“Saya masih memberi kesempatan kepada klub-klub untuk kembali ke kompetisi yang resmi. Paling tidak sampai Senin ini. Ya, paling lambat Senin malamlah.” – Johar Arifin dalam buku Dari Kekalahan ke Kematian (Mahfud Ikhwan)
Awal tahun yang padat. Saya sudah coba baca santai, tapi kondisi malah mencipta waktu luang lebih banyak. Saya kena shift seminggu masuk jam 12:00 karena pembatasan skala besar Karawang. Maka punya waktu baca pagi lebih panjang habis subuh sampai jam 09:00, luar biasa pagiku benar-benar melimpah.
Dimula dengan Zarathustra di tanggal 1 selesai tepat 31, lalu diselingi buku-buku lain yang lebih ringan. Gila, buku berat dan melelahkan. Namun kelar juga, tepat sebulan! Buku baru sudah Sembilan paket, jadi tumpukan masih sangat tinggi. Semangat!
Segala genre saya lahap!
#1. Life of Pi by Yann Martel
Fantasi atau fakta? Ada dua cerita, yang pertama bersama sesekoci sama macan yang tak bisa dilogika, yang kedua bersama pembunuh yang terbunuh. Endingnya dijelaskan, tapi tetap absurd. Begini seharusnya cerita sebuah perjalanan dibuat. Kalau kita, para warga negara, tidak memberikan dukungan kepada seniman-seniman kita, berarti kita telah mengorbankan imajinasi kita di altar realitas yang kejam, dan pada akhirnya kita jadi tidak percaya pada apa pun, dan mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti. Jelas novel yang laik didiskusikan lanjut.
“Jangan sampai patah semangat, boleh merasa kecil hati tapi jangan menyerah. Ingat semangat sangat penting, melebihi lain-lainnya. Kalau Anda memiliki kemauan untuk hidup, Anda pasti bisa bertahan.”
#2. Dari Kekalahan ke Kematian by Mahfud Ikhwan
Cak Mahfud memang jaminan, sejauh ini. Ini buku kedua tentang sepakbola yang kunikmati, jelas lebih baik ketimbang rangkuman review per pekan sepakbola Eropa dalam ‘Sepakbola Tak Akan Pulang’. Kali ini fokus ke cerita lokal, mayoritas diangkut dari blog-nya belakanggawang.blogspot.com yang diampu bersama Bung Darmanto Simaepa. Sobatnya tersebut, ternyata sobat kental beberapa kali disebut menjadi teman curhat dan nonton bareng. Setara Grandong yang jadi sobat misuhi Liverpool dengan kepleset Gerard-nya. Masih ingat review buku Tamasya Bola? Kata Pengantarnya keren sekali oleh Cak Mahfud, di Dari Kekalahan, dibalik. Pengantarnya oleh Darmanto, panjang meliuk-liuk liar, dan muatan isi bukunya segaris lurus.
“Barangkali sepakbola unik karena ia bisa memberikan harapan berulang kali.”
#3. Oliver’s Story by Erich Segal
Kisah cinta lanjutan. Memang sulit melanjutkan cerita wow, atau setidaknya menyamai. Sekuel yang mengalami penurunan kualitas, tapi masih bagus sebab endingnya pahit, cara berceritanya bagus, pemilihan plotnya lumayan juga. Tak seperti kebanyakan cerita romantis yang mellow. Sesuai harapan, untung sekali mereka ambyar. Walau alasannya terlalu politis, terlalu kurang alami, sekalipun itu terkait aturan birokrasi, menentang prinsip hidup, idealism yang dipegang, sebagai Sarjana Hukum ia jelas menentang eksploitasi anak-anak untuk bekerja, tapi kisah ini jadinya malah muluk, dan adegan Hongkong itu jauh dari kesan asyik seperti eksekusi di Rumah Sakit, ending luluh lantak sebelumnya. Seperti kata Jimi Hendrix waktu Woodstock.
“Keadaan cukup buruk dan dunia ini perlu dibersihkan.”
#4. My Beautiful Feeling by Walter & Ingrid Trobisch
Masturbasi perempuan. Tema yang tabu dari dulu, bahkan sampai era digital ini. Di sini dikupas panjang, dari surat-surat remaja Jerman di masa SMA hingga kuliah, surat-surat pribadi itu dikirim ke seorang psikolog yang biasa mengisi rubrik di Koran nasional tentang tanya-jawab pembaca. Lalu, entah apakah surat ini ditayangkan atau tidak, malah dibukukan. Ini adalah buku kedua terbitan BPK yang kubaca, setelah curhat masa muda Indonesia tahun 1980-an dengan Suhartin, apa yang harus saya lakukan?
“Kalau kau tahu tujuannya, kau dapat menemukan jalannya.”
#5. Mata dan Riwayat Semesta by Wija Sasmaya
Buku tipis yang aslinya hanya berisi 75 halaman. Namun menjadi dua kali lipatnya sebab buku ini bilingual, diterjemahkan jua ke dalam Bahasa Inggris. Dicetak bolak-balik, tapi karena saya saat ini nyaman dengan Bahasa Indonesia, dan celetuk, ‘kurasa buat apa membaca Inggris-nya toh, isinya sama’, maka buku ini hanya kunikmati separuh. Separuhnya bagaimana, mungkin suatu hari nanti kubaca lagi, entah kapan, yang jelas bukan dalam waktu dekat. Dua kali saya memiliki dua sejenis ini, yang pertama karya Marga T, versi separuh asing jelas ku-skip. Benar-benar tak rekomendasi deh ide bikin bilingual gini, boros kertas. Kecuali diterjemahkan, lalu dijual terpisah, jelas itu lain soal sebab tak menempel langsung.
