Ramalan Fudus Ororpus

“Lo tau kan, nyari ‘belahan jiwa’ itu memang nggak gampang. Mungkin sekarang belum saatnya lo pacaran…”

Ramalan. Ah, sebuah perkiraan, sebuah prediksi masa depan mau gmana. Sejujurnya saya tak tahu siapa Fudus Ororpus. Dewa Peramal dari Yunani yang terkenal adalah Orakel atau malah Apollo. Dan begitulah, seorang nenek-nenek muncul tiba-tiba di depan rumah kita, membawa bola Kristal, memberi ramalan kepada para penghuninya, dan booom… kehidupan mereka, atau tepatnya yang ramalannya jelek, berubah. Berubah kacau, sebab berusaha untuk menggagalkan prediksi jelek. Mencoba melawan nasib tak bagus. Bahkan, Jantungnya berdetak sangat kencang, detaknya bahkan sampai terdengar di telinga, saking takutnya ramalan buruk.

Enam bersaudara, cewek semua, mendapat kunjungan tamu tak dikenal. Ditawari minuman, dan dengan bola kristalnya meramal. Bukankah pembuka cerita yang absurd? Atau menggampangkan? Tenang, masalah menggampangkan alur, cerita remaja tentang cinta memang pusatnya. Dan ini salah satunya.

Mengambil sudut pandang, anak kelas 2 SMA Deryn yang apes, diramal jadi perawan tua. Kita diajak menjelajah kehidupan pelajar masa kini. Punya tiga kakak: Anne yang bulan Juli mau menikah, Juliet dan Bianca yang suka berantem. Salah satunya diramal bakalan dapat kerja setelah setahun lulus kuliah dan susah tembus.

Punya dua adik, kelas 2 SMP yang cerdas, suka ke perpus dan berkaca mata. Rosaline bahkan sudah punya pacar, sesama suka baca buku dan pandai dalam pelajaran. Dan adik kecil Shania kelas 1 SD yang punya diari, walau belum bisa disebut cinta, tapi benih suka dengan teman sekelas sudah ada, diberi boneka beruang. Duh! Betapa apesnya Deryn.

Besoknya, ia mencoba memilah para cowok sekolah yang potensial bisa digaet. Adalah Arden yang masuk radar, cowok kelas 2 tapi beda kelas. Sempat memberi senyum, tapi sialnya tak dibalas senyum. Deryn dalam kepanikan. Cara paling sederhana, kalau orang lain suka kita atau tidak adalah tulis surat. Nah, malam itu Deryn menulis surat cinta. Dengan debug khas remaja menghadapi potensi ditolak. “Yang kubutuhkan sekarang adalah rangkaian kata, bukan kumpulan kata yang terpisah-pisah.”

Melalui sahabat kentalnya, jagoan kita minta tolong disampaikan. Dan benar saja, saat di kantin surat itu diberikan, Arden kaget sampai keselek bakso. Namun misi itu selesai. Tinggal tunggu waktu, tunggu jawaban. Sehari, dua hari tak muncul. Seminggu, dua minggu tak ada. Ada apa ini? Maka dengan sisa-sisa keberanian, sepulang sekolah, Arden dicegat dan ditanya kenapa suratnya tak dibalas? Jawabnya sungguh menohok hati. Sang target bahkan tak mengenalnya, surat itu dikembalikan. Huhuhu… sedih. Dan dengan hati panas, ditanya kenapa pas diberi suratnya kaget dan gugup, kenapa tersenyum manis kala itu? Dan kenapa lainnya? Dan anggukan kepala setelah ditanya, senyum itu apakah untuk Micha. Sungguh menyakitkan.

Deryn dilema, ditengah hubungan. Micha sahabat baiknya memang tak pernah pacaran juga, tapi para cowok antri. Ia cantik, dan pemilih. Makanya lain soal. Kabar itu disampaikan, dan dibalas dengan ketus, Arden bodoh dan kepala batu. Jawaban itu melegakan, tapi malah jadi akar masalah lainnya.

Di mulut Micha bilang tak cinta balik, nyatanya beberapa hari kemudian sobat baiknya jadian sama cowok incerannya! Betapa sakit hatinya Deryn. Dengan gegas dan gegabah, ia memutuskan persahabatan. Sobat sejak kelas 3 SD ini, tetangga rumah, dan serta merta karena masalah cowok, diputus. Hufh… orangtua mengelus dada. Namun, ini menariknya. Hubungan itu timbul tenggelam, khas remaja yang galau masalah sepele. Dan dengan begitu, nasib Deryn jomblo masih berlanjut.

Kekhawatiran jadi perawan tua itu kalau dipikir lagi, terlalu lebai. Masih 16 tahun, belum pacaran. Santuy saja, dunia akan menghampiri bila kamu berusaha, bila kamu iqtiar. Dan plot novel lantas menggampangkannya. Dimunculkanlah Hayden Christensen. Apakah Ramalan Benar itu akan jadi benar?

Penggunaan panggilan lo gue juga mantab sekali. Khas anak kota metropolitan. Lancar dan begitu fasih. Pergaulan memang penting karena akan menentukan watak dan karakter kita. Sahabat kita adalah cerminan kita. Sempat berharap bakalan ditelaah lebih jauh si kutu buku teman sementara itu, sayangnya hanya jadi pelampiasan pas kesal saja. Potensial padahal. Nyaman saja menyaksi anak pendiam yang tak banyak tingkah.

Ini adalah rangkaian buku kiriman dari Ms Dhika di Yogyakarta akhir tahun lalu. Dari 10 buku, baru dua yang kubaca ulas sebab lebih nyaman dan mudah mengambil fiksi, apalagi fiksi remaja, bacanya santuy (seolah tanpa mikir), ndelujur saja tak perlu kening kerut, dan cepat selesai. Terbukti, Ramalan memang pernah coba kubaca April lalu, berhenti sekitar 40an halaman. Semalam, setelah cuci baju manual (mesin cuci rusak), selepas Magrib kubaca ulang dari awal, sambil tiduran biar pegalnya hilang, di depan kipas karena cuaca Karawang yang panas, dan musik jazz. Dan benar saja, tak sampai dua jam selesai. Bacaan ringan seperti ini memang gampang. Tak perlu catatan, atau mikir jauh hari. Endingnya ketebak, alurnya sederhana, remaja dengan masalah tak besar.

“Lo tuh bokis banget, Ryn…” ada satu kalimat ini, setelah Micha menimpali kalimat lebai Deryn. Bokis. Anak zaman now sepertinya sudah tak tahu arti kata itu. Kata bokis tenar tahun 1980-an. Saya generan 90-an aja mendapat sisa artinya. Dan tahun 2000-an masih dipakai? Hehe… bohong!

Sekali lagi, bukti saya lahap segala jenis bacaan, segala genre. Buku seperti ini memang terkhusus untuk remaja, sudah tak cocok dibaca om-om. Konfliksnya terlampau sederhana, yang dikhawatirkan cinta, dari keluarga kaya. Makan di resto, naik taksi hanya untuk ke rumah teman, memanggil dokter pribadi ke rumah hanya karena pingsan, kaget asmara versus teman, sampai acara pernikahan yang mewah, memesan pakaian khusus, pernikaha di gedung, dst. Jelas ini adalah masalah cinta untuk remaja kalangan menengah ke atas. Tak cocok untuk jelata, yang buat jajan saja kudu nabung, makan indomie tiap malam atau pakai baju yang itu-itu saja. Bukan, bukan iri, hanya tak relate aja.

Dunia remaja yang bebas, merdeka. Belum kena cicilan rumah.

Ramalan Fudus Ororpus | by Julia Stevanny | GM 312 05.020 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, Juli 2005 | ilustrasi dan desain sampul http://www.loremipsumdesign.net | 224 hlm; 20 cm | ISBN 979-22-1481-X | Skor: 3/5

Karawang, 310723 – Abbey Lincoln – Brother, Can You Spare a Dime?

Thx to Dhika, DIY

Kalut

“Dengar, Tuan Letnan. Sesuatu yang dilakukan setengah-setengah dan segala macam isyarat yang dibicarakan setengah-setengah tentu tidak baik. Smeua kejahatan di muka bumi ini bermula dari segala sesuatu yang dibiarkan setengah-setengah…”

Cerita panjang, sangat panjang, berkutat di satu tempat. Rumah yang bangsawan, ke barak, bolak-balik nyaris sepanjang cerita. Namun ketegangan yang dipersyaratkan dapat. Sungguh menggelora mengamati hati peragu, iba, dan tak berani mengambil resiko. Seorang letnan yang sejatinya baik, tapi dengan kebaikannya ia terperangkap. Menjerumuskan diri dalam kebimbangan, mau kena mundur kena. Dan akhirnya meledak di akhir. benar-benar ledakan sebagai latar sejarah Perang Dunia Pertama. Salut, bagaimana kejadian lokal, drama cinta, disusupkan dalam fakta dunia.

Kisahnya tentara Anton Hofmiller, seorang letnan dari Wina yang sedang melakukan tugas pelatihan di sebuah garnasium kota x. kotanya sendiri dirahasiakan, mungkin di masa itu agar tak mengundang masalah otoritas, sehingga tak disebut. “Tak penting aku menyebut kota kecil itu dengan nama aslinya atau tidak, ibarat dua kancing pada seragam serupa, tak bisa lebih mirip satu sama lain.”

Dinarasikan oleh Aku, kepada Adebai, sang pendengar. Saya peringatkan, novelnya tebal dan detail, jadi jalan untuk titik keputusan lanjut tidaknya itu, memutar sangat jauh. Berliku. “Di setiap detail ceritanya, Adebai selalu memperlihatkan kekaguman tak terbatas pada si manusia yang kisahnya baru kudengar.”

Suatu hari Anton bertemu gadis cantik, yang oleh rekannya kebetulan ada pesta dansa di rumah bangsawan tersebut. Ketertarikan pada gadis cantik, para serdadu menghabiskan waktu luang di rumah orang kaya, pesta, sesuatu yang lazim di zaman itu. Dan begitulah, di hari H pesta dansa, Anton datang. “Kupikir itu lebih baik, kunjungan pertama memang akan selalu menjadi yang paling menantang.”

Inginnya tentu bertemu Ilona, tapi nasib berkata lain, ia malah terjebak berkenalan dengan saudarinya Edith yang sedang duduk. Diajak dansa, dan duh! Ternyata Edith mengenakan kursi roda, ia lumpuh dan kini dalam masa pengobatan. Betapa terkejutnya.

Sang Letnan malu, dikira mecemooh. Dikira melecehkan, mengajak dansa gadis lumpuh? Ketidaktahuannya menjadi masalah. Maka ia pun melakukan kunjungan kembali, guna meminta maaf, dari sinilah segalanya benar-benar bermula. Kunjungan minum teh ke keluarga bangsawan, basa-basi, ngomongin latar keluarga, tugas Negara, hingga hal-hal remeh lainnya. Dari satu kunjungan ke kunjungan lain, dan rasa empati itu berubah jadi bumerang. Edith sendiri selalu memperingatkan, “Hanya satu hal yang membuatku muak dan tak tahan: alasan palsu, omong kosong, dan kebohongan. Itu membuatku sangat muak.”

