Perkara Mengirim Senja


“Aku adalah potongan senja yang kau ambil untuk pacarmu. Tinggal seperempat. Tiga perempatnya telah hancur oleh hujan yang kauciptakan.”

Kumpulan cerpen keroyokan. Sebuah persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma (SGA). Bagus-bagus, aku suka. Memang kalau ngomongin senja, pertama yang terlintas adalah SGA. Walaupaun sebelum beliau bikin cerpen yang fenomenal itu, tentu saja senja sudah jauh hari diulik banyak penulis atau seniman dan lebih sering penyair. Menampilkan 15 cerita dengan tafsir senja bebas, sebebas-bebasnya. Dibuka dengan pengantar Anton Kurnia, ditutup dengan profil para penyaji.

Beberapa kutipan dari tulisan Anton Kurnia saya ketik ulang saja. Bagus buat dibagikan.

Peneliti sastra Indonesia dari Australia, Andy Fuller menyatakan SGA menggunakan jurus-jurus postmodermnisme dalam karya-karyanya, antara lain menggunakan metanarasi, absurditas dalam penokohan, dan kedekatan dengan budaya populer. SGA juga kerap membaurkan batas-batas antara fiksi dan fakta dengan memdukan jurnalisme dan sastra.

Mengutip Pramoedya, dunia tentu saja bukan surga yang segalanya serbasempurna; dunia adalah tempat kebaikan dan keburukan berdialektika, dan setiap manusia ‘bebas’ memilih peran masing-masing.

Seperti yang dinyatakan oleh SGA dalam tulisannya, seseorang yang ingin menjadi penulis yang baik tinggal melihat lewat jendela kehidupannya dengan baik-baik, lantas menuliskan apa paun yang dianggapnya menarik atau tidak menarik, dengan cara yang menarik maupun tidak menarik. Kedunya menyumbang, keduanya mendapat tempat.

#1. Gadis Kembang – Valiant Budi Yogi

Haha, pembuka yang lucu. Info apa yang beredar belum tentu segaris lurus sama fakta. Info selingkuh dan pasangan yang dicampakkan, nyatanya tak seperti yang kita tahu. Taya dan drama ala sinetron kita yang haus sensasi. Simpan simpatimu, Kawan.

“Tapi aku senang mengendap-endap.”

#2. Perkara Mengirim Senja – Jia Effendie

Senja begini tak boleh dinikmati sendirian. Menatapnya seorang diri akan membuatmu depresi. Seperti ada jarring sepi yang dilemparkan dari langit dan merungkupimu dalam perangkapnya. Kau jadi seperti tersayap-sayat sendiri. Dipenjara kesunyian, digantung keheningan. (h. 14-15).

“Aku akan memajang senja itu di ruang tamu. Biar semua orang yang datang ke rumahmu iri.”

#3. Selepas Membaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Alina Menulis Dua CeritaPendek Sambil Membayangkan Lelaki Bajingan yang Baru Meninggalkannya – M. Aan Mansyur

Ada banyak kata-kata dalam diam. Celana besi yang mencegah selingkuh dicipta dan dipasangkan ke istri di rumah. Dan publikasi akan mencipta sensasi, hingga akhirnya kita tahu bahwa kunci tak selamanya aman.

Kalimat itu tak punya kuasa untuk meluruhkan sedihnya. Kecelakaan dan kesedihan yang tercipta setelah kemakaman istri tercinta. Dan hal-hal yang tersembuyi di baliknya.

#4. Kuman – Lala Bohang

Cinta nafsu yang menggebu ditautkan dalam cinta sejati. Beneran cinta sama dia? Lantas kenapa masih di sini bersama orang lain? Bertender gagah menjawab dengan kekuatan magisnya.

“Aku mau dua-duanya.”

#5. Ulang – Putra Perdana

Alina dan Sarman mendaki bukit dan melakukan hal-hal yang memang harus dilakukan. Melakukan perjalanan hingga ke gua untuk bertemu juru cerita misterius.

“Jawaban macam apa itu? Kalaupun sejarah ditulis ulang, semua peristiwa itu telah terjadi. Menceritakan kembali dari awal tidak mengembalikan segalanya seperti sedia kalau. Suamiku tetap tiada! Anakku tetap tiada! Semua telah terjadi.”

#6. Akulah Pendukungmu – Sundea

Satu Oktober, hari Kesaktian Pancasila. Sebuah pigura Garuda Pancasila di kelas bisa menjelma hidup dan menggunakan keajaiban di hari istimewa itu.

“Apakah hari ini aku berhasil menemukan Sandra.”

