Mortal Engines #7 & #4


“Aku hanya ingin menolong London, aku hanya ingin membuat London berjaya.”

Mengerikan. Kota mengapung saling mangsa. Daratan jadi tempat masa lalu yang tak bisa dan atau tak layak huni, gempa, letusan gunung, tsunami, bencana meluluhlantakkan daratan setelah “Perang Enam Puluh Menit”. Di dunia masa depan yang kacau, di dunia dengan rentang waktu antah di masa yang jauh ke depan (bahasa kerennya post-apocalyptic), teknologi ditemukan, seolah kendaraan, kota itu terapung dan bergerak, kota-kota yang kita kenal sekarang ini menjadi sejenis capung raksasa, mereka harus seperti itu sebab di masa depan sumber daya alam menjadi langka dan harus saling terkam untuk bisa bertahan hidup. Kota-kota itu bergerak, yang kuat memangsa yang lemah. Yang memiliki teknologi cangging bakalan menang, dan kota-kota atau desa dengan persenjataan ala kadarnya bakalan dilahap dan dimusnahkan. Dengan setting seperti itu, bumbu yang disajikan ternyata masih sama dengan abad 21, dunia masa sekarang. Yakni: hubungan teman-lawan, strata sosial, pembunuhan dan dendam, perebutan kekuasaan nan kemapanan hidup, dan eheemm… cinta. Tema cerita mau kapanpun, di manpun, dalam masa apapun, cinta selalu relate. Dan di tengah cerita action nan bak big buk, sat set, masih ada selipan cerita cinta.

Kisahnya berkutat di London terapung, walaupun kota-kota lain disebut, benua Amerika, Afrika, Kutub, dan sebagian Asia juga, tapi pusat cerita adalah London. Adalah Tom Natsworthy, remaja magang di bidang sejarawan yang menjadi penyelamat seorang pahlawan kota Thaddeus Valentine. Seorang perempuan liar Hester Shaw mencoba membunuhnya, dan berhasil dicegah Tom. “Aku tidak akan membiarkannya membunuh Mr. Valentine, tapi aku akan temukan jalan untuk mengungkapkan kebenaran…”

Dalam keterdesakan, saat Tom memberitahu jatidirinya, bukannya mendapat selamat dan ucapan terima kasih, justru Tom didepak jatuh dari London. Rasa kagetlah yang lebih menguasai dirinya daripada rasa takut selagi lubang hitam itu menelan tubuhnya ke dalam kegelapan. Hal ini membuatnya ketakutan, ia mencintai London dan mengabdi padanya. Tom marasa ngeri membayangkan bahwa orang-orang masih benar-benar hidup di daratan bumi. Valentine adalah panutannya, dan tiba-tiba sang panutan malah mencelakainya. Why?

Dengan jatuhnya Hester dan Tom di kota bawah, mereka saling berkenalan. Setelah tahun-tahun menjemukan yang dihabiskannya mengkhayalkan sebuah petualangan, tiba-tiba dia terlibat di dalamnya. Dia menyadari dirinya tak ingin ditinggalkan sendirian di sini; dia lebih suka ditemani, meskipun bersama gadis itu, daripada hanya ditemani keheningan. Ternyata masa lalu Valentine kelam, jahat. Bahwa zaman dulu, ketika penemuan MEDUSA dan kuncinya dalam perjalanan pencarian ke Amerika. Ketika ditanya sejatinya masa lalu apa? “Tanyakan kepadanya apa yang telah dia lakukan kepada Hester Shaw.”

Ibu Hester dibunuh oleh Valentine demi penemuan dan pengakuan, tangan kanan walikota. Dan ketika tahu identitas Hester, adalah putri sang korban, ia menjauhkan dan mencoba menghilangkannya. Sungguh kejam. Kini mereka berdua mencoba naik kembali ke London, untuk membalas dendam. Untuk bisa sampai ke sana perlu banyak waktu dan peluang, sebab harus menghuni di kota atau daerah kecil yang dilahap London. Dalam upayanya mencari London dan menuntut pembalasan. “Meski begitu, setidaknya arah kita benar, menuju London.”