Apapun itu sejatinya Edith jatuh hati, gadis remaja ini diperhatikan dengan hangat dekat dan terasa tulus oleh seorang tentara. Maka pengobatannya dilakukan lebih semangat cinta. Dokter Condor yang menangani sebenarnya tak terlalu menjanjikan, tapi ia berusaha sebisanya. Salah satunya dengan metode baru di Prancis, lalu Swiss. Ini-pun spekulatif.

Ayahnya, yang bangsawan, lalu memberinya tugas. Kekesfalva meminta tolong, untuk menanyakan secara tersamar kepada dokter Condor apakah anaknya benar-benar bisa sembuh dengan metode baru di luar negeri? Ingat, tanya dengan tersamar sambil lalu ya, jangan langsung dan to the point. Tugas yang secara kulitnya, sederhana dan lumrah, tapi menjadi rumit dan panjang setelah tahu dibaliknya.

Suatu malam, setelah pemeriksaan rutin, Anton dan Dokter Condor pulang. Perjalanan menuju stasiun itu menjadi obrolan intens dan luar biasa melelahkan, sebab pak dokter justru menjelaskan masa lalu sang bangsawan. Bagaimana dari muda ambisius mencari uang, yang ada di pikirannya uang uang uang. Lebih baik untuk menjadi kaya daripada terlihat kaya (seakan-akan ia sudah membaca ajaran bijak Schopenhauer tentang paralipomena, tentang diri kita yang sebenarnya dan diri kita yang terlihat orang lain). Uang memang akan datang sendiri pada seorang pekerja keras, cerdas, dan hemat seperti dirinya.

Kerakusannya dalam belajar tak banyak berkurang seiring kerakusannya akan harga. Kedua hal itu menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Tak peduli cara dapatnya dengan menipu. Istrinya yang sudah almarhum ini dulu sebenarnya hanya pelayan rumah tangga keluarga kaya, tapi intrik di keluarga malah menjadikannya seorang ahli waris!

Konfliks berkepanjangan, tapi sang pelayan yang lugu tetap berhak mendapatkannya. Di mana posisi Tuan Lajos von Kekesfalva, atau pemuda bernama Leopold Kanitz, atau orang-orang hanya mengenalnya dengan nama Lammel Kanitz? Dia adalah makelar hukum, seolah membantu proses pencairan uangnya, membuat kuasa hukum, memalsukan data, hingga pada ujungnya merebut kekayaan. Sang gadis pelayan yang lugu yang tak mau berhubungan dengan pengadilan menurut saja. Bayangkan, ditipu, malah mengucapkan terima kasih dengan tulus sama sang penipu! Saat urusan kelar, dan ia berencana menepi di desa, pamitan setelah menginap di hotel murah dekat stasiun, seharusnya segalanya lancar. Namun entah malaikat apa yang nyamber, di detik-detik akhir perpisahan sama sang korban, Kekesfalva muda malah berbalik dan mengajaknya menikah. Woow…

Singkatnya, mereka bersatu kaya raya, punya anak dua cewek semua.

Jadi apakah bisa disembuhkan? Sang dokter meragukan. Condor memberitahu informasi tentang hal itu padaku selengkap dan seterbuka itu. “Aku tak perlu bersusah payaj membujuknya atau memperdayanya. Dengan antusias aku mendesaknya melanjutkan cerita.” Seharusnya jujur saja besoknya kasih kabar ke Pak Kekesfalva, tapi malah memberi jawaban konyol, bisa. Harapan palsu itulah yang menjerumuskannya ke lembah masalah. Membari aura positif keluarga ini, berlanjut ke kunjungan-kunjungan lain, dst. “Nietzsche dan Schumann dan Schubert dan aku tidak tahu siapa lagi yang menjadi korban tragis dari penyakit yang ternyata bukannya ‘tidak dapat disembuhkan’, melainkan ‘belum dapat disembuhkan’ itu.”

Namanya sudah jadi ledekan kawan-kawannya, udah jadi anak pingit bos. Makan enak mulu, makanan barak udah ga level, dst. Candaan yang bikin Anton manyun, dia kini di tengah dilemma. Lanjut kena, mundur juga. Ditambah Edith menyatakan jatuh hati, ciuman kening berubah jadi ciuman panas mulut. Makin rumit, surat cinta panjang itu menggebu. “Ibarat hubungan antara orang berutang dan pemberi utang, rasa sakit akibat penderitaan menjadi sesuatu yang berakar kuat sulit hilang.”

Letnan Anton Hofmiller sudah terlalu jauh melangkah. Jadi apa yang harus dilakukan di posisi serba salah ini?

Rasa iba merupakan hal menyebalkan bermata dua. Ini memang tentang rasa iba yang salah. Kasihan yang tak pada tempatnya. Tak ada waktu untuk sentimental dan mengurusi perasaan. Pertama, rasa iba yang sifatnya lemah dan sentimental. Rasa iba sebenarnya hanya sebatas ketidaksabaran hati yang memungkinkan seseorang cepat terbebas dari ketidaknyamanan emosional atas kemalangan yang menimpa orang lain. “Kau jangan membuang-buang rasa ibamu pada orang sakit. Seseorang sedang sakit menempatkan dirinya sendiri di luar hukum, ia melukai keteraturan. Dan untuk memulihkan kembali keteraturan pada dirinya, sama halnya dengan setiap pemberontakan, kami harus memanfaatkan setiap kesempatan tanpa memedulikan apa pun.”

Luar biasa. Ini buku kedua Stefan yang kubaca. Kalau yang sebelumnya hanya dua cerpen disatukan, kali ini teramat sangat panjang. Dan saya suka sekali. Sabar, telaten, menghentak sempurna. Jelas, ini salah satu novel terbaik yang pernah kubaca.

Saya kutip, salah satu paragraf penting buku ini. “Orang-orang marginal, orang-orang buruk rupa, orang-orang tak dianggap, orang-orang cacat, dan orang-orang tertolak mengalami pergolakan hsarat yang jauh lebih agresif, nafsu yang jauh lebih berbahaya daripada orang-orang yang berbahagia dan sehat. Orang-orang semacam itu mencintai dengan cara fanatik, gelap, dan berefek bahaya. Tak ada gairah di dunia ini yang lebih liar dan lebih membuat hilang akal daripada merasa menjadi anak tiri Tuhan yang tak punya harapan dan tak diharapkan.”

Saya jadi teringat sama nasihat teman, kalau ragu jangan ambil. Suatu hari, pas rekrut karyawan, sang pewawancara melakukan banyak pertanyaan lebih banyak dari biasanya. Setelah selesai, kita diskusi untuk ambil tidaknya calon ini. Dia ragu, dengan menyampaikan plus minusnya, dan dengan meyakinkan bilang, tidak ambil. Segala yang meragukan mending ditinggalkan. Nah, begitulah. Sang Letnan yang berkali-kali ragu, harusnya langsung putuskan tinggalkan, saat belum jauh melangkah. Hiks, sedih endingnya. “Saat aku memutsukan melarikan diri lagi, aku sudah tahu, tak ada jalan keluar atau jalan tengah.”

Kita selalu bisa melarikan diri dari apa pun, kecuali dari diri sendiri.

Ini kubaca santai. Dari Sabtu, 11 Feb 23 pukul 18:05, selesai Jumat, 21 Jul 23 pukul 07:50, bayangkan selama lima bulan. Memang kuselingi bacaan lain, kusempat-sempatkan saja melanjutkan baca kala sedang melimpah waktunya, sebab ini perjalanan panjang. Dan seperti Sang Rahib yang luar biasa, Kalut sama gilanya. Terbitan Moooi dua buku sudah, dan bagus semua. Next, Mahkota Bunga-nya Kristin Lavransdatter. Terima kasih banyak Moooi!

Kalut | by Stefan Zweig | Diterjemahkan oleh Tiya Hapitiawati | Judul asli Ungeduld des Herzens | Yogyakarta, Oktober 2020 | ISBN 978-623-90185-9-7 (cetak) | ISBN 978-623-93966-9 (elektronik) | Penyunting Anis Mashlihatin | Tataletak dengan Minion Pro dan Broadsheet | Penerbit Moooi Pustaka | Skor: 5/5

Karawang, 260723 – Cassandra Wilson – I’ve Grown Accustomed to his Face

Thx to Moooi Store

RGNCNTRL: Mengamati Hutan

— catatan ini mungkin mengandung spoiler —

[ logo bendera Skotlandia, dengan latar diubah hitam ]

Terdampar di tempat antah surantah. Sang waktu itu sangat lambat. Tanaman di mana-mana, air tenang tak beriak, pohon-pohon berdiri tegak dan termenung, serta hutan-hutan yang membentang luas di benua sunyi.

Film tanpa cerita. Tanpa manusia. Tanpa dialog, otomatis tak perlu nyari subtitle. Tanpa tulisan sama sekali. Tanpa narasi. Selama satu setengah jam, isinya hanya mengamati hutan. Ya, hanya mengamati hutan. Kamera bergerak bebas sepanjang menit. Jadi apa yang mau diceritakan? Cerita film tanpa cerita. Sebuah petualang tanpa maksud mendebarkan, apa menariknya? Lagian, pemandangan asli tentunya lebih menarik. Kalau kamu punya waktu luang, dan uang, bisa langsung saja naik gunung, hiking ke bukit, atau menyesatkan diri ke hutan. Pengalaman itu jauh lebih mengesankan, ketimbang nonton film ini. Namun tak mengapa, kita mendapat rekaman ‘petualangan’ sang sutradara. Ya, karena ini film, petualang itu direkam, duduk dan nikmatilah. Sayangnya, ini bukan rekaman jalan-jalan asli di hutan, ini adalah tiruan, sejenis rekaman hutan lalu didigitalkan, tak asli. Gambar-gambarnya tersamar, sehingga tak nyaman untuk dipandang, atau kurang alami. Isinya bahkan patah-patah, seperti ranting yang seharusnya tegak, bila itu tegak, di sini patah seolah gambar pixel yang tak sempurna, seolah gambar kualitas lama yang tak HD. Apakah ini kesengajaan? Tentu saja, dengan teknologi sekarang, gambar buram saja bisa dicerahkan. Foto bisa ditambah filter, yang jelek jadi tampan, yang tampan makin tampan. Lantas kenapa gerakan gambar malah dibuat patah-patah? Entahlah, nyeni mungkin, yang jelas tampak mengganggu visual seperti itu. Hijaunya tak sehijau aslinya. Renungnya tak semerenung aslinya. Daunnya tampak seperti mainan, dipoles dengan sengaja. Gemerlapnya palsu.

