Hiburan saya adalah membaca, membaca buku-buku bagus, berlindung dalam dunia di mana hidup ini penuh gelora, intens, satu petualangan disusul lainnya, di mana saya bisa kembali merasa bebas dan bahagia. Dan itu ditulis diam-diam, bak seseorang yang menyerahkan diri pada kejahatan tak terkatakan, luapan hasrat terlarang. “Lima puluh tahun silam di Amerika, barangkali Edmund Wilsonlah melalui artikel-artikelnya id New Yorker atau The New Republic yang memutuskan gagal atau berhasil sebuah novel, esai dan puisi. Hari ini penentunya adalah acara TV Oprah Winfrey. Saya tidak bilang ini buruk, semata-mata demikianlah adanya sekarang.”
Sastra adalah pemberontakan permanen dan tidak bisa menerima jaket pengekang. Banyak cara untuk jatuh hati sama karya tulis, dari baca baca novel panjang penuh lika-liku, dari cerpen sederhana yang nge-twist, dari membaca pandangan hidup dan menuangkannnya dalam kumpulan esai. Untuk kali ini saya terpesona cara yang terkahir. Saya langsung jatuh cinta sama Mario Vargas Llosa berkat kumpulan esai ini. Dari ratusan karya tulisnya, saya belum membaca karya fiksi beliau satupun. Namun sudah jelas sangat kelihatan di sini bagaimana beliau berhasil membuka wawasan, mendobrak batas. Bagaimana efektif dan menakjubkannya pemikirannya, pandangan hidup, norma dan prinsip yang dijalani. Matinya Seorang Penulis Besar adalah kumpulan esai dari berbagai sumber. Sang penerjemah menyarikan yang terbaik terbaik, dan ini memang salah satu buku non fiksi terbaik yang pernah kubaca. Lha bagus semua euy, edun! Sebab Penulis, seperti anda ketahui adalah tukang recok abadi. Jos gandos. Menerbitkan buku yang mencoba memulihkan kebenaran yang telah diubah oleh fiksi.
Berisi 10 tulisan dari tahun 1960an sampai 2012, yang digores berdasarkan pengalamannya sendiri. Yang paling menyentuh saat beliau ke London dan menelusur jejak Penulis besar yang terasing di masa tuanya, kata-kata Marx bahwa “Penulis boleh menghasilkan uang untuk bisa hidup dan menulis tetapi tidak sedikitpun ia boleh hidup dan menulis untuk menghasilkan uang. Tidak sedikitpun penulis boleh menganggap karyanya sebagai harta. Baginya, karyanya adalah tujuan dalam dirinya sendiri.” Tulisan dalam Menjenguk Karl Marx (1966), Penulis Manifesto Komunis ini menghabiskan masa tua dalam kemiskinan. Ironis finansialnya sampai dibantu temannya Engels yang miris berujar, “Aku telah mengalami segala jenis permusuhan, tapi kini untuk pertama kalinya aku tahu apa arti kemalangan.”
Umumnya, Penulis Amerika Latin hidup dan menulis dalam lingkungan yang sungguh sulit, sebab masyarakat kita telah memapankan mekanisme membekukan yang hampir sempurna untuk menjegal dan mematikan panggilan hidup. Satu tulisan saat menerima penghargaan Nobel Sastra tahun 2010 di Stockholm juga dipilih dalamjudul Pujian Untuk Membaca dan Karya Fiksi (2010). Keren, menginspirasi untuk mengumpulkan semua pidato pemenang lain pas nerima penghargaan ini. Ayo dong, disusun dan diterbitkan, pasti laku. Lucu dan mengingat pengalamanku suatu malam saat menonton buku di toko buku di Lippo Cikarang yang kini sudah punah. Jadi saya pergi tanpa apa-apa, sesuatu yang jarang terjadi pada saya di toko buku. Sungguh kita akan punah, hanya masalah waktu. Peristiwa-peristiwa ini berlangsung tak lebih lama dari sekejap saat mereka disampaikan, lantas lenyap, tersapu dengan yang lainnya yang pada gilirannya juga akan dihabisi oleh yang lebih baru. Dan bagaimana imajinasi sejatinya memenuhi segala aspek kehidupan. Ibarat orang arif dalam salah satu fantasi indah Borgesian, berpura-pura menanamkan spekulatif dan impian-impian fiktif dalam kehidupan nyata.
