![](https://lazionebudy.wordpress.com/wp-content/uploads/2023/06/img_20230611_2147026307102614245887656.jpg?w=768)
Friksi Benang Merah #11
“Lu juga lama-lama tinggal di sini feelingnya pasti nambah tajam. Masa telinganya tiap saat digembur suara sungai, hatinya ga mau baik? Iya, ga Banthe?” – Sony
Novel yang adidaw. Isinya campur-campur, entah maksudnya apa. Narasinya acak, tak nyaman dibaca. Maksudnya baik, tampil beda. Nge-mix: filsafat, sastra, tasawuf, hingga sosiologi. Sayang sekali, kelebihan-kelebihan yang tersaji malah tertimpa pada kebinguangannya sendiri. Acak-acakan, tak terarah maksud cerita mau ke mana. Sudah sedari mula memang buku ini sudah tak lazim, tapi tak lazim yang konotasi. Dari mencomot nama Penyair terbesar kita melakukan pembunuhan, perjalanan portal waktu lewat pintu, hingga seni lukis yang membuncah. Sayangnya, keserba-bahasa-tinggi itu tak disertai dengan kenyamanan. Orang akan mengira, ini ditulis seenaknya tanpa memperhatikan struktur, dan dengan demikian bebas ditafsir. Saya sendiri sempat lelah, dan akan meletakkan buku ini sahaja, sampai akhirnya Juni ini saya harus membuat ulasan 30 Hari, dan karena tanggung, saya selesaikan. Lelah, dan mengerutkan kening. Seperti salah satu ungkapan di sini, “Jadi domba-domba logika omong kosong filsafat para filsuf sok filosofis.”
Memasukkan nama penulis dalam cerita antah, tak masalah. Perannya memang penutur, narasi acak. Namun, ya ampun buat apa? Lagian, ini (kemungkinan) nama pena, bukan nama asli. Dalam bahasa Jawa, ruh, bisa diartikan jiwa. Dan lelana, berkenala. Persis seperti dalam cerita yang melalangbuanakan jiwa. “Aku kedinginan, Ruhlelana… aku butuh jaket, sedang musim dingin di kepalamu, banyak salju.”Daftar isi dibuat seolah kaset pita, nostalgia Side A, Side B, tapi malah ditambahkan Side C. Lalu memakai nama Prelude sebagai pembuka, dan Epilog sebagai penutup seolah memang tak ada aturan baku. Kutipan juga ditemukan di banyak tempat, salah satunya Kata Borges, “Aku tidak punya pesan apa-apa, aku hanya menyalin sebuah sistem kebingungan yang dengan hormat kita sebut filsafat itu ke dalam bentuk sastra.”
Daftar isi dibuat seolah kaset pita, nostalgia Side A, Side B, tapi malah ditambahkan Side C. Lalu memakai nama Prelude sebagai pembuka, dan Epilog sebagai penutup seolah memang tak ada aturan baku. Kutipan juga ditemukan di banyak tempat, salah satunya Kata Borges, “Aku tidak punya pesan apa-apa, aku hanya menyalin sebuah sistem kebingungan yang dengan hormat kita sebut filsafat itu ke dalam bentuk sastra.”
Jadi apa yang bisa saya ceritakan? Ngalir saja. Tak perlu memedulikan nasib karakter, tak perlu khawatir takdirnya bagaimana. Dan dengan demikian, tak ada tautan emosi para tokoh dan pembaca. Entah Sony, entah Niskala, entah Chairil, entah Beth, tak peduli ngapain, terjang saja. “Aku melihat sebuah lagu tanpa ombak, tanpa akhir. Tak ada apa-apa.”Makanya, mau bertahan hidup, atau mati para tokoh seolah capung terbang yang perlu diperhatikan, atau semut hitam yang berbaris di tanah, tak perlu diamati. Rahasia kehidupan makhluk kecil yang biarkan saja. “Rahasia akan tetap menjadi rahasia hanya jika kamu kabarkan kepada orang mati.”