Menurut info IMDB, ini adalah sebuah studi topografi virtual dan struktur metamediated, sebuah lanskap rekreasi dalam gerakan mimetik, melacak pergerakan La Region Centrale milik Michael Snow dari video gim Red Dead Redemption 2. Karena ini hanya tiruan, maka hutan yang dimaksud tak sepenuhnya hijau. Seperti saat kamera menyorot dekat tanaman, benda itu bergerak, tapi tersamar, tak sepenuhnya tanaman hijau, ya ini adalah tiruan tanaman hijau. Visual itu tiada lain suara-suara dari kedalaman penampilan batu, batang pohon, daun, udara tersamar sampai gemerisik tanah. Tanah berbisik? Tidak! Suara asli hutan sudah didiamkan. Suara meruang dan mewaktu bersama bahasa tanpa makna, suara itu diinput dari studio, yah sayang sekali. Kita mendengarnya melalui lapisan-lapisan kantuk. Padahal kalau asli, bisa benar-benar natural, mungkin dengan selingan kicau burung sampai auman jangkrik.

Mungkin, ya, saya harus bilang ini tafsir mungkin dariku, RGNCNTRL mengajarkan kita gita puja alam, menceritakan kisah-kisah tentang lembah-lembah hijau yang lebat dengan buah-buahan dan kepala susu, tanaman rambat yang menghinggapi batu-batu gua, serta hutan-hutan yang penuh nan rimbun. Anehnya kita tak menemukan jembalang dan binatang-binatang liar, tak ada kijang, gajah, kuda, atau binatang hutan pada umumnya. Seolah kesunyian merampoknya. Disingkirkan untuk syuting film. Suara yang meningkahi sendiri, malah terkesan tak alami sebab itu jelas suara buatan, produk eletronik.

Film RGNCNTRL bisa bermakna, atau malah sekadar udarasa, uneg-uneg tanpa visi. Apapun itu, saya teringat Plato, bahwa hasil seni merupakan tiruan alam, sebagai tiruan berarti hanya jatuh sebagai produk kedua, lebih buruk, tidak bermanfaat.

Penonton menguap dan merintih. Satu-satunya sahabat kita adalah hutan serta kesepian yang maha dahsyat.

Kutonton sebagai teman jelang tidur di akhir liburan (23.07.23) dari pukul 20:00, dan tak dinyana bisa langsung selesai, tanpa ngantuk, tanpa skip, tanpa setrika, tanpa jeda apapun. Awalnya mau icip saja, karena nonton sambil tiduran, pakai headset, hanya satu yang kupasang di telinga, awalnya agar teredam saja, tapi ternyata pas, sebab suara yang ditimbulkan hanya suara antah surantah. Seperti gelombang resonansi pukulan gendang yang dipukul berulang dari jauh, tapi karena ini suara timbal balik, makanya pelan, seperti gema. Dan ini ritmis berulang, berima, kontinu setiap berapa menit sekali. Lalu ganti, seperti suara cek suara irama musik, lalu seperti suara teredam sinyal panggilan, dan juga suara alarm yang berjeda. Begitu terus sampai selesai. Tahu-tahu, bubar.

Endingnya sendiri tak ada ucapan pamit, pas seperti mulanya yang tanpa sapa, atau setidaknya kredit orang-orang dibalik karya. Tidak, tak ada sama sekali. Datang tanpa disambut, pergi tanpa di-dada, kita hanya disuguhi langit. Setelah bermenit-menit yang seperti selamanya, kamera mendongak, menyorot perlahan ke atas. Ke langit angkuh yang balik menatap kita. Awan berarak pelan, teramat pelan karenn apa adanya, langit biru yang kosong, mulanya, lantas warna hitam setitik yang bergerak. Itu burung, ya, burung terbang yang mengucap selamat tinggal. Burung tu mengigal di atas awan mengucap terima kasih sudah menonton, sudah mengikuti jalan-jalan. Rasanya, lega. Pikiran-pikiran aneh terbentuk dalam benak. Dan saya susah tidur memikirkannya hingga lewat tengah malam, “apa maksudnya?”

RGNCNTRL | by Alvin Santoro | Run time 92 menit

Karawang, 240723 – Shirley Horn – I Got Lost in his Arms

Kitab Kawin

“Jangan pikir yang rumit-rumit. Kita pikirkan yang mudah-mudah saja, soal denda misalnya.”

Padat. Berani. Berpikiran bebas. Semua cerpen di sini mengisyarat perempuan masa kini, tak terkekang keadaan, berani mengambil sikap, bahkan beberapa berpikiran menentang. It’s OK, dan tema feminis sudah lumrah di abad ini. Beberapa ada yang merokok, beberapa bahkan dengan gamblang memulai pengakuan ke suaminya bahwa perempuan yang selingkuh. Well, zaman begerak. Paling suka cerpen kesepuluh. Itu sederhana banget, pasangan yang memiliki anak perempuan, belajar dan tumbuh kembang hingga bekerja di Eropa, secara otomatis pikirannya lebih terbuka. Dan memiliki pasangan, bukan suami bukan pula pacar, disebutnya ‘Ikat Janji’. Dibawa pulang ke Jakarta, dan dalam adegan absurd di suatu malam, sang pasangan anaknya bersinggungan di dapur sama si Aku, ibu mertuanya. Kikuk dan aneh. Namun kesederhanaan, rasa deg-degan, hingga penyampaiannya yang sungguh masuk akal itulah yang malah kusuka. Sederhana, tak ngawang-awang. Sementara yang paling kurang adalah, pasangan aneh yang suka swing, dengan latar hantu jam 8 di apartemen. Ini yang saya bilang, menyentuh ranah dunia seberang, mistik yang walau hanya jadi jalan cerita, bukan intinya, tapi tetap tak nyaman. Menyentuh dunia seberang, untuk cerita horror saja, cerita asmara, dengan kata Kawin di bukunya, tak usah bersinggungan.

Judulnya sendiri hiperbola, memakai kata kitab, tapi tak seperti kitab yang kita kenal yang biasanya tebal. Memakai kata kawin, ya banyak zina-nya tapi tak sampai nikah. Makanya dua kata itu disandingkan, rasanya terbaca besar.

Saya kupas singkat per cerita.

Kitab #1: Rosa

Rosa dan Empat Lelaki

Ini tentang Rosa yang curhat bahwa telah tidur dengan tiga lelaki. Ia punya suami dan dua pacar. Pacar 1 beristri, pacar 2 lajang. Sementara suaminya, juga selingkuh, punya istri siri. Hhmm… situasi yang pelik. Lantas satu per satu dikupas. Pacar 1, disingkat P1 contohnya, polikus kebanyakan yang rakus dan terbiasa berbohonong. “Tapi P1 juga sedikit impulsive. Dalam kurun waktu tiga tahun, ia sudah gonta-ganti partai tiga kali. Sekarang, belum ada enam bulan di partai baru, otaknya sudah mulai membelot.”

“Sekali-sekali bolehlah kamu nyasar beneran.”

Kitab #2: Maya

Azul Maya

Kasus pemerkosaan. Terus membekas di diri Maya. Kedua kerabatnya (bibinya yang tak punya anak) mencoba mencari solusi untuk memulihkannya. Keluar sekolah, dan ditangani psikiater. Lia Mintarso dan Hadi Mintarso menampunya, dan hari-hari berat dilalui.

”Kenapa gak kaubawa saja semua anakmu ke sini dan tinggal bersama kamu?”

Kitab #3: Sarah

Selingkuh untuk Mencintai dengan Lebih Baik

Kejujuran dalam rumah tangga. Seorang istri dengan terbuka bahwa ia selingkuh, telah tidur dengan Jodi. Dan respons suaminya tak menamparnya, hanya hening yang bergelayut. Pasangan ini lalu terpisah batin. Hanin merenunginya. Tak menghindar, tak juga mendekat. Ada saran dari temannya, Hanin diceraikan saja. Tapi tak bisa. Sampai kapan akan begini? Duh!

“Aku tak mau pisah, tapi aku tidak akan memaksamu tinggal.”

Kitab #4: Celine dan Isabel

Istri Abangku

Ini lucu dan sungguh menghibur. Mencintai istri abangnya, dan sang aku adalah perempuan. Kok bisa? Maka penyimpangannya itu ditarik mundur untuk dimengerti. Abangnya tampan, dan kita menelusur Abel.

“Tawa yang lepas dan berderai-derai, seolah disetel untuk membuat semua teman laki-laki sekelas kita ayok sebelum mereka berhamburan ke lapangan untuk menyelamatkanmu.”

Kitab #5: Noura dan Arini

Tidur dengan Seniman Besar

Ini agak ngawang-awang sih. Seniman besar meninggal dunia, dan menyisa orang-orang yang pernah dekat dengannya. Di TPU Karet, ingatan masa lalu dikupas tak lama setelah dimakamkan.

“Terus terang gue benci sekali karya-karya awalnya. Penuh kepura-puraan. Sok intelektual.”

Kitab #6: Mukaburung

Kisah Mukaburung

Cerita yang tak kalah absurd-nya. Di pulau Buru yang terpencil, kehidupan masih jauh dari sentuhan modernitas. Kehidupan dengan alam, dan kedatangan kaum luar memberi perubahan. Dari budaya, hingga asmara. Perselingkuhan terjadi, aturan adat harus ditegakkan.

“Ia menyukai rupa hutan pada jam-jam tersebut, koin lalen, serupa kaki-tangan.”

Kitab #7: Lila

Sang Pemuja

Ini aneh, dan sepintas lalu tampak bodoh – lelakinya. Entah kenapa orang bermasalah ini mengejar perawan, padahal dirinya sudah banyak bercinta. Lila yang dipuja, sukses dijadikan pacarnya. Bercinta, memperawani pacarnya seolah jadi obsesi. Lila selalu menolak, kalian kira karena menjaga kesucian untuk di hari pernikahan? Oh tidak. Karena, pada akhirnya Lila mau menyerahkan pada lelaki berengsek ini. Dan ini malah jadi malapetaka, buat Lila? Bukan, buat Eddy. Sebuah kemenangan fiksi kaum perempuan.

“… bahwa pemujaanku itulah preminya?”

Kitab #8: Sofia

Pembunuhan Pukul Delapan Malam

Ini yang saya bilang paling biasa. Dengan latar mistik, sebuah apartemen berhantu yang membuat para penghuni tak berani menggunakan lift antara pukul 19.45 sdan 20.15. sang Aku yang baru pindahan tak tahu latar kejadian, dan kisah ditarik mundur. Ini tentang Sofia yang tampak lugu, Rashid bersuami berengsek, yang ternyata dibaliknya adalah hubungan tukar pasangan, atau malah seks ramai-ramai. Dan malam naas terjadi.

“Jadi siapa yang membunuh suamimu? Bukankah kamu sudah mati?”


