“…Hai Cimon, beritahulah kami tentang tokoh-tokoh kejahatan yang tersembunyi…” | Nama-nama mereka mungkin pantang disebut nyaring karena akan menodai bibir karena mereka keluar dari kegelapan yang kotor dan menyerang surga, namun mereka terusir oleh amukan para malaikat…” – dari Dialoges of Chios
Ini adalah kisah yang saaaangat menyentuh, tentang seorang wanita tangguh dalam menghadapi kerasnya dunia pengadilan. Dunia pengacara tipu sana-sini, berkat buku ini saya jadi tahu betapa busuk dunia hukum betapa seluk beluk proses peradilan menjadi begitu memikat. Banyak buku sudah berkisah tentang sidang pengadilan dan ditulis dengan membosankan. Ini lain. Ini buku istimewa dan saya jadikan acuan betapa beruntungnya saya telah membacanya sehingga detail sidang jadi tahu, benar-benar buku yang bervitamin. Beberapa bagian akan membuatmu menangis karena ada karakter penting dimatikan dengan sangat menyentuh. Beberapa bagian akan membuatmu bersimpati akan kerasnya kehidupan dunia ini. Beberapa bagian pastinya akan membuatmu mengutuk ketidakadilan yang terjadi. Serba serbi perasaan ini dibuat dengan sangat memikat. Kekurangan utama kisah sang malaikat keadilan, eksekusi ending yang dramatis itu seakan ingin membuat semua Pembaca bahagia. Menurutku harusnya tetap membumi saja, mau respon apapun lebih bagus apa adanya.
Kisah sedari awal sudah memcoba mengecoh pembaca. Dengan setting New York, 4 September 1969. Sebuah sidang akan digelar dengan terdakwa seorang mafia kelas kakap. Gedung pengadilan kriminal di pusat kota Manhattan, ruang sidang nomor enam belas. Michael Moretti adalah seorang kriminal yang sudah lama diincar, kini kesempatan emas untuk menjebloskannya ke dalam penjara terbuka lebar karena sebuah kasus pembunuhan. Yang penuntut adalah Robert Di Silva, jaksa negeri senior yang sudah malang melintang yang berambisi suatu hari kelak akan ada kesempatan menduduki jabatan penting Pemerintah. Garisnya adalah Camillo Stela, anak buah Michael yang tertangkap basah dalam suatu pembunuhan sehubungan kasus perampokan. Camillo ditunjuk sebagai saksi, kunci perkara ini. Nah di sidang kelima muncullah asisten jaksa, di hari pertama itu Jennifer Parker lulusan hukum terbaik bersama lima anak muda lainnya. Hari itu sedari pagi ternyata berjalan buruk buat Parker, alarm jamnya tak berbunyi sehingga bangun dalam ketergesaan. Lalu kuncinya tertinggal di dalam ketika ia sudah siap berangkat, rencana naik bus sesuai kondisi keuangannya eh ga sempat akhirnya terpaksa taksi dimana sopirnya cerewet, nggambleh terus betapa kiamat sudah dekat. Sampai di gedung pengadilan, ia terlambat lima belas menit membuat kesal orang-orang. “Saya tak peduli maafmu itu. Jangan pernah terlambat lagi!”
“Saya tahu mengapa kalian di sini. Anda sekalian akan tetap di sini sampai kalian berhasil menjiplak otak saya dan mempelajari beberapa rahasia ruang sidang, lalu bila kalian merasa sudah siap, kalian akan pergi dan menjadi pengacara kriminal yang hebat. Tetapi mungkin ada salah satu di antara kalian – barangkali – yang cukup pandai untuk menggantikan saya kelak.” Di Silva mengangguk memberi isyarat kepada asistennya, “Ambil sumpah mereka!”