Apakah novel ini benar atau bohong bagi sebagian orang sama pentingnya dengan apakah novel itu baik atau buruk, dan banyak pembaca – dengan sadar atau tidak sadar – menilai yang belakangan ini dari yang pertama tadi. Tulisan paling keren ada di bagian Benarnya Kebohongan (1989). Nyentil, unik, nyeleneh, bikin kzl tapi emang faktanya hampir semua buku yang berembel-embel based on true story itu dibumbui dramatisasi yang seringnya malah membuat lenceng cerita parah. Sebetulnya, novel memang berbohong, bahwa dengan berbohong, mereka menyatakan kebenaran ganjil yang hanya bisa diungkap dengan gaya sembunyi dan terselubung, tersamar sebagai sesuatu yang tidak seperti adanya. Pastinya selalu ada modifikasi, improvisasi sang Penulis sangat dibutuhkan. Orang tidak menulis novel untuk mengisahkan ulang kehidupan tetapi lebih untuk mengubahnya dengan menambahi sesuatu. Dengan cara yang kurang kasar dan kurang eksplisit, dan juga kurang sadar, semua novel membentuk ulang realitas.
Kehidupan fiksional adalah sebuah simulakra di mana ketidakteraturan yang memusingkan menjadi keteraturan: organisasi, sebab akibat, awal dan akhir. Sudah baca The Sound and The Fury? Novel karya William Faulkner itu tampak indah karena keberhasilan mencipta sebuah labirin di masa lalu, masa kini dan masa depan hidup berdampingan dan saling meniadakan. Kadang secara halus, kadang secara kasar, fiksi menghianati kehidupan, membungkusnya dalam jalinan kata-kata yang mereduksi skalanya dan membuatnya dapat digapai pembaca. Saya ingat membacanya di sebuah masjid di Depok, butuh lebih dari empat minggu, butuh konsentrasi berlebih karena memang kita ditenggelamkan dalam air sampai megap-megap. Fiksi bisa menjadi terlihat seperti kreasi serampangan, trik memperdaya pikiran yang sekenanya saja. Fiksi adalah pengganti sementara kehidupan. Kembali pada realitas selalu menjadi pemiskinan brutal. Manusia tidak puas dengan nasibnya dan nyaris semuanya – kaya atau miskin, cemerlang atau biasa-biasa aja, termasyur atau tidak – menginginkan hidup berbeda dari yang sedang mereka lakoni. Untuk meredakan – meski dengan cara yang menyimpang – rasa lapar tersebut, lahirlah karya fiksi.
Dalam Sastra Itu Api (1967), Mario Llosa bercerita proses panjang mencipta karya. Ingatkan mereka bahwa sastra itu api, yang berarti perbedaan pendapat dan pemberontakan, bahwa alasan keberadaan seorang Penulis adalah protes, konfrontasi serta kritik. Beliau berujar, “Venezuela telah membuat saya terbenam utang berlimpah ruah. Satu-satunya cara saya bisa membayar balik utang ini adalah dengan menjadi dalam batas-batas kekuatan saya, kian teguh dan kian setia pada panggilan untuk menulis ini, yang tak pernah saya sangka akan memberi kepuasan yang saya rasakan ini hari.” Nah, hasil yang baik selalu ada pemicu. Penting bagi tiap orang untuk memahami soal ini sekaligus: makin kritis tulisan-tulisan seorang Penulis menentang negeranya, makin intens gairah yang mengikat dia ke Negara tersebut. Sebab dalam ranah sastra, kekerasan adalah bukti cinta. Setuju sekali kan kalau kubilang Pram jadi hebat karena memang keterbatasan, kungkungan, pengasingan itu membuatnya melawan dan menulis jadi semacam perjuangan. Seperti kata Valle Inclan, “Keadaan adalah bukan seperti apa kita melihatnya, tetapi seperti apa kita mengingatnya.” Mencintai Negara tempat seseorang dilahirkan tidak bisa menjadi suatu kewajiban, tetapi seperti cinta lainnya haruslah sebuah laku spontan yang keluar dari hati seperti cinta yang menyatukan sepasang kekasih, orang tua dan anak serta teman-teman.