#7. Empat Manusia – Faizal Reza

Saling silang nasib manusia di kehidupan fana ini. Purba, Hendar, Yani, Susan. Oh lima, satunya Ruth Sahanaya.
“Sejak kapan kangen mengenal waktu?”

#8. Saputangan Merah – Utami Diah K.

Bagaimana cara berkenalan dengan orang asing dengan baik? Lebih pasnya bagaimana memulai perkenalan dengan orang asing dengan baik dan benar. Dan jika sudah mengenal, bagaimana memujanya dengan tak tampak begitu memuja. Oscar Wilde dan naskah teaternya mungkin tahu.

#9. Senja dalam Pertemuan Hujan – Mudin Em

Kafe. Hujan. Senja. Rasa sentimental akan menggoyahkannya. Masalahnya kamu bukan bersama istrimu, bersama kekasih gelap yang tak sepantasnya dipeluk hangat. Ahh… cinta. John Legend dengan Where Did My Baby Go biar yang menyaksi.

“Karena ia bisa menciptakan hujan. Dan mereka menyukainya. Mereka terjebak di dalamnya.”

$10. Kirana Ketinggalan Kereta – Maradilla Syachridan

Karena manusia tidak boleh terus nyaman dalam sebuah keadaan, sesekali harus melakukan perubahan. Hehe, mungkin ini yang terbaik. Cinta memang buta, dan kita berjalan dengan tertatih karenanya. Kirana dan ajakan menemani, sebab akan keluar kota. Dengan dokrin mungkin ini kali terakhir bertemu, apapun coba dilakukan. Saya kira manusia memang selalu mencari perkara.

“Ya, saya mau ikut kamu, Kirana.”

#11. Gadis Tidak Bernama – Theoresia Rumthe

Anggap saja saya hidup hanya untuk hari ini. menikmati segala sesuatu yang saya alami hari ini penuh-penuh. Besok lain cerita. Hari kemarin apalagi, mereka hanya akan lewat begitu saja. Tak ada romantisme tertentu. Enak betul kerja meneliti senja. Setiap hari disaksi dan ditelaah, berubahan, berbedaan, fenomena apa yang terjadi. Di dalam diri setiap manusia terdapat semacam kegelisahan. Dinas Penelitian Senja (DPS) siap melaporkan.

Tak usah banyak mendengarkan orang lain. Ini hidupmu dan bukan hidup mereka.

“Oke, lempar dadu. Andreas atau Lingkar?”

#12. Guru Omong Kosong – Arnelis

Dikin dan tugas dadakan mengajar kelas kosong. Terilhami novel Kitab Omong Kosong yang tergeletak di meja kelas, ia melakukan tugas mengajar, padahal ia hanya penjaga sekolah. Haha, dasar Togog!

“Judul buku ini: Kitab Omong Kosong.”

#13. Surat ke – 93 – Feby Indirani

Surat yang ditulis dengan romansa rindu, dibuka dengan Sayangku… dan kata-kata mutiara terpilih. Aku adalah mimpi-mimpinya, ia boleh membakar remah suratku jadi abu, tapi panasnya bara dari jantungku akan terus menyala. // Aku hadir di dunia untuk memberikan tanda. Dan dalam hal mendamba perhatian, nyaris tak ada bedanya apakah kau berusia sehari atau seribu datu kali lebih tua. // Konon ketika air mata pertama mengalir dari mata sebelah kiri, artinya kita menangis karena sesuatu yang menyakitkan. Sementara jika dari mata kanan, itu artinya sesuatu yang membahagiakan.

“Dan ini untuk menanyakan kehidupanku seolah kau tak tahu betapa sakitnya diabaikan…”

14. Bahasa Sunyi – Rita Achdris

Kata-kata dan segala yang berhamburan bersamanya. Emosi dan efeknya. Namun kita di era digital, kata-kata tak langsung dengan ketikan pesan instan yang terselubung.

“Selamat pagi, Tampan.”

#15. Satu Sepatu, Dua Kecoa… – Sundea

Reta dan ke-rebel-annya. Dijuluki Si Amazon, ke sekolah dengan mengenakan satu sepatu, murid baru yang aneh. Dihukum dan dicecar tetap saja tak peduli, dipelototin, berani balas melotot. Bahkan sama guru. Ternyata dia adalah sepupu Alina, sang pencerita dan ia berhasil menjelaskan kenapanya.

“Kemesraan Oom Arnold itu artifisial, Al, kelihatan banget. Abang saja suka muak melihatnya. Apalagi Reta.”

