Mencari Titik Pusat: Dua Narasi #28

“Arlette, kau membuat aku merasa bahwa dunia bergerak gamang. Kau membuat aku merasa bahwa segala yang kita tempati dibangun di atas pasir.” / “Tetapi dunia adalah unggunan pasir. Kehidupan adalah tebaran butir-butir pasir.”

Buku pertama pemenang Nobel Sastra 2001 yang kubaca. Terasa asing, terasa aneh menikmati perjalanan ‘senang-senang’ di tanah kelahiran di Trinidad dan petualang di Afrika, khususnya Pantai Gading. Aneh kenapa? Kita hanya menyimak, seolah bercerita searah tanpa memedulikan pembaca, ngalir terus tanpa usaha mencoba menautkan emosi pembaca. Ini gaya, atau memang tipikal seperti ini. Cerita tentang penakaran buaya dan cara kasih makan contohnya, berulang-ulang disampaikan, tiap ganti teman kenal baru, ditanya lagi entah pendapatnya entah sisi mistiknya. “Mengembara sangat menyenangkan. Mengembara memperluas cakrawala tentang dunia membeberkan di hadapan.”

Dan, jangan harap menemukan ledakan. Aliran cerita seperti air tenang, gelombang itu hanya sesekali, itupun sekadar cerita orang, katanya. Seperti pengorbanan, para pembantu/istri/budak ikut dikubur bila tuannya mati; atau kisah pemenggalan kepala suku A atau B terkait rutial, dst. Jadi gelombang itu, hanya alkisah. Tautan emosi pembaca gagal terkait. Separo pertama bagus, perburuan Bogart, dan hasil yang nihilis serta surat balasan yang terlambat dibaca. Lucu. Aku meninggalkan Bogart di Carenage. Dan di situlah ia terus hidup dalam ingatanku, meski kian memudar, tanpa pernah menjadi sosok di garis depan.

Sayang, perjalanan di Pantai Gading terasa biasa. Hufh…

Buku dipecah dua bagian: Pengantar untuk Sebuah Otobiografi (enam bab) dan Buaya-buaya dari Yamoussoukro (14 bab). Bagian pertama luar biasa, salut. Terlahir dari keluarga wartawan, ayahnya adalh wartawan era 1930-an yang kariernya timbul tenggelam. Naipaul menapaki jejak ayahnya. Kegigihan menjadi penulis, walaupun percobaan mengirim karya berulang-ulang-ulang-ulang mendapati penolakan. Perjuangan panjang nan melelahkan untuk tembus itu yang luar biasa. Salut. Ia hanya punya segumpal kepercayaan terhadap intuisi untuk menemukan sebuah pokok ihwal, kemudian membuhulnya ke dalam tulisan secara intuitif: “Saya punya gagasan kapan saya memulai, saya memiliki sebuah bentuk awal; namun saya akan memahami sepenuhnya apa yang saya tulis hanya setelah beberapa tahun kemudian.”

Suka sekali penggambaran kehidupan ayahnya. Salah satunya adalah ruang kerjanya. Ayah menggantung beberapa bingkai foti O. Henry, digunting dari edisi Hadder dan Stoughton. “O. Henry, penulis cerita pendek terkemuka yang pernah ada di dunia.” Jadi pengen menggantung poster JK Rowling atau Haruki Murakami di perpus keluarga.

Bagian pertama banyak sekali menjelaskan proses kreatif menulis, makanya saya suka. “Menulis adalah belajar. Memulai sebuah buku, aku senantiasa merasa bahwa aku memiliki seluruh fakta perihal diriku; dan akhirnya aku akan terkejut.” Atau pengakuannya, “Aku punya sedikit gagasan untuk diwujudkan, namun aku punya sehampar jalan, orang-orang untuk diceritakan; aku memiliki suasana; dan aku mempunyai seorang narrator. Kenangan menghasilkan bahan, demikian juga dengan dongeng di kota dan juga lagu-lagunya.”

Naipaul berpendapat, separo perkerjaan penulis, bagaimanapun, adalah penemuan masalah. Semakin rumit semakin banyak masalah, semakin banyak ide yang seharusnya dihasilkan. Sedemikian kacau-balau, di dalam dan di luar. Atau unsur komedi yang membuat kekejaman terlihat sebagai hal yang wajar, itu adalah wiracarita pribadi. “Menjadi penulis seperti O. Henry, yang meninggal di pertengahan kalimat, searti dengan merebut kemenangan atas kegelapan.”

