remaja hingga dewasa. Fredio untuk sekolah, Bara untuk kuliah, Laksamana untuk masa kerja, Dioffan untuk fantasi online, dan Cloud untuk bentangan tak tersentuh, ketinggian spek. Kelimanya memberi porsi masa perkembangan manusia, dan itu wajar. Bahasannya gaul abis, pakai lo gue sebagai mayoritas percakapan. Untuk pembaca seusia gue, bahasannya tak nyaman. Benar-benar untuk anak muda novel ini. Eh, muda ‘kan relatif?

Kisahnya tentang November Ralin yang modis, namanya unik dan mudah diingat. Sekolah di Bogor, kota hujan. Pacaran dengan pemain basket sekolah, jangkung, tamvan, kaya. Fredio bercita-cita ingin jadi pemain NBA, tak perlu menebak, ini fiksi, cita-cita ini akan terealisasi, lulus sekolah cus ke Amerika. Sesimple itu fiksi. Akhir kisah pacaran mereka, janji setia, akan saling menanti, bla bla bla… kalian percaya? Di era sosmed ini, setia barang mahal sekalipun komunikasi seharusnya tak terkendala. Putus tanpa kejelasan. Nantinya, jelang akhir novel, kita tahu Fredio sudah jadi terkenal (namanya jadi aneh), menulis buku (judulnya lebih aneh lagi), jadi pemain basket beneran. Namun, itu membuat Nov muak sebab membiarkan hatinya terbengkelai tanpa kejelasan. Ah, Hujan yang damai kembali ke Kota Bogor. Syukurlah. Syukuri apa yang ada… hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini… (nyanyi).

Kedua, saat kuliah Nov pacaran dengan seorang dosen tamu. Sama ngawang-awangnya, kali ini dosen muda yang sudah malang melintang ke berbagai kota? Tidak. Berbagai Negara! Sebastian Bara (nama panggilan aneh-aneh: Seb; mending Asep; Bantian, Bara, dst) jatuh hati kepada Nov melalui cara yang romantis. Riwayat pendidikannya ngeri, sepertinya hanya di fiksi, atau kalaupun ada, terlalu istimewa yang karenanya dijadikan karakter tokoh fiksi akan tampak annoy: lulus SMA 16 tahun, S1 di UGM, dan cus ke Paris. Setelahnya loncat-loncat karena kehebatannya. Nah, drama terjadi, termasuk malam ketika akan pergi keluar negeri. Memersembahkan graffiti, “pertunjukan” di belakang kampus. Dan hal-hal romantis yang dapat kalian bayangkan. Malam-malam, remang di tembok kenangan. Nantinya, inipun jadi kenangan. Dosen pacaran sama mahasiswi, dan jomplang parah sebab dosennya ambisius cita, mahasiswinya terseret asmara.

Ketiga, masa kerja. Ini yang sejatinya horror. Nov dipindahtugaskan di bagian CSR dengan atasan killer, Tuan Laksamana. Sudah terkenal horror, di divisi hanya mereka berdua. Dan banyak bawahannya tak betah. Bara digambarkan kaya raya, semua barang bermerek, lulusan luar negeri. Dan punya tato. Nantinya kita tahu, ia pernah patah hati terlalu dalam. Pernah tunangan, gagal. Tenggelam dalam minuman keras. Dalam sebuah acara outing ke Bali, jelas berdua untuk mencipta romantisme. Berakhir dengan bencana.

Keempat, ini di masa kerja. Hobi main Neptune Haven dini hari yang berlanjut dengan kasih. Dioffan merupakan nama akun yang diajak chating, Nov dengan nama Rain_Storm dengan bahasa Inggris tentunya sebab ia berasal dari luar negeri. Ngomongin kehidupan dan segala batasannya. Cinta dan pengorbanan. Dst. Nantinya kita tahu bahwa Dio merupakan lingkar alur sang dosen yang dikejar status terbarunya. Lingkar itu tak terlalu berbelit, tapi rada aneh saja bagaimana kebetulan bisa tersambung. Jarang di kehidupan seperti ini, sang pemilik akun tersirat menyata kepada identitas yang suka komunikasi akrab, tapi tetap di dunia nyata masih tak terbuka.