Keren ya SGA ini, profil dan karyanya sudah terbentang jauh sejak era Orde Baru. Banyak sekali tulisannya, berbagai jenis pula. Terakhir aku lihat di Zoom meeting acara Kompas penghargaan Cerpen terbaik 2020 ia menangkan. Dan responnya pas dapat bilang, biasa saja. Memang orang hebat. Pantas mendapat tribute ini, tepuk tangan…

Perkara Mengirim Senja | oleh 14 Penulis | Penyunting Jia Effendie | Penyelaras Ida Wadji | Pewajah isi Aniza Pujiati | Ilustrasi isi dan cover Lala Bohang | Penerbit Serambi Ilmu Semesta | Cetakan I: April 2012 | ISBN 978-919-024-502-0 | Skor: 4/5

Sebuah persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma

Karawang, 201021 – George Benson – Mimosa

Thx to Bpk Saut, Jakarta

Tempat Asing dan Misterius

Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma

“… Ada satu masa dalam hidupku di mana aku selalu memburu senja ke mana-mana, seperti memburu cinta. Aku memburu senja ke pantai, memburu senja ke balik gunung, memburu senja yang membias di gedung-gedung bertingkat. Namun itu sudah lama sekali berlalu…”

Novel yang melelahkan, membosankan, menjadikan bacaan yang terengah-engah di awal, tengah, sampai akhir. Penjelasan setting tempat yang bertele-tele, penjelasan karakter yang berputar, aturan mainnya kurang cantik, bahkan saat sampai halaman 200 yang berarti mendekati garis finish, detail penjelasan tempat masih berlangsung. Ya ampun… bagaimana sebuah buku bisa menjadi begitu berliku dan lelah sekadar mencoba ikuti alur.

Kisahnya dibuka dengan sebuah penipuan. Dalam Kitab tentang Kejadian yang Akan Datang bahwa Penunggang Kuda dari Selatan menguasai bahasa Negeri Senja tingkat tiga yang sudah langka. Sang Musafir sempat ditanya, oh bukan dia. Lalu ada yang datang dan mengaku sebagai The One tersebut, dibawa ke Guru Besar, ternyata penipu, maka massa langsung membantainya. “Negeri Senja adalah tempat yang berbahaya.”

Lalu kita diajak mengenal negeri asing di tengah gurun tersebut. Waktu seolah terhenti. “Aku tidur pada senja hari dan bangun pada senja hari.” Jadi di sini sepanjang waktu adalah senja: pagi, siang, malam, semuanya sama. Di Negeri Senja, orang mati tidak pernah benar-benar pergi. Kenapa tidak, di sebuah negeri di mana matahari termungkinkan untuk tidak pernah tenggelam. Kisah tentang lempengan matahari raksasa yang berjuang keras untuk terbenam namun tak pernah berhasil melewati cakrawala dan semesta bergetar karenanya. Di sebuah negeri yang selalu tenggelam dalam keremangan, sekilas cahaya sangat banyak artinya dan keping-keping mata uang emas yang sangat jarang terlihat itu memang akan berkilat-kilat meski ditimpa cahaya yang hanya sedikit saja.

Seperti Sukab yang mengirim surat pada Alina, kali ini sang Musafir mengirim surat untuk Maneka. Mengisahkan petualangannya. Apakah yang bisa dilakukan untuk menghalangi datangnya masa depan yang penuh dengan perubahan menggelisahkan?

Ia penyendiri, ia datang ke sana sebagai sang musafir. Ia menjaga jarak, tak memihak pihak penguasa atau para militan bahwa tanah. Seorang pengembara dalam sunyi sangat sering terkecoh perasaan sendiri, sehingga dengan perempuan mana pun aku bergaul, selalu kujaga jarakku dari suasana hati yang semu. Diperintah oleh rezim ganas. Sejarah kekuasaan Tirana adalah usaha menindas kebebasan pikiran itu, karena dengan pikiran kita bisa menolak kekuasaan. Sekarang aku mengerti, kebisuan dan kegelapan adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan di Negeri Senja – yang tak memahaminya tak ambil bagian dalam permainan ini.

Sang Pengelana lalu mencoba memahami posisinya. Ia di kedai turut dalam kekhawatiran warga, ia turut pula dalam bisik para detektif yang mencoba menggulingkan kekuasaan yang sudah lama lalim. Hatiku gundah dan gulana. Puan Tirana Sang Penguasa yang tak pernah terlihat wajahnya dan Buta telah menghamburkan kekejaman begini rupa, namun Tuhan Mahabaik seperti tidak berbuat apa-apa. Tirana barangkali bisa membaca pikiran, namun bagaimana jika pikiran yang dibacanya sengaja dikacaukan? Bisakah ia membaca pikiran di balik pikiran?

