Lain Waktu


“Aku benar-benar telah jatuh, Srikandi. Sepasang mataku tidak lagi melihat.” / “Seperti cinta itu buta?”

Buruk. Ini yang saya maksudkan, buku ngadik-ngadik, kebanyakan gaya, inginnya besar dengan menyebut orang-orang besar, ceritanya bah. Payah sekali. Maksudnya bagus, menghadirkan khazanah sastra dengan menyebut banyak tokoh dunia, disatukan, diabsurdkan, tapi apa daya tak sampai. Lemah segala-galanya. Perpaduan tokoh asing dan lokal sungguh buruk jadinya, lintas generasi lintas waktu, menembus apapun yang bisa diketik tangan seolah ngasal. Bayangkan saja semua tokoh ini diaduk-aduk: Columbus, Srikandi, Bill Gates, Nawangwulan, Marco Polo, Margaret, Gil D. Roger, Sisilia, Elizabeth, Siti Hajar, Varco da Gama, Margono, Geronimo, Kenshin, Pak Dhe dan Bu Dhe, dst. Nama-nama tenar lintas generasi disatukan? Hadeh…

Kisahnya acak, jadi tak perlu risaulah apa yang terjadi. Ngalir saja sebab sedari pembuka saja, para tokoh mau ke mana atau ngapain sudah tak penting. Jadi jelas, ini gagal menautkan emosi pembaca. Gagal total. Tak ada khawatir-khawatirnya, tak ada rasa was-was, bahkan di pertarungan epic Margono dan Kenshin melawan ratusan pasukan Indian, feelnya hilang. Berakhir mati atau tidak sudah tak perlu kita pedulikan, walaupun akhirnya mati sesuai harapan pembaca, tetap lenyap feel itu.

Perjalanan yang dimaksud Pak Dhe menjemput Columbus, lalu malah Pak Dhe mati di jalan karena usia tua nan lelah juga sudah terasa hambar. Keluarga? Apa itu keluarga? Harusnya ada susunan pondasi dulu, membangun tautan dengan pembaca, tapi jelas tidak, Lain Waktu simpang siur seenak penulis arahnya. Zig-zag tak jelas. “Kita telah saling berguru dan bermurid selama satu bulan setengah. Tepatnya empat puluh satu hari. bagaimana kalau kita berhenti?”

Termasuk diskusi uang, adakah yang tak terbeli di dunia ini? kalau disusun pas, kutipan ini bakalan bagus. “Keluarga, waktu, kesetiaan, kebersamaan.” / “Kenapa? Kenapa hal semacam itu tidak bisa dibeli uang?” / “Um… mungkin saking berharganya.” / “Makanya, jangan bertuhan kepada yang ada di genggaman. Karena mungkin saja ia menyesatkan.” “Hal yang tidak bisa dibeli uang adalah… hal-hal yang tidak dijual.” Mereka berdua sama-sama lahir pada tanggal 25. Dua angka yang hampir simetris, sering disebut kakak beradik.

Kurasa endors Candra Malik satu lembar itu sekadarnya, sejenis basa-basi. Kurasa endors Ahmad Tohari di sampul belakang juga ala kadar. Ingat kata unik bisa bermata dua, bagus dan buruk. Jadi malah jadi lubang kritik untuk dipermak. Jadi apakah kita perlu mengkhawatirkan nasib para karakternya? Tidak. Jadi seberapa penting? Kurasa kali ini jawaban Pak Dhe tidak relevan, “Sepenting kau berobat ke dokter ketika sakit.”

Ini adalah buku pertama Hilmi yang kubaca. Kubeli hanya karena taglinenya novel absurd, yang dalam bahasa Indonesia artinya mustahil, tidak masuk akal, menjurus ke menggelikan. Bisa jadi benar sebab memang segalanya simpang siur, dan karena itulah malah benang merahnya kabur, tak jelas mana sudut pandang yang pantas untuk dipantau pembaca. Tak mengapa, sah-sah saja. Walau begitu, jelas jenis novel seperti ini lebih baik ketimbang novel remaja labil mengkhawatirkan cinta, atau chicklit wanita dewasa yang terhempas cinta.

Walau ini novel buruk, saya tak kapok untuk menikmati buku Hilmi yang lain, kalau ada kesempatan. Semoga muncul hal itu, mohon maaf review ini bila tak berkenan. Sukses terus ke depannya untuk tulisan yang lebih baik. Thx.

Lain Waktu: Sebuah Novel Absurd | by Hilmi Abedillah | Copyright 2019 | Penerbit Elex Media Komputindo | Tata letak Kum@art | Desainer sampul Erson | 719031429 | ISBN 978-623-00-0815-3 | 978-623-00-0816-0 (Digital) | Skor: 2.5/5

Untuk NDF

Karawang, 090524 – Kevyn Lettau – Love You Madly

Thx to Richelle Bukoe, Bekasi