Kelima, Cloud seorang aneh dari luar negeri (nama aslinya ke Eropa Timur-timuran) yang mentraktir makan di rumah besar, tak dibayari laiknya traktir biasa, tapi juga dijamu, dimasakkan, disambut istimewa. Pertemuannya juga rada awkwak, sebab ia tahu identitas Nov, tahu latar belakangnya dengan meyakinkan, sementara Nov masih bingung. Jeratnya tak terlalu kencang, tapi selipan kasihnya lumayan menjanjikan.

Ini adalah cerita orang-orang kaya, jadi jangan harap ada cerita anak kos kehabisan duit, makan Indomie dengan bungkus diisi air panas, atau utang makan siang di Warteg dengan meninggalkan KTP. Tidak, ini adalah cerita gadis kaya dengan problematik asmara kelas Jaksel. Perhatikan kutipan latar kedua orangtua Nov, “Papa orangnya cool dan sabar, sedangkan Mama.. well, begitulah. Papa dokter gigi, Mama pengacara. Mama pernah jadi finalis Mojang Jajaka kota Bogor.” See… kombinasi dokter dan pengacara, menghasilkan pegawai bank yang outing ke Bali. Walaupun nantinya sang Mama beralih/bertambah profesi, “Emak sekarang ngajar pengantar hukum di kampus lokal dekat rumah.”

Ketiga cowok yang dekat juga tak satupun sembarangan. Seorang pemain basket, yang akhirnya mengecewakan. “Mungkin dia masih sibuk menyelamatkan dunia sembari mematahkan hati cewek-cewek lain di luar sana. Cinta itu menakutkan, memang.” Seorang dosen tamu yang berdomisili di Eropa, “GYAH!”. Dan bos bertato yang akhirnya luluh. “Pak Laksamana tidak hanya terasa berbeda, tapi juga menjadi berbeda.”

Namun tetap, dua karakter identitas samar yang justru mencuri perhatian. Nasehatnya bisa jadi menyentuh hati, “Kamu harus berhati-hati dengan kenangan manis bersama cinta pertama kamu itu.” karena masa lalu tak bisa diulang, hanya bisa dikenang, memang kalau tak hati-hati bisa bikin terjerebab.

Serta, bagaimana para pria itu pernah memberinya kebahagiaan. Sehingga saat sedih karena masalah kini, masalah sekarang sehingga mengenang dan bikin orang mengandai, jika saya pilih si A apakah seperti ini, jika saya pilih si B, bagaimana rasanya, atau andai si C yang ngajak nikah, seperti apa? Dunia ini linier, maka memang mengenang itu tugas otak kita. “Pernah dengan pepatah ini? Manusia mengalami kesedihan bukan karena dia belum pernah merasakan kebahagiaan, melainkan karena dia sudah pernah merasakan kebahagiaan tapi kebahagiaan tersebut direnggut dari hidupnya.”

Sulit membuat novel menarik tentang remaja atau pekerja: metropop, chicklit, teenlit, dan sejenisnya. Di sini sini, dilabeli Urban Romance. Seingat saya, tak banyak novel jenis itu yang menarik perhatianku. Yang benar-benar bikin kesemsem, makanya genre ini bukan genre prioritas untuk masuk rak buku. Sekadar opsi-opsi tambahan, yang memang setiap tahun tetap ada 3-5 buku yang kubeli, tapi bacanya santuy saja, pengisi sela baca genre favorit. Tak heran, buku ini mengendap lama di rak, saya cek beli sejak akhir tahun 2022, baru saya gas baca awal Maret ini karena tertantang Noura.

Ini adalah buku pertama: Tantangan Baca Noura, satu dari dua puluh. Desember masih lama, santai saja menikmati tiap lembarnya. Let’s go…

November | by Felix Martua | copyright 2019 | Penyunting Yuli Pritania | Penata aksara Rasyid | Desainer sampul Garisinau | Penerbit Noura Books | Cetakan ke-1, November 2019 | ISBN 978-623-242-045-8 | Skor: 3.5/5

Didedikasikan kepada Don dan Rosie, Vincent dan Georgina, Herry dan Linda.