Sudah banyak percobaan penggulingan, tapi selalu gagal. Bayangkan, lawan kita adalah makhluk yang bisa membaca pikiran bak anggota X-Mens! Gerakan bawah tanah terbesar melawan tirani adalah Perhimpunan Cahaya yang dipimpin oleh Rajawali Muda. Terdapat lima golongan lain yang besar, (1) Gerak Kesadaran; (2) Kerudung Perempuan; (3) Sabetan Pedang; (4) Wira Usaha; (5) Lorong Hitam. Selain itu masih ada kelompok remeh, golongan kecil yang terburai.

Kita memang ditempatkan sebagai pembaca/pendengar dongeng Sang Pengelana. “Apa yang kuceritakan itu hanyalah suatu susunan tambal-sulam dari berbagai cerita yang kudengar di kedai, di pasar, dan di jalanan.” Maka mencipta kisah satu arah yang tentu saja kita harus menerima apapun yang dicerita. Debar degub sesekali muncul, tapi memang sudah kuyakini Sang Protagonist aman.

Seperti ada kesunyian yang kosong dan memberikan perasaan terasing di mana cahaya yang tersisa dalam senja bisa terdengar sebagai bunyi yang sepi – seperti denging, tapi bukan denging, seperti gumam, tapi bukan gumam, seperti desah, tapi bukan desah, hanya sapi, tapi berbunyi. Mungkinkah itu bunyi kekosongan?

Semangat perlawanan yang telah lama tergalang bagaikan seribu satu mata air yang membentuk anak sungai kecil di berbagai tempat dan menemukan arus serta gelombangnya dalam pembahasaan para pelajar… bergabung menjadi debur ombak dan hempasan gelombang. Tirana yang berkuasa, yang mampu membaca pikiran, memenjarakan roh, dan menentukan takdir, bagai tuhan yang jahat, bagaimana tidak akan tertawa melihat usaha perlawanan terhadapnya?

Endingnya sendiri horor. Menakutkan membayangkan pembantaian yang dicipta. Darah di mana-mana, jalanan dijadikan ajang saling tikam, nyawa menjadi begitu murahnya. “Kota yang hancur luluh dengan mayat-mayat memenuhi ruang, kurasa aku tidak pernah akan tahu apakah suatu hari duka ini akan pupus.”

Lalu apa gerangan maksud Sang Pengelana memasuki negeri antah yang mengerikan ini? Hanya sekadar mampir lewat ataukah menjadi juru selamat?
Untuk mendendangkan dongeng dalam satu wilayah, kita disuguhi lima bagian, belum termasuk prolog dan epilog plus lampiran tentang visual dan proses menggambarnya. Menjelaskan bagiamana akhirnya novel ini bermula dari cerita bersambung, lalu dibukukan, lalu menang KSK, lalu dibuatlah ilustrasi para tokoh. Bagus sih, tapi bagiku yang utama adalah cerita. Mau digambar semewah Ernest H. Shepard yo monggo, mau dibuatkan semegah komik DC ya silakan, tetap saja yang utama cerita. Kisah buku ini merumit sendiri, bingung sendiri, mengajak pembaca turut bingung dan sekali lagi, melelahkan. Lampiran akhir ada enam lembar, itu adalah draf pilihan. Hasil akhir ada di pembuka, menggambarkan bentuk karakter di buku.

Epilognya dimulai dengan pengakuan; kesalahan penulis adalah memandang dunia ini sebagai suatu cerita. Nah kan. Absurd! Nama Seno Gumira Ajidarma (SGA) sudah besar sejak saya masih kecil. Namanya lekat atas sastra berkualitas, baru beberapa yang kunikmati. Beliau juga serba bisa, kumpulan esai ada, kumpulan cerpen ada, novel-pun ada, yang belum nemu dan belum kubaca kumpulan puisi. Namun pernah lihat di youtube, cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku, dinukil dan dibacakan bak barisan bait, mungkin karena pembawaannya yang keren, dan juga – eheem…- yang membawakan sekelas Dian Sastro Wardoyo makanya terlihat powerful!

Sebuah tempat asing dan misterius, Negeri Senja adalah negeri yang sulit diterima akal, negeri ini seperti puisi, hanya bisa dipahami jika dihayati. Yah, persis seperti itulah kisahnya. Sengaja mencipta bosan, sengaja mencetak bait dalam rengkuhan samar. Ada benarnya juga kalimat di kover belakang, “Roman petualangan, tentang cinta yang berdenyar di antara kilau belati, cipratan darah, dan pembebasan iman.”

