Yes to Life #22

“Sesungguhnyalah waktu yang dimanfaatkan dengan baik seolah diawetkan. Inilah bentuk eksistensi paling aman. Eksistensi kebermanfaatan yang tidak akan terancam oleh kefanaan apapun.”

Kebahagiaan sendiri tidak termasuk dalam kategori tujuan hidup. Rilke berteriak, “Seberapa banyak lagi kita harus menderita?” Rilke memahami bahwa pencapaian kita yang bermakna dalam hidup ini setidaknya sama-sama dapat diraih melalui penderitaan sebagaimana dengan bekerja.

Awalnya, kukira ini buku baru dengan penulis yang masih aktif. Beberapa kali dikutip, dan sering kali muncul di beranda sosmed, buku-buku Frankl cetakan baru tampak fresh. Ternyata, beliau hidup di era Perang Dunia Kedua. Ini sejenis memoar, dibumbuhi nasihat kehidupan, dan ya, sebagai orang yang pernah masuk ke kamp konsentrasi NAZI, optimism menghadapi hari esok jadi sangat penting.

Dibuka dengan sangat bagus oleh penulis kenamaan Daniel Goleman, menjelaskan banyak makna dan perjalanan hidup sang penulis. Ungkapan ‘Yes to Life;, Frankl mengingatnya, berasal dari lirik lagu yang dinyayikan secara sotti voce – sepelan mungkin, agar tidak memancing kemarahan sipir penjaga kamp konsentrasi. Apa yang dimimpikan para lelaki di kamp konsentrasi? Selalu sama: selalu roti, rokok, kopi tubruk yang layak, dan terakhir tetapi tak kalah penting, berendam air hangat.

Makin tahu kehidupannya, makin kagum. Pembebasan dari kamp kerja paksa Turkeim. Menurut Frankl, tak ada yang berhak menilai hidup seseorang itu tak berarti, atau menganggap orang lain tidak layak memiliki hak untuk hidup.

Sebenarnya hanya ada tiga bab, penjabaran pembuka dan penjelasannya yang panjang. Tentang Makna dan Nilai Kehidupan I dan II, dan Experimentum Crucis (Eksperimen yang Menentukan). Hanya itu, yang lainnya penambahan edisi baru.

Hitler berpendapat bahwa orang akan percaya pada sesuatu yang sering diulang-ulang, dan jika informasi yang berlawanan denganya terus-menerus disangkal, dibungkam, atau ditolak dengan kebohongan lainnya. Inilah tugas pembawa berita, kebenaran penting. Melawan “kebenaran-semu” yang membahayakan.

Program Eutanasia adalah program pembunuhan massal pertama yang dilakukan Nazi pada 1939, dua tahun sebelum genosida kaum Yahudi di Eropa, dengan sasaran mereka yang menyangdang gangguan mental parah dan “tak tersembuhkan.” Mengerikan bukan?

Sekarang ini perdebatan eutanasia hanya menyangkut sisi ‘kematian yang baik’ dari istilah tersebut, di mana seorang penderita sakit parah, yang biasanya merasakan sakit yang luar biasam memilih mati demi mengakhiri penderitaannya sendiri.

Pendekatan yang mereka lakukan berasal dari gerakan ‘eugenetika’ Amerika, sebuah bentuk Darwinisme sosial yang membenarkan masyarakat untuk membersihkan kelompoknya sendiri dari mereka yang dianggap ‘tidak layak’, sering kali dengan melakukan sterilisasi paksa.

Menurut Frankl, ada tiga cara utama orang memenuhi makna hidupnya. Pertama, tindakan (aksi), seperti menciptakan sebuah karya, entah itu seni atau kegiatan apa pun yang dicintai. Kedua, makna bisa ditemukan saat kita menghargai alam, karya seni, atau cukup dengan mencintai seseorang. Kierkegaard bilang pintu kebahagiaan selalu membuka ke arah luar. Ketigam orang dapat menemukan makna hidupnya ketika ia beradaptasi dan merespons batas-batas yang tak terhindarkan atas kemungkinan-kemungkinan hidupnya. Hidup kita mendapat makna lewat tindakan-tindakan kita, lewat mencinta, dan lewat pederitaan.