Kitab #9: Esme

Penjara Esmeralda

Ini terlalu ngawang-ngawang juga. Pasangan high class lintas Negara. Dan perceraian, selingkuh, hingga latar kekayaan menjadi narasi umum. Esme dan pasang naik hubungan. Hingga akhirnya hatinya tertambat pada Nicholas Hariman, menikah? Oh tak seperti itu aturan di sini. Mereka dengan lantang mengikatkan diri dalam ikatan suci untuk janji tak menikah!

“Aku bersedia selama kamu tetap ingin berkelana dan pulang bersamaku…”

Kitab #10: Anna

Anna dan Partner Anaknya

Ini yang terbaik. Membumi, walau latarnya tetap internasional. Perempuan berumur yang punya fantasi liar dengan lelaki bukan suaminya. Lingkaran pergaulan memang penting untuk menjadi apa dirimu. Dan kini anaknya yang sudah dewasa, tinggal di Inggris, bilang melakukan ‘ikat janji’ dengan pria Eropa. Dan kunjungan anak dan ‘suami’nya ke Jakarta jadi mendebarkan.

“Hidup di Jakarta sudah terlalu sulit; setiap kemudahan harus kita rengkuh dengan gembira.”

Kitab #11: Amira, Citra, Hesti, Nisa

Asmara Korea

Panjang nan berliku. Perempuan-perempuan mandiri dan melawan balik kerasnya kehidupan Jakarta. Mengambil banyak sudut pandang, para penghuni kos-kosan di lantai atas, bawahnya adalah restoran Korea. Tempat itu disebut asrama Korea, seperti judulnya.

Kumpulan perempuan pemberani, rerata berasal dari keluarga biasa. Dari yang nikah muda karena dipaksa keluarga, hingga istri kabur yang ingin mandiri. Citra, Hesti, Nisa dan kalian perempuan mandiri yang menghadapi kerasnya kehidupan. Tetap semangat! Cinta berarti menjauhkan orang yang kita kasihi dari bahaya.

“Tubuhnya gempal, suaranya berat matanya awas seperti seseorang yang terlalu sering dikadali oleh kehidupan.”

Kitab #12: Raihan dan Darius

Surat Cinta Menjelang Kawin

Narasinya bertele-tele, tak ada kalimat langsung. Mengalir dalam nuansa yang disaji. Latarnya memang baru saja, masa pandemic Covid-19. Dan ini cerita dua lelaki.

“Ritual malamku: memasak, makan malam sambil nonton TV, lalu kembali bekerja sampai pagi.”

Buku kedua Laksmi yang kubaca setelah Aruna dan Lidahnya. Taste-nya sama. Memang sepertinya bergaya seperti ini. Perempuan mandiri, menjadi pekerja dan menatap hari dengan kepala tegak. Cerpen-cerpen yang seperti dulu pernah saya bilang, jumlah katanya ideal. Jadi untuk buku setelah 300 halaman, berjumlah 12 cerita, sangat pas. Cerpen memang idealnya tiga ribu hingga lima ribu kata, cukup untuk memenuhi pembuka, inti cerita, penutup. Tak terlalu pendek dan tak panjang juga.

Karena sudah punya dua bukunya, dan bukunya tak banyak, bolehlah kukoleksi lengkap nantinya. Yang utama tentu saja Amba, sudah banyak bertebaran di sosmed, tinggal nunggu momentum saja.

Kitab Kawin | by Laksmi Pamuntjak | 621173010 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Editor Hetih Rusli dan Rosemary Kesauly | Desain sampul Aditya Utama | Desai nisi Fajarianto | Jakarta, 2021 | Cetakan kedua, Juli 2021 | ISBN 9786020654973 | ISBN Digital 9786020654980 | 321 hlm; 20 cm | Skor: 4/5

Karawang, 210723 – Boney James – Sweet Thing

Thx to Bla Bla, Jkt

Reuni

“Tentunya ia bicara dengan perumpamaan. Kebijaksanaan itu tersia-sia, dalam makna kehilangan menagkusannya, kekuatannya.”

Buku tipis, tapi isinya sungguh tebal. Disampaikan dengan nyaman dan banyak penggalan filosofis. Benang merahnya memang reuni teman-teman masa kuliah, tapi jadi baper menyinggung masa lalu kelam antar teman. Seolah pengulangan nasib, dalam pembuka sang protagonist adalah dosen yang kencan dengan mahasiswinya, dalam adegan balik yang runut dan mengesankan, ia adalah mahasiswa yang marah sama bapak dosen yang tidur sama mahasiswi, yang merupakan pacarnya. Kemarahan yang mengiba itu secara sedih dialami sendiri saat berusia paruh baya. Lingkaran hidup yang memprihatinkan. Ingatan samar akan masa muda, dan pertemuan-pertemuan dengan orang lain yang mengubah nasib.

Kisahnya tentang Charles, professor Bahasa Inggris yang kini sudah setengah abad. Dalam pembuka, kita disuguhi fakta bahwa ia berpacaran dengan gadis muda, mahasiswi cemerlang yang mengilhami. Setelah bercinta, mereka menghabiskan waktu dalam diskusi. Dengan kopi, asap rokok, lantas pada akhirnya tawaran menghadiri sebuah reuni kampus. Sheila tak bisa hadir, maka Charles sendiri ke sana.

Seperti reuni pada umumnya, kita tentu bernostalgia. Bertemu dengan teman-teman lama, ada yang dulu dekat lalu terlupa, ada yang sama sekali tak dikenali, ada yang sudah meninggal dunia, hingga saling silang kabar dan profesi. Dari penulis, pekerja biasa, dosen. Namun pada dasarnya, kisah sesungguhnya ada di sini. Di kampus yang menjadi tempatnya menempa ilmu, Charles memiliki kenangan tak terlupa tentang gadis pujaan. Wajar, seharusnya. Oh setelah buku tinggal belasan halaman, ternyata tak wajar. Teramat pahit fakta yang menghantam jagoan kita. “Kulitnya memancarkan buket lavender alami, seolah-olah dia baru saja mandi di padang bunga biru pucat itu. Bagaimana mungkin aku lupa.”

Jadi saat tercenung di kampus, pikiran Charles langsung terlempar ke masa dia kuliah. Bagaimana menghadapi masalah – eheemm…- cinta. Konfliks yang sebenarnya terdengar biasa, tapi dibaliknya sungguh adidaw. Seorang ballerina pujaan, cantik, seksi, muda, dan begitu hidup. Sangat menyenangkan untuk jadi teman dan pacar, Juliana. Charles menjalin hubung dengannya. Awalnya mengira ini bakal jadi cinta biasa, yang akan bisa move on gegas selepas putus, misalnya. “Aku merasa terasing dari masa laluku sendiri.”

Mereka sudah tidur, menghabiskan banyak waktu bersama. Dan hubungan intens ini, menjadi liar saat Charles tahu, bahwa Juliana ternyata juga tidur dengan dosennya! Prof. Galloway yang sudah menikah, tak punya anak, memiliki affair dengan Juliana, dan diyakini dengan wanita lain. Betapa marahnya Charles, dengan amarah meletup, ia ‘menantang’ Galloway. “Cemburu. Tambahkan itu ke dalam daftar hal-hal eksistensial yang tak bisa dimengerti.”

Memintanya menjauhi pacarnya, untuk tak menyentuhnya lagi, atau akan dilakukan ‘pemberontakan’. Di Amerika, yang katanya Negara bebas, kasus seperti ini mungkin umum, tapi sang dosen menanggapi komplain ini dengan tenang. Bahwa nanti kalau kamu di usia yang sama, akan merasakan hal yang sama. Nanti setelah berlalunya waktu, kamu akan merasakan hal yang sama. Dan komentar memuakkan, bahwa nanti juga bahkan kamu akan melupakan siapa gadis ini, gadis yang kamu puja sekarang! Sialan, sampai di sini saya ikut muntab. Bagaimana bisa seorang guru besar berkomentar menjijikan seperti ini? Sampai-sampai muncul kalimat, “Tidak banyak yang bisa dicintai dari negeri ini, tapi aku cinta betul kebebasannya.”

Kasus makin runyam, saat Juliana bilang hamil. Ia terlambat haid, dan kini rasanya segala impiannya berantakan. Sebagai mahasiswi balet, kehamilan kudu dihindari. Ia akan tampil, dan dalam puncak cita-citanya. Maka mereka sepakat untuk aborsi. “Ia menjadi ballerina supaya punya sebentuk kendali atas tubuhnya saat ia tidak bisa mengendalikan hal lain dalam hidupnya.”

Awalnya lancar dan meyakinkan, sampai akhirnya seolah ada bunyi ‘ding’ terdengar, yang membuat Charles meminta untuk menggagalkan aborsi, meminta Juliana untuk tetap mempertahankan janin, dan menyepi, Charles akan bertanggungjawab, akan merawat bayinya. “Aku tak pernah merasa seyakin ini tentang apa pun dalam hidupku. Untuk pertama kalinya aku yakin akan sesuatu. Aku tahu ini.”

Keputusan yang mengejutkan Juliana juga, dan akhirnya meminta waktu untuk kembali berpikir. Keduanya dalam posisi tak punya kerjaan tetap, karena pelayan kafe paruh waktu belajar, rasanya tak cukup untuk membesarkan anak. Sampai akhirnya ledakan kisah di ujung cerita terdengar. Salut!

Buku kedua Alan Lightman yang kubaca setelah Einstein’s Dream yang so so. Yang ini lebih hidup, narasinya sama puitisnya, tapi benang merah, dan kekuatan cerita jelas nan hidup. Konfliks yang disampaikan tak ngawang-awang, benar-benar real di lingkungan kampus serta membumi. Makanya, begitu nyaman menuntaskannya. Ya, dunia pendidikan, perdebatan sastra, sampai-sampai seloroh, “Kalian para akademisi selalu membawa-bawa Shakespeare ke semua hal.”

Ini tentang kenangan, pria paruh baya yang pikirannya bergolak. Mengutip banyak buku, sampai ragu. Mungkin itu sekadar nostalgia. Kita semua di sini sedang menonton dunia makin tua. “Apa Calvino ya yang bilang bahwa hasrat yang muncul dengan sendirinya sudah menjadi kenangan?”

Suka sekali dengan bagian pembahasan penderitaan. “Dia menderita, sebagaimana semua binatang menderita.” Dengan latar perlawanan mahasiswa, menolak perang Vietnam. Demo, dan membentuk aliansi, warga bersatu untuk menghentikan invasi. “Dia tampak lebih bahagia dengan derita. Bahagia, bukan kata yang tepat. Frost tahu bahwa sastra, dan hidup, ditinggikan oleh derita. Karena itulah, dia membuat penderitaan begitu bernilai.” Walaupun ada juga yang pro, wajar sih. “Lihat para pria membakar kartu wamil mereka. Banci tampil mereja itu. Mereka ingin perhatian, mereka terangsang oleh api dan abu.”