Negeri Senja | by Seno Gumira Ajidarma | KPG 59 15 01044 | 2003 | Cetakan kedua, September 2015 | Desain sampul Rully Susanto | Tata letak Wendie Artwenda | Ilustrasi isi Margarita Maridina Chandra | Rancangan Busana Poppy Dharsono | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia | xx + 244 hlm.; 14 cm x 21 cm | ISBN 979-979-91-0930-9 | Skor: 3.5/5

Cerita kecil Untuk almarhumah Ibu: Poestika Kusuma Sudjana (1923-2002)

Karawang, 120421 – Ronan Keating – Everything I Do (Do it For You)

*) Thx to Ari Naicher (Rindang Buku), Klaten

**) Kubaca dalam satu hari saat cuti tahunan di Masjid Peruri Karawang pada 12 Maret 2021

***) Hari ini mendapat kabar sedih dari keluarga; Sabar, Tawakal, Iqtiar. Allah bersama orang yang sabar.

****) Selamat datang Ramadan 2021

Sepotong Senja Untuk Pacarku #24

Sepotong Senja Untuk Pacarku by Seno Gumira Ajidarma

Waktu meninggalkankan jejak, begitu pula saat-saat yang dilaluinya bersama dia. Segenap makna perjumpaannya meresap ke dalam hatinya dan ia tidak bisa melupakan dia. – hal. 107

(Prolog) Seiring bersama alunan bunyi seruling di lembah sunyi di sana kududuk seorang diri menjelang malam hari teringat ku akan seorang kasihku yang telah pergi entah ke mana oh angin sampaikanlah salamku kunanti ia di lembah sunyi seindah alunan seruling senja begitu cintaku padanya begitu cintaku padanya. – syair dan lagu karya Vivekananda Leimena, Seruling di Lembah Sunyi (1965)

Saya sah menjadi fan Seno Gumira Ajidarma (SGA) setelah menuntaskan Trilogi Insiden, tiga genre yang dirajut: novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan esai. Jelas, saya sudah menikmati cerpen ‘Sepotong Senja Untuk Pacarku’ berkali-kali baik dari sebaran grup WA, sosmed, atau di sebuah web yang menyaji cerpen Koran Minggu. Maka keputusan membeli buku ini adalah melengkapi jawab kelanjutan Alina. Saya bacakan ke Hermione (lima tahun) jelang tidur, kena komplain mulu. “Mana bisa langit dipotong…”, “Kalau aku jadi Alina, enggak mau nerima senja, enggak bisa dimakan, mending dibawain cokelat…”, “Memang di gorong-gorong ada pantai?”, dst. Oh baiklah, anak kecil tukang protes. Sampai di sana saja, selanjutnya saya tuntaskan sendiri, mungkin fantasi SGA ga cocok buat balita.

Menatap senja adalah suatu cara berdoa yang langsung menjelma, perubahannya dari saat ke saat meleburkan diri seseorang ke dalam peredaran semesta. Senja adalah janji sebuah perpisahan yang menyedihkan tapi layak dinanti karena pesona kesempurnaannya yang rapuh. Dunia senja yang sempurna bagi siapa pun yang memburu senja di pantai seperti memburu cinta yang selalu berubah setiap saat, meraih pesan-pesan dari kesementaraan terindah seantero semesta…

Buku kumpulan cerpen ini terdiri tiga bagian: Trilogi Alina (3), Peselancar Agung (10), dan Atas Nama Senja (3) jadi totalnya 16 cerita.

#1. Sepotong Senja Untuk Pacarku (1991)
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis…

Kalau ngomongin senja, yang pertama terlintas jelas cerita ini. Kalau ngomongin cerpen legendaris Indonesia, jelas cerpen ini harus masuk daftar. Ketenaran Alina yang dihadiahi Sukab sepotong senja memang tak terbantahkan. Ini adalah cerita Sukab mengirimi surat berisi potongan masa di pergantian siang ke malam, dengan latar pantai sejuk, burung-burung mengepakkan sayap, pohon kepala yang melambai. Gambaran idaman santuy itu diperoleh dengan gigih di dimensi lain, di bawah tanah. Dikirim dari tempat paling sunyi ke ujung dunia.

#2. Jawaban Alina (2001)
Sukab yang malang, goblok, dan menyebalkan…

Setelah bertahun-tahun akhirnya saya tahu apa yang terjadi dengan potongan senja itu. Jadi tak seindah yang kukira. Butuh waktu sepuluh tahun untuk sampai ke tangan Alina, mencipta bencana, membuat segalanya berantakan. Dan bahwa Alina tak mencintai Sukab, bersikap baik bukan berarti sayang. Ternyata benar tebakan Hermione, potongan senja itu ditolak, eh lebih tepatnya justru bikin marah. Senja sialan yang paling tidak mungkin diharapkan manusia. Surat balasan ditulis di puncak Himalaya dengan kepungan air bah laiknya kisah Nabi Nuh As. Saya sudah kena spoiler ketika di timeline twitter muncul video pembacaan puisi oleh Dian Sastro Wardoyo. Betapa Bahagianya Penulis, tulisan dibaca dan didokumentasikan seorang bintang secemerlang Disas!

