Tiya


“Ya, Tiya, inilah kehidupan, jika kau menganggapnya biasa-biasa saja, kau tetap hidup, tetapi bila kau menganggapnya terlalu serius, kau binasa.”

Mendayu-dayu penuh petuah. Melimpah ruah, sampai membuat mual. Dasar cerita begitu lemah sehingga, hikmah cerita yang sejatinya harusnya jadi tambahan buku malah jadi landasan untuk jadi tulang punggung. Ini salah, dan tak terlalu berkesan. Dengan label the Alchemist-nya India, apa yang disampaikan memang mirip. Dalam artian, hikamh cerita dan kutipan-kutipan bijak lebih menonjol ketimbang inti cerita. Dan itu salah. Kaau The Alchemist tentang syukur dengan pemburuan harta karun sebagai cerita, di Tiya temanya juga syukur dengan pencarian makna hidup sebagai bekingnya. Sama-sama menawarkan cerita pengembaraan, berpetualang keluar dari rutinitas, yang didapat adalah tekanan hidup, kerasnya kehidupan. Dengan berpulang, orang-orang sekitarlah yang patut disyukuri. So, remaja atau seekor burung, sama saja. Ini tak lebih dari cerita lemah dengan nasehat membuncah.

Kisahnya tentang burung beo bernama Tiya yang bosan di rumah pohon besar Beringin rindang. Bosan akan rutinitas sekalipun punya banyak teman dan tetangga baik-baik. Suatu hari ia mendapati suara antah tak berwujud, sebut saja ‘Han’, yang membisikkan rencana keluar kandang. Berpetualang, melawan dunia. Mengajak terbang ke dunia liar. Entah itu suara tuhan atau suara setan, Hans lantas menjadi pembimbingnya. Sesekali suaranya muncul memberi tahu tindakan apa yang pantas dilakukan dan apa yang patut jadi solusi. Di sini burung dan hewan lainnya bisa berpikir, berkomunikasi, dan menjalin sekutu. Jadi jelas ini fabel dengan kearifan Timur. “Aku penasaran ingin melihat Tuan Hans, tapi belum terlalu ingin melihatnya, maka taka da yang terjadi. Itu Hans, hanya dengan memikirkannya dia hadir di sana. hans, kau imajener.”

Tiya dengan keberanian samar terbang ke tempat antah. Meninggalkan pohon beringin! Itu rasanya adalah sesuatu yang berat untuk ditanggung. Ada lebih banyak kehidupan daripada di pohon ini. Ketika kau memulai, sisanya akan mengikuti. “Mengapa kau ingin terbang dari rasa aman menuju ke keadaan yang tak aman?”

Kunjungan pertama Tiya adalah sebuah lapangan raksasa dengan anak-anak bermain bola, terjadi kericuhan dengan teriakan curang berulang. Lalu mereka berhenti gaduh saat melihat Tiya, mendekat lalu mencoba mengambil bulunya. Tiya kabur sebelum jadi korban buruan. Mengejutkannya, menjadikannya takut akan manusia.

Kedua ke sebuah daratan yang terang, penghuninya bercahaya, menyebut atau memperkenalkannya sebagai Fay. Godaan muncul sebab ini sungguh memberi kenyamanan. Kerumunan Fay itu menjadikan Tiya sebagai tamu istimewa. Tapi hanya sementara, sebab ternyata cahaya itu berisi sisik-sisik tajam menyakitkan. Mereka berpelukan dalam luka.

Dan seterusnya. Dari satu komuni ke komuni lain, dari satu masyarakat satu ke masyarakat lain. Semua memberikan nasehat makna hidup, memberi pelajaran akan pentingnya kebijakan, syukur, sampai kesabaran. Semuanya template tentang itu, tak lebih. Makanya setiap Tiya kejepit akan mampus, percayalah ia akan selamat. Ia akan terbang k eke tampat lain untuk mengambil hikmah kehidupan, memberinya pengalaman, mengajarkan kepada kita bahwa hidup keras, maka bersyukurlah.