Dia merasa bahwa anak-anak muda yang menyaksikan perang, telah melihat terlalu banyak kekejian, penderitaan yang tak bermakna, dan kegagalan yang menyedihkan untuk sekadar menanamkan pandangan positif, apalagi antusiasme. Samuel Beckett, Menunggu Godot, sebuah ekspresi sinisme dan keputusasaan pada masa-masa itu.

Di tengah kekejian penjaga kamp, pemukulan, penyiksaan, dan ancaman kematian yang terus-menerus, terdapat satu bagian hidup yang tetap bebas: pikiran mereka. Kemampun batin inilah kebebasan sejati manusia.

Persepsi kita atas peristiwa-peristiwa dalam hidup, bagaiamana kita menyikapi mereka, sama atau bahkan lebih penting ketimbang peristiwa itu sendiri. “Nasib” adalah apa yang menimpa kita tanpa bisa kita kendalikan, namun masing-masing kita bertanggung jawab atas cara bagaimana menempatkan peristiwa yang kita alami dengan cara yang lebih bermakna.

Kant bilang segala sesuatu memiliki nilai, tetapi menusia memiliki martabat, seorang manusia tidak seharusnya menjadi sebuah alat untuk suatu tujuan. Sebuah mitos kuno menyebutkan bahwa keberadaan dunia ini hanya bergantung pada tiga puluh enam orang yang sungguh-sungguh adil, yang selalu ada setiap saat. Kant juga bilang, sekarang bukan mempertanyakan. “Apa yang bisa kuharapkan dari hidup.” Melainkan, “Apa yang diharapkan hidup dari saya?”

Apa yang telah kita pelajari dari masa lalu? Dua hal: segala sesuatu bergantung pada individu-individu manusia, terlepas dari seberapa kecil jumlah orang yang berpikiran serupa dan segala sesuatu bergantung pada masing-masing orang melalui tindakannya.

Bunuh diri dengan motif kehidupan tidak pantas dijalani, tidak percaya pada makna hidup itu sendiri, umum disebut ‘bunuh diri neraca (kehidupan)’ atau balance sheet suicide. Orang yang melakukan bunuh diri, bukan hanya tidak memiliki semangat hidup, tapi juga tidak memiliki kerendahan hati terhadap hidup.

Kata Goethe, “Tidak ada kesulitan yang tak dapat dimuliakan, baik itu dengan pencapaian-pencapaian maupun dengan ketahanan dan ketabahan.” Entah kita berusaha mengubah nasib kita, jika mungkin, atau kita bersedia menerimanya bila perlu.

Holderlin bilang, “Kalau aku melangkah dan menapaki kemalanganku, maka aku berdiri lebih tinggi darinya.”

Masa hidup kita tidak akan kembali, ketetapan dari apa pun yang kita lakukan untuk untuk mengisinya, atau tidak mengisinya, yang membuat keberadaan kita penting. Setiap orang harus bertanggungjawab atas eksistensinya sendiri. Penyair Jerman, Christian Friedrich Hebbel mengatakan, hidup bukanlah sesuatu, hidup adalah kesempatan bagi sesuatu.

Pemenuhan makna hidup bagi manusia dilakukan dalam tiga arah, manusia mampu memberikan makna pada eksistensinya, pertama dengan melakukan sesuatu, dengan bertindak, dengan mencipta, kedua dengan mengalami sesuatu, ketiga manusia dapat menemukan makna bahkan ketika tidak memungkinkan bagi mereka untuk menemukannya dengan kedua sisi di atas.

Setelah usai baca, saya malah langsung teringat Mark Manson. Dua bukunya: Sikap Bodo Amat dan Segala-galanya Ambyar terasa banyak mengekor buku buku ini (atau juga buku Frankl lainnya). Tentang penderitaan, tentang positif thinking, tentang optimism, hingga pola menjalani hidup penuh syukur. Pinter juga Mark, Blogger penulis yang memodifikasi banyak gaya, belajar dari para orang hebat, menjadikannya pijakan tulisan.

Buku Frankl banyak diterbitkan Noura, ini yang gres dan malah jadi buku pertama yang kubaca. Suka, dan jelas memasukkan ke daftar antrian ingin mengoleksi. Ilmu psikologi, bagaimanapun turut membangun peradaban, menangani manusia selalu menyesuaikan zaman, tapi tetap spirit utama dalam kehidupan ini, yang utama bertahan hidup. “Apa pun yang masih manusiawi, masih layak dipertahankan.” Katakan YA pada hidup, apa pun yang terjadi. Katakan YA pada kehidupan.