#3. Tukang Pos dalam Amplop (2001)
Dari semesta air ini, aku tidak melihat sesuatu yang merupakan jalan keluar…

Ini dari sudut pandang sang pengantar. Luar biasa perjuangannya untuk menyampaikan potongan itu. Tempat tujuan ada di Ujung Dunia. Dengan kayuh sepeda dan derai tawa anak-anak, semacam terjebak ke dalamnya, beda dimensi beda durasi waktu, di sini sepuluh tahun di dunia Senja Sukab tak linier, menjelma manusia ikan yang mengarungi laut, sungguh aduhai. Perumanan hidup manusia yang ada di akuarium, terjebak di kotak dan mencoba keluar dengan melakukan banyak penelitian dunia antah sungguh sebuah gambaran manusia, makhluk fana mencoba jelajah luar angkasa.

#4. Jezebel (1999)
Kisah seseorang yang berjalan di pantai penuh mayat bergelimpangan. Hanya terdengar suara ombak dan angin. Ombak yang mendesah dan angin yang berbisik. Desah yang membawa keluh dari seberang bumi yang lain. Bisik yang terlalu pelan dan terlalu perlahan dalam angin sehingga tiada pernah menjadi jelas siapa kiranya di sana telah berbisik kepada angin menyampaikan pesan entah kepada siapa entah di pantai mana entah pula kapan sampainya. Sebuah bisikan betapa pun lemahnya tiada akan hilang bukan?

#5. Ikan Paus Merah (1996-1999)
Ini cerita paus merah yang legendaris, paus yang kena tombak dan terluka sepanjang waktu merah darahnya menyertai. Sang Aku bukan pelaut, hanya musafir, baru mengetahui kisahnya ketika di Afrika Selatan. Menikmati senja di pantai, siapa tahu Ikan Paus Merah muncul dari dalam laut, melompat seperti terbang dengan panah menancap di punggungnya…

#6. Kunang-kunang Mandarin (2000)
Cerita kunang-kunang yang tercipta dari kuku mayat disaji dalam peternakan Sukab. Di daerah ini ada yang mengembangbiakan binatang kerlap-kerlip itu, di kota yang pelanginya tak pernah pudar. Konon dari kuku mayat keturunan Mandarin yang dibantai. Seorang sarjana yang sudah keliling dunia, seorang Mandarin yang penasaran datang untuk memastikan, dan malam yang sunyi ketika Sukab bersenandung, golok-golok diacungkan, sementara si Mandarin terkepung.

#7. Rumah Panggung di Tepi Pantai (2000)
Rumah panggung Sukab yang menghadap laut, biasanya rumah tepi pantai selalu memunggungi pantai. Seorang anak Bolong menjaganya selama Sukab berlayar seorang diri, sementara Balu yang penasaran menanyakannya. Dunia yang aneh, sementara cakrawala tampak seperti garis putih yang tipis sekali. “Kamu juga memandang senja?”

#8. Peselancar Angung (2000)
Lautan adalah jingga yang rata dengan perahu layar meintas matahari di cakrawala. Senja semacam inilah yang membuat setiap orang merasa harus jatuh cinta, yang membuat orang-orang memburu cinta, dan akhirnya membuat orang-orang menjajakan cinta di pantai segalanya telah menjadi keemas-emasan. Peselancang keren, tukang kibul. Para Penungggu menganggap bahwa kemunculan Peselancar Agung itu akan memberikan suatu pencerahan. Senja yang sempurna cuma sekejap, hanya melintas sepintas seperti kebahagiaan, sehingga mereka perlu datang langsung segera dan secepatnya.

#9. Hujan, Senja, dan Cinta (2000)
Bagaimana bisa hujan menjadi penanda bahwa di situ ada cinta? Dengan sudut dia dan ia sebagai pelakon, terkadang memang kita harus merelakan kekasih dengan cinta lama yang bersemi kepada orang lain. Dingin hujan itu dirasakannya sebagai dekapan hangat kekasihnya. Cinta itu abstrak, pikirnya selalu, sepasang kekasih tidak usah selalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri mereka.