Karawang, 130324 – Kevyn Lettau – Love You Madly

Thx to Nenk Tasha, Jkt

TantanganBacaNoura #1

Prediksi Oscars 2024

Besok libur. Alhamdulillah, tidak perlu cuti untuk menikmati Oscars. Puasa hari pertama pula. Oscars 2024 rupanya sedikit menurun antusiasmenya, seminggu terakhir ini gasnya agak kencang. Jadi prediksi ini sederhana aja. Let’s Go.

#14. Animated feature film – The Boy and the Heron

Alasan: satu satunya kartun yang ku tonton. Dan memang keren. Semoga bisa jadi Ghibli kedua meraihnya.

#13. Actor in a supporting role – Ryan Gosling – Barbie

Alasan: Bisa jadi Mark, tapi penampilan Gosling yang agak laen jadi tampak aneh. Joget dan nyanyi di dunia boneka.

#12. Actor in a leading role – Cillian Murphy – Oppenheimer

Alasan: saatnya Cillian menang. Ekspresi jadi Oppenheimer yang bangga sekaligus terluka.

#11. Actress in a supporting role – Jodie Foster – Nyad

Alasan: aktris tua yang kusayang sejak Flight Plan.

#10. Actress in a leading role – Emma Stone – Poor Things

Alasan: sudah saya locked untuk Emma. Walaupun kalau yang menang Sandra saya juga setuju.

#9. International Feature Film – The Zone of Interest (Inggris Raya)

Alasan: Jatah Jepang sudah diambil Nyupir dua tahun lalu, sayang sekali Perfect Days kejegal film ini.

#8. Film Editing – Oppenheimer

Alasan: Sudah lihat behind the scene nya, dahsyat.

#7. Visual effects – Guardians of the Galaxy Vol 3

Alasan: satu-satunya yang sudah ku tonton di bagian ini. Dan suka sekali ledakan luar angkasanya. Nonton di bioskop bareng keluarga

#6. Original Scoring – Oppenheimer

Alasan: sulit di sini, bagus semua.

#5. Cinematography – Killers of the Flower Moon

Alasan: bolehlah film oppa menang di sini

#4. Writing (adapted screenplay) – The Zone of Interest

Alasan: Secara cerita ini terbaik.

#3. Writing (original screenplay) – Anatomy of a Fall

Alasan: Cerita ngomong dan berpikir. Saya suka.

#2. Directing – Christopher Nolan – Oppenheimer

Alasan: Sejujurnya jagoanku adalah Anatomy, tapi sudah muak nebak berdasarkan hati, nebak yang terbaik. Sekali ini saja ikuti arus.

#1. Best picture – Oppenheimer

Alasan: Maaf, sekali lagi ini saja biarkan tebakanku ikut arus, biar pecah telur benar.

Karawang, 100324 – Billie Eilish – Happier than Ever: A Love Letter to Los Angeles

Anatomy of a Fall: Ngegoliam dan Berpikir


“Apa perdebatan sastra ini penting?”

Cuaca sepanjang film bersalju; dingin dan tidak bersahabat, berangin dan mendung, cocok untuk menyongsong kematian. Tiupan angin merontokkan daun-daun yang masih tersisa pada dahan-dahan, dan membuat semuanya berceceran di pelataran rumah di bawah. Film ngegoliam dan berpikir. Anatomy of a Fall adalah film dengan tingkat kepusingan di ambang tinggi. Ceritanya runut, dijelaskan dengan tensi sedang, deduksinya juga enak diikuti, tapi memang tak serta merta terjawab siapa pelakunya. Sebab segala alibi masuk akal. Opsinya cuma tiga: bunuh diri, overdosis dan terjatuh, atau dibunuh. Ketiganya sangat kuat, dan saling menindih alibi lain. Keseruan diselimuti tanda tanya, apakah sang istri bersalah? Sedari mula saya sudah sangat mantab bilang tidak, saat sang istri bilang: Saya tidak membunuhnya kepada sang pengacara. Kemantaban saya perlahan-lahan goyang sebab selama deduksi pemeriksaan di pengadilan justru memberatkannya. Seperti inilah film bagus dibuat, penonton tak hanya menonton, tapi dilibatkan untuk berpikir. Diajak mendengarkan kata-kata yang membuncah, meluap tak terkendali. Dan diri kitalah yang menentukan.

