Blue Willow


“Ayah percaya ada banyak hal yang menjadi pelengkap bagi kebutuhan makan dan tempat tinggal. Membaca adalah salah satunya.”

Ini adalah cerita anak dengan mengedepankan narasi ketimbang isi cerita. Narasinya bagus, mengalir dengan detail menyenangkan dalam bayang. Air mengalir di sela-sela memancing ikan lele, pohon-pohon berdesir dengan pemandangan perkebunan hijau. Pondok terdapat di tengah hijau daun, langit tampak cerah, dst. Namun untuk cerita, jelas kurang oke. Semua karakter jelas hitam-putihnya. Siapa baik, siapa jahat, dengan alur yang mudah ditebak, si baik akan mengalahkan di jahat. Yang baik akan unggul pada akhirnya. Mungkin bermaksud memberi buku anak dengan hikmah membuncang, tapi ya sekadar itu. Sedang ilustrasinya sungguh biasa. Dicetak hitam putih, gambarnya kurang rapi dan tampak masih kasar.

Kisahnya tentang Janey Larkin, mengambil sudut pandang pertama. Semua kejadian dari dirinya memandang keadaan. Dibuka di pondok Ngarai San Joaquin, tempat tinggal baru keluarga Larkin. Ayahnya adalah pemetik kapas, ibunya rumah tangga. Mereka baru saja pindah ke sana. itu bukanlah kos/kontrakan yang legal, itu adalah sebuah pondok tempat istirahat para petani atau tukang kebun yang mereka dapatkan begitu saja, kosong. makanya ditinggali, berharap tak ada uang sewa yang dibayarkan. Pondok sederhana, sebuah ruangan itu benar-benar mirip kandang ayam dan juga tidak lebih besar.

Tetangga mereka adalah keluarga keturunan Meksiko, keluarga Romero memiliki beberapa anak, salah satunya Lupe yang sepantaran dengan Janey. Makanya mereka berkenalan, saling sapa mengakrabkan diri, menjadi teman. Lupe mulanya tampak sombong, memandang rendah Janey yang memang selama ini dari keluarga kurang mampu, nomaden. Tinggal di mana ada perkebunan yang mau menyewanya sebagai buruh pemetik kapas. Namun, berjalannya waktu mereka akrab dan saling mengisi.
Sayangnya, memang keluarga Larkin ini hanya tinggal sebentar-sebentar di setiap perkebunan. Jadi usaha untuk mengakrabkan diri dengan tetangga/teman baru selalu dibatasi. Janey dengan segala kenangannya yang tertinggal.

Ibu Janey sakit, tak punya uang. Mereka kebingungan mencari obat, tak bisa juga dibawa ke rumah sakit karena kendala biaya. Untung mereka dikelilingi orang baik. Dokter Pierce memberi perawatan, memberi reset serta uang untuk menebusnya. Sebab sakitnya sudah parah, seharusnya sudah rawat inap! Harus dilakukan perawatan intens, tapi memang Tuhan mengirim orang-orang baik untuk membantu umatnya.

Sekolah Janey juga tak rutin, kadang masuk, kadang main, makanya malas mengakrabkan diri sebab segalanya sementara. Tak seperti sekolah pada umumnya yang murid-murid berangkat pagi pulang siang dan kembali mengulangnya keesokan harinya. Janey disekolahkan seperti sekolah darurat, kadang ada gurunya, lebih sering kosong. Ketika sekolah lain naik kendaraan jemputan, ia hanya diantar ayahnya, sesekali. Sedih membayangkan anak sekecil itu berjuang melawan kerasnya hidup.

Janey memiliki piring peninggalan neneknya, piring dari neneknya nenek, neneknya nenek ini merupakan barang favoritnya. Mungkin di mata orang awam tak guna, hanya piring tua tak bernilai, tapi bagi Janey merupakan barang istimewa, sebuah piring bergambar yang bisa bercerita. Berilustrasi pohon willow sebagai lanskap utama, burung terbang di langit, anak berjalan di dekat jembatan dengan air mengalir di bawahnya. Dan rumah! Ya rumah sebagai tempat tinggal ideal. Rumah tetap sebagai impian. Seolah hidup, seolah nyata. Rasa terima kasihnya lebih besar karena uang itu segera habis, sedangkan kata-kaya “Sungai-sungai yang mengalir di tempat gersang” menjadi miliknya selama-lamanya. Kata-kata itu menjadi sesuatu yang tiada habisnya seperti piring wilow.

