Angsa Liar #15


“Bagaimana kau bisa berkenalan dengan Otama dan bagaiama ia menceritakanya kepadamu?” Jawaban terhadap pertanyaan itu juga, seperti yang kukatakan tadi, ada di luar jangkauan kisah ini. Hanya satu hal yang jelas, aku tidak pantas menjadi kekasih Otama, maka lebih baik jangan menerka tentang hal yang bukan-bukan.

Buku keempat Moooi yang kubaca, keempatnya skor sempurna. Hebat. Setelah tiga novel tebal itu, kini saya memasuki yang tipis-tipis tak lebih dari 200 halaman. Saya sudah mengenal sang penerjemah, Ota yang sudah akrab sama Haruki Murakami. Jadi terasa kliknya. Ini jenis novel yang alurnya tenang, nyaman diikuti sebab memang pelan sekali jalannya, lalu sekitar 20 halaman akhir kita baru dijelaskan arah sejatinya ini mau kemana. Kata ‘angsa liar’ sendiri baru muncul di halaman 132, jadi sudah jelang akhir. “Ada sekitar sepuluh ekor angsa liar sedang berlalu-lalang dengan lamban.” Ini menandakan memang judul seolah tempelan, judul adalah sisi lain dari apa yang mau disampaikan. Padahal secara keseluruhan justru si angsa inilah yang jadi kendala koneksi utama, jadi penghalang impian si tokoh utama untuk mewujudkan fantasi. Dan itulah kenapa saya menyukainya, langsung mematik makian, saya menulis di sosmed begini, “Bajilak, Angsa Liar kereeen banget. Novel tipis menghentak! Kalimat akhirnya asu. Wkwkwkwk… pantas saja sang pencerita memahami seluk beluk isi, ternyata ada angsa di balik batu. @MoooiPustaka jos tenan iki!

Kisahnya tentang mahasiswa cerdas Okada yang memang tampak lain. Udah cerdas, atlit dayung, tamvan (tampan menavvan) pula. Kuliah kedokteran, memiliki banyak penggemar walau sejatinya suka menyendiri dengan buku. Cerita diambil dengan sudut ‘aku’ sang penulis (tanpa menyebut nama) mencerita sang mahasiswa sebagai sahabatnya. Lantas entah kenapa (mulanya membuat bingung dan ragu) tiba-tiba sudut diubah dengan cepat tentang rentenir tua Suezo yang suka meminjamkan uang kepada mahasiswa yang beruang cekak, dengan bunga tentunya (jadi ingat rentenir Batak yang suka menawan kartu ATM peminjam di sini). Mulanya hanya jongos, tapi pengelolaan pembukuan utang rapi, sisi bisnis yang baik diaduk dengan rasa tega, membuatnya mapan finansial dan menjadikannya jaya. Namun ini bukan tentang mahasiswanya, bukan tentang rentenirnya, bukan pula tentang ‘aku’ sang penulis. Ini tentang Otama, seorang perempuan yang memeluk kemalangan nasib: pasrah. “Kepasrahan adalah emosi yang paling sering dialaminya, maka emosi itu bagaikan sebuah mekanisme mesin yang mulus, seolah baru saja dilumuri minyak baru. Emosi pasrahnya mulai bergerak secara otomatis.”

Jadi Otama adalah anak tunggal seorang ayah miskin, ia tinggal di rumah sederhana dekat kampus. Nasib apes menempanya sedari menerima lamaran seorang polisi, yang ternyata sudah memiliki istri. Makin membuat terpuruk sehingga harus pindah di tempat sewa yang murah. Otama digambarkan sangat cantek (cantik sekaleee). Bunga desa ini sesekali terlihat oleh si rentenir Suezo, sudah kenal sejak kere. Maka saat kini ia setengah baya, punya anak istri di rumah mewah, ia teringat impian liar masa mudanya, dicarilah kehidupan ter-uptodate Otama. “Syarat apa yang dibutuhkan untuk senantiasa mempertahankan perasaan yang luar biasa seperti ini? Apakah syarat-syarat tersebut tidak dapat terpenuhi oleh istri dan dirinya sendiri?”