Yes to Life | by Viktor E. Frankl | Diterjemahkan dari Yes to Life | Terbitan Beacon Press, 2019 | Bahasa asli Jerman Uber den Sinn des Lebens | Terbitan Beltz Verlag, Beltz Weinheim Basel | Penebit Noura Books | Penerjemah Pangestuningsih | Penyunting Shera Diva | Penyelaras aksara Nurjaman & Dhiwangkara | Penata aksara Aniza Pujiati | Ilustrator sampul Silmi Sabila | Perancang sampul @platypo | Cetakan ke-1, Juni 2021 | ISBN 978-623-242-218-6 | Skor: 4/5

Untuk mendiang ayahku

Karawang, 220622 – Carly Rae Jepsen – Western Wild

Thx to Toko Gunung Agung Mal Resinda, Karawang

#30HariMenulis #ReviewBuku #22 #Juni2022

Promising Young Woman: Tepuk Tangan Untuk Kelihaian Plotnya

Cassie: “Aku memaafkanmu.”

Tidak ada perselisihan tentang rasa dan merasakan. Ini adalah film komedi, tapi ternyata tawa itu pahit. Ini film thriller, tapi ketegangannya merajah mual, ini film drama romantis, ah ga juga. Adegan pembunuhannya menampar roman indah para pujangga. Ini jelas kisah yang kompleks, aduhai sampai menang Oscar. Tepuk tangan untuk kelihaian plotnya. Menakjubkan, rentetan kepedihan menguar sampai menit akhir, bahkan setelah layar ditutup saya tak tahu mau bilang apa. Tema yang ditawarkan adalah dendam yang disimpan, lalu direncana dibalaskan dengan kesabaran tinggi dan gaya jungkir balik. Endingnya mungkin membuat shock, tak selancar itu tatanan rencana yang dibuat. Menohok dengan keras para penikmat happy ending Disney. Semua itu menyembur dari kalian bagaikan sebersit api dalam kegilaan balas dendam. Dan bilamana mereka menyebut diri manusia benar, hhhmmm… bagaimana ya menyebutkan, sederhananya takdir mencoba senyum dalam, yang baik dan yang adil.

Kisahnya tentang Cassandra ‘Cassie’ Thomas (diperankan dengan brutal sekaligus menawan oleh Carey Mulligan). Ia adalah perawan tua yang menganggur, kuliah kedokteran drop out, menikmati masa lajang bersama ibu-bapaknya dengan (seolah) hura-hura di diskotek, pub, bar, tempat nongkrong sosialita. Di usianya yang awal kepala tiga ia tampak tak tentu mau ke arah mana. cantik, itu luka. Kehendak adalah kuasa.

Dibuka dengan adegan mabuk di bar, Cassie menggoda para pria, dengan kode dan arah ke seks bebas. Dia menunggu orang-orang yang kehendaknya berjalan dengan kaki-kaki lemah – dia menunggu-nunggu seperti laba-laba, menggoda yang ada. Maka saat ia bergelayut di pundak Jerry, di taksi yang lalu berbelok ke apartemen. Dalam drama romantis yang umum dan kita kenal, ini mengarah ke adegan wik-wik, tapi tidak kawan. Ini kisah horor buat penikmat seks bebas, Jerry kena tampar di menit akhir di atas ranjang.

Wanita muda yang menjanjikan ini hanya bekerja di kedai kopi milik temannya, ia menikmati masa sendiri. Banyak pengunjung menggoda, banyak pria terpesona tapi memilih jomblo, sampai-sampai Gail sobatnya heran. Pada suatu masa salah satu tukang ngopi itu adalah teman sekolahnya Ryan Cooper (Bo Burnham) yang sudah jadi dokter muda, tampan, dan tampak terpesona. Meminta nomor HP, malah dikasih nomor palsu.

Di ulang tahunnya Cassie dapat koper pink dari orangtuanya, seolah pertanda diminta cabut dari rumah. Memertanya arti kehidupan, ke depan sebenarnya mau apa? Tak ada ambisi, taka da keinginan menikah atau karier yang lebih menjanjikan, padahal cantik dan penuh sensasi seksual. Lalu kita tahu, ada masa lalu kelam dalam hidupnya. Bagaimana rasa kehilangan sahabat menjadi titik penting dalam hidupnya, dalam cerita ini. Kesalahan pun dapat menimbulkan efek samping yang menarik.