Lantunan jazz juga menghiasi. Walau perannya sambil lalu, kurasa justru jadi trivia menarik. “Bilie Holiday menyanyi lembut di radio usang di sebelah ruang.” Atau narasi sederhana mengibarat, “Suara musik yang terendam pesta-pesta, menyebat seperti percikan api kecil.”

Dan yang utama, puisi. Bait-bait itu diaduk dengan sangat indah dalam paragraph-paragraf nyaman. Mungkin lewat cinta kita bisa memahami beberapa hal tentang kemanusiaan. Puisi dan cinta. “Dan sedih. Puisi terbaik itu sedih, ya kan? Pasti menyenangkan tahu puisi macam itu.”

Pada akhirnya, bagian yang telak menghantam adalah dua laki-laki yang berdiskusi terkait kedewasaan. Yang satu tua, tampak bijak, seorang dosen. Yang satu muda dengan emosi meluap, mahasiswanya. Keduanya, sejatinya melengkapi sebab seperti adegan pembuka, apa yang dibenci Charles, pada akhirnya berbalik menamparnya. Laki-laki dengan laki-laki, keduanya mencoba bertahan di dunia emosi yang tak terselami, kemarahan, kecemburuan, dan kegagalan manusiawi, dunia yang dikenal betul oleh Karl Jespers dan para eksistensialis.

Dengan ini, buku-buku Alan Lightman pantas untuk dikoleksi. Apakah selain Einstein’s Dream dan Reunion, ada buku beliau yang sudah diterjemahkan Bahasa Indonesia? Kabari, sungguh layak diburu. Dan oh iya, ini terbitan Banana, salah satu penerbit terbaik tanah air. Patut dinanti.

Reuni | by Alan Lightman | Copyright 2003 | Cetakan pertama, Desember 2016 | alihbahasa Arief Ash-Shidiq dan Yusi Avianto Pareanom | Penyunting Yusi Avianto Pareanom | Desain isi Risdi | Gambar sampul Teguh Sabit Purnomo | Penerbit Banana | 14 x 12 cm; 174 hlm | ISBN 979-978-1079-58-7 | Skor: 4.5/5

Karawang, 200723 – Boney James – Sweet Thing

Thx to Ramones, Jakarta

Rising Sun

“Dari dulu foto-foto dipandang meyakinkan sebagai barang bukti, karena tak mungkin diotak-atik. Jadi kita sudah terbiasa menganggap foto sebagai cerminan realitas…”
Buku dibuka dengan dua kutipan, setelah baca beberapa buku Crichton, saya jadi terbiasa. Bukunya selalu dibuka dengan kutipan, dan penjelasan sederhana mau ke arah mana cerita novel ini. Untuk yang ini penjelasan ada di belakang.

“Kita masuk ke dunia baru di mana aturan main lama tidak berlaku lagi.” – Phillip Sanders

“Bisnis adalah perang.” – Semboyan Jepang

Ini adalah cerita kebesaran Amerika melawan kekuatan Asia yang diwakilkan oleh Matahari Terbit. Amerika dengan kedigdayaannya kini mengalami kemerosotan di bagian teknik. “Amerika mungkin kekurangan ahli teknik dan ilmuwan, tapi kita tetap nomor satu dalam mencetak sarjana hukum. Setengah yang ada di dunia, ada di Amerika… Amerika menjadi Negara Pengacara. Semua orang saling menuntut, semua orang berselisih paham.” Sementara Jepang dengan Sony-nya merebut pasar. Menurut orang Jepang, kesederhanaan merupakan seni yang paling sukar. Dan orang-orang ini tidak bisa berbuat lain, mereka terobsesi. Dengan setting tahun 1992, kita belum tahu bahwa sepuluh dua puluh tahun kemudian, kita (manusia sekarang) diberi pukulan telak oleh China yang secara produksi massal luar biasa, sampai akrab dengan kalimat “Made in China”, dan Korea Selatan, yang kalau ngomongin merek tentu saja punya Samsung.

Dan juga perang pedoman hidup, sampai perlawanan standar menjalaninya. Contoh bila ketemu masalah, nasihat utamanya adalah gunakan waktu untuk mengatasi masalah bukan untuk mencari siapa yang salah. Dalam organisasi Amerika, yang paling penting adalah siapa yang salah. Siapa yang bertanggung jawab. Sementara di Jepang, yang paling diperhatikan adalah apa yang salah, dan bagaimana cara mengatasinya. Tak ada yang dituding.

Atau secara keras Peter sampai mengambil kesimpulan, “Orang Jepang menganggap orang selain Jepang sebagai barbar. Secara harfiah barbar: bau, vulgar, bodoh. Mereka tidak menunjukkan secara terang-terangan, sebab mereka tahu bukan salah kita dilahirkan sebagai bukan Jepang.”

Pada dasarnya ditarik kesimpulan bahwa semua orang di Amerika memusatkan perhatian pada hal-hal yang tidak penting. Di Jepang pun serupa. Perilaku orang-orang kaya yang sok, dan malesi. Lihat saja keputusan sang senator saat akhirnya kepergok, atau sang penanggungjawab gedung saat terjebit. Eskekusinya terlalu menggampangkan.

Kisahnya tentang duo detektif yang menangani kasus pembunuhan di gedung milik Jepang yang kebetulan dalam rangka pembukaan. Dengan tamu undangan banyak orang penting, dari artis-artis Hollywood: bahkan Tom Cruise dan Madonna disebut, para pejabat teras yang sedang dalam proses akan maju pencalonan presiden, sampai para dorektur lokal atau dari Jepang. Gedung Nakatomo, malam itu megah dan seharusnya meriah. Sayang, Kamis malam itu polisi mendapatkan laporan kematian gadis cantik asal Texas, Cheryl Linn Austin. Acara di lantai 45, Tempat Kejadian Perkara (TKP) di lantai 46, lantas polisi kini melakukan penyelidikan.

Peter James Smith yang fasih berbahasa Jepang dipanggil, berpartner dengan John Connor yang menjadi penanggungjawab utama. Mereka gegas ke TKP, garis polisi dipasang, korban diotopsi, dan mereka langsung menanyai para tamu. Gegas meminta tim security untuk menyerahkan rekaman gedung, dan seterusnya. Dan mereka menemui banyak kejanggalan, berbagai kesulitan, karena ini menyangkut nama baik Jepang.

Saat ke tempat tinggal korban, mendapat info bagaimana kehidupan Cheryl. Sebagai gadis cantik di puncak usia ranumnya, suka pesta dan bergonta ganti pasangan. Nama Eddie Sakamura berulang kali disebut. Dan tentu saja masuk lingkar utama yang bisa jadi tersangka. Apalagi memang kebiasaan Eddie yang juga hobi pesta, terakhir jalan sama dia. Maka dia pun diinterogasi, tapi dengan alibi kuat, pergi saat pesta belum usai.

Peter dan Connor kesulitan mendapat rekaman gedung, dari pukul 22 sampai dini hari, pihak pengelola selalu berkelit. Ishigura sebagai penanggungjawab gedung beralibi, rekaman tidak ada di dia, sebab pengelola ada di vendor, lalu pihak keamanan bilang ada tapi ada yang ambil. Mereka seolah dipingpong. Barulah dini hari sekitar jam 2 didapat rekamannnya, ada 5 rekaman, dari awal acara hingga bubar. Namun satu yang utama, di TKP terlihat waktu-waktu Cheryl meninggal.

Dengan jelas, seorang pria setelah bercinta dengan Cheryl, membunuhnya. Sosok itu terlihat samar, dan tak bisa dideteksi sebab wajahnya menghindar CCTV. “Kasus yang kita hadapi adalah kasus asphyxia seksual, orang yang bersangkutan hanya terangsang jika mengalami kekurangan oksigen akibat pencekikan.”

Barulah dari pantulan kaca, saat sosok keluar ruangan terlihat itu adalah Eddie. Langsung saja dilakukan penggerebekan malam itu. Di tempat tinggal Eddie, malah bertemu dua gadis telanjang yang marah-marah. Lantas di garasi terdengar mobil berdecit, kabur. Dalam pengejaran, naas sang tersangka utama malah mengalami kecelakaan, mobil sport Ferari-nya nabrak dengan kecepatan tinggi, ringsek, terbakar, Eddie remuk dan gosong, sampai-sampai sulit diidentitikasi. Hufh… malam panjang itu berakhir.

Paginya, secara umum harusnya kasus segera ditutup. Pihak Jepang terlihat ingin segera menutup kasus. Pihak polisi, bos Connor juga meminta gegas menutup kasus. Pelaku sudah jelas, dari rekaman CCTV, pelaku kini tewas kecelakaan. Apa lagi yang mau diusut? Dan karena buku belum ada separo jalan, tentu tak semudah itu.

Hari kedua cerita, sang detektif lebih banyak berkutat dari satu tempat ke tempat lain. Minta tolong copy rekaman, di kantor Jepang ‘ditolak’ dalam artian, lagi sibuk, semalam lembur sehingga pegawai tak ada yang stand by, hingga alasan tak ada janji temu. Walaupun hari Jumat, tak ada satupun yang mengajukan alasan menolak karena sedang Jumatan, hehe. Perang canggih, dan Jepang leading mereka punya video recognition software yang canggih.

Sementara bosnya meminta rekaman asli ditaruh di kantor sebagai barang bukti, dan desakan gegas ditutup kasusnya. Peter sampai diancam kalau menelusur panjut, “Saya sudah pernah mengalami seperti ini, dengan orang-orang Jepang. Kalau mereka berniat mengadu kekuatan, mereka bisa membuat hidup Anda tidak menyenangkan, sangat tidak menyenangkan.”

Peter semakin sore malah banyak menemukan kejanggalan. Terutama saat minta tolong di kampus ternama dengan seorang mahasiswa keturunan Jepang Theresa Akasuma membantu copy. Dalam prosesnya lucu, ruang praktek di lantai baseman dengan atapnya adalah lapangan ice skating, lantas ada larangan penelitian tiba-tiba sebab pihak rector memintanya, yang asalnya dari pemberi dana, yang ternyata adalah orang-orang Jepang! Jadi kampus Amerika bisa dibeli pihak luar. Namun dengan main kucing-kucingan, Peter dan Theresa berhasil menyelinap. Dengan meyakinkan Theresa bilang bahwa rekaman yang dibawanya bukan asli, sudah dimodifikasi, dan terutama adegan cermin, itu ditambahkan. Weleh, makin marah dan penasaran. Penyelidikan bahkan sampai menyeret senator Morton yang kini kampanye bakal calon presiden.