Kisahnya hanya berkutat di rumah salju terpencil di pegunungan penuh salju dekat Grenoble dan pengadilan. Hanya dua tempat itulah yang dijadikan setting utama. Dibuka dengan pelan tapi langsung menghentak, nampol abis sebelum tulisan muncul sudah ada yang mati! Ini bisa jadi lebih action ketimbang film action. Penulis Sandra Voyter (diperankan dengan amat keren oleh Sandra Huller) diwawancarai oleh mahasiswi tentang bukunya. Saat wawancara berlangsung, suara musik keras tiba-tiba terdengar dari lantai atas. Sang suami Samuel Meleski (Samuel Theis) sungguh tak tahu sopan santun, sedang wawancara malah sengaja mengganggu, yang akhirnya ditutup saja duduk-duduk bincang ini.

Setelah mahasiswi pamit, sang anak Daniel (Milo Machado Graner) dengan anjingnya Snoop pergi berpetualang ke hutan. Sang anak mengalami kebutaan karena suatu hari pernah sang anak telat menjemput, ia tertabrak. Kejadian yang traumatis, menghantuinya. Kalau kalian teliti, dalam sekian detik gambar menyorot empat kejadian: lantai dasar tamu pamit, di lantai dasar pula sang istri melihatnya pegi, lantai satu sang anak bersiap pergi, lantai dua sang ayah memendengarkan musik kerasnya. Dan inilah mula petaka.

Daniel balik dari petualang, menemukan ayahnya meninggal dunia di halaman rumah. Menjerit, dan ibunya turun, gegas menelepon agar ambulan datang. Dan begitulah, film dibuka, apakah kasus pembunuhan, kecelakaan, ataukah bunuh diri?

Pengacara pelaku Vincent (Swann Arlaud) melakukan wawancara, menelusur kasus. Dalam persidangan terungkap teramat banyak hal. Bahwa di rumah itu hanya ada dua orang saat kejadian. Hasil otopsi menyatakan, sebelum menyentuh tanah, ada benda tumpul yang melukai kepala korban. Bahwa sang suami depresi berat akibat kesalahan masa lalu. Kesal sama istrinya karena pernah selingkuh, dan merasa tertanggu saat bicara intim sama perempuan lain. Bahwa telah membongkar kehidupan mereka, langsung ke aib-aibnya. Bahwa sebagai pasangan penulis, mereka sudah berpindah-pindah tempat, dan saling silang mendukung karya. Bahwa dalam novel Sandra ada sebuah plot, salah satu karakternya membunuh suami! Fiksi? Bahwa sang suami pernah overdosis karena depresi. Bahwa Daniel pernah mendapat pengakuan aneh dari ayahnya. Bahwa berpotensi Sandra dituduh melakukan plagiatisme karena mengambil ide-ide suaminya. Bahwa dengan terang-terangan Sandra berbohong terkait luka di sikunya! Semua fakta itu tumpang tindih, dan rasanya waktu dua jam setengah terasa kurang. Kita perlu asupan kata lebih banyak lagi, kita perlu pembelaan yang ditangkis pengakuan yang dibantah ketebalan novel. Kita perlu lebih banyak berpikir. Menyenangkan bukan, seorang jaksa dengan lantang membacakan bagian halaman novel di pengadilan, di film berkelas. Bukan, bukan menyenangkan lagi, tapi ini luar biasa menyenangkan sekali!

Ya, menyenangkan sekali menyaksi sastra didedah. Walau hanya satu nama penulis terkenal Stephen King yang disebut. Keren sekali, bagaimana penulis yang suka memberi kita asupan kisah kini terpojok akan kisahnya sendiri. Ketika pertengkaran suami istri terjadi, saya langsung ingat film A Marriage Story, sama-sama meluap. Namun jelas di sini tensinya jauh lebih tinggi, sebab bukan perceraian yang diperdebat, tapi nasib anak dan ujung kematian.

