Emma #26 & #5

“Pernahkah kau berpikir bila bapak telah memiliki anak dari istri barunya, apakah kau masih akan tetap memiliki bapak?”

Membaca dengan sinis.

Sudah. Begitu saja. dingin. Kering. Datar. Ini adalah kisah tentang anak laki-laki yang hidup mendampingi ibunya yang sakit hati. Apa yang dikhawatirkan orang-orang ini? Para sultan kaya yang mencoba bercerita penderitaan. Terlahir kaya, dan upaya untuk tetap kaya atau bertambah kaya. Pondasinya sudah kuat, bangunannya kokoh, limpahan materialnya nomor satu, tukangnya jempolan, sejarah rumahnya sejuk; dalam satu kalimat: semuanya mendukung untuk rumah nyaman dari dulu, sekarang, dan yang akan datang. Jadi apa yang mau diceritakan? Kesedihan, tak ada. “Korban” poligami? Janganlah sok paling menderita, secara hukum sah, ketimbang selingkuh jelas poligami diizinkan agama. Pak Jusuf Kalla dengan semangat juangnya mendapatkan istri? Ampun bos, sedari kecil kaya, muda kaya, jodoh otomatis tak rumit. Beda sama gelandangan, jangankan menderita pusing masalah pacar, buat makan sehari-hari saja susah. Nah, banyak hal tak relate di sini. jadi salah siapa? Pak Ucupnya? Emma? Nope! Jelas salah penulis, cara bercerita yang buruk. Mengikuti garis lurus di buku, tak memberi konfliks berkualitas. Sejatinya bisa lho orang kaya atau cerdas dicerita bagus asal mengolahnya benar. Namun tidak, di buku ini segalanya datar. Ini buku pertama Endah yang kubaca, dan mengecewakan.

Kisahnya tentang ibunda Jusuf Kalla, ya mantan wakil presiden RI dua kali dari Sulawesi itu. namanya Athirah, artinya anak yang memuliakan. Dipanggilnya Emma, saya pakai judul ini saja tulisan ini. mengingatkan pada novel tebal Jane Austen. Dibuka dengan kematiannya, ditutup dengan kematiannya. Ini adalah biografi dalam bentuk novel, saya mengkategorikannya non fiksi, tapi di halaman awal dicantumkan label Noura Fiksi. Tak apa, penafsiran orang beda. Biografi murni saja banyak daya khayalnya, apalagi biografi novel.

Jadi Emma setelah memberi banyak kebahagiaan baik keluarga maupun kesetiaan, akhirnya dimadu. Ayah Ucup – panggilan JK sewaktu muda – menikah lagi. Sebagai saudagar kaya, lelaki memang diuji oleh perempuan. Kali ini ujian untuk Emma memang dimadu. Mulanya tentu berat, sampai cari dukun atau orang pintar apakah suaminya dipelet/diguna-guna. Namun tidak, keputusan itu murni keinginan suami. Alasan sejatinya tak disebutkan, sebab ini memang fokus ke Emma dan Ucup. Sang suami hanya datang pagi sore, atau kadang saja. lebih sering di istri muda. “Kadang kusalahkan Emma karena ia begitu pasrah. Kadang kusalahkan Bapak karena ia begitu gegabah. Tapi lebih sering lagi aku memenangkan keduanya karena jalan hidup yang tak selalu ramah tak membuat mereka kehilangan arah.”

Padahal Emma sewaktu lajang begitu cantik dari keluarga cukup berada. Ayahnya adalah komandan kavaleri kerajaan Bone. Dalam pemaparannya, “Ibumu sangat cantik Nak, gadis Bone lahir dengan kemolkan yang sempurna, bunga dari kecantikan yang pernah ada… Kau tahu Jusuf, Bone saat Emma remaja, adalah sebuah tempat yang tidak pernah ingin kau tinggalkan…”

Sejarah kota dan budayanya disinggung dikit, dari istilah Calabai, sosok yang dianggap memiliki kesaktian tersendiri. Sampai Darah patella atau pedagang tampaknya memang terwarisi sangat kuat dalam keluargaku. Ajaran dagang secara turun-temurun telah mendidik manusia-manusia di dalamnya untuk mengenali kegiatan danag dengan dasar syariat Islam. Dari pantai Losari yang dijadi tempat rekreasi sampai kekhawatiran umum, seorang ayah yang takut anaknya dipoligami, “Ayahku mengetahui keluargamu. Orangtuaku tahu ayahmu menikah lagi. ia selalu mengingatkan aku tentang itu. kurasa, ia takut aku mengalami hal yang sama dengan ibumu… maafkan aku…”