Masalah makin runcing, saat desakan tutup kasus makin keras. Tv-tv menayangkan kekerasan polisi, terutama isu rasialis dalam penanganan kasus, kasus lama diangkat Peter terkait isu pelecehan dan kekerasan anak, sehingga hak asuh anaknya Shelly digugat mantan istrinya Lauren, sogokan mulai muncul, dari kartu anggota exclusive golf bernilai ratusan ribu dollar hingga harga rumah di lokasi strategis tiba-tiba dijual murah khusus untuk mereka. Dan terutama kejutannya. Sang senator melongok keluar jendela, melihat orang dadah-dadah di jalan melihatnya balik. Good! Cara menyusun narasi menuju ke sana luar biasa enak.

Jadi dengan tekanan dibanyak pihak, melibat korporate besar, bahkan memertaruhkan nama besar Amerika di kancah teknologi. Apakah duo detektif ini berani mengambil langkah berisiko? Sebuah CD rekaman menjadi barang berharga, dengan nyawa taruhannya. Siapa pelaku pembunuh Cheryl sebenarnya?

Buku Crichton kesekian kalinya yang kubaca. Beruntun dan turut, sesempatnya semua yang ada di rak untuk dituntaskan. Bukan yang terbaik, tapi masih sangat OK, terutama eksekusi endingnya yang menampol kejutan demi kejutan. Tak lebih bagus dari Time Machine, tapi bisa dibilang lebih keren dari Prey atau Sphere.

Penjelasan teori dan pedoman dijelaskan di epilog. Dikutip dari David Reynolds bahwa Manusia cenderung menolak kenyataan, mereka melawan perasaan nyata yang disebabkan oleh keadaan nyata. Mereka membangun dunia impian yang berisi hal yang seharusnya terjadi…

Matahari Terbit | by Michael Crichton | Judul asli Rising Sun | Copyright 1992 | Alih bahasa Hendarto Setiadi | GM 402 94.942 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, Januari 1994 | Cetakan kedua, Maret 1994 | 616 hlm.; ilus.; 18 cm | ISBN 979-511-942-7 | Skor: 4.5/5

Untuk ibuku, Zula Miller Crichton

Karawang, 190723 – Fourplay (Feat. Al Dearge) – After the Dance

Thx to Bla Bla, Jkt

Risalah Bedug Pondok Tengah

“Ya Allah sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepadaMu karena kedudukanku di sisi NabiMu.” (diriwayatkan oleh al-Zubair bin Bakkar. HR Al-Tahdzir min al-Ightirar, halaman 125)

Buku tipis yang dengan cepat diselesaikan dalam sehari, baca pada 11-Jul-23. Memang sederhana, selain tipis, dicetak mungil, isinya juga bahasan sekadarnya. Karena sudah baca ratusan lembar dunia mistik dalam Islam, apa yang disampaikan di sini serasa permukaan saja. Bahasan utamanya yang menarik adalah doa yang dipanjatkan untuk orang yang sudah meninggal, apakah sampai? Atau yang berulang kali jadi bahan perdebatan apakah bi’ah melakukan yaa-siinan itu?

Setelah prakata dari sang istri Ny. Lu’lu Luthfiyah Muzani dan pengantar editor, kita langsung mengikuti perjalanan cerita. Dalam sebuah bus yang melaju ke kampung halaman di Jawa Timur, sang penulis yang saat buku ini diterbitkan sudah almarhum, berkenalan dengan penumpang lain, yang di sini kita sebut saja Mr. X lantas berdiskusi. Terlihat di sini, sang penulis adalah NU tulen.

Terbagi dalam 3 bahasan: Sampaikah “kado” bagi orang mati?; tawassul, dan ziarah kubur. Sesuatu yang sudah banyak dibedah di banyak buku. Sebagian kecil malah terasa berulang dari buku Sunnah bukan Bi’ah. Lebih tebal, lebih detail, lebih nyaman. Terbitan Zaman yang sudah terkenal bagus mengupas Islam.

Dari pembuka kita sudah ditegaskan bahwa Islam dalil hukum syariat Islam hanya: Al Quran, Hadist, Ijma, dan Qiyas. Maka dari itu pendapat yang bersifat “individu” atau hasil oleh pikir pribadi tidak bisa dijadikan landasan hukum, karena terkadang pendapat seseorang – yang notabene akal-akalan, sering berseberangan dengan hukum syariat. Maka dari itu pendapat Mr. X yang beberapa berseberangan dibantah. Dari kitab atau sumber lain.

Contoh, mendoakan orang mati adalah masyru’ (perkara yang disyariatkan) dan sangat dianjurkan bagi kaum muslimin agar mendoakan saudara muslimnya yang telah meninggal dunia. Di era Rosulallah pernah ada larangan, kala itu umat Islam baru sedikit dan masih hidup semua, perintah ziarah baru muncul setelah Islam berkembang dan ada yang meninggal dunia.

Atau tentang niat. Kesemua amal baik dan menandakan kasih sayang terhadap saudara sesama muslim yang telah meninggal dunia, lelaku tersebut bahkan telah menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama yang bermadzhab syafi’i yang biasa dilalukan dalam tahlilan atau kenduri arwah. Maka tak ada salahnya mendoakan yang sudah meninggal. Wasilah berarti harapan dan keinginan, sedang al-wasilah bermakna berharap kepada Allah Azza Wa Jalla.

Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri aliran Wahabiyah membagi tawassul menjadi 2 bagian: bertawassul melalui iman, dengan menggunakan asma-asma Allah, serta melalui amal-amal salih. Kedua, bertawassul melalui berbagai bi’ah, seperti melalui ‘jah’ (kehebatan)nya Rasulullah, melalui dzatnya orang-orang saleh, dan sebagainya.

Sebenarnya bertawassul dan istiqosah kepada Rosulullah dan para aulia diperbolehkan, bahkan disepakati, bukan hanya yang masih hidup saja, tapi juga yang sudah meninggal dunia.

“Ya Allah aku mohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan melalui Nabi-Mu yang penuh rahmat. Ya Muhammad aku bertawajjuh kepada Allah melalui wasilah engkau agar mengabulkan hajatku.” Sebuah doa Rosullah ketika ada orang buta meminta tolong, agar bisa melihat. Dan akhirnya benar bisa melihat.

Masruhin Mahmud atau biasa dipanggil Gus Ruhim lahir pada 27 Agustus 1965 di Trenggalek. Anak dari pemimpin pondok pesantren Hidayatut Thalub, Kamulan, Trenggalek, Jawa Timur, yang biasa disebut Pondok Tengah. Setelah ayahnya wafat tahun 1996, Masruhin muda naik menjadi pemimpin pondok, mendapat amanat estafet kepemimpinan.

Aktif di politik dari tahun 1999-2002 (Dewan syuro PKB), 2002 (Dewan Mustasyar PKB Jawa Timur) selama dua tahun, sejak tahun 2005 vakum politik. Pada 21 Juni 2010 KH. Masruhin Mahmud wafat dalam perjalanan menuju Surabaya ketika akan menjalani HD (Hemodialisa), beliau sakit keras “penyempitan pembuluh darah jantung dan gagal ginjal”. Meninggalkan istri, dan dua anak Najwa Aliyah Sa’adah dan Haikal Muhammad.

Buku sederhana ini, tampak diterbitkan mandiri. Editingnya juga kurang Ok, untuk buku berhalaman tak lebih dari seratus, ditemukan banyak typo. Dan juga kualitas kertas yang walau HVS, tampak cetakan kurang cerah. Untuk kover sudah kinclong, dicetak bagus. Buku ini memang semacam warisan dari almarhum, yang diwujudkan terbit oleh istrinya. Terima kasih sudah menjadi bagian dari dunia literasi Islam, terima kasih sudah masuk rak perpustakaan kecil keluargaku dan masuk ulasan di blog ini. Bukti nyata bahwa semua genre, semua buku dari berbagai sudut, tak peduli besar atau kecil penerbitnya, selama itu sebuah bacaan, maka layak untuk muncul di sini. Membacanya seolah sebuah pengalaman reliji singkat dan berkesan.

Risalah Bedug Pondok Tengah | by KH. Masruhin Mahmud | Penerbit Pondok Pesantren Hidayatut Thalub, Trenggalek | Editor K.H. Adib Amrullah, Lc. | Pewajah sampul Ibnu Muallif | Layout Yogi Prasetyo, Abdul Mukti | Desain isi Lutfi bin Haritd | Cetakan pertama, Desember 2012 | ISBN 978-602-18159-5-3 | Skor: 3/5

Karawang, 120723 – George Benson – Mimosa

Thx to Mas Kevin P, Solo

Ronya, Anak Penyamun

“Aku mau masuk ke tempat tidur sekarang, Lovis. Tidak, bukan untuk tidur. Aku hendak berpikir dan mengumpat-umpat, dan awas, kalau ada yang berani menggangguku saat itu.”

Cerita anak dengan porsi penempatan keadaan yang sungguh pas. Kritiknya jelas, anak-anak zaman sekarang tak lagi mudah turut saja kata orantua. Masa sekarang ini, anak-anak sudah tidak mau mendengar kata orangtua mereka lagi. Mereka berbuat semau mereka. Mereka sudah punya pendirian. Apalagi, kedua orang tua karakter utama berprofesi sebagai penyamun, pekerjaan jahat. Merampok musafir dengan paksa, sehingga menebar kekhawatiran masyarakat. Maka dari itulah, para anak ini bersatu melawan. Bahwa perang tak baik, seteru tak baik, damai itu baik.

Digambarkan dengan indah, seperti petualanagn itu sendiri. Mendebarkan, menyenangkan, memancing pikiran liar. Seperti inilah cerita anak harsunya dibuat, pesan moral ada, narasi bagus ada, detail keren ada, alur pas ada, dan jangan lupa fantasi, bagian ini memang hanya sebagai sisipan, tapi tetap ada. Sungguh menyenangkan menjadi saksi tumbuh kembang Ronya. Dan petuah bijak dari sang istri, “Mattis, kau tahu ‘kan. Tidak ada orang yang bisa selalu ada. Kita dilahirkan, dan kita kemudian mati, begitulah selalu keadaannya. Kenapa kau berkeluhkesah.”

Dikisahkan kelahiran Ronya disambut gegap gempita, baik oleh alam ataupun warga. “Kehidupanmu diawali dengan gegap gempita, Ronya.” Terkhusus kedua orangtuanya, Mattis dan Lovis akhirnya memiliki anak, memikili keturunan. Mereka adalah pemimpin gerombolan penyamun yang disegani. Singkat kata, kita menjadi saksi dari bayi, merangkak, mengenal dunia perlahan, hingga akhirnya menjadi remaja. Seringkali mendapat wejangan penyamun tua, Per-Botak (saya penasaran jadinya, nama asli di bahasa di bahasa Swedia) yang kocak. Salah satu nasehat orangtua ini, melihat pertanda alam. “Apakah makhluk-makhluk bawah tanah muncul di dalam hutan lalu menyanyi, maka itu tanda bahwa musim gugur sudah tiba. Dan tidak lama setelah itu datanglah musim dingin. Hoho, yaya!”