Waktunya linier, kisah melaju lurus terus sepanjang film kecuali dua adegan flashback yang jadi kunci utama. Baik. Saya tak tahan menahan info ini. Saya kasih garis spoiler sahaja.

—spoiler—

Flashback pertama, mengungkap bahwa keluarga ini benar-benar retak. Dalam rekaman pertengkaran suami istri, kita bisa dengan gamblang bilang bahwa mereka di ambang perpisahan. Sang suami merasa bersalah karena kebutaan sang anak, sang istri muak akan keingingan-keingnan aneh suami. Ditambah, perselingkuhan pernah terjadi. Sekali, maksudnya dua kali berhubungan intim dengan orang yang sama. Artinya, musik yang menghentak di mula film punya adalah kuat, bahwa sang istri tertarik sama daun muda, sesama perempuan! Dan tak hanya kata-kata, rekaman merekam pertengkaran dengan kekerasan. Gelas melayang, tamparan terjadi. Ini sungguh memberatkan Sandra.

Flashback kedua justru berlawanan, meringankan Sandra. Sebab dari sisi sang anak yang pernah bilang, bahwa ayahnya bilang, anjing mereka akan ada masanya pamit. Masa tua, rasa muak melayani, dan dalam perjalanan di mobil menuju dokter hewan itu, terungkap kata-kata perpisahan: ‘nak, kamu harus siap, suatu saat ditinggalkan. Nantinya, ini bukan akhir, tapi kamu harus memersiapkan diri ditinggalkan.’ Nah, makna kalimat ini bercabang, sebab ditinggalkan di sini bukan hanya untuk kepergian anjingnya, tapi sang korban! Luar biasa. Bagaimana bisa dua flashback kontradiksi ini jadi kunci keputusan pengadilan? Dahsyat! Kepingan fakta-fakta cerita harus menyatukan semuanya, sekaligus menghamburkannya.

Kalau kalian memutuskan endingnya tertutup karena kasus ditutup dengan ketuk palu hakim. Kalian salah. Ingat, dalam film persidangan lainnya yang memukau Section 375, kasus juga ditutup tapi fakta-fakta yang benar ditumbangkan ketidakadilan jender. Maka Anatomy jelas membuntut. Coba perhatikan pesta selepas sidang, dengan sang pengacara yang sekaligus temannya tampak mesra. Kedua tangan menangkup wajah pria lain? Apakah itu etis? Lalu perhatikan saat di rumah, Snoop ‘memeluk’nya dalam keterdiaman. Itu bisa jadi kelegaan, bahwa senjata pembunuh disimpan? Atau perhatikan kata-kata Daniel: “Aku takut dengan kepulangannya…” dst… justru film ini memberi ending terbuka, cocok untuk diperdebatkan. Cocok untuk film-film berkelas, film festival, atau dalam satu dekapan: Film Oscars. Dan saya dengan ini, menyangkal prediksi di awal tulisan. Apakah ini sudah bisa dianggap gila? Emang film anjing! Oiya, omon-omon tentang anjing. Snoop menjadi kunci keputusan akhir dengan aspirinnya. Tak menyangka saja, si anjing ini membantu banyak.

Film pengadilan yang dikemas hebat seperti ini sering kali menghasilkan perdebatan. Saya berdoa Sandra menang Oscars, ini agak terkebalikan dengan Emma yang sudah kuplot. Dengan durasi mepet, semua peran di pengadilan memberikan kesan kuat sebab setiap pertanyaan ada relevansinya. Tak ada basa-basi barang sebentar, semua tokoh langsung masuk ke inti pembicaraan. Bukti-bukt keterangan yang dipaparkan jaksa ternyata panjang tapi efektif, rekaman bertele-tele itu dirangkum dalam tulisan seperti novel, dipaparkan di layar, penuh penilaian subjektif dan memberatkan. Dan untuk itulah kita harus sepakat Sandra menang.

