Bias Rembulan Kasih #14


“Semua kulakukan demi cintaku padamu Mas. Karena aku mencintaimu…”

Memang tahun ini merencana membaca sebanyak mungkin novel pendek jenis ini, dari Mira Karmila, Abdullah Harahap, Freddy S., Anny Arrow, Motinggo Busye, Mira W, sampai V. Lestari. Novel lokal jadul yang ingin kuulas sebanyak-banyaknya. Selain bisa dibaca cepat dan mudah, novel seperti ini akan tenggelam dalam 20 atau 30 tahun lagi, maka harus segera diabadikan. Entah karena tersingkir penulis baru ataukah jadi langka atau cult, ataukah tenggelam memang sudah tak ada yang minat sebab sudah tak dicetak lagi. Makanya sebagai tribute, kudu diselamatkan dalam ulasan blog.

Kisahnya teramat sederhana, cinta sepasang kasih yang ditentang orangtua. Wajar, dan masih sangat relate sampai zaman sekarang, dan mungkin di era masa depan tetaplah masuk. Setiap orangtua pastinya ingin yang terbaik untuk anaknya, termasuk masalah calon pasangan, inginnya mapan dan bisa diandalkan, bukan pengangguran atau tak punya masa depan.

Adalah Ghita, tokoh utama kita. Sedang nonton bioskop sama teman-temannya. Bertemulah sama gerombolan pemuda yang juga nonton Film Evil Cat di Boja Teater, Semarang. Karena ada yang temannya saling beririsan maka terjalinlah hubungan. Adalah Aryan, salah satu pemuda yang titip salam. Mula yang halus untuk sebuah pendekatan.

Digambarkan Aryan adalah anak kuliah yang DO atau kabur dari rumah, dan bolos kuliah menginap di rumah temannya. Dia sedang slek sama ibu tirinya, mengalah dengan menyingkir demi menghormati ayahnya. Dalam pelarian, ia suka nongkrong sama teman-temannya di pinggir jalan. Main gitar, rokok (mereknya Gudang Garam Filter), ngemil, sampai haha hihi tak jelas melewatkan malam. Sesekali nonton bioskop, nah disitulah mula percikan asmara terjadi. Ia juga memiliki masa lalu pahit tentang mantan kekasih, kisahnya tak terjelaskan, hanya patah hati lalu mencoba move on. Kuliah kagak, kerja kagak. Pantas saja calon mertu ketar-ketir.

Sementara Ghita adalah anak orang kaya. Bapak ibunya mapan, selepas sekolah ia juga tak melakukan apa-apa. Kuliah kagak, kerja kagak. Punya masa lalu pahit, dan sama dengan Aryan, tak diceritakan detail masalah mantan. Keduanya lantas seolah ‘dijodohkan’ sama teman-temannya. Selepas adegan bioskop itu, setelah saling kirim salam, mereka janjian ketemuan di pojok jalanan.

Nebeng teman, naik Mobil Carry, main ke bendungan, Limbangan lalu ujungnya menikmati sejuknya Waduk Gajah Mungkur. Bayangkan saja dua pengangguran memadu kasih, kilat. Kenal juga baru kemarin, langsung bilang saling cinta. Yang lantas janji setia. Separo pertama bolehlah, pertentangan batin para anak muda ini. Masalah yang disodorkan juga ok, sebab duo pengangguran memadu kasih, masa depan suram dihadapi bersama. Sayang paro keduanya jatuh.

Hubungan mereka tentu saja diketahui kedua orangtua Ghita. Ayahnya melarang keras anaknya bergaul sama anak jalanan, ibunya juga tapi menyampaikannya dengan lebih halus. Sebagai anak muda, Ghita melawan. Larangan yang disampaikan malah menjadi pemicu untuk terus bersama kekasihnya.

Pertemuan-pertemuan rutin dilakukan, dari jalana di daerah Boja, kawasan pegunungan sampai jalan-jalan minum kebun teh di Kawasan Ungaran. Kegelisahannya disampaikan, tapi tetap cintanya kepada Aryan telah membakar semangatnya untuk tetap tabah menjalani kepedihan.

Aryan sebagai lelaki tertampar juga, sampai kapan menganggur, sampai kapan mengandalkan tabungan yang tak seberapa. Maka iapun mencari kerja. Melamar kerja ke sana ke sini, mencari teman-temannya bila ada lowongan minta tolong, sampai jalan-jalan menenteng map. Sampai akhirnya nemu link, kekuatan orang dalam.

Ghita yang marah, malah memutuskan kabur dari rumah. Alamak! Keputusan macam apa ini. Dilarang pacaran, ngambek, kabur. Labil sekali. Benar-benar luar biasa pasangan ini, memang cocok sekali. Sama-sama tak jelas, sama-sama kabur dari rumah, sama-sama pengangguran tak punya duit. Dan cinta akan menyelamatkan segalanya.

Nama-nama karakter masih asli Indonesia. Di tahun 1980-an sampai 1980-an novel kita masih memiliki memiliki kebanggaan lokal, dari namanya Aryan, Sakri, Rian, Ghita, Alfin, Satrio, Bambang, Gino, Murni. Lokal sekali ‘kan. Bandingkan dengan tahun 2000-an sampai sekarang, susah dieja karena sentuhan dunia luar.

Kebiasaan mereka juga membumi, sebab memang di tahun tersebut belum ada HP. Main Gitaran lagu Iwan Fals, nongkrong, bahkan judi jadul “baru nembus SDSB” disebut, sampai hal-hal ‘gaul’ di zamannya ada. Perhatikan percakapan berikut: “Lu ada doku tidak?” / “Masih ada.” / “Nanti uang lu habis, padahal lu di sini belum ada kepastian.”

Ada dialog sederhana, tapi mengena. Bagaimana kedua sahabat makan di warteg, dengan uang cekak. Seadanya, lalu tanya harga ke penjualnya setelah makan, totalnya berapa. Apa saja yang dimakan? “Soto dua. Es teh satu, teh hangat.” / “Tujuh ratus lima puluh.” See, inflasi. Seribu perak masih kembali untuk dua porsi.

Pada akhirnya, buku ini akan masuk ke rak obral murah senilai 5 ribu. Itupun kalau masih ada yang minat. Pada akhirnya memang buku cetak seperti ini tak terlalu diminati kolektor, sebab kurang sedap dipandang. Stensil tapi bukan stensilan. Sekadar lewat. Namun tetap, ini adalah novel perjalanan sastra Indonesia. Di suatu masa pernah mewarnai literasi kita. Maka dari itu generasi sekarang dan yang akan datang laik memberikan penghormatan. Karena saya blogger, lewat tulisan seperti inilah yang bisa kulakukan. Semoga bermanfaat.

Bias Rembulan Kasih | by Mira Karmila | Penerbit Gultom Agency | Jakarta, 1992 | Setting Haryanto | Skor: 2/5

Karawang, 190624 – Blossom Dearie – Once Upon a Summertime

Thx to Ade Buku, Bdg

Tinggalkan komentar