Masalah muncul kala seorang pekerja perkebunan datang meminta uang sewa, Bounce Reyburn bukan pemilik perkebunan, ia orang kepercayaan bos. Ia hanya penanggungjawabnya, saat melihat pondok dihuni keluarga ia datang dan meminta uang sewa. Alot dan tegang sebab memang tinggal di situ tanpa izin adalah salah, tapi meminta uang sewa semena-mena juga salah, ayah Janey untung cerdik, meminta kuitansi. Dengan kertas seadanya, ditulislah serah terima tersebut dengan tandatangan dan nama jelas. Barang ini jadi barang bukti penting untuk eksekusi ending.

Hari-hari Janey sejatinya menyenangkan. Ke pekan raya sama keluarga Lupe, naik komidi putar, makan permen, sampai ada sebuah bus perputakaan keliling. Penuh buku, membuatnya bahagia. Pada dasarnya memang Janey ini terpelajar. Seringkali diingatkan ayahnya untuk baca dan memahami al kitab, karena memang di rumah adanya bacaan itu. Makanya menemukan tumpukan buku membuatnya melayang. Bertemu bu guru Nona Peterson, guru favoritnya.

Ada lomba memetik kapas dengan hadiah puluhan dolar. Jadi lombanya memetik kapas di masa panen, dibantu asisten. Hasil petikan tetap dibayar sesuai haknya, lalu ditimbang, siapa yang paling banyak dapat hadiah. Nomor 1-3 tentu besar, 3 berikutnya juara harapan. Ayah Janey semangat, semangat cari hadiahnya, dibantu ayahnya Lupe. Hasilnya, luar biasa. Minimal keperluan Janey seperti baju, lalu ban kendaraan bekas tapi bagus akhirnya terbeli, serta keperluan dapur. Motivasi orang miskin memang tinggi kalau masalah uang. “Apa lagi yang kurang sekarang? Kita sudah cukup kenyang. Ada sedikit uang di kantong, dan atap untuk berteduh. Aku belum pernah menyaksikan tempat yang lebih mennenyangkan daripada tempat ini.”

Lalu acara mancing lele di sepanjang sungai, membawa bekal makanan untuk pesta kebun. Jadi hasil mancing, langsung dieksekusi diang itu juga, buat makan siang keluarga. Makan di bawah pohon rindang dengan gemericik aliran sungai, sungguh syahdu. Saat kedua orangtua istirahat rebahan di atas tikar, Janey jalan-jalan petualangan. Alangkah terkejutnya, saat melihat pemandangan seperti di gambar piring willow! Seolah ia memasuki lukisan tersebut. Dalam keterpukauan, malah ketemu penjahat Bounce beserta anjing penjaganya bernama Si Gawat yang merasa terusik Janey masuk ke pekarangan rumahnya. Cekcok itu malah menghasilkan seplastik telur sebab sang pemilik lahan Pak Anderson datang melerai dan meminta maaf.

Puncak konfliks terjadi kala keluarga Janey ini harus pergi sebab panen kapas sudah selesai, maka selesai pula tinggal di pondok tersebut. Belum pernah Janey meninggalkan begitu banyak hal di belakangnya. Dengan piring willow di tangan Bounce, sebagai ganti pembayaran sewa pondok, Janey melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan seorang anak 10 tahun. Ia melakukan perlawan terakhir.

Ini adalah novel anak dengan tema mendasar. Dari keluarga migran, mendamba kehidupan normal. Pekerjaan normal, dan yang utama rumah tinggal tetap. Tema pemenuhan kebutuhan pokok: sandang, pangan, papan. Ketiganya di sini sama-sama dominan. Janey senangnya punya baju baru dari hadiah lomba. Keluarga ini untuk bisa makan saja susah, mengesampingkan kebutuhan lainnya. Dan yang utama, kebutuhan tempat tinggal permanen. Menjadi krusial sebab memang yang namanya rumah itu mahal. Kehidupan kelas bawah di Amerika era 1930-an yang disajikan dengan pandangan anak-anak. Happy ending.

Kisah Sebuah Piring | by Doris Gates | Ilustrasi Paul Lantz | Judul asli Blue Willow | 189 hlm; 19 cm | ISBN 979-38130-7-5 | Copyright 1940, N.Y | Alih bahasa Rahmat Widada | Editor SM Anasrullah | Desain sampul dan tata letak Windutampan | Penerbit Liliput | Cet. 1 – Yogyakarta, Maret 2005 | Skor: 4/5

Karawang, 060524 – Billie Holiday – A Foggy Day

Thx to Andre F, Jkt

Tinggalkan komentar