Jennifer Parker sudah mempelajari pekerjaan ini di rumah. Dia tahu bahwa kejaksaan negeri membawahi empat biro – pengadilan, perkara banding, pemerasan, penipuan – Parker adalah seorang lulusan fakultas hukum dengan status terbaik kedua. Cerdas dan percaya diri diapun memasuki ruang sidang. Dan di sinilah kehebatan Sidney dalam menyusun plot. Mencengangkan. Luar biasa indah detailnya dipetakan. Setelah dengan kepercayaan diri tinggi Parker dihempaskan, dari seorang lulusan mahasiswi terbaik dengan masa depan gemilang menjadi pecundang hanya dalam dua halaman. Dia ditangkap, diborgol dan diringkus layaknya seorang penjahat. Pagi buruknya terus berlanjut.
Kejadian itu benar-benar mengguncang Parker – dan pembaca tentunya – sehingga diapun dipecat bahkan belum genap sehari berjalan. “Saya mungkin bersalah karena saya bodoh, tapi hanya itulah kesalahan saya. Tak seorang pun menyuap saya berbuat sesuatu…” Beberapa televisi menurunkan berita dengan headline ‘Parker Yang Salah Langkah’.
Setelah kejadian mengerikan itu kita pun diajak mengenal lebih dekat Jennifer Parker. Tentang latar belakangnya dari keluarga yang taat dan kemauan kuat sang ayah untuk kuliah di hukum, sayang ayahnya keburu meninggal. Ibunya kabur dengan wanita muda yang membuatnya marah. “Wanita jalang!” seumur hidup dirinya akan membenci wanita perusak keluarga. Nantinya itu akan jadi ironi hidupnya. Merangkak dari bawah untuk bertahan hidup di kerasnya kota New York. Bangkit dari keterpurukan. Membalikkan prediksi banyak orang yang bilang karirnya habis sebelum benar-benar dimulai. Parker awalnya bak malaikat. Membantu orang-orang kecil menyelesaikan perkara, bahkan banyak yang tanpa dibayar. Dirinya benar-benar tulus membantu. Berjalannya waktu diapun mulai terkenal. Dengan kegigihan dan kerja keras, kemenangan demi kemenangan perkara diraih, membuatnya melambung. Dari membuka lembaga bantuan hukum kecil sewa ruko, kini dirinya menjelma menjadi asosiasi yang besar. Suatu ketika bahkan akhirnya dirinya berhadapan dengan Di Silva, mentornya dan Jennifer yang sekarang bukanlah Jenni lugu yang dulu. Semua perkara dilibasnya tanpa ampun.
Nah dengan kecantikan dan kecerdasannya, banyak pria mendekat. Seorang politikus bermasa depan cerah, Adam Warner. Mereka saling membutuhkan, saling mencinta. “Jadi kita akan makan siang bersama satu kali sebulan. Itu tak kan merugikan siapapun.” Jenni salah. Adam sudah menikah, walau pernikahan mereka hambar tapi tetap saja status Adam adalah suami orang. Seperti yang saya sampaikan di depan, inilah ironi. Jenni mengutuk ibunya yang kabur bersama pria lain meninggalkan ayahnya dalam penderitaan. Kini dirinya malah jadi penggangu rumah tangga orang. Seperti yang bisa ditebak, mereka saling mencinta. Apalagi yang bisa diharapkan ketika sepasang manusia saling mendamba, saling memuji, saling menginginkan. Akhirnya suatu siang kala mereka makan di hotel, magnet cinta itu melekatkan mereka ke tempat tidur. Penuturannya sadis, bergelora, khas Sidney.
Bencana datang, Jenni hamil. Adam merayu, “Apapun yang terjadi, aku ingin kau tahu satu hal – kaulah satu-satunya wanita yang kucintai dengan setulusnya.” Weleh gombal. Saat itulah rasa sakit itu datang. Jenni menuntut Adam menikahinya. Merekapun bertemu dengan Mary Beth, istri Adam. Dengan dingin Mary mengizinkan, namun ternyata semua berjalan kacau. Adam sedang menuju puncak karir politik, perceraian akan menghancurkan citra. Segala siasat dibuat Mary, Jenni kelimpungan antara maju terus atau mundur dengan posisi berbadan dua. Keputusan diambil, perceraian akan dilakukan pasca pemilu Senator agar suara Adam tak rusak.