Begitu juga keinginan sendiri, jauh dari rutinitas keluarga. Makanya, kesempatan merantau itu langsung diambil. “Aku tidak ingin gelar: aku hanya ingin pergi jauh, dan aku pikir beasiswa tiga atau empat tahun di Oxford dapat membantu aku untuk mengembangkan bakatku, dan buku-buku akan mulai bisa kuhasilkan.”

Penceritaan masa lalu ayahnya yang tumbuh berbeda, dan keinginan kuat untuk membuat karya. “Dengan sedikit pendidikan dan sejumput penguasaan bahasa Inggris, di daerah pertanian yang kecil di mana menulis bukanlah suatu pekerjaan, ayah membangun ambisi untuk menjadi penulis.”

Bagian kedua yang kurasa kurang. Ini semacam laporan reportase lapangan. Perjalanan ke Pantai Gading yang sekadar jalan-jalan untuk mendapatkan pengalaman-pengalamn lain. Seperti kritik politik yang disampaikan. Awalnya seolah memuji diktator, lalu secara satire menikamnya. Negara adalah sebuah organisasi; tempat di mana kerja berlangsung; dan uang menyebar ke bawah. “Hanya ada satu partai di Pantai Gading, dan biasanya pada pemilihan umum hanya tertulis nama satu kandidat, orang-orang pemilih dari mana pun memberikan suara mereka begitu saja atau dapat juga menentang kandidat partai.”

Dan dengan gamblang, meminta bertemu dengan orang-orang yang bisa membantunya sebagai pemandu jalan selama petualangan. “Aku pergi ke tempat-tempat, tidak perduli betapapun asingnya, yang dalam suatu cara tertentu berhubungan dengan apa yang sudah ku ketahui.”

Dari seorang istri yang diceraikan, warga Prancis yang turut suami ke Pantai Gading, sampai dukun aneh yang sinis. Dari pemandu yang tukang bohong, memannipulasi taksi hingga narasumber hingga sobat wartawan yang pensiun dini. “Ia pernah menjadi wartawan, namun berhenti karena di Pantai Gading wartawan itu seperti rokok, dapat merusak kesehatanmu.”

Salah satu yang menarik adalah nasihat seorang ayah kepada teman barunya, bagus dan bermakna dalam. “Ketika ayahku mengirimku ke sekolah, “Ingat, aku tidak mengirimmu ke sekolah untuk emnjadi orang kulit putih atau orang Prancis. Aku mengirimmu untuk memasuki dunia baru. Hanya itu””.

Dan yang utama adalah pemeliharaan buaya yang begitu berulang-ulang. Penggambarannya bikin senewen karena dijabarkan ke beberapa orang memintai pendapat, entah motifnya apa. “Apakah ritual pemberian makanan itu merupakan sisa-sisa peninggalan pemujaan orang-orang Mesir Kuno? Buaya adalah makhluk terkuat dalam air, ia ditakuti di seluruh dunia, ia berumur panjang; ia tidur dengan mata terbuka.”

Sudah puluhan otobiografi kubaca. Suka kalau narasinya menampilkan proses kreatif, keadaan keluarga yang menunjang atau menentang, hingga penggambaran pencarian ide. Suka banget. Harusnya memang itu yang banyak ditampilkan. Sekalipun saya belum baca satupun karya fiksi Naipaul, saya bisa merasakan aura proses menjadi karya. Ketimbang cerita jalan-jalan, biar para travel-blogger yang melakukannya.

Karena pembuka ulasan mengutip Arlette, saya tutup catatan ini dengan penutup buku, yang jleb dari Arlette juga. Arlette berbisik, “Kami kebanjiran orang-orang seperti mereka dari Amerika serikat. Orang-orang kulit hitam datang kemari untuk mengubah orang-orang Afrika. Mereka seperti yang lainnya, yang datang untuk melakukan hal itu. Mereka membawa penyakit lahiriah mereka sendiri ke Afrika. Mereka seharusnya datang justru untuk disembuhkan oleh Afrika. Mereka semua gila. Iil sont fous.”

Mencari Titik Pusat | by V.S. Naipaul | Sadasiva, 05.03 | Cetakan pertama, Oktober 2003 | Judul asli Finding the Center: Two Narratives | Copyright V.S. Naipaul, 1984 | Penguin Books, London | Alah bahasa Ellie Puji Astuti | Penyelaras bahasa Zulkarnaen Ishak | Sampul dan tata letak MN. Jihad | Pemeriksa aksara Fahrudin Nasrulloh AM | Penerbit Sadasiva | 232 hlm; 14 cm x 20 cm | ISBN 979-97481-5-1 | Skor: 4/5

Karawang, 280623 – Jisoo – Flower

#30HariMenulis #ReviewBuku

Thx to Mas Udi, DIY

Tinggalkan komentar