Hatinya lalu sedikit dibuka, ajakan kencan Ryan diladeni, ajakan jalan itu memberi asa kepada kedua orangtuanya, dibawa pulang diperkenalkan dengan canggung dan tawa kaku, Cassie normal dan memiliki harapan segera menikah. Dalam kencan Ryan secara sepintas menyebut rekan kuliahnya Alexander ‘Al’ Monroe (Chris Lowell) akan menikah, kalimat sepintas itu malah memicu klik dahsyat. Sebuah fakta buruk dicerna, diolah, lalu didengungkan dengan liar.

Adalah Nina Fisher, sobat kentalnya yang menjadi korban. Ia adalah korban pemerkosaan al dan kawan-kawan, walaupun sudah melapor dan memerjuangkan keadilan, harapan ganjaran ke pelaku tak didapat, Nina akhirnya bunuh diri. Inilah pemicu utama, Cassie luluh lantak, hatinya hancur. Lantas saat mendengar Al, sang pelaku akan menikah langsung membara dendam dan segala niatan balas.

Jalan itu berliku, dimulai dengan Madison McPhee (Alison Brie) yang diajaknya makan siang, sebagai teman lama yang lost contact, Madison senang aja mabuk bersama. Namun ini hanya kamuflase yang tak disadari teman lamanya, sebab ia lalu meminta lelaki untuk membereskannya. Kedua, ia lalu ke sekolah mencari siswi bernama Amber yang dijebak untuk makan malam dengan band ternama, yang menghubungkan dengan Dean Elizabeth Walker (Connie Britton), teman lama yang kini menjadi pengajar. Ia menuntut penjelasan dan permintaan maaf, sebab putrinya Amber kini terbaring lemah di sebuah hotel. HPnya dibalikin dan ia menuai kepuasan dendam, bagaimana kasus Al memudar adalah kesalahan.

Target ketiga adalah mantan pengacara Jordan Greene (Alfred Molina), pengacara yang membela Al, ternyata ia sudah tobat. Rencana jahat Cassie ditangguhkan sebab Jordan sudah mengakui segala kesalahannya, menangis penuh penyesalan. Tindakan tepat, sebab pembunuh bayaran yang menanti di luar diminta mundur. Cukup? Belum, target utama adalah Al, dan susunan itu menjadi liar saat salah satunya malah memberi rekaman video saat kasus itu terjadi.

Ada Ryan, yang awalnya akan memenuhi hatinya. Pria jahat yang akhirnya jadi jembatan menuju pesta bujang Al di sebuah vila sewa di sebuah pulau yang redup dan mematikan. Rencana dendam itu disusun dengan bagus, melibatkan busana perawat, borgol dan segala jenis seks appeal yang coba dituangkan. Namun tak berjalan mulus. Sang wanita menjanjikan, menuntaskan misi dengan kejutan menawan. Ditutup dengan menakutkan sekaligus indah lagu Angel of the Morning-nya Juice Newton.

Bagus sekali, pantas menang naskah asli terbaik Oscar tahun ini. Dibanding kisah nomaden yang boring, atau keluarga Korea yang galau, cerita yang disajikan Promising memang paling liar dan penuh gaya. Tak tertebak, tak semulus paha Carey Mulligan, plotnya malah gelap dan menghantui. Kurang lega? Wajar, sudah lega? Wajar juga. Penafsiran akhir memang bercabang, sejatinya kisah nyeleneh semacam ini malah bagus sekali.

Debut Emerald Fennell yang manis. Dalam sebuah adegan Cassie membaca buku di kedai kopi dengan judul ‘Careful How You Go’ yang ternyata adalah naskah film pendek yang dibuat sang sutradara. Semakin banyak dan berbeda-beda watak tokohnya, semakin tidak jelas karakter yang dicipta dalam skenario, semakin bagus. Pantas dinanti karya-karya berikutnya.