Sentilan paling ngena ada di Peradaban Tontonan (2012). Mungkin karena tulisan paling fresh, diketik tahun 2010an pasca menerima gelar tertinggi maka sungguh actual kata-katanya dengan era sekarang. Apa yang kita maksud terhadap perabadan tontonan? Yakni adalah dunia di mana tempat teratas dalam skala nilainya diisi oleh hiburan, di mana bersenang-senang, lari dari kesuntukan, menjadi hasrat universal. Relevan dengan dunia sosmed kita, bagaimana ada begitu banyak tunggangan untuk aktualisasi diri. Dan – maaf sebelumnya, bila ada yang tersinggung – agama dianut sebagai basa-basi sosial, sementara sebagian besar hidup mereka sesungguhnya tak terjamah agama.
Dalam ending tulisan ini sungguh mengeri karena menurut Llosa: media audiovisual, film, televisi, dan kini internet menyisihkan buku-buku, dan bila prediksi pesimisme George Streiner benar terjadi, maka dalam waktu dekat buku-buku akan terbuang ke katakombe. Rasanya tak rela, kalau koran, majalah dan sejenisnya yang mengejar harian berita bisa saja digerus tapi untuk buku-buku semoga tak dalam waktu dekat. Minimal please, generasi setelah Hermione. Internet kita tak sehat. Di bidang informasi tanpa disadari prioritaspun terjungkir balik: berita menjadi penting atau tidak penting bukan karena muatan ekonomi, politik, kultural atau sosial. Tetapi terutama dan kadang semata-mata karena ia baru, mengejutkan, menggemparkan dan spektakuler. Saya mencoba membatasi diri untuk dapat berita di internet, tapi sosmed pertemanan kan kita tak bisa menghalangi semua rekan untuk berbagi berita, malangya paling sebal kalau ada yang sher berita negative, lebih bikil kzl berita negative terkait politik. Alamak! Pertarungan Pemilu ini rasanya muak, dan ingin segera terlewati. Namun, baik si perempuan maupun tokoh-tokoh yang menyaksikan polahnya tidak tertawa karena bagi mereka tangis itu sendiri bentuk murninya bersinomin dengan kesedihan. Tak ada cara lain untuk bersedih kecuali menangis, “Meneteskan air mata yang hidup” kata sebuah novel, karena di dunia ini bentuklah yang penting, isi dari segala tindakan menginduk pada bentuk. Keremeh-temehan dunia, main-main, lagak, hiburan. Selain ‘benar-benar berteman’ dengan teman dan keluarga, saya (seolah) harus bentengi diri untuk berteman dengan komunitas film, para kutu buku dan tentu saja Laziale. #ForzaLazio Keberlebihan selalu lumrah, tak pernah menjadi perkecualian.
Sering dibilang bahwa istilah ‘intelektual’ baru lahir pada abad 19 di Prancis selama kasus Dreyfus dalam polemik yang ditimbulkan oleh artikel terkenal Emile Zola. “J’accuse”.
Tulisan paling standar mungkin di bagian Epitaf Untuk Sebuah Perpustakaan (1997) tentang petualangannya ‘jalan-jalan’ di London. Tak seperti bagian menjenguk sang filsuf, bagian ini lebih umum mengumbar pandangan, betapa ia bahagia ke sana. Kepindahan ini sebuah metamorphosis: selubung menyesakan dari kehidupan nyata kita tersibak dan kita meninggalkannya untuk jadi orang lain, menjalani perjalanan-perjalanan akrab yang dibikin seperti pengalaman kita sendiri di novel.
