Memoar Seorang Dokter Perempuan #18


“Sekali seorang perempuan pernah kawin, dia akan jauh lebih bebas dibanding dengan seorang gadis remaja.”

Menjadi dokter berarti memberikan kesehatan kepada semua orang yang memerlukannya, tanpa pembatasan atau melihat kondisi, dan sukses adalah memberikan apa yang kumiliki kepada orang lain. Buku kedua Nawal yang kubaca setelah Perempuan di Titik Nol. Sama-sama tipis, tapi yang ini kisahnya tak setragis itu. Walau sama-sama mengangkat tema feminism, perempuan mandiri yang berjuang melawan dunia, tapi kualitas keseluruhan beda. Titik Nol memberikan kenyataan pahit, sah perempuan sebagai korban. Sebagai orang yang terjebak keadaan sehingga dipenjara, sehingga dihukum berat, itupun membunuh karena membela diri. Sementara Memoar, perempuan mandiri yang muak sama keadaan. Perempuan muslim di negeri muslim, merasa kurang dihormati jarena gender. Kekangan dan cara mendidiknya jauh sekali dengan lelaki, walaupun kita tahu ia menjadi dokter. Profesi terhormat yang banyak diidamkan, tapi tetap saja merasa sebagai korban. Sejatinya ini lebih ke nasib, bukan secara keseluruhan gender perempuan adalah apes. Tidak, banyak di luar sana perempuan beruntung dibesarkan dalam keluarga bahagia, sama banyaknya dengan lelaki yang diasuh penuh kasih.

Kisahnya tentang dokter perempuan yang sedari kecil merasa terkucil. Masa kecilnya sih bahagia, tapi menjelang remaja segalanya berubah sebab tumbuh tanda-tanda kedewasaan. Dengan begitu, pergaulan dibatasi. Kerudung dikenakan. Keluar rumah harus didamping lelaki muhrim, sampai hal-hal tabu untuk perempuan urakan, agar menjaga sikap dan pergaulan. Hal ini dirasa pelakuakn berbeda dengan laki-laki yang lebih bebas. “Bila aku tidur, sebenarnya sebagian dari otakku tetap sadar dan waspada, seakan-akan menjagai detakan jantungku dan desis pernapasanku serta mengawasi gambaran-gambaran dalam mimpiku.”

Mendapat perlakukan kurang baik sama tetangga/saudara yang membuatnya trauma. Tak dijelaskan apa itu, sebab memang ini memoar singkat yang mengambil sisi pentingnya saja. Seorang anak berusia dua puluh lima tahun yang ingin bermain, berlari, terbang dan mengenal cinta-kasih sekaligus. Semua orang bisa berbuat salah. Memang, kehidupan adalah rangkaian perbuatan yang benar dan salah. Sesungguhnya rasa angkuh telah menjadikan seorang lelaki berubah menjadi makhluk bodoh dan berpikiran lemah. Perjuanganku telah selesai dan waktunya telah tiba bagiku untuk duduk diam tanpa berbuat apa-apa.

Termasuk kurang kasih sayang dari ibunya. Maka ini membentuk karakternya kuat dan perlawanan. Singkat cerita, cita-citanya jadi dokter terkabul dan ia kini memiliki kemampuan untuk ‘balik’ menguasai keadaan. Dalam satu kalimat muak, ia menulis: Masyarakat – binatang mengerikan yang menarik batang leher perempuan, lalu melemparkannya ke dapur, ke tempat pemotongan daging, ke kuburan atau kubangan yang kotor – kini ada di laci mejaku.
Lihat, betapa kerasnya ia melawan balik. “Sesungguhnya aku telah membuang-buang percuma masa kanak-kanak serta masa remajaku, juga awal masa mudaku sebagai perempuan muda, dengan melancarkan suatu perang yang sengit: melawan siapa?”

Hal ini membuatnya skeptis tentang hubungan pernikahan. Maka ketika suatu malam mendapat telepin darurat, untuk menolong orang tua sekarat. Gagal, meninggal. Sang anak yang pengusaha terpesona olehnya, mendekati dan diajak menikah. Mulanya ia menolak, sebab pernikahan akan mengekangnya.

Namun faktanya tetap jadi. Dan benar saja, perkawinan itu tak bahagia. Suaminya yang berjanji tak akan mengekangnya menjadi dokter mandiri, mulai memintanya resign. Uang bukan masalah sekarang, udah di rumah aja. Padahal dokter adalah panggilan hati. Ketidaksamaan persepsi dan arah membuat pernikahan ini hancur dalam waktu singkat, dan ini menjadikan kembali sang dokter pesimistis terhadap dunia.

Uang, sekali bukan masalah. Ia mandiri, ia kuat, ia memiliki penghasilan mapan. Sampai di sini kita diberi bukti lelaki itu berengsek, mending sendiri menjanda? Oh tidak, 1/5 terakhir membalikkan keadaan. Dalam sebuah pesta pertemuan, sang dokter terpesona sama musisi, lelaki dewasa yang diajaknya berkenalan, tukar nomor telepon. Singkatnya, membuatnya jatuh hati sehingga diajak ketemuan dan menyatakan cinta. Bah! “Seorang seniman belum merasa puas, kecuali jika ia benar-benar puas dengan apa yang telah dilakukannya.” Ditimpali, “Ah, ilmu kedokteran hanya menyembuhkan. Sedangkan seni sekaligus menyembuhkan dan mencipta.”

Tak konsisten pula hati perempuan. Kita tak tahu apakah musisinya ganteng, yang jelas mapan dan memiliki jiwa seni. Lha wong musisi, ah gampangnya saya tebak: ganteng. Mana apa dokter mapan (walau janda) tak berjodoh sama musisi mapan ganteng? Dan begitulah, buku tipis ini memberikan kebahagiaan pada sang protagonist.

Tak ada kesalahan gender sebenarnya di sini. Adanya ya nasib. Sebab kalau merasa korban, ia tentunya lebih beruntung sebab sebagao dokter perempuan, derajatnya tinggi. Saya malah merasa, ini adalah memoar curhat saja. Sekadar berbagi pengalaman hidup.

Untungnya bahasanya bagus, beberapa bagian tampak eksotik, tampak nyastra. Nama Nawal sendiri memang besar, tulisannya sempat dicekal di Mesir karena perempuan melawan tampak tabu. Gelar dokternya terancam, tapi ia berhasil diakui dunia. Tulisannya diterbitkan di Negara lain, dan laku dihargai.

Nah ini yang kubilang, nasib baik dibentuknya dalam perjuangan. Sayang terlalu tipis jadinya segala yang disampaikan kurang detail seolah tergesa. Yang jelas, penerbit YOI ini seolah jaminan bagus. Salut!

Memoar Seorang Dokter Perempuan | by Nawal El Saadawi | Yayasan Obor Indonesia | Jakarta, 2005 | Penerjemah Kustiniyati Mochtar | Kata pengantar Toeti Heraty Noerhadi | Ed. 2, cetakan 2, September 2005 | xvi + 110 hlm; 11 x 17 cm | Judul asli Memoirs of a Woman Doctor | Copryright 1988 | YOI 108.8.16.90 | Desain sampul Harmanto Edy Djatmiko | Skor: 3.5/5

Karawang, 210624 – Billie Holiday – Come Rain or Come Shine

Thx to Saepul Gobed, Bgr

Tinggalkan komentar