#10. Senja Hitam Putih (2000)
Dunia menjelma dua warna: hitam dan putih, yah terkadang kelabu. Warna-warni seolah dihapus dari ingatan dan dunia sehingga tampak kata dan ungkapan asing. Seluruh kata yang menjelaskan warna telah menguap dari dalam kamus, melayang seperti asap kemenyan, disambar cahaya mentari yang putih menyilaukan, lantas habis sama sekali diterbangkan angin. Dunia yang berubah ataukah aku telah menjadi gila?

#11. Mercusuar (2000)
Cerita paling aneh di sini. Mercusuar bayangan yang muncul di kala senja, menaikkan seseorang ke langit, lalu kembali kala gelap. Mercusuar ini tak nyata, sudah ada bersama dengan waktu, ada yang bilang enam ratus tahun yang lalu. Endingnya twist! Aku heran, bagaimana semua ini mungkin? Apakah kita semua boleh percaya kepada sesuatu yang tidak ada? Yang timbul tenggelam seperti mimpi tapi bukan mimpi, sesuatu yang terlihat tapi tak terpegang, terdengar tapi tak terekam, sesuatu yang tidak ada tetapi terabadikan?

#12. Anak-anak Senja (2001)
Cerita horor untuk anak-anak. Ratri yang gembira melihat anak-anak Senja. Bagi Ratri matahari hanyalah dongeng, dan senja adalah suatu impian. Anak-anak Senja telanjang dan tak berkelamin, bermain di pantai lalu turut anak, bisa tak kembali, orang-orang hanya bisa menonton. Mereka selalu berpesta, namun gagal menjadi bahagia. Dunia telah menjadi tempat yang membingungkan.

#13. Senja yang Terakhir (2001)
Kota di mana pelangi tidak pernah pudar, banyak toko menjual ‘Senja yang Terakhir’. Karena rekaman dari berbagai sudut itu sangat eksotis, memikat kaum turis. Apabila Tuan dan Puan memasuki Senja yang Terakhir itu, seolah memasuki dunia baru. Bisa saja betah, masuk dan tak akan keluar lagi. Karena di sana senja berlangsung selama-lamanya. “Brosur pariwisata yang membingungkan.”

#14. Senja di Pulau Tanpa Nama (2005)
Ini cerita rumit karena kosong adalah isi, dan isi adalah kosong. Nihilitas yang merumitkan diri. Apakah masih boleh disebut semacam cinta jika tidak terdapat kebahagiaan padanya meski setidaknya sesuatu seperti kebahagiaan dalam penderitaan? Seperti Kawabata, aku mencintai seorang perempuan yang tidak pernah ada. Haruskah ada yang lebih indah dari senja – meski tanpa kisah cinta di dalamnya? Tidak ada cinta dan tidak ada diriku. Tiada cerita.

#15. Perahu Nelayan Melintas Cakrawala (2006)
Upaya menangkap keabadian, memperangkap senja di dalam kartu pos. “Katakanlah kepadaku apa yang dipikirkan ikan?” Memang tidak semua orang bisa menjadi penyair, tetapi setiap orang memiliki puisinya sendiri. Waktu membeku dalam kartu pos.

#16. Senja di Kaca Spion (2007)
Ini semacam maut yang mengintai? Senja yang terilhat di tiga cermin mobil: spion kanan-kiri, dan cermin tengah. Melaju ke arah timur memunggungi pegunungan menelan matahari, melaju ke arah kabut dengan kecepatan takterukur. Orang-orang berduyun, seolah malaikat yang menggoda. Di dalam satu dunia yang sama, mengapa suatu hal bisa begitu berbeda? Dari manakah aku datang dan akan menuju ke mana? Juga penyair gaya lama tidak akan mempunyai pilihan lain selain menyebutnya sebagai cahaya kencana.

Dengan tema utama senja, buku ini memang banyak memberi pengaruh anak muda sepanjang 90an hingga kini. Lihat puisi-puisi zaman now, selain kata ‘hujan’ jelas ‘senja’ juga dominan, seolah memandang senja di kala sendiri dalam renung itu keren. Obsesi kecanggihan dalam perburuan keindahan berlebihan. Seperti kita, seperti pula penutup pengantar SGA, “Namun saya tahu, akan selalu terpesona melihat senja.”

(Epilog) Sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur laut pergi ke laut membawa kubur-kubur awal pergi ke hujan membawa kubur-kubur hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga membawa kuburmu alina. – Sutardji Calzoum Bachri, dari sajak Perjalanan Kubur (1977).

