Friksi Benang Merah #11

Friksi Benang Merah #11

“Lu juga lama-lama tinggal di sini feelingnya pasti nambah tajam. Masa telinganya tiap saat digembur suara sungai, hatinya ga mau baik? Iya, ga Banthe?” – Sony

Novel yang adidaw. Isinya campur-campur, entah maksudnya apa. Narasinya acak, tak nyaman dibaca. Maksudnya baik, tampil beda. Nge-mix: filsafat, sastra, tasawuf, hingga sosiologi. Sayang sekali, kelebihan-kelebihan yang tersaji malah tertimpa pada kebinguangannya sendiri. Acak-acakan, tak terarah maksud cerita mau ke mana. Sudah sedari mula memang buku ini sudah tak lazim, tapi tak lazim yang konotasi. Dari mencomot nama Penyair terbesar kita melakukan pembunuhan, perjalanan portal waktu lewat pintu, hingga seni lukis yang membuncah. Sayangnya, keserba-bahasa-tinggi itu tak disertai dengan kenyamanan. Orang akan mengira, ini ditulis seenaknya tanpa memperhatikan struktur, dan dengan demikian bebas ditafsir. Saya sendiri sempat lelah, dan akan meletakkan buku ini sahaja, sampai akhirnya Juni ini saya harus membuat ulasan 30 Hari, dan karena tanggung, saya selesaikan. Lelah, dan mengerutkan kening. Seperti salah satu ungkapan di sini, “Jadi domba-domba logika omong kosong filsafat para filsuf sok filosofis.”


Memasukkan nama penulis dalam cerita antah, tak masalah. Perannya memang penutur, narasi acak. Namun, ya ampun buat apa? Lagian, ini (kemungkinan) nama pena, bukan nama asli. Dalam bahasa Jawa, ruh, bisa diartikan jiwa. Dan lelana, berkenala. Persis seperti dalam cerita yang melalangbuanakan jiwa. “Aku kedinginan, Ruhlelana… aku butuh jaket, sedang musim dingin di kepalamu, banyak salju.”Daftar isi dibuat seolah kaset pita, nostalgia Side A, Side B, tapi malah ditambahkan Side C. Lalu memakai nama Prelude sebagai pembuka, dan Epilog sebagai penutup seolah memang tak ada aturan baku. Kutipan juga ditemukan di banyak tempat, salah satunya Kata Borges, “Aku tidak punya pesan apa-apa, aku hanya menyalin sebuah sistem kebingungan yang dengan hormat kita sebut filsafat itu ke dalam bentuk sastra.”

Daftar isi dibuat seolah kaset pita, nostalgia Side A, Side B, tapi malah ditambahkan Side C. Lalu memakai nama Prelude sebagai pembuka, dan Epilog sebagai penutup seolah memang tak ada aturan baku. Kutipan juga ditemukan di banyak tempat, salah satunya Kata Borges, “Aku tidak punya pesan apa-apa, aku hanya menyalin sebuah sistem kebingungan yang dengan hormat kita sebut filsafat itu ke dalam bentuk sastra.”


Jadi apa yang bisa saya ceritakan? Ngalir saja. Tak perlu memedulikan nasib karakter, tak perlu khawatir takdirnya bagaimana. Dan dengan demikian, tak ada tautan emosi para tokoh dan pembaca. Entah Sony, entah Niskala, entah Chairil, entah Beth, tak peduli ngapain, terjang saja. “Aku melihat sebuah lagu tanpa ombak, tanpa akhir. Tak ada apa-apa.”Makanya, mau bertahan hidup, atau mati para tokoh seolah capung terbang yang perlu diperhatikan, atau semut hitam yang berbaris di tanah, tak perlu diamati. Rahasia kehidupan makhluk kecil yang biarkan saja. “Rahasia akan tetap menjadi rahasia hanya jika kamu kabarkan kepada orang mati.”

Makanya, mau bertahan hidup, atau mati para tokoh seolah capung terbang yang perlu diperhatikan, atau semut hitam yang berbaris di tanah, tak perlu diamati. Rahasia kehidupan makhluk kecil yang biarkan saja. “Rahasia akan tetap menjadi rahasia hanya jika kamu kabarkan kepada orang mati.”

