Dari Festival ke Festival #1


“Palajaran apa yang dapat kita ambil dari mengamati hubungan antara sejarah Amerika dan film-film Amerika. Bisakah analisis yang sama kita lakukan terhadap film-film kita?”

Alasan pertama saya beli buku ini adalah ini tentang film festival. Dulu tahun 2000an saya berpikir bahwa film festival adalh film-film seni, film anti-mainstream. Film yang tak tayang di bioskop umum, atau kalaupun tayang terbatas. Jadi saya penasaran seperti apa isinya. Ternyata ini buku cetak tahun 1994, jadi isinya banyak membahas film di tahun tersebut mundur. Festivalnya juga tak main-main, di banyak Negara. Penulis datang langsung, menonton langsung, sampai diskusi langsung. Jelas bukan orang sembarangan sebab untuk dapat menikmati film seni, tak semua orang bisa. Untuk tinggal beberapa hari di negeri orang jelas butuh modal gede. Dan yang terpenting, untuk bisa dapat tiket di festival penting sekali punya koneksi. Itu semua memberi gambaran bahwa Salim Said orang penting di masanya, di masa prime-nya jelas sahabat dan koneksinya luas.

Kedua, di zaman digital saat ini semua film-film seni yang dipapar pastilah lebih mudah dicari. Makanya, saya buat daftarnya. Film saat ini tetap saya ikuti, walaupun lebih banyak Oscars-nya, sesekali film mainstream. Atau film daging, tapi jelas selalu saya selipkan film jadul. Dengan buku ini, saya seolah disortirkan.

Ketiga, tatanan film festival jelaslah ada aturannya untuk masuk. Di sini kita tak dijelaskan bagaimana film-film itu dipilih. Apakah dikirimkan, apakah ditunjuk, atau apakah keduanya. Yang jelas butuh modal untuk promosi, butuh pertemanan untuk masuk. Nah, tahun 2010-an saya beberapa kali nonton film festival di Jakatarta. Selain masih miskin untuk travel ke kota-kota lain, apalagi luar Pulau Jawa, ke Jakarta memang banyak teman yang menyambut, makanya sesekali ikut nonton. Hasilnya? Memang bagus, seperti menghormati film-film bujet kecil. Film rekomendasi dari buku ini, saya catat lima saja yang belum kutonton: The Servant, The Kommisar, An Enemy of The People, Yun’s Town, dan Farewell to False Paradise. Selain lima ini tentu saja banyak, tapi tetap kudu pilah ketat sebab memang terlalu banyak tontonan, terlalu sedikit waktu.

Terakhir, ini bakalan jadi buku cult. Langka, dan ketika nantinya kujual bakalan naik. Kubeli 35 ribu, siapa tahu nantinya jadi 100 ribu atau lebih. Apalagi, minggu lalu sang Penulis pamit, makin menambah daya jual. Sejatinya untuk koleksi, tapi kalau ada yang nawar yo gas wae.

Well, saya tak akan membahas panjang lebar isi buku. Poin pentingnya adalah, Salim Said melakukan perjalanan ke laur negeri (dari Eropa, Amerika, sampai Asia Timur), menonton film-filmnya (jelas bukan subtitle Indonesia), lalu mengulasnya di sini. Bertemu bintang-bintang ternama dari Dedy Mizwar, Arifin C. Noor, Didi Petet sampai Rosihan Anwar. Karena itu sebagian besar informasi diperoleh lewat dialog. Sulit dihindari kesan kuat bahwa film ini kurang filmis. Film filmis, lebih banyak menyampaikan ceritanya, lebih banyak menggunakan bahasa gambar dengan sedikit dialog.

Nama Kurosawa berulang kali disebut ketika Jepang dibahas. “Film-film Kurosawa adalah menghibur, tetapi sekaligus karya seni yang tinggi.” Film Lawrence of Arabia bahkan diulas khusus. Nama Rosihan Anwar disebut lebih sering, dimaklumi sesama orang Indonesia yang ditugaskan ke sana. Dan saat ulik film Perang, maka Vietnam bakalan dikupas. “Lewat peliputan perang Vietnam, kematian yang sering amat mengerikan merupakan tontonan tetap – lewat layar televise – sebelum orang-orang Amerika berangkat tidur setiap malam.” Film Apocalypse Now mengangkat persoalan ke tingkat filosofis, teror meupakan bagian dari hidup manusia, dan bukan hasil suatu kejadian historis.

Saat membahas sejarah, tentunya Chaplin terdepan. “Chaplin pada dasarnya adalah orang yang membuat film dengan prinsip audience approach. Istilah tahun tujuh puluhan yang terdengar santer di Direktorat Film, Departemen Penerangan (Deppen). Bedanya Chaplin adalah audience approach yang baik dilandasi pengamatan tentang objeknya yaitu materi yang diolah dalam film.”

Perkembangan film Indonesia sendiri patut diapresiasi setelah mati suri tahun 90-an. Bangkit 2000-an hingga sekarang. Dan festival film menjamur, seperti pengadakaan konser musik yang sudah lazim. Salut, itu semua peran banyak tangan. Salah satunya ya dari kritikus, bukan hanya dari yang profesional seperti buku ini, tetapi juga kekuatan kritik nitizen di era sekarang. Dengan sedikit teliti mengamati film-film nasional kita, sebenarnya kita dapat membaca masyarakat kita di sana. “Pemerintah seharusnya tidak membuat pilihan bagi masyarakat. Biarkanlah konsumen memilih sendiri.”

Sebab pada akhirnya, dan kenyataannya, film adalah industri. Dan untuk itu berlaku secara ketat prinsip-prinsip ekonomi. Maka semakin banyak film dibuat maka akan disortir oleh waktu, dihukum penonton. Buku ini, saya yakini cult. Dan syukurlah ada di rak saya.

Dari Festival ke Festival: Film-film mancanegara dalam pembicaraan | by Salim Said | 210 hlm: ilus.; 21 cm | Jakarta, 1994 | 791.430 79 | Desain cover Arsono dengan reproduksi lukisan Gerhard Image Abtraites 1990 | Foto dokumentasi Salim Said | Dicetak PT Penabar Swadaya | Penerbit Pustaka Sinar Harapan | Skor: 4.5/5

Untuk Herawaty dan A.H. Amparita

Basecamp Gn Gede – Bogor, 310524 – Billie Holiday – Stormy Weather

Thx to Tino, Tangerang

Tinggalkan komentar