Jennifer merasa kasihan pada Adam, karena dia tahu betapa besarnya arti pemilihan itu bagi Adam. Tapi lama-lama tentu Adam akan lupa juga. Ia akan mencoba lagi kelak, dan Jennifer akan bisa membantunya. Adam masih muda. Dunia terbentang di hadapan mereka berdua. Di hadapan mereka bertiga. Well, sekali lagi Jenni salah. Salah besar. Kejutan itu membuatnya shock, membuat pembaca kaget setengah mampus. Segalanya amburadul.
Dalam keterpurukan itulah seseorang membantunya. Hidupnya dibayangi dua orang pria. Keduanya orang hebat dan keduanya amat mencintainya. Adam sang senator dan kepala mafia, satu-satunya tempat berpaling dalam keadaan krisis. Bagaimana akhir kisah Jennifer Parker ini? Sidney benar-benar membuat pembaca mabuk kepayang untuk terus membuka lembar demi lembar penuh tanya. Sampai kalimat terakhir berbunyi, “Namun masa lalulah yang tampak olehnya, dan dia mencoba mengingat-ingat kapan masa bahagianya berakhir.”
Buku ini nyaris sempurna. Ya, nyaris. Di antara puja-puji itu ada dua hal yang mengurai skor sempurna itu. Pertama fakta hasil pemilu agak berbelok dari kisah ini sehingga sedikit menggangu. Kedua eksekusi endingnya sedikit tergesa ketika Jenni bimbang diantara pilihan sulit. Harusnya Sidney berani membuat pilu seperti eksekusi berani mematikan karakter penting di tengah. Walaupun keberanian mematikan sang tokoh itu suatu ketika mendapat protes pembaca karena sungguh kejam, tapi memang itu salah satu keberanian dalam memacu andrenalin penikmat novel.
Dalam biografinya, The Other Side of Me, Sidney menulis: Dalam Rage of Angels aku membiarkan seorang mati dan aku mulai menerima surat bernada benci. Seorang wanita menyuratiku dari timur memberiku nomor telepon dan berkata, “Teleponlah aku, aku tidak bisa tidur. Mengapa kau biarkan dia mati?” Aku mendapat begitu banyak surat serupa sehingga ketika aku mengerjakan miniserinya, karakter itu kuhidupkan.
Luar biasa ya. Betapa buku bisa mengubah banyak kehidupan. Bahkan di biografinya itu Sidney berujar, “Para perempuan telah memberitahuku bahwa mereka telah menjadi pengacara karena Jennifer Parker, pahlawan wanita dalam Rage of Angels!” Wow…
Malaikat Keadilan | By Sidney Sheldon | Diterjemahkan dari Rage Of Angels | copyright 1980 | Alih bahasa Suwarni A.S. | GM402 97.621 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan kelima belas, Desember 2006 | 616 hlm; 118 cm | ISBN 978-605-621-6 | Buku ini dipersembahkan untuk Mary tercinta, ekajaiban dunia yang kedelapan | Skor: 4,5/5
#7/14 #SidneySheldon Next review: The Stars Shine Down
Karawang, 080616 – Nikita willy – Tafakur
#8 #Juni2016 #30HariMenulis #ReviewBuku
Ping balik: Reasonable Doubt: Mind Game Becomes Corny Thriller | Lazione Budy
Ping balik: Gentayangan – Intan Paramaditha | Lazione Budy
Ping balik: Section 375: Drama Pengadilan Mencipta Kerut Kening Berlapis | Lazione Budy