Malah, yang perlu diperhatikan dan dapat notifikasi adalah isinya beberapa terasa puitiknya. Contoh, “Sebenarnya dia tak pernah sendirian, denyar-denyar lampu mobil selalu menemainya ke manapun dia berjalan, atau ditemani hujan.” Sepintas saja, ini bermaksud memberitahu kita, sendiri itu tak ada. Selalu ada teman, tinggal ambil sudut mana, dan mau bersama siapa. Siapa di sini bebas, sebab seperti yang disampaikan, lampu dan hujan menemani, artinya kalau mau bilang, tembok kek, batu kek, angin kek, ga apa. Tak harus ditemani manusia, atau makhluk hidup.

Saya beberapa kali malah mengingat buku-buku novel sastra yang digulirkan, maksudnya cara bernarasinya. Terakhir baca Knut Hamsun dalam Pan, di mana hutan mendominasi sebab sang karakter memang sedang liburan, berburu. Di sini hutan dan angin seringkali dinukil. Sejenis keheningan tidak wajar yang datang dari hutan, bahkan sekadar selintas lalu ada seekor nyamuk menyedot darah, mati ditepuk Beth. Kata-kata digulirkan, seliar mungkin. “Aku tidak permah merasa kehilangan dirinya, sebab mungkin dia memang tidak pernah benar-benar hadir dalam hidupku.”

Hidup di dunia memang sementara, saat kemakmuran dihitung dengan materi, maka disitulah hal-hal umum diapungkan. Makanya masuklah filsafat yang coba menjelaskan dari mana, mau ke mana. Nalar jalan, dan teori diapungkan. “Tapi kita miskin, kita tidak punya modal materi untuk melawan itu, kita hanya punya nalar dan tekad hati yang kuat.”

Karena ini novel bebas, syair-syair bertebaran. Kutipan puisi juga penuh, dan bahkan sufi yang meninggal dhukum mati Al-Hallaj. Benar-benar bebas, dan acak. “Sensasi gigitan pertama tetap mengejutkan lidahku seperti sewajarnya. Ciumanmu kuingat bertengger di dahan.”

Dan seperti nasihat sang karakter di akhir, “Sisanya sampah-sampah ingatan kita, berlabuh di muara pantai selatan.” Isi novel ini juga tak perlu diingat, seperti sampah-sampah memori yang akan hanyut digerus masa, dan literatur buku-buku lainnya yang berbobot.

Pada akhirnya, semua kembali ke selera. Ah, selera lagi. Subjektif. Buku ini pertama terbit 2017, tak ada gaungnya, yang bisa berarti, salah satunya tak laku. Salah satunya lagi, memang tak dibahas para sastrawan, tak banyak diulas. Mungkin, ya mungkin, karena memang isinya yang tak nyaman, dan tak perlu dibahas lebih dalam. Hanya buku terbitan antah, yang hanya sesekali perlu dibuka dan dibaca lagi beberapa halaman. Ah, setidaknya, saya turut berkontribusi mengulas buku yang tak banyak dibahas ini. Saran saya untuk penulis, mungkin perlu menempatkan diri sebagai pembaca juga, agar kenyamanan menikmati fiksi bisa dirasakan banyak orang. Benang merah cerita bisa diikuti, dan itu penting.

Friksi Benang Merah, Kitab Metafiksi #1 | by Ruhlelana | Copyright 2017 (Pulau Jawa – Bali @ 1999 – 2017) | Cetakan pertama – Mei 2017 | Tata letak & Desain sampul Yogi Margana | Pemerhati aksara – Dzikra I. Ulya | Huruf Baskerville 11 | 340 halaman | Samantha School Publishing | Cianjur @ 2017 | Skor: 3/5

Untuk para pecandu fiksi.

Karawang, 100623 – Gina Sicilia – Nobody’s Darling But Mine

#30HariMenulis #ReviewBuku

Thx to Ade Buku, Bdg
HBD Sherina Munaf – 33 tahun

Kiat-kiat Menyembuhkan Lara #10

“Namun aku tak ingin menjadi / apa yang selalu kau ingat / sebab jika kau selalu mengingatku / aku sudah tidak lagi denganmu.”