Sebagai Tulisan yang dinukil sebagai judul buku Matinya Penulis Besar (1994), bagaimana ia nyentil sampah karya. Dalam masyarakat macam ini bisa jadi buku-buku tetap ada, tetapi sastra mati sudah. Menurutku karya kurang mutu itu juga perlu ada kok, menjadi besar butuh proses dan menuju ke sana banyak kritik karya terbebaran, saya lebih suka menyebut buku yang mengecewakan sebagai sebutan ‘Bukan Selera Saya.’ Banalisasi yang dihasilkan oleh pusaran ini adalah tak ada buku yang permanen, semua lewat dan tak ada yang kembali sebab sastra kini hanya bermakna sebagai produk bagi konsumsi jangka pendek, hiburan sejenak atau sumber informasi yang kadaluwarsa secepat kemunculannya. Saya menganggap karya yang menurutku buruk, berarti memang buku itu dicipta bukan untukku dan mungkin untuk orang lain yang lebih pas, yang sesuai genre-nya. Seperti buku-buku Tere Liye, jelas itu sampah bagiku tapi nyatanya setiap tahun bukunya muncul di rak best seller! Merupakan hak prerogatif masyarakat terbuka. Dalam masyarakat ini keduanya hidup berdampingan, merdeka, dan berdaulat meskipun saling melengkapi dalam hasrat utopisnya untuk mengikutsertakan seluruh masyarakat. Berkat demokrasi dan pasar begitu banyak manusia bisa membaca dan mampu membeli buku, sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa lampau ketika sastra adalah agama dan penulis adalah sesosok dewa kecil yang diberi penghormatan dan puja-puja oleh ‘minoritas kebanyakan.’ Lihatlah di rak-rak toko buku, remaja yang bahkan masih minta uang jajan sama orang tua kini bisa menulis cerita dewasa, era digital, globalisasi, internet mengubah banyak sekali hal dan kebiasaan. Jadi jarak Penulis dan Pembaca kini setipis gawai di tangan. Karena sesungguhnya seseorang yang berbakat dalam karya-cipta sastra dan sanggup menulis novel bagus atau sajak indah tidak serta-merta waskita secara umum. Maka genre KKPK misalkan, itu adalah sebuah hal positif untuk literasi kita. Ditulis oleh anak-anak dikonsumsi anak-anak, ibarat tabungan generasi yang saya yakini mereka-mereka nantinya menjadi penerus kutu buku berkualitas karena pengalaman hidup mutlak diperlukan. Hampir bagi setiap penulis, kenangan adalah titik mula fantasi, landasan yang meluncurkan imajinasi menuju fiksi dalam arah terbangnya yang tidak bisa terprediksi.
Kita kembali ke awal, esai pembuka buku ini adalah Nona Dari Somerset (1983) tentang kebaikan yang ditularkan, apa yang ditanam itulah yang dituai. Surat wasiatnya sesungguhnya adalah penghakiman tegas atas dunia menjijikan tempatnya dilahirkan, yang ia upayakan dengan keras untuk tidak ia hidupi. Walau materi tetaplah perlu, sejatinya semua akan digerus waktu. Sebagai anak-anak saya punya mimpi suatu hari ke Paris karena silau oleh sastra Prancis, saya yakin bahwa tinggal di sana dan menghirup udara yang dihirup oleh Balzac, Stendhal, Baudelaire dan Proust akan turut mengubah saya menjadi Penulis sungguhan. Atas alasan itulah sastra adalah ranah sempurna bagi ambiguitas.
Semakin dekat satu sama yang lain, makin benarlah ia; semakin jauh, semakin menipu. Menyebut sejarah Revolusi Prancis karya Michelet atau sejarah penaklukan Peru karya Prescott itu ‘novelistik’ berarti menghina mereka, mencibir mereka kurang serius. Atau malah justru karena itulah, sastra mengisahkan ulang sejarah yang tidak bisa atau tidak sanggup ditulis oleh sejarah tulisan sejarawan.
Mereka mengomunikasikan pada kita kebenaran-kebenaran yang numpang lewat dan mudah menguap yang selalu luput dari deskripsi saintifik atau realitas. Manakala kita membuka sebuah buku fiksi, kita setel diri kita untuk menjadi saksi representasi, di mana kita tahu betul bahwa air mata atau kuap kantuk kita tergantung sepenuhnya pada baik buruknya guna-guna yang dimantrakan snag narator pada kita agar menghayati kebohongannya sebagai kenyataan. Dalam masyarakat tertutup, cepat atau lambat masa lalu akan menjadi subjek manipulasi dengan sebuah pandangan untuk membenarkan masa kini.
Tokoh-tokoh protagonis yang timbul tenggelam tanpa jejak tergantung apakah mereka sedang dijunjung atau dienyahkan oleh kekuasaan yang ada.