“Hidup itu ibarat cuma mampir minum, dan sebaik-baiknya minum tentu minum air jernih yang menyejukkan jiwa.”
#6. Memoar Ronny Patinasarany by Andreas J. Waskito
Memoar yang berkesan, jadi tahu detail era emas Timnas Indonesia-pun penuh intrik politik. Bagaimana ia dilarang merokok, tak mau nurut dicoret dari skuat, lalu hukuman lama itu dikurangi menjadi beberapa bulan. Buku ini gambaran umum saja, dari karier bolanya yang cemerlang dari Makassar, Surabaya, hingga Jakarta. Bagaimana ia menjadi pegawai Bank BNI, menjadi pencari bakat, lalu musibah kanker yang dialami. Sepertiga akhir adalah masa sulit, pengobatan ke China hingga akhir hidupnya. Lalu sebelum epilog sang istri, kita menyimak pendapat beberapa rekan, keluarga, dan bosnya. Buku yang padat dan emosional.
“Kalaupun anak saya meninggal, dia meninggal dalam kasih sayang saya. Saya rela menghilangkan harga diri, popularitas, hidup… tapi saya tidak pernah rela kehilangan kasih sayang saya kepada keluarga.”
#7. Pembunuh by Rayni N Massardi
Dengan kata pengantar oleh maestro sastra kita, Seno Gumira Ajidarma, sesuatu yang sangat menjual dicetak tahun 2005, di mana dunia sedang mengalami proses transisi ke data digital besar-besaran, apa yang disampaikan secara garis besar mewakili kehidupan kaum urban kebanyakan. Wanita karier yang bosan di ibukota, kekejaman vonis keluarga atas nasib tak bagus saudara dalam acara ngumpul rutin, gadis desa yang merantau, keputusan penting jadi mudik ke Indonesia atau menetap di tanah orang, istri yang cerewet atas kesetiaan suami, kehidupan pagi di stasiun kereta, sampai kehidupan rutin di kantor yang mencipta ‘demo’ akan mesin pencatat kehadiran.
“Kita tidak mungkin bangga akan orang lain, tapi dapat bangga pada diri kita sendiri.”
#8. Kuntilanak Pondok Indah by Lovanisa
Cerita yang aneh, tapi lumayan menghibur juga. Nama-nama karakter utamanya kebarat-baratan semua: pearly (putih dan berkilau seperti mutiara), Cherie (siapanya Cher?), Shena x Xena, dst. Pola hidup orang kota yang kental, jelas kalangan menengah atas: rutin ke salon, makan pizza, naik Yaris, kos? Sewa pembantu merangkap chef merangkap intel dong, mainnya bilyar, di sini disebut Four Hole, mungkin diselingi miras dan obat, tapi tak boleh disebut kena rating ntar. Lupakan logika sebab memang ini buku fun aja, bedakan ‘di’ disambung dan ‘di’ dipisah saja sulit. Bahasanya gaul, lo gue end, No Prob. Melamar pakai cincin berlian dengan mata berwarna putih dikelilingi permata-permata kecil. Romantis itu pakai kawat yang disambung, tapi ya tak level-lah. Liburan? Ke Bali sewa vila, semudah mengucapkan pesan nasi orek di Warteg.
“Mana gue tahu, lo sih Conan bukan, FBI juga bukan, sok-sokan main selidik-selidik aja.”
#9. Zarathustra by Frederick Nietzschie
Buku yang luar biasa (membingungkan). Kubaca ditanggal 1 Januari di rumah Greenvil sebagai pembuka tahun, di tengah mulai kehilangan arah (bosan dan mumet), maka kuselipkan bacaan-bacaan lain yang setelah bulan berganti kuhitung ada 9 buku, tapi tetap target baca kelar buku ini di bulan Januari terpenuhi tepat di tanggal 31 di lantai 1 Blok H, walau tersendat dan sungguh bukan bacaan yang tepat dikala pikiran mumet. Awal tahun ini banyak masalah di tempat kerja, pandemik harus ini itu, aturan baru semakin meluap, dan tindakan-tindakan harus diambil. Di rumah, lagi mumet urusan buku yang menggunung. Maka lengkap sudah Sang Nabi menambah kesyahduan hidup ini dengan sabda aneh nan rumitnya.
“Kita mencintai kehidupan, bukan sebab kita sudah biasa hidup tapi sebab kita biasa mencintai.”
#10. Si Lugu by Voltaire
Buku kecil yang luar biasa. Padat, renyah, sesak, dan pace-nya sangat cepat. Kubaca hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya pada hari Sabtu pagi, 30 Januari 2021 di teras rumah langsung kelar. Seperti inilah novelet harusnya dibuat, ga bertele-tele, gayanya dapat, plotnya bagus, endingnya nyesek, dan ada motivasi yang bisa dipetik. Paket lengkap setengah hari.
“Aneh juga. Kok air mata bisa menimbulkan rasa lega? Saya kira malahan bisa menimbulkan akibat sebaliknya.”
Karawang, 050221 – Dewa 19 – Kamulah Satu-satunya