Namun sekali lagi, ini keluarga kaya. Dicerita runut, sedari silsilah keluarga, sampai anak-anaknya. Nur, Zohra, Saman, Ahmad, Suhaeli. Bayangkan saja Pada musim haji 1947: Nur, Ucup, Salmah, Zohra, Bapak, emma, dan sejumlah kerabat berangkat haji. Indonesia baru merdeka, mereka punya uang naik haji ramai-ramai, kala itu naik kapal tapi tetap saja sebuah privilege. Sayangnya, Pulangnya tak utuh, ada yang meninggal dunia di sana. “Aku melewatkan masa kecil dengan sangat bahagia. Terlebih setelah pada suatu hari Bapak terdengar mengatakan sesuatu, “Kita akan naik haji…””

Lalu masa mudanya, setelah lulus sekolah, Ucup lanjut kuliah jurusan Ekonomi di Universitas Hasanudin. Saat itulah cintanya makin meluap-luap sama Mufidah. Perempuan Sumatra asli Sibolga. Dan karena ini buku biografi, kita semua tahu jodohnya Ucup. Rasanya percuma memberi debar perjalanan menjadi satu. Kata-kata lebainya ok sih, tapi ya tetap itu bukan tanya. “Tenang dan cantik. Sangat cantik.”, “Bidadariku menguasai perasaanku.”, “Setiap detik bersama Mufidah adalah anugerah. Tak boleh kusudai dengan cepat.”, “Cintaku kepadanya sudah sangat keras kepala.”

Ada satu yang benar-benar bikin desir sebab sesuai pengalamanku dulu. Jadi dulu tahun 2006 saya pertama kali ke rumah May. Gadis pujaanku, waktu itu kita berteman saja. ada aura keyakinan besar ketika salat Magrib di sana. “Ini hari yang akan menggempur sekujur hatiku. Itulah istana yang akan menjadi tujuanku, esok, dan hari-hari ke depan. Entah mengapa aku begitu yakin.” Walaupun dari masa 2006 sampai 2010 kami tak menemukan klik, 2011 malah seolah titik balik dan tahu-tahu kita menikah. Jadi feeling ‘inilah tempat yang kutuju’ itu terbukti.

Ada banyak sekali tulisan yang membuat kesal, menjurus muak ketika “memamerkan” kekayaan atau kemapanan ekonomi. “Emma selalu membeli dengan tunai dan lunas, tak pernah berutang.”, atau dialog: “Kita akan berbisnis apa?” | “Kurasa aku tertarik pada bidang infrastruktur…”, atau “Ya, emas-emas batangan di bawah tempat tidur Emma sangat banyak, itulah jalan keluarku untuk bisa memulai usaha.”, sampai kerja/liburan ke Jepang, “terima kasih telah membawaku ke sini.” | “Terima kasih pula karena kau telah mendukungku untuk sampai ke sini.”

Kata-kata motivasi boleh saja, tapi ternyata standar. “Sabar merupakan kunci dari kebertahanan manusia melewati guncangan-guncangan dalam hidup.”, “Emma tanpa sadar telah mengajariku bagaimana menghargai perempuan.”, “Perempuan tersakiti memiliki berkahnya sendiri bila mampu tabah dan tawakal.” Dan yah, cerita yang utama. Tulisan bagus yang utama. Tak terpenuhi.

Kelebihan novel ini justru terletak pada kekurangan detail, istri kedua ayahnya tak disebut namanya di sini. kegundahan dan kegelihannya saja yang sampai, keterpurukan dimadu dan kebimbangan maju-mundur saja yang disajikan. Seolah memang pusaran lain tak penting, badai itu jauh dan tak perlu diurus, urusan angin kencang cukup fokus di tempat sendiri.

Pada akhirnya pertanyaan inilah yang muncul, “Oh Emma, apakah akhirnya Bapak adalah jodoh yang baik?”

Athirah | by Alberhiene Endah | Copyright 2013 | Sampul @Miles Film, 2016 | Penggagas M. Deden Ridwan | Penyelaras aksara Tim Redaksi | Penerbit Noura Books | Cetakan I, Agustus 2016 | 404 hlm; 14×21 cm | ISBN 978-602-385-145-4 | Skor: 3/5

Karawang, 270624 – Peggy Lee – They Can’t Take That Away From Me

Thx Dede, Bdg

Tinggalkan komentar