Melalui seorang nenek sebagai perantara mereka dipertemukan. Di sebuah restoran mewah, mulanya Suezo ingin bertemu berdua saja, tapi ternyata sang ayah ikut. Dibelikan baju mahal keduanya, uang jasa perantara dikasih ke nenek, dan pertemuan itu adalah realisasi keinginan Suezo untuk menjadikan Otama sebagai gundik. Keputusan ini mencabang tiga hal penting mutualisme kepada tiga karakter: pertama keuangan ayahnya membaik, mereka berdua disewakan dua rumah bagus dengan pelayan di dalamnya, ini adalah jaminan ekonomi, ayahnya tak perlu khawatir lagi besok makan apa. Kedua, fantasi liar Suezo terpenuhi. Memiliki gundik cantek impian saat muda, walaupun konsekuensi kucing-kucingan dengan istrinya, pulang malam terus, alasannya lembur padahal indehoy sama gundiknya. Istrinya cerewet, masalah keluarga penuh, dan ia mendapatkan pelarian. Dan ketiga, ini mengantar pada Otama sendiri pada kepasrahan. Atau katanya, tak ada dendam. “Otama hampir tidak memiliki dendam terhadap dunia ataupun terhadap orang lain… mungkin ia dendam terhadap nasib dirinya sendiri. Dirinya belum pernah melakukan apa pun yang jahat, tetapi ia harus tersiksa oleh keberadaan orang-orang lain. Perasaan dendam kepada dirinya bersumber dari penderitaan tersebut.” Dalam satu kalimat, Otama mencapai semacam ketenangan batin yang hanya dapat diperoleh dengan susah payah oleh seorang gadis yang sudah pernah menyentuh banyak lelaki.

Dan itu mengarah pada sang mahasiswa tamvan. Dari sapa senyum setiap hari dua kali, adegan ular yang memakan burung, sampai pada akhirnya menyentuh rasa. Fantasi ini harus diwujudkan. Malam itu Suezo pergi keluar kota, pembantunya dipulangcepatkan, sebuah kebaikan yang disambut meriah. Sehingga malam itu kosong, Otama lantas berdandan cantek demi menyambut Okada. Di sinilah angsa liar memainkan perannya. Menjadi batu sandungan. Bagian angsa pendek, efektif, jitu atau dalam satu kata memukau.

Setiap sudut mengambil Otama, kita turut merasakan kesedihan, kesepian, dan saat fantasi itu muncul, serta merta turut berharap berhasil. Perasaan dongkol yang tadinya sudah pelan-pelan pudar oleh waktu kini muncul lagi dengan garis tegas dan warna tajam. Mahasiswa tamvan itu seolah menjadi simbol harapan. Sebuah keinginan untuk menyalurkan dendam. Dan endingnya sungguh adidaaw.

Ini jelas beda sekali dengan Murakami. Ota menuliskan dalam terjemahannya, kata-kata liar semacam: penis mengeras, lelaki memasuki tubuh perempuan, sampai memori pertama adalah payudara. Oh tidak, di sini segalanya smooth dan bisa jadi novel remaja. Jauh sekali sama penjelasan detail seks-nya Murakami sekalipun memuat adegan pria memiliki gundik. Sama-sama bagus dengan sisinya masing-masing. Mungkin karena ini novel pertama Mori Ogai yang kubaca, polanya masih terasa aneh dengan twist bikin misuh. Semoga ke depannya makin banyak terjemahan Ogai. Angsa Liar sempurna.

Sebagai curhatan saja. Catatan kaki, baiknya ditulis di kaki, bukan di belakang sebab akan merusak mood bisa setiap menemukan angka kecil dalam teks harus memutar kertas ke belakang. Kurang nyaman, makanya saya mending malah tak kubaca sekalian. Ini sederhana tapi bagiku penting sebab kenyamanan menjaga ketegangan, mengelupas alur tanpa jeda lembar kertas, sampai tetap fokus berututan.

Angsa Liar | by Mori Ogai | Penerjemah Ribeka Ota | Copyright Taman Moooi Pustaka, 2019 | Oktober 2020 | ISBN 978-623-90185-0-4 (cetak) | ISBN 978-623-90185-4-2 (elektronik) | Skor: 5/5

Karawang, 190624 – Dorothy Dandridge – That Old Feeling

Thx to Moooi Store, DIY

Satu komentar di “Angsa Liar #15

  1. Yang saya soroti justru isu perempuan dan perselingkuhan. Soalnya cerita berkembang banyak di sisi konflik ini. Dan saya masih bingung dengan judulnya yang Angsa Liar jika disandingkan dengan keseluruhan ceritanya. Simbolikkah? Atau apa? Walaupun ada bagian yang menyertakan keberadaan angsa liar, tapi tetap saja saya belum paham dimana ada korelasinya, hehe.

    Suka

Tinggalkan komentar