Mereka hidup di pinggir hutan dengan makhluk fantasi. Dari ikan-ikan besar yang berbahaya, makhluk berjenis gnoma kelabu yang bisa mengelabui, grymklo liar, hingga yang paling berbahaya di sini, burung berwajah manusia yang suka memangsa korban seolah burung elang menyerabut tikus tanah. Membayangkan manusia dikejar burung yang lantas diembat dengan cakar saja sudah begidik, apalagi burungnya berwajah manusia dan bisa berteriak dan seolah berpikir sebagai predator. Ronya, banyak mengalami ketakutan itu. Hehe…

Mereka tinggal di pinggir hutan, di area Selatan. Nah, dalam prosesnya ada pasukan penyamun lain Borkasson akhirnya menempati area Utara. Kedua pasukan ini saling sikut dan bermusuhan lama. Maka kedatangan penyamun Utara yang dipimpin Borka menimbulkan konfliks yang nyaris menjadi perang. Area mereka dibatasi jurang, rongga sempit itu sungguh dalam dan bisa berakibat fatal jika terjatuh. Perang yang mungkin terjadi itu tertunda karena kedua anak pemimpin penyamun ini justru berteman. Di perbatasan itulah, Ronya menyelamatkan nyawa Birk, dan nantinya gantian nyawa Ronya diselamatkan oleh Birk. Poinnya mereka berdua, di usia yang sama, tumbuh kembang dengan pikiran terbuka, yang lantas malah menjadi sejenis juru damai.

Perseteruan itu meruncing, saat Birk diculik dan dijadikan alat tawar oleh ayah Ronya. Kalau mau Birk selamat, mereka harus pergi dari situ. Hal inilah yang membuat marah Ronya, ia dengan gagah berani menawarkan diri, mendatangi pihak musuh untuk dijadikan tawanan sehingga jadi alat tukar. Setelah itu, Mattis marah dan menganggap Ronya buka anaknya.

Keputusan ekstrem dibuat, Birk memutuskan pergi dari rumah, kabur ke hutan untuk tinggal di gua Beruang. Wiktagenrodak membuat gua-gua seperti itu di dalam tanah, jika tidak menemukan pohon berlubang yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal. Begitu pula Ronya, ia turut serta tinggal di hutan. Dengan aliran sungai di dekat gua, dengan hidup apa adanya dari hasil hutan, buah, daging, hingga daun-daunan. Ia mencintai hutannya itu, dengan segala-galanya yang ada di situ. Pohon-pohon, semua danau kecil, telaga, dan parit yang mereka lewati pada saat menunggang kuda maisng-masing, bukit kecil yang terselubung lumut, tempat-tempat yang ditumbuhi buah-buahan hutan, semua bunga, binatang hutan, burung-burung. “Ronya, mengertikah engkau bahwa kita bebas? Begitu bebas sehingga kita bisa tertawa sampai sakit perut.”

Seberapa lama dua remaja ini melawan kedua orangtua mereka yang berseteru? Well, karena ini buku anak-anak kalian pasti dengan mudah menebak ending-nya. Yang jelas segalanya fun, seru. Mengingatkan masa kecil, dan impianku. Dulu kenapa tak nekad melakukan petualangan di alam seperti ini? Ini seperti perwujudan impian masa kecil, hidup di hutan dengan segala keasriannya.
Jangan lupakan Lagu Serigala. Sebagai pengiring di banyak bagian, dalam kondisi apapun seolah sebuah hymne. Bakal bagus kalau diadaptasi film, lagu ini pasti dibawakan oleh Penyanyi besar dan menjadi hit. Kuda-kuda pun dibuat imut, menemukan kuda liar dijinakkan dan diberi nama Si Bandel dan Si Lasak, nama dua kuda itu ditambah kuda terluka Si Lia karena anaknya dimangsa beruang.

Begitu pula adegan fantasi yang dibawakan sederhana nan natural, bagaimana Ronya penasaran akan dunia luas ini. Setelah mengira dunia hanya area dalam komune, saat ia sendirian di hutan. “Ketika sudah berdiri di atas batu, ia merasa seperti menjadi lebih dekat ke bintang-bintang. Dijulurkannya tangan ke atas. Dicobanya memetik beberapa bintang, untuk dimasukkan ke dalam kantong kulit dan dibawa pulang, tapi tidak berhasil. Ia lantas mengambil kantongnya, lalu hendak turun dari batu.”

Kisahnya ditutup bahagia, walaupun ada kematian di sana. Kematian karena tua, Per-Botak menjadi kidung pengantar klan penyamun, eh mantan penyamun ini. “Dia selama ini ada. Dan sekarang dia tidak ada lagi.” Dan tak hanya itu, niat tulus itu dikasih jalan. Apakah bisa manusia yang seumur hidupnya bekerja sebagai rampok, di masa tua bisa sembuh, pensiun dari merampok? Mungkin solusi yang diberi buku ini instan, tapi tetap saja sebuah akhir bahagia yang pantas. Siapa yang berniat sungguh-sungguh akan diberi jalan.

Ini adalah buku pertama Astrid Lindgren yang selesai kubaca. Pertama kali mendengar (eh membaca) namanya di Inkheart-nya Funke di mana beberapa novelnya dikutip. Saat itu tahun 2007 atau 2008, sudah lama banget. Berkali-kali muncul di beranda menggoda untuk dibeli, dan baru bisa tahun ini. kubaca kilat dalam dua hari, 1-2 Juli 2023. Bukan karena tipis, bukan pula karena ini buku anak. Mungkin karena memang bagus, sehingga mencipta penasaran. Namun yang paling tepat, yak arena hari libur waktu luang bisa lebih banyak kulimpahkan baca. Atau malah karena keempatnya? Yang jelas buku-buku Lindgren layak amat dikoleksi. Ini hanya permulaan…

Ronya, Anak Penyamun | by Astrid Lindgren | Copyright Astrid Lindgren, Stockholm, 1981 | Judul asli Ronja Raubertochter | Alihbahasa Agus Setiadi | GM 304 92.280 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, November 1992 | 288 hlm; ilus; 20 cm | ISBN 979-511-280-5 | Skor: 4.5/5

Thx to Adryan, Bekasi

Karawang, 070723 – 090723 – Bob James & David Sanborn – Since I Fell For You

Rekap Nonton Seminggu: Dari Lightyear sampai Spirited Away

Rekap Nonton Seminggu: Dari Lightyear sampai Spirited Away

“Aku hanya memukulmu karena aku peduli padamu.” – Detektif Cho Yo-koo (Memories of Murder)

Libur sekolah tapi belum bisa mengajak anak keluar kota, atau jalan-jalan. Akhirnya opsi hanya di rumah aja atau nginep di rumah nenek. Saat Hermione nginep di rumah nenek, malam saya dan May nonton film drama bukan untuk anak-anak, saat Hermione di rumah nonton film anak-anak. Berikut tontonan keluarga dari 2 Juli 2023 s.d. 9 Juli 2023.

Saya review singkat di sini saja, lagi malas ulas satu film satu pos yang panjang itu. Jadi uneg-uneg singkat, disatukan.

#1. Memories of Murder (2003, Bong Joon-ho; Korea) – 5 Bintang

Endingnya melongo. Pintar sekali yang buat cerita, kita diletakkan di tempat kejadian perkara saat pembuka dan penutup film. Gereget, mengaduk emosi. Kisahnya berkutat di desa yang asri, suatu pagi ditemukan mayat perempuan korban pelecehan seksual. Sang detektif lantas menyelidiki, dibantu dari detektif pusat dan bosnya. Kasus ini menjadi pembunuhan serial, dengan korban identifikasi sama. Hujan, lagi sepi yang dinyanyikan di radio, dan celana merah.

Berbulan-bulan kasus bergulir, tak juga bisa dipecahkan. Sampai akhirnya mengerucut pada satu calon kuat terdakwa, seorang maniak terlihat polos. Namun polisi harus mempunyai bukti valid untuk menjeratnya, sebuah tes darah dilakukan, karena teknologi belum sampai ke sana, samplenya harus dikirim ke Amerika. Dan begitulah, film meledak dahsyat di antara deru kereta api. Sungguh cerita detektif yang seru menantang nalar.2. Recalled (2021, You-min Seo; Korea) – 4 Bintang

#2. Recalled (2021, You-min Seo; Korea) – 4 Bintang

Lumayan bagus, juga lumayan bikin pening. Kata istri keren banget, karena saya terkantuk-kantuk, ya sepenggal dua saja yang hilang. Intinya kita diajak mengenal Soo-Jin dan pasangan, lalu fakta tak seperti yang disampaikan, karena perlahan-lahan terungkap masa lalu buruk.

Soo-Jin pulang dari rumah sakit dalam kondisi amnesia. Masa lalunya hilang, diantar pulang oleh pasangannya. Mereka tinggal di apartemen dengan para tetangga yang aneh, awalnya. Sebab satu per satu, seolah pengelihatan masa depan, Soo-Jin menemukan fakta-fakta seputar kehidupannya. Teruma impiannya pergi ke Kanada. Benarkah itu harapannya? Terlukis dalam gambar yang dipajang di dinding rumah. Namun, ini menjadi perkara besar, saat satu pernah terkuak. Memori lama itu memberitahunya, ada kejahatan yang terjadi di sekeliling. Apa yang tampak di permukaan baik, tak sebaik yang dikira. Endingnya memang mengharu biru.

#3. Lightyear (2022, Angus MacLane; USA) – 3 Bintang

Terkantuk-kantuk. Pantas tidak masuk Oscars, untuk kelas Pixar amat disayangkan spin off dengan kualitas nanggung. Dulu pas bilang Toy Story 3 sebagai penutup, sudah sangat sempurna farewell Andy kepada kawan-kawan. Lantas ada 4, yang belum kutonton, dan malah ada ini. Hufh,..
So so. Terasa aneh, untuk adegan kecil dramatis saja anak istri pada deg-degan. Seperti pembuka, saat monster pohon membelit, membenamkan Buzz dan tangannya terangkat untuk dapat operan pedang. Secara dramatus, mereka berlari lolos dan gegas masuk ke pesawat untuk diterbangkan. Pintu ditutup pas banget dengan Buzz masuk ke dalam. Hermione sampai ketakutan misi gagal, istri sampai menghembus napas hufffh… lega, nyaris saja. Saya? Lhaaa… kenapa pada khawatir, ini kan film anak-anak, ya pasti selamat. beda sama thriller dewasa, pola pikir kita pasti sedari mula was-was. Dan begitu;ah, perjalanan penjelajahan ini terkantuk-kantuk. Belum separo terbang, udah terbang duluan di alam mimpi.4. Alkhallat+ (2023, Fahad Alammari; Arab) – 3 Bintang

#4. Alkhallat+ (2023, Fahad Alammari; Arab) – 3 Bintang

Cerita Arab, ternyata komedi. Hufh… terasa aneh, Negara reliji ini menampilkan kekonyolan demi kekonyolan. Film omnibus, jadi berisi empat cerita. Pertama, pencurian ban yang ketahuan. Kebetulan korban adalah keluarga yang sedang mau perjalanan untuk menikahan anak, sang maling tertangkap, dibawa ke kondangan. Lantas film jadi misi penyelamatan. Kedua tentang makan malam suami-istri yang akan bercerai. Keluarga miskin menikmati malam romantis di hotel mewah, biangnya adalah sang anak yang bekerja sebagai palayan dapur di situ.

