Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan #9


“… masyarakat Indonesia harus meningkatkan pengetahuan umum kita, harus membiasakan diri kita untuk lebih banyak membaca dan untuk mengembangkan kebiasaan membaca kepada anak-anak kita, yang akan menjadi konsumen dan pendukung kesenian nasional Indonesia di masa yang akan datang.”

Saya sudah baca Pengantar Antropologi yang tebal itu, ini seperti versi mininya. Ini adalah kumpulan tulisan di Koran tahun 1970-an (disebut bunga rampai). Keduanya bagus dari sudutnya masing-masing. Buku tipis yang sudah sangat saya ingin baca lama ini sempat terlupakan, baru ketemu lagi semalam saat cari buku Haruki Murakami malah dapat ini. kubaca kilat sehari, dalam 3x duduk. Sebelum subuh, saat istirahat kerja, dan pulang kerja.

Saya ringkaskan sebagian isi buku;

Kebudayaan paling sedikit memiliki tiga wujud: Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peratusan dan sebagainya; Suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan Sebagai benda-benda hasil karya manusia. Singkatnya kebudyaan berwujud: ideal, kelakuakn, dan fisik. Sedang adat adalah wujud ideel dari kebudayaan.

Kebudayaan diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”; perkembangan dari majemuk budi-daya yang artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang meluas itu amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal.

Suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar banyak dari warganya lebih menilai orientasi ke masa depan, dengan demikian bersifat hemat untuk lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan.

Spekulasi-spekulasi itu dilakukan dalam pertemuan-pertemuan yang disebut saraseyan. Duduk sambil minum teh atau kopi dengan gula batu dan menikmati makanan kecil, mengisi waktu luang. Bagian ini mengingatkanku pada masa muda ketika karang taruna di kampung halaman setiap persiapan peringatan 17-an seringkali mengadakan pertemuan di rumah pengurus pemuda. Dari ngopi, ngeteh, camilan kita membahas acara. Nah, namanya sarasehan. Ternyata historinya dari sini.

Ini tentang pentingnya perenungan, dari zaman dulu para priyayi sudah melakukannya. Sebuah Pelarian dari dunia nyata ke dunia kebatinan yang menjadi unsur penting dalam gaya hidup priyayi inilah yang begitu cocok dengan rasionalisme yang kita perlukan untuk percepatan pembangunan.
Disiplin pribadi murni (karena orang hanya akan taat apabila ada pengawasan dari atas), rasa tanggung jawab sendiri. Mentalitas menunggu restu dari atas jelas tidak cocok dengan jiwa pembangunan.

Sifat-sifat melemahkan bersumber pada kehidupan penuh keragu-raguan dan kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi tegas: 1) Meremehkan mutu, 2) Suka menerabas, 3) Tak percaya diri, 4) Tak disiplin murni, 5) Suka mengabaikan tanggung jawab.

Tentang gotong royong, sejatinya adalah kata baru di era kemerdekaan. Zaman Belanda atau sebelumnya tak ada, tapi sudah dilakukan kegiatannya sebab di tahun 1920-an ada catatan para petani saling membantu untuk penanaman padi, penyiangan rumput, pengairan, sampai panen padi. Dilakukan secara sukarela antar kelompok tanpa dibayar, saling bergantian. Nah nama gotong royong baru muncul di era Soekarno. Pada dasanya Gotong royong merupakan sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga kerja pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah. Apa yang bisa diambil dari gotong-royong untuk pembangunan kita sekarang ini terutama adalah semangatnya.

Bagaimana caranya merubah mentalitas lemah dan membina suatu mentalitas berjiwa membangun? 1) memberi contoh yang baik, 2) memberi rangsangan-rangsangan yang cocok, 3) dengan persuasi dan penerangan, 4) dengan pembinaan dan mengasuh suatu generasi yang baru untuk masa depan sejak kecil di kalangan keluarga.

Lalu kita diajak mencontoh Jepang. Negara Asia termaju pasca Perang Dunia II. Padahal Negara itu luluh lantak akibat Perang. Ada dua item yang membuat mereka kuat. Dari dalam dan luar. Di Jepang ada dua agama; Shinto dan Budha. Keduanya tak hanya berdampingan, melainkan juga erat berdampingan di kehidupan. Agama Shinto asli, Budha datang dari Korea abad ke-6. Dari luar, Jepang gigih dan disiplin. Sayang sekali, Indonesia tidak mempunyai sumber penggerak motivasi pembangunan sekuat Jepang. Loyalitas pada pekerjaan di Jepang biasanya bersamaan dengan suatu rasa identitas dan kebangaan atas jawatan atau perusahaan yang bersangkutan. “Sesudah kemakmuran tiba, akan ke manakah kita bangsa Jepang?”

Dengan dua syarat penting untuk menampilkan Indonesia ke dunia. Syarat mutlak sifatnya harus khas dan membanggakan oleh warga Negara untuk mendukungnya. Di Indonesia, paling mungkin ditonjolkan adalah kesenian.

Francis L.K. Hsu, sarjana Amerika keturunan China, dalam karangannya Psychological Homeostatis and Jen bahwa ilmu psikologi yang memang berasal dan timbul dari Barat, di mana mengambil tempat individu yang amat penting, biasanya menganalisa jiwa manusia terlampau banyak menekankan pembatasan konsep individu sebagai suatu kesatuan analisis tersendiri. Ilmu itu kurang mengedepankan jaringan berkaitan dengan jiwa dan lingkungan sosial budayanya. Terbagi dalam gambar diagram 8 psiko-sosiogram manusia:

Di rak masih ada satu atau dua buku Koentjaraningrat, masuk daftar baca satu lagi tahun ini. Karena saya bukan lulusan Sosialogi atau Antropologi, buku-buku dari dua jenis ini menarik, selain psikologi. Jadi jelas, nama lokal dengan kualitas bagus pastilah laik diantisipasi. Senang rasanya buku bagus buatan lokal. Terima kasih.

Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan | by Koentjaraningrat | GM 206 74.015 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, November 1974 | Cetakan kdelapan belas, Agustus 1997 | Skor: 4/5

Karawang, 120624 – Linkin Park – In Between

Thx to Erii, Jkt

Tinggalkan komentar