Kumpulan puisi yang begitulah. Tampak indah saat dibaca, tapi susah melekat lama di kepala. Begitulah, jenis ini memang tak mudah melekat permanen. Kudu special pakai telur. Tak beda dengan yang ini. Ditulis oleh pasangan, suami istri. Tampak personal dengan tema-tema kehidupan sehari-hari. Seperti curhatan bagaimana hubungan mereka lebih intim, lebih dekat lagi dengan cara mereka. Tips mengikat erat pasangan.

Beberapa yang tampak bagus sudah kutandai, jadi pas suatu hari butuh referensi kata-kata puisi bakalan kubuka lagi, kubacai lagi. Pola menikmati puisi bagiku lebih seperti itu, makanya kudu beli buku fisik. Menandai, apalagi dengan aroma khas buku, harus dengan pensil. Tipis saja tandanya, misal di halaman 38. Saya lingkari tanda (n) di akhir, yang artinya puisi ini bagus. Saya kutip ya, judulnya Kesaksian Luka:

“Kesedihan terpenjara / dalam puisi // berulang kali hendak kutulis / ingatanku menahannya / dari setiap pecahan resah / dikekalkan sepi // di antara sunyi puisi / namanya muncul tiba-tiba / menyergap mimpi // menurunkan gerimis duka / bersama detak jam / tenggelam dalam kenangan.”

Kenapa saya bilang bagus, menurut pemikiran saya yang awam bersyair ini. ada dua bagian yang menarik. Pertama pecahan resah dikekalkan sepi. Resah, yang merupakan kata sifat dikekalkan seolah kata benda. Dan yang melakukannya adalah sepi, sebuah frasa keadaan. Sepi adalah tak berbunyi, jadi bagaimana dikekalkannya? Pakai es? Kedua menurunkan gerimis duka. Duka adalah keadaan sedih, lawan dari gembiran, dan itu dibentak perlahan seolah rintik air hujan. Ditambah jawab bersama detak jam, sebuah waktu yang mengiringinya.

Hal yang sama kulakukan di halaman 20m saya lingkari tanda (a). artinya ada yang menarik, dan yang menarik di sini, tak menyeluruh sebenarnya hanya sebagian, maka kukutip sebagian yang kumaksud. Berjudul lumayan panjang, Bagaimana Kau Jalani Hari Jika Setiap Pagi Bangun dengan Patah Hati?:

“beribadah, katamu, mampu menumbuhkan hati / sebagaimana cahaya matahari menghidupi pepohonan / dan tuhan akan menumbuhkan hatimu sepanjang hari / demi bisa patah lagi esok pagi.”

Di sini disampaikan, tuhan menumbuhkan hati, lalu esoknya bakalan patah lagi. Ya, itulah kehidupan. Esok selalu memberi harapan, tapi juga rasa putus asa, patah bahkan di pagi hari. Semua ujian untuk jiwa-jiwa yang sedih.

Satu lagi yang kubulatin, halaman 100 berjudul Pagi Hari Pertama Seorang suami:

“ia mengecup kening / matamu terbuka // “Kopi atau Pelukan” // aku memeluknya / lebih lekat / dari semalam”

Saya lebih menyoroti pembukanya, kecupan kening. Ah, semua saja kalian bisa konsisten. Dulu pas mula-mula nikah, bisa bertahan lima tahunan-lah, kegiatan kecup kening siapa yang bangun duluan kepada pasangan (saya lebih sering bangun duluan, jadi kecupanku lebih banyak) kami lakukan. Sederhana, tapi sebuah rutinias romantis. Namun ternyata susah untuk konsisten, berjalannya waktu, kesibukan di luar yang menyita pikiran, hingga slek, masalah rumah tangga yang bertubi, rutinitas ini perlahan hilang. Entah kenapa. Saya sendiri tak tahu, tahun ketujuh (seingatku ya) memang tahun berat, seharusnya saling menguatkan, tapi musibah itu sempat membuat kami down. Dan beberapa berubahm termasuk rutinitas pagi hari ini. Makanya salut, buat kalian yang menikah lebih sedekade dan masih romantis.