Promising memuat suatu obsesi ganjil yang, saat dipikir ulang ternyata wajar saja. Kita tak bisa menarik suatu kesimpulan yang absah dari cerita yang bersikap rekaan. Yang kita dapatkan hanyalah sejumlah alternatif yang bisa menjelaskan mutu film ini yang, terutama ditampilkan paling akhir. Kalung yang disatukan, kelegaan yang tak melegakan atau ketidaksenangan atas kepuasan. Entahlah, Promising memang bercabang di mana kita berdiri titik tengah diantara senang dan sedih.

Ceritanya terlalu memesona untuk dikeluarkan dari relnya oleh analisis. Dengan begitu pemecahannya tetap dilakukan secara puitis. Karena ini fiksi, cara mengidentifikasinya juga kudu benar-benar khayali. Cumbuan di antara keanggunan yang penuh kemenangan, semua kegairahan nyanyian tak peduli proses penangkapan itu dalam dramatis pernikahan. Biarkan kalung itu disatukan dengan damai dan teks-teks terencana itu dikirim dalam keteduhan, ‘ Love, Cassie and Nina 🙂

Tidak ada hal lain yang kita percayai dibanding perasaan kita sendiri, ego kita sendiri.

Promising Young Woman | Tahun 2020 | Directed by Emerald Fennell | screenplay Emerald Fennell | Cast Adam Brody, Ray Nicholson, Sam Richardson, Carey Mulligan, Timothy E. Goodwin, Bo Burnham, Christopher Mintz-Plasse | Skor: 4.5/5

Karawang, 120521 – Frank Sinatra – Something Stupid

A Place for My Head Lagu Terbaik Yang Terlewatkan Untuk Jadi Single

Saya jatuh cinta pada pendengaran pertama sama musik yang dimainkan oleh band asal California, Linkin Park (LP). Waktu itu di kelas ada seorang teman yang sedang mendengarkan musik via walkman di pojokan. Karena kelas lagi kosong saya iseng nyamperin dia dan gangguin temanku yang lagi santai. Setelah pembicaraan yang panjang lebar saya diperbolehkan pinjam satu earphone untuk ikut menikmati musiknya dan kertas albumnya saya lihat-lihat. Teringat jelas waktu itu album Hybrid Theory yang saya pegang ini ada yang special. Kerika saya pasang di telinga, musiknya menghentak keras. Saya langsung jatuh hati kepada Linkin Park.

Di zaman saya sekolah keping mp3 belum booming, HP masih jadul dan kaset pita masih berkuasa. Beberapa hari kemudian saya sudah menggenggam album perdana kaset pita Linkin Park. Waktu itu harganya masih Rp 21 ribu. Menurut saya dengan pengeluaran segitu masih worth it untuk masuk koleksi. Setelah otak-atik deretan lagu side A dan side B. Menurut saya lagu terbaiknya adalah A place for my Head (APFMH) dan itu tak masuk ke dalam single yang dibuat video klip. Beruntun single album ini adalah: One Step Closer, Crawling, Papercut dan In the End lalu re-release untuk special edition dengan menambah lima lagu, tiga diantaranya adalah live record sedang yang dua lagu yaitu High Voltage dan My December adalah baru. Walau terdengar melow, My December dipilih jadi hit andalan.

List Lagu:

  1. Papercut
  2. One Step Closer
  3. “With You”
  4. Points of Authority
  5. Crawling
  6. “Runaway”
  7. “By Myself”
  8. In the End
  9. “A Place for My Head”
  10. Forgotten
  11. “Cure for the Itch”
  12. Pushing Me Away

Special Edition

  1. “Papercut” (Live)
  2. “Points of Authority” (Live)
  3. “A Place For My Head” (Live)
  4. My December
  5. “High Voltage”

Nah dari keseluruhan lagu yang ada dan dalam pemilihan hit saya rada complain kenapa lagu sebagus A place for My Head ga masuk single? Lagu ini sungguh luar biasa bising namun terdengar merdu yang mana perpaduan tak terungkapkan dengan kata-kata bahwa ketika Mike ngerap di-mix dengan dentuman drum yang konsisten, iringan musik yang slow dihajar teriakan sekencang-kencang-nya Chester menghasilkan lagu yang sempurna.

Walau sempat terpesona sama Faint dan rintikan easier to run di album Meteora, tapi tetap teriakan Go away Go away dalam APFMH masih menduduki puncak lagu terbaik LP.

Gambar

A Place for My Head adalah lagu terbaik yang terlewatkan untuk jadi single.