Ini sebagian besarnya adalah petualangan balas dendam, dari kota kecil Speedwell mereka singgah, lalu dimanfaatkan oleh Wreyland, sampai dibantu oleh pilot nyentrik Anna Fang. Dengan pesawat Jenny Haniver ke Airhaven. Titik yang sudah begitu dekat dengan London. Namun di sisi lain, Valentine, dan sang walikota Magnus Crome ternyata sudah mengembangkan teknologi cyborg dimana manusia bisa dibentuk ulang menjadi pasukan robot stalker bernama Shrike. Tampak sangat tangguh dan berbahaya. Memburu mereka.

Anak pahlawan kita, Katherine akhirnya ambil bagian. Ia mengetahui bagaimana ayahnya menjatuhkan Tom, pemuda lugu yang mencintainya. Ia lantas menyelidiki masa lalu London dan kejahatan ayahnya. Melalui bagian bawah kota, masuk ke mesin-mesin dan dibantu para teknisi, tahulah bahwa Hester adalah saudara tirinya.

Dan begitulah, novel akan terus berkutat dalam aksi cepat. Pasukan walikota memburu Tom dkk, sementara Hester ingin membalas dendam. Dalam sisian itu terselip masalah-masalah yang jauh lebih pelik, bagaimana agar keberlangsungan kota terus terjaga. Sampai akhirnya dalam aksi perang itu, kita tahu siapa bertahan, siapa mati. Dengan ending sejenis itu jelas novel ini ada kelanjutannya.

Karena ini novel Eropa, atau Inggris tepatnya, nama-nama yang dipilih begitu Eropa modern. Selain nama-nama yang disebutkan, banyak yang lebih maju: Pandora, Bevis, Gompa, Peavy, dst. Nama-nama keren yang patut untuk dinamai ke binatang peliharaan juga kucing, anjing, atau ikan-ikan.

Penggambaran imajinya juga lumayan keren. Membayangkan strata sosial di Pesawat Kota dengan berbagai tugasnya masing-masing seolah tumpukan kue lapis. Paling bawah adalah kaum jelata bertugas menggerakkan kota, paling atas adalah dewa dengan St Paul sebagai mimbarnya. Begitu pula penggambaran dunia kematian. “Jiwanya melayang pergi ke Negeri Tanpa Matahari sementara jasadnya terbaring kaku di hamparan lumpur dingin.”

Novel ini juga kental sisi kemanusiaan. Bagaimana pertemanan menjadi ikatan kuat untuk mewujudkan cita parternya. “Bagaimana kami bias tahu bahwa kau tidak akan menghianati kami seperti yang dilakukan Wreyland.” / “Kau memang tidak akan tahu. kau harus percaya saja kepadaku.”

Senjata kuno yang dahsyat juga tampak mengerikan. MEDUSA seolah adalah senjata pemusnah massal yang ada di Iraq yang bikin Amerika harus mencegahnya sebelum mereka kena batunya. “Aku mendapat firasat bahwa ada hal buruk yang sedang terjadi, dan kurasa segalanya bermuara pada hal bernama MEDUSA ini.”

Pada akhirnya ini adalah cerita bertahan hidup. Siapa yang bisa beradaptasi bakalan bertahan. Siapa yang tak membunuh, akan dibunuh. “Kita harus menjalankan apa yang selalu kita lakukan selama ini, memburu dan menelan, dan kalau kita bertemu dengan kota yang lebih besar dan kita sendiri ditelan.. yah bahkan itu akan lebih baik baik daripada menjadi pembunuh.”

Catatan: buku ini juga diikutkan dalam 20 TantanganBacaNoura 2024. Baru di angka 4. Masih panjang perjalanan. Thx.

Mortal Engines | by Phillip Reeve | Copyright 2001 | Penerjemah Nuraini Mastura | Penunting Yuli Pritania | Penyelaras aksara Ken Laksmi Satyaningtyas | Penata aksara TBD | Cetakan ke-1, Februari 2018 | Penerbit Noura Books | 388 hlm; 22 cm | ISBN 978-602-385-309-0 | Skor: 4/5

Untuk Sarah

Karawang, 100624 – Trio Larose – Swingo

Thx to Sri Wisma, Bdg

Tinggalkan komentar