Satu poinnya lagi, kopi atau pelukan? Dulu setiap pagi, saya dibuatkan kopi, kuupah pelukan. Kegiatan bercinta terakhir, minggu lalu (saat ini lagi M), istri berbisik “aku ingin lebih banyak dipeluk di pagi hari.” Ternyata tak bertahan lama, pelukan itu hanya saat usai bercinta. Entah, kenapa. Mungkin karena, istri juga mulai jarang membuatkan secangkir kopi, sekalipun kopi sachet. See, beratnya konsisten.

Entah ini kebetulan atau memang polanya banyak yang mirip. Banyak sekali kutemui puisi ditulis dengan mematikan huruf kapital. Padahal judulnya sudah mengikuti kaidah baku dalam penulisan Bahasa Indonesia.misal halaman 5, judulnya Tamu Tak Dikenal. Ketika kata menggunakan kaidah judul dengan huruf besar di depan. Sementara isinya, semua adalah huruf kecil.

“aku menemukanmu dalam hati / kau meringkuk sunyi / pada urat yang akan terputus sepi / siapa kau menghuni tak permisi?”

Tak peduli itu di depan, atau nama orang, nama kota, atau bahkan tuhan. Aturan KBBI tak digunakan. Semuanya huruf kecil. Kenapa ya? Ada yang bisa jelaskan? Apakah aturan penulisan di puisi itu sah ditabrak? Atau memang di situlah seninya? Pokoknya banyak puisi berjenis seperti ini. Huruf kecil semua isinya!

Oiya, satu lagi. Kelebihan kumpulan puisi salah satunya ditemani ilustrasi-ilustrasi ciamik. Sebagai teman baca, bayangan mengimaji. Berwarna pula. Banyak kutemui, gambar-gambarnya bahkan banyak yang lebih bagus ketimbang isinya. Walaupun, tak semua kumpulan puisi ditemani gambar. Di sini ilustrasi itu berbicara, halaman 56. Gambarnya tampak sederhana. Seseorang menunduk dua pipinya berona bulat merah seperti gincu yang biasa digunakan badut, bajunya putih, nah yang istimewa, dari bagian bawah mata hingga ke atas diselubungi awan. Membentuk rok terbalik, itu memberi makna pikiran yang cerah. Awannya putih bersihm sisi langitnya biru, bukankah ironi seorang menunduk (sedih) sementara isi kepalanya cerah?

Atau halaman 117, sebuah wajah terlepas ke depan, wajah itu merem. Tampak mancung (dan sepertinya perempuan), sama pipinya bergincu bulat merah, nah yang aneh adalah yang mendorong wajah maju itu adalah sebuah tangan kiri, keluar dari dalam mulut. Mambayangkannya aja ngeri. Wajah yang terlepas, dorongan tangan, di mana di atas telapak tangannya berserbuk lima batu (salah satunya bercincin seperti saturnus), dan butiran debu. Saya melihatnya ini semesta, bintang-bintang dan planet, meluber keluar dari kepala manusia.

Beginilah review kumpulan puisi dariku, maaf kalau kurang berkenan. Saya memang jarang membaca puisi, tapi saya belajar. Dengan membeli banyak kumpulan puisi, dibacai, diulas, dibacai lagi, diulas lagi, begitu terus. Setidaknya saya berkontribusi ulasan di blog ini untuk dunia perpuisian. Terima kasih.

Kiat-kiat Menyembuhkan Lara | by Niskala & Asef Saeful Anwar | Penyelia naskah Ipank Pamungkas | Tata letak Werdiantoro | Ilustrasi isi & sampul Fajarbo | Cetakan I, 2020 | ISBN 978-623-7778-18-9 | x + 126 hlm.; 13 x 19 cm | Penerbit Shira Media | Skor: 4/5

Karawang, 100623 – Dave’s True Story – Ned’s Big Dutch Wife

Thx to Mas Daniels, Yogya

#30HariMenulis #ReviewBuku