Film Hollywood sudah begitu sering bercerita tentang kejutan sehingga saya jadi kebal. Untuk itulah film-film festival muncul memberi hiburan sejati. Film persidangan selalu menarik (ingat Trial of the Chicago yang kujago), sebab kata-katanya meledak seperti bom kecil di seputar meja sidang. Untuk itulah pula, saya menjagokan Anatomy of A Fall memenangkan piala tertinggi Oscars. Duh, kutukan LBP kembali menyapa…

Anatomy of A Fall | 2023 | Prancis | Directed by Justine Triet | Screenplay Justine Triet Arthur Harari | Cast Sandra Huller, Swann Arlaud | Skor: 5/5

Karawang, 090324 – Erin Boheme – Teach Me Tonight

Maestro: Musik yang Rasanya Memabukkan


“Musim panas bernyanyi dalam diriku sebentar, tak lagi bernyayi dalam diriku. Edna St. Vincent Millay.”

Seperti Tar tahun lalu yang so so, Maestro sama standarnya seperti film konduktor lainnya. Proses menuju sukses, kehidupan keluarga, menua, penyakit, mati. Perselingkuhan, sakit hati, karya-karya, sampai hal-hal biasa dalam kehidupan rumah tangga seperti menghabiskan malam dengan makan malam, atau mendengarkan musik. Benar-benar standar sekali, dan jelas bukan jagoanku di Oscars. Sepanjang film nyaris tak ada kejutan. Datar sekali, hal-hal seperti perselingkuhan, kali ini dengan lelaki lain, bukan perempuan lain juga tak terlalu mengejutkan. Beberapa film memang biasa kita temui, seorang jenius homo. Kali ini dengan daun muda, menghabiskan waktu intim dengan sejenis. Narkoba, rokok, minuman keras. Lantas, apanya yang dijual? Naskah? Akting? Dengan komposisi nominasi lainnya yang membuncah, rasanya Maestro kurang Ok. Saya menyebutnya, masuk Oscars melalui jalur orang dalam. Tak percaya? Lihat saja komposisi produser atau orang-orang yang menyokong, nama-nama tenar yang tak asing, dan sudah biasa naik panggung Academy Award.

Kisahnya dibuka tahun 1987 tentang Leonard Bernstein (Bradley Cooper) seorang konduktor terkenal yang diawancarai di masa senja. Di depan piano, dengan rokok, dan kepulannya. Ia begitu merindu istrinya yang tiada. Lalu waktu kembali ke masa lampau, tahun 1943 dimula saat dirinya menjadi konduktor pengganti, sebab konduktor utama Bruno Walter sakit. Mendapat aplaus meriah, dan inilah jalur sukses yang akan ditapakinya.
Dalam pesta dansa, Leo berkenalan dengan calon artis Felicia Montealegre (Carey Mulligan) yang kemudian melanjutkan latihan untuk pentas. Mudah ditebak, mereka menjalin kasih dan akhirnya menikah. Tipikal Hollywood. Arahnya jelas, close up para tokoh utama jelas. Sayangnya Maestro mengikuti garis takdir itu. menikah, punya anak, dan bahagia selamanya.

Film lebih banyak menyorot 3 hal: hubungan timbul tenggelam dengan istrinya. Rumah tangga yang baik mirip dengan seminari masyarakat, suatu tempat yang tenang, indah, dan tertib. Namun hal seperti itu tak cocok diangkat ke film. Maka tonjolkanlah masalah. Felicia marah sebab memergoki suaminya selingkuh dengan lelaki lain. Dalam sebuah adegan singkat, salah seorang musisi muda dibawa ke ruang sepi, langsung dicipok. Kepergok sang istri, meminta maaf. Dan karena di kerumunan tamu, hanya menjawab singkat, rambutmu ga rapi sayang, jangan ceroboh. Hubungan seperti ini, masih wajar dan umum. Ingat mereka orang-orang terkenal, jadi kalau muncul rumor selingkuh homo ya wajar sekalipun mencoba menutupinya dari anak-anak.