Membaca mengubah mimpi menjadi hidup dan hidup menjadi mimpi dan menempatkan semesta sastra dalam jangkauan anak kecil seperti saya dulu. Untungnya ada para maestro untuk dipelajari dan teladan-teladan untuk diikuti. Flaubert mengajari saya bahwa bakat adalah disiplin yang ulet dan kesabaran panjang. Faulkner bahwa bentuk – penulisan dan struktur – mangangkat atau memiskinkan tema. Martorell, Cervantes, Dickens, Balzac, Tolstoy, Conrad, Thomas Mann bahwa besaran dan ambisi sama pentingnya dalam sebuah novel sebagaimana ketangkasan stilistik dan strategi narasi. Sartre bahwa kata-kata adalah aksi bahwa novel, drama atau esai yang bergulat dengan aktualitas dan pilihan-pilihan yang baik bisa mengubah jalan sejarah. Orwell dan Camus bahwa sastra yang dilucuti dari moralitas itu tidak manusiawi. Dan Malraux bahwa horeisme dan tindakan epic masih mungkin pada zaman ini sebagaimana zaman Argonaut, Odisea dan Illiad.
Llosa di bagian akhir bilang bahwa “Keraguan ini tak pernah mematahkan panggilan saya dan saya pun terus menulis, bahkan ketika masa-masa mencari nafkah menyita sebagian besar waktu saya. Saya yakin akan apa yang saya lakukan ini benar karena agar sastra bisa berkembang sebuah masyarakat pertama-tama perlu untuk mencapai kebudayaan tinggi. Ibarat menulis, membaca adalah protes terhadap tidak memadai hidup.“
Kita mengarang fiksi agar bisa menjalani banyak hidup yang ingin kita lakoni padahal kita sendiri Cuma punya satu kehidupan yang tersedia. Llosa yang menjelajah menjadi warga dunia dan berujar saya tak merasa menjadi orang asing di Eropa, atau sejujurnya di manapun. Di semua tempat yang peranh kutinggali, saya merasa betah. Kediktatoran menghasilkan kedurjanaan absolut untuk sebuah negeri, sumber brutalitas dan korupsi serta luka-luka mendalam yang butuh waktu lama untuk menutup, meracuni masa depan bangsa, dan membentuk kebiasaan dan praktik-praktik mudarat yang bertahan selama sekian keturunan dan menghalangi rekonstruksi demokratis. “Yang memalukan kehidupan di zaman kita bukanlah serangan terhadap nilai-nilai moral, melainkan terhadap prinsip realitas.”
Untuk kesekian kalinya saya baca terjemahan Bung Ronny Agustinus, hebat sekali penerjemah yang satu ini. Bukunya tersebar di mana-mana, dari berbagai penerbit. Salut! Kualitas OK, mudah dipahami, sangat nyaman dibaca, serta mengalir mengikuti genre setiap Penulis aslinya. Mantab soul! Bung Ronny seolah hanya penyaluran ke penerbit. Tanpa penerbit, tanpa pembaca tanpa budaya yang merangsang, menuntutnya, Penulis Amerika Latin adalah orang yang berangkat perang dengan tahu sejak awal bahwa dia akan kalah. Amerika Latin tiga puluh tahun lalu, mirip dengan Indonesia saat ini. Budaya baca masyarakat kita masih rendah.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip ini, “Budaya-budaya religius menghasilkan puisi dan teater, tetapi jarang-jarang sebuah novel besar. Karya fiksi adalah seni suatu masyarakat yang imannya sedang menghadapi krisis tertentu, di mana orang percaya pada sesuatu, di mana visi yang satu, absolut dan terpercaya digantikan visi yang retak serta ketidakpastian tentang dunia yang ditinggali seseorang beserta akhiratnya.” Jadi sekarang kita bisa tempelkan sebuah pengumuman di setiap atap tv masyarakat, ‘Dicari JK Rowling-nya Indonesia!’
Matinya Seorang Penulis Besar |oleh Mario Vargas Llosa | Diterjemahkan (terpilih) dari empat buku Contra Viento y Marea, La Verdad de la Mentiras, El Lenguaje de la Pasion, dan La Civilizacion del Espectaculo + Pidato penerimaan Nobel Sastra | Penerjemah Ronny Agustinus | Penyunting Adhe | Tata Letak Wediantoro | Penyelaras akhir Ipank Pamungkas | Desain sampul Sukutangan | Cetakan Kesatu, 2018 | ISBN 978-602-6657-94-7 | x + 142 Hlm; 13 x 19 cm | Penerbit Immotal Publising dan Octopus | ig @shiramedia | Skor: 5/5
Karawang, 2510 – 171218 – Sherina Munaf – Menikmati Hari