Kekacauan terjadi dengan anehnya, mulai dari pesanan meja yang manipulative, bunga emas kado di meja seberang, hingga misskom sang bos hotel terhadap tamu bos besar. Dan seterusnya, yang ketiga malah makin aneh. Suami meninggal dunia kecelakaan, malah rekannya fokus untuk menyelamatkan HP korban, karena malam itu selingkuhan menelepon. Untuk menghindari amarah istri. Lha…, ini ada kecelakaan korban meninggal dunia, malah urusan asmara hitam. Duh!5. The 100 Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared (2013, Felix Herngren; Swedia) – xxx Bintang

#5. The 100 Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared (2013, Felix Herngren; Swedia) – xxx Bintang

Tidak selesai. Memang malam itu, niatnya abu-abu. Film sudah nyala, Hermione masih main HP, istri juga di kamar belakang. Saya malah baca buku, makanya istri saja yang fokus, itupun tak lengkap. Nanti kutonton ulang, cari waktu luang. Kata May, filmnya biasa saja. Kakek-kakek jalan-jalan menemui banyak masalah dan kenangan masa lalu.

#6. Spirited Away (2001, Hayao Miyazaki; Jepang) – 5 Bintang

Terbaik dari daftar. Padahal nontonnya mulai pas tengah malam, udah baterai lemah, udah ngantuk-ngantuknya. Kualitas film melebihi imaji. Sedari pembuka sudah sangat bagus, bagaimana sekeluarga tersesat di dunia lain dan penasaran apa yang harus dilakukan Chihiro selanjutnya untuk menyelamatkan kedua orangtuanya, selanjuta apa, selanjutnya bagaimana, seterusnya, dan tahu-tahu sudah di titik puncak cerita, berkereta api. Dua jam yang luar biasa. Kalau komen dalam satu kalimat: Chihiro in Wonderland.

Jadi keluarga ini sedang pindahan, dalam perjalanan tersesat di hutan. Sang ayah penasaran, masuk ke terowongan, diikuti ibu dan Chihiro. Sang anak sudah mengingatkan, feeling buruk memasuki area tak berpenghuni. Taman hiburan tua terbengkelai, malah mencium bau masakan lezat, makin aneh pas tahu tak ada koki atau pelayan resto. Eh, bapak ibu main sikat aja. Untung Chihiro tak ikut, ia berjalan-jalan mengamati sekitar. Dan ternyata mereka masuk ke dimensi lain, sebuah resto mewah untuk para hantu. Didesak waktu, dibantu Haku, Chihiro berjuang demi keluarganya.

#7. Le Grand Voyage (2004, Ismael Ferroukhi; Prancis) – 4.5 Bintang

Ini sangat menyentuh. Perjalanan haji melalui darat dari Prancis. Membayangkannya saja lelah. Motif utama jelas, tiket pesawat mahal. Sang ayah tak mau menunda lagi, harus tahun ini. Dan karena sang kakak baru saja kena tilang, SIM dicabut, maka terpaksa Reda yang nyupir. Demi bakti pada orangtua, berangkatlah mereka mengendarai mobil biru tua (dengan salah satupintunya beda warna orange). Jarak tempuh empat ribu kilometer itu menjadi saksi hubungan ayah anak yang pasang surut. Sempat kesal sama ayahnya, HP dibuang, penumpang misterius dibolehkan ikut. Sempat kesal pula sama anaknya, mabuk, gantian kasih tebengan ke orang asing yang mengakibatkan ke kantor polisi, dst.
Sampai ending yang luar biasa. Semua orang beriman mengingin akhir yang husnul khotimah. Bagi orang awam mungkin menganggap akhir film ini sangat menyedihkan, tapi bagi sebagian besar orang relijius, ini sungguh sempurna.

Tambahkan ulas film bulan Juni 2023

#8. Super Mario Bross (2023, Aaron Horvth, Michael Jelenic; USA) – 3.5 Bintang

Satu-satunya film yang kutonton bulan lalu adalah ini. Karena mood review film sedang malesi, saya tebengkan di sini saja. Nonton sama anak istri, saya terkantuk-kantuk. Anak suka, istri juga. Saya selesaikan esoknya sendiri.

Jadi Mario dan Luigi ini adalah adaptasi sukses secara finansial. Mereka berdua adalah pekerja ledeng air. Nah kota lagi kena musibah, mereka berdua melakukan tugasnya, membetulkan saluran air yang bocor. Dalam terowongan air, mereka malah tersedot di dimensi antah surantah. Luigi terpisah dan jadi tawanan raja naga, sementara Mario tersedot di negero jamur dengan seorang ratu yang canteeek sekali. Putri Peach disuarakan oleh Anya Taylor-Joy. Dan begitulah, film menjadi misi penyelamatan, dan raja naga segera menggelar pesta pernikahan. Berhasilkah?

Saya Cuma mau komen animasi sang putri saja. Sungguh-sungguh cantik rupawan. Kok bisa ya?

Karawang, 100723 – Norman Brown – Won’t You Stay

Thx to May dan Hermione, dua orang terdekat dan tersayang

Seperti Sebuah Ayunan di Taman Bermain

“Salam kenal, Maruta. Namaku Hiroko.”

Di sebuah apartemen, di lantai lima seorang pemuda, kita sebut sama Maruta, di sebuah pagi yang cerah, terjebak. Tak bisa keluar kamar, terkunci dari luar. Padahal hari ini adalah jadwal wawancara kerja. Mencoba mendobrak, mencoba berteriak minta tolong. Tak ada perubahan atau bantuan, sampai akhirnya mengetahui bahwa jadwal wawancara ditunda, agak lega tapi tak sepenuhnya sebab masih terkunci.

Di kamar seberang, seorang gadis bernasib sama, kita sebut saja namanya Hiroko. Dari kedua sample nama yang tersebut, seharusnya ini terjadi di Jepang. Hehe, semestinya. Mereka lantas saling teriak untuk bertukar nomor HP. Dan komunikasi-pun terjalin.

Kita ada di masa pandemi, sebuah wabah telah menyerang kota dan semua warga, hampir semua warga diwajibkan isolasi. Tv hanya menyiarkan berita, dan ternyata setiap malam ada orang asing masuk ke kamar-kamar apartemen untuk suplai makanan. Mereka melakukannya saat para penghuni terlelap. Semacam mantra penidur. Namun Maruta memiliki siasat untuk ‘menggerebeg’ sang penyuplai. Dan benar saja, mereka yang sudah divaksin, melakukan tugas membagikan makanan/minuman untuk warga. Situasi di luar sudag parah.

Suatu hari Maruta mendapati tongkat bisbol lamanya dikirim. Dan dengannya berhasil membobol kamar Hiroko untuk bersatu, lalu dengan kenekadan mereka turun. Lift tak berfungsi, suplai air terhenti, mereka memutuskan menjelajah. Mendapati banyak kekacauan. Yang paling mengerikan tentu saja melihat mayat bergelantungan, mati bunuh diri. Maruta jadi teringat teman masa kecilnya, yang juga mati gantung diri. Sampai akhirnya, mereka menemukan kerumunan. Sebuah misi penyelamatan atau malah keputusan akhir yang pilu?

Terlalu tipis, segalanya tergesa. Tak dalam dalam menggali potensi. Banyak sekali pemaparan yang tak efektif, mungkin karena memang keterbatasan sehingga eksekusi tindakan ya gitu-gitu saja. Setting minimalis, sebuah kamar dan sekitarnya, karakter minimalis, sejatinya hanya 3 karakter utama yang ada. Sebenarnya saya suka yang minimalis penggambaran cerita, sayang saja isinya juga.

Beberapa kejanggalan, kalau ini adalah pandemi sekarang. Kalian dengan mudah mendapatinya, banyak. Tanpa menyebut Covid-19, efek yang diberikan berlebihan. Arah cerita juga tak terarah. Mau ke arah para korban yang gantung diri? Motifnya kurang kuat. Mau komplain penanganan pandemi? Para korban malah memposisikan defensif kalau benar seandainya keadaan gawat. Atau memposisikan keadaan darurat? Tak selemah itu melawan. Pada dasarnya manusia adalah makhluk adaptif, sehingga keadaan baru yang dihadapi akan dengan sendirinya akan menyesuaikan. Memang butuh waktu, tapi dengan kebiasaan, semua ketahanan tubuh akan berjalan dengan sendirinya. Makanya, entah kenapa sampai ke titik itu akhirnya. Mencoba nyeni, tapi nanggung. Kisah-kisah depresi tak dibawakan seperti ini.

Referensi musik dan film juga coba ditebar. Bisa melalui kaset, cd atau pemikiran seolah film apa. Namun karena saya sudah baca banyak Haruki Murakami, yang ditampilkan di sini sungguh receh dan kurang pas (kalau tak mau dibilang buruk). Entah mengapa nanggung banget di banyak sudut. Ekspektasiku memang rendah, dan itu sesuai. Sulit membuat novella, mau jadi cerpen dibukukan kok ya lebih banyak kata, mau dilebarkan novel kok ya tipis. Itulah mengapa, novella harus memuat kalimat-kalimat efektif seperti Ernest Hemingway. Dan itu tak mudah.

Buku rangkaian pemenang Sayembara Novela Basabasi 2022 tentang bencana. Kumulai dengan juara tiga. Tipis, dan hanya sekali duduk baca selesai. Hanya seratus halaman, dicetak kecil seolah buku saku. Selepas subuh dini hari (07/07) selesai baca, bahkan tak ada sejam, sembari menunggu putaran cuci baju.

Permulaan yang buruk. Apakah ke-2 dan yang utama bisa lebih baik? Semoga saja, karena untuk buku setipis ini dengan harga segitu, butuh ledakan besar untuk memuaskan pembaca.

Seperti Sebuah Ayunan di Taman Bermain | by Mochamad Bayu Ari Sasmita | Editor Zura D. | Tata sampul Mita Idriani | Tata isi Inara | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Mei 2023 | Penerbit Basabasi | 108 hlmn; 12 x 19 cm | ISBN 978-623-305-441-6 | Skor: 2.5/5

Karawang, 080723 – Glove Washington Jr. – Just the Two of Us

Thx to Basabasi Store, DIY