Adegan trenyuh di rumah sakit memilukan. Siapa sih yang tak gentar mendapati penyakit ganas menyerang? Namun justru itu yang membuat mereka kembali berdamai. Kematian juga disaji dengan ideal sebab kematian tetaplah kematian, maka disusunlah perpisahan yang layak dikenang. Salah satu opsinya adalah mati dalam pelukan orang terkasih. Atau kalau kita diberi pilihan, bagaimana mati, maka rasanya ingin mati saat memeluki hal-hal yang disukai. Pantai, hutan, tumbukan buku, bermain musik, mendengarkan ceramah agama, dalam pelukan orang tercinta. Perpisahan tetapkah menyakitkan, dibuat seideal mungkin.

Kedua, sebagai seniman yang disorot utama tentu karyanya. Film ini banyak sekali menyaji musik orchestra, nah ini bagian terbaik. Tak perlu banyak omon-omon, jejali saja musik indah sepanjang film. Dan musik tenang nan syahdu seperti ini sangat bagus, agung dan semerdu lonceng. Beberapa kali saya replay bagian musik, mungkin nantinya perlu download mp3-nya untuk dijadikan teman baca. Beberapa adalah karya asli sang maestro, bukan dibuat ulang. Bisa dikatakan kita lebih tertarik menabung kekayaan pikiran. Mendengarkan musik, terutama jazz dan orchestra membuatku leleh seperti embun ke dalam lorong tersembunyi yang belum berhasil ditemukan. Rasanya sangat memabukkan.

Ketiga, transformasi karakter. Sedari muda, Bradley Cooper dan Carey Mulligan tampak sura semangatnya. Dan berjalannya waktu, berjalannya menit durasi, ramput mulai berkurang, uban muncul, kerutan muncul, dst. Apakah hebat? Enggak, biasa saja. Di era sekarang mencipta lelaki gagah dengan bantuan teknologi lebih mudah, mencipta lelaki muda jadi renta dalam sekejap juga bisa. Dan ini sungguh standar. Teknologi, yang akan memperbaiki kondisi-kondisi umat manusia jauh melebihi impian-impian kita yang tidak masuk akal. Mungkin karena sudah terlalu banyak film biopic dibuat, dan Maestro terlalu lurus sehingga sangat standar. Termasuk menampilkan karakter asli jelang kredit title. Alamak, template sekali. Apakah sudah kehabisan ide, nyaris tak ada kejutan berarti.

Kejutan utama justru, film ini mengirim banyak nominasi di Oscars. Saya sih mengingin nir gelar, seperti Tar yang terseok tahun lalu. Namun, saya selalu was-was saat melihat orang di belakangnya, kekuatan orang dalam akan mengubah perpektif akhir penilaian kita. Maka saya memprediksi, 1 piala. Dan kuharap bukan di bagian prestise.
Saya mau komentar Bradley Cooper saja. Ternyata dia sudah jadi sutradara. Saya pertama kali melihatnya di film Hangover, lalu The A-Team. Tampak gagah dan tampan. Dan diprediksi bakalan jadi besar. Jalurnya ternyata benar, gaul sama sutradara O Russel, dan aktris Jennifer Lawrence, beberapa kali masuk Oscars. Wajahnya memang sangat mendukung untuk jadi cowok pirang nakal.

Kalau Carey Mulligan, saya terpesona pertama kali di An Education sebagai cewek pelajar polos yang dikibuli guru jahat. Padahal wajar seorang guru yang usianya tua, sudah menikah. Entah jampi apa yang membuatnya tetap melanjutkan hubungan, dan dengan terkejut membuka surat untuk tuan dan nyonya. Haha…, dan jalurnya juga tepat. Beberapa kali masuk Oscars, walau belum juga tembus. Yang jelas bukan untuk peran Felicia dia mengangkat piala.

Melihat film musik sejatinya tak nyaman, sebab sejatinya musik sebagai pengiring bukan sebagai latar utama. Makanya film musikal, apalagi yang menyanyi dalam selipan adegan sangat tak nyaman. Maestro mendominasi lagu-lagu, dan itu wajar sebab memang biopic musisi. Apakah kita sudah mencapai tahap bosan film biopic?

Maestro | USA | 2023 | Directed by Bradley Cooper | Screenplay Bradley Cooper, Josh Singer | Cast Bradley Cooper, Carey Mulligan | Skor: 3.5/5

Karawang, 080324 – Karrin Allyson – All or Nothing at All