Jadi apa yang bisa kita ambil hikmahnya? Jalani aja hidup, ngalir. Tiya hanya representasi manusia labil yang mencari jati diri. Cocok untuk usia awal 20an atau remaja yang sedang bersiap merantau. Untuk manusia usia di atas 30, seharusnya sudah setle dengan keadaan, hanya bisa menasehati, hanya bisa memberi wejangan kaum muda.

Saking banyaknya nasehat atau kutipan, sampai pengen muntah, sampai menjurus muak. Saya ketik ulang saja sebagian yang bisa saya tangkap.

Ada lebih banyak hal penting di dunia ini daripada idealisme yang tak berguna.

Aku terbang meninggalkan pohon beringin menuju tempat yang tak kuketahui – melwati tempat entah berantah – mencari entah apa.

Dituntun oleh masa laluku, didorong oleh keberadaanku dan ditarik oelh masa depanku, aku terbang mencari sesuatu yang tak kuketahui.

Aku terus terbang meskipun perang batin itu memperlambat kecepataku.

Di belakangku adalah anak-anak pengacau, dan di depanku adalah ketidakpastian. Maka, aku terus terbang.

Aku telah mendarat di daratan yang indah. Sebenarnya daratan yang indah sempurna.

Apa pun yang lebih dari itu tak ada maknanya; dan apa pun yang kurang dari itu, tak akan mengurangi kemegahannya.

Membunuh makhluk lain atas nama cinta dan persahabatan adalah aktivitas favorit di waktu senggang mereka.

Kemarahan meniupku seperti balon. Aku adalah burung yang bebas – bebas bertengger, mengobservasi atau berkicau.

Keberadaannya yang tak berwujud menenangkanku dan nasihatnya menyelamatkanku dari kekakuan yang lebih lagi.

“Tak ada satupun makhluk yang aneh, Tiya. Kita menghadapi apa yang kita ciptakan, dan kita menciptakan apa yang kita inginkan. Tak ada satu pun pengalaman yang sia-sia dalam hidup ini.”

Kita merasa kasihan pada segala sesuatu di sekeliling kita dan meneteskan air mata bagi mereka. Inilah cara kita melayani tuhan.
Sukacita atas kesuksesan mereka berada pada kesenangan mereka karena kejatuhan yang lain.

Tempat itu memiliki kekuatan untuk memenjarakan setiap pikiran dan membatasi kemampuannya untuk merasa dengan benar.
Seperti kejadian-kejadian sebelumnyam aku mulai berfilosofi. Inilah hidup, pikiranku, jauh-jauh kau pergi untuk menyelamatkan seseorang tapi malah terjebak sendiri.

Tetaplah tak acuh, keterlibatan membunuhmu, ketidakpedulian membebaskan.

Aku juga tidak melarikan diri dari kata-katanya, atau pengejeknya seperti dulu.
Melekat pada satu pengalaman akan membatasimu. Endingnya sendiri sudah sangat ketebak. Balik lagi ke pohon beringin bak seorang tua yang sudah petualang ke segala tempat, menekuri usia senja, menjadi tetua yang memberi wejangan kepada burung-burung lain di pohon tersebut. Sebuah representasi kehidupan manusia yang berani merantau, pulang selamat dengan segudang cerita. Tak lebih… seperti kata Hans, “aku bisa meraih jauh lebih banyak dari yang kupikirkan.”

Tiya | by Samarpan | Diterjemahkan dari Tiya: A Parrot’s Journey Home | HarperCollins Publishers Indioa, 2009 | Penerjemah Meidyna Arrisandi | Penyunting Dhewiberta | Perancang sampul Tyo | Ilustrasi isi Nida | Pemeriksa aksara Neneng Fatimah | Penata aksara Gabriel | Penerbit Bentang | Cetakan pertama, November 2010 | x + 194 h; 20.5 cm | ISBN 978-602-8811-14-9 | Skor: 3.5/5

Karawang, 160524 – Etta James – Don’t Explain

Thx to Ade Buku, Bdg