Makanya, mau bertahan hidup, atau mati para tokoh seolah capung terbang yang perlu diperhatikan, atau semut hitam yang berbaris di tanah, tak perlu diamati. Rahasia kehidupan makhluk kecil yang biarkan saja. “Rahasia akan tetap menjadi rahasia hanya jika kamu kabarkan kepada orang mati.”
Malah, yang perlu diperhatikan dan dapat notifikasi adalah isinya beberapa terasa puitiknya. Contoh, “Sebenarnya dia tak pernah sendirian, denyar-denyar lampu mobil selalu menemainya ke manapun dia berjalan, atau ditemani hujan.” Sepintas saja, ini bermaksud memberitahu kita, sendiri itu tak ada. Selalu ada teman, tinggal ambil sudut mana, dan mau bersama siapa. Siapa di sini bebas, sebab seperti yang disampaikan, lampu dan hujan menemani, artinya kalau mau bilang, tembok kek, batu kek, angin kek, ga apa. Tak harus ditemani manusia, atau makhluk hidup.
Saya beberapa kali malah mengingat buku-buku novel sastra yang digulirkan, maksudnya cara bernarasinya. Terakhir baca Knut Hamsun dalam Pan, di mana hutan mendominasi sebab sang karakter memang sedang liburan, berburu. Di sini hutan dan angin seringkali dinukil. Sejenis keheningan tidak wajar yang datang dari hutan, bahkan sekadar selintas lalu ada seekor nyamuk menyedot darah, mati ditepuk Beth. Kata-kata digulirkan, seliar mungkin. “Aku tidak permah merasa kehilangan dirinya, sebab mungkin dia memang tidak pernah benar-benar hadir dalam hidupku.”
Hidup di dunia memang sementara, saat kemakmuran dihitung dengan materi, maka disitulah hal-hal umum diapungkan. Makanya masuklah filsafat yang coba menjelaskan dari mana, mau ke mana. Nalar jalan, dan teori diapungkan. “Tapi kita miskin, kita tidak punya modal materi untuk melawan itu, kita hanya punya nalar dan tekad hati yang kuat.”
Karena ini novel bebas, syair-syair bertebaran. Kutipan puisi juga penuh, dan bahkan sufi yang meninggal dhukum mati Al-Hallaj. Benar-benar bebas, dan acak. “Sensasi gigitan pertama tetap mengejutkan lidahku seperti sewajarnya. Ciumanmu kuingat bertengger di dahan.”
Dan seperti nasihat sang karakter di akhir, “Sisanya sampah-sampah ingatan kita, berlabuh di muara pantai selatan.” Isi novel ini juga tak perlu diingat, seperti sampah-sampah memori yang akan hanyut digerus masa, dan literatur buku-buku lainnya yang berbobot.
Pada akhirnya, semua kembali ke selera. Ah, selera lagi. Subjektif. Buku ini pertama terbit 2017, tak ada gaungnya, yang bisa berarti, salah satunya tak laku. Salah satunya lagi, memang tak dibahas para sastrawan, tak banyak diulas. Mungkin, ya mungkin, karena memang isinya yang tak nyaman, dan tak perlu dibahas lebih dalam. Hanya buku terbitan antah, yang hanya sesekali perlu dibuka dan dibaca lagi beberapa halaman. Ah, setidaknya, saya turut berkontribusi mengulas buku yang tak banyak dibahas ini. Saran saya untuk penulis, mungkin perlu menempatkan diri sebagai pembaca juga, agar kenyamanan menikmati fiksi bisa dirasakan banyak orang. Benang merah cerita bisa diikuti, dan itu penting.
Friksi Benang Merah, Kitab Metafiksi #1 | by Ruhlelana | Copyright 2017 (Pulau Jawa – Bali @ 1999 – 2017) | Cetakan pertama – Mei 2017 | Tata letak & Desain sampul Yogi Margana | Pemerhati aksara – Dzikra I. Ulya | Huruf Baskerville 11 | 340 halaman | Samantha School Publishing | Cianjur @ 2017 | Skor: 3/5
Untuk para pecandu fiksi.
Karawang, 100623 – Gina Sicilia – Nobody’s Darling But Mine
#30HariMenulis #ReviewBuku
Thx to Ade Buku, Bdg
HBD Sherina Munaf – 33 tahun