Sepotong Senja Untuk Pacarku | by Seno Gumira Ajidarma | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | GM 615202014 | Copyright 2016 | Penyelia naskah Mirna Yulistiani | Desain sampul Suprianto | Setter Nur Wulan Dari | Lukisan pada peraangko karya Mansyur Mas’ud | Gambar hal. 33 diambil dari komik Dian dan Boma karya Hans Djaladara yang dimuat di majalah Eres No. 9/1970, hal. 35 | Cetakan keenam cover baru, Mei 2019 | ISBN 978602-03-1903-2 | Skor: 5/5

Karawang, 240620 – Bill Withers – Heartbreak Road

#24 #Juni2020 #30HariMenulis #ReviewBuku #HBDSherinaMunaf

Thx to TQ Mutiara Hati, dua tahun yang luar biasa untuk Hermione Budiyanto. Hari ini jam 18:28 khatam Al Quran.

Jokowi, Sangkuni, Machiavelli #29

Jokowi adalah konstruksi media. Dalam kesadaran ini, para penasihat, pembisik, dan Jokowi sendiri mesti ‘memberi makan’ media dengan materi berita yang disukai hari-hari ini.”

Ini adalah buku kumpulan esai kedua Bung Seno Gumira Ajidarma yang kubaca setelah Tidak Ada Ojek Di Paris. Isinya sama, tulisan beliau di berbagai media, disatukan dan bumbuhi keterangan lengkap pustaka. Kalau obrolan Tidak Ada Ojek tentang kota metropolitan dan kehidupan kaum jelata, kali ini beliau mengambil tema politik. Banyak banget yang ingin disampaikan seolah, tema beragam. Mungkin judulnya yang agak provokatif dengan menyandingkan Pak Presiden dengan dua tokoh jahat.

Sulit bersikap tegas terhadap saudara dan kawan sendiri jika mereka bersikap korup dan merugikan orang banyak.

Tentu saja ini tergolong nepotisme, yang dalam aristokrasi feodal, sahih sajalah adanya.
Secara teoritis, feodalisme sebagai ideology sudah ditinggalkan, dalam praktiknya, nepotisme dan kroniisme adalah bukti kehadiran feodalisme.

Sistem nilai adalah istilah lama saja dari pengertian wacana.

Bedanya, pada Gus Dur kata-katanyalah yang menarik sebagai hiburan sensasional; pada Jokowi tindakannyalah yang diikuti dengan hati riang, seolah-olah karena mampu membereskan Tanah Abang, pasto akan mampu juga membereskan segalanya. Setelah dikecewakan 1.001 pejabatm politikus dan wakil rakyat yang memble, muncullah Jokowi bagai jawaban 1.001 harapan.

Referensi terhadap wayang ini menunjukkan, dunia politik Indonesia di zaman baru tetap berorientasi kepada dunia lama.

Batara Wisnu, yang dalam Bhagavad-Gita berkata kepada Arjuna, “Engkau hanyalah alatku.” Bhatara-Yudha adalah scenario yang ilahiah sifatnya, tempat Kresna menjadi pawing yang harus menjaga kodrat setiap orang.

Klasifikasi calon presiden: (1) pemimpin etis, (2) pemimpin merakyat (3) pemimpin nanggung.
Barangkali penting bagi kebahagiaan pendukungnya – artinya mempunyai dampak ‘spiritual’, tetapi tidak memberi akibat konkret dalam kehidupan praktis, karena sepak bola jika dikembalikan kepada ‘hakikat’-nya (astaga!) memang adalah ‘main bola’ (baca ketrampilan memainkan bola dengan kaki) sahaja, meski bertatapan dnegan dunia bisnis.

Boleh diamati, seberapa jauh Prabowo telah berkomentar tentang Wiranto dan seberap ajuh Wiranto telah berkomentar tentang Prabowo di media massa.

Dalam situasi itu, seorang Golput dapat mengatakan dirinya sebagai ‘berpolitik dengan cara tidak berpolitik’, sedangkan yang tidak mencoblos karena malas cukup dikatakan sebagai ‘tidak berpolitik’. WIRANTO Soekita (1929-2001) ternyata –dalam klasifikasi saya- mengajukan tiga kategori, yakni (1) berpolitik, (2) terlibat dalam politik (3) tidak berpolitik.

Narsisme teracu kepada pemuda Narcissus yang dikisahkan Ovid, penyair Romawi yang hidup dalam masa kekuasaan Kaisar Augustus (63 SM – 14 SM). Peud atampan yang sellau menolak cinta itu, terkutuk untuk mencintai bayangannya sendiri di permukaan kolam, da akan tersiksa begitu rupa sehingga hanya kematian bisa membebaskannya [Hamilton: 1961 (1940), 87-8]. Cerita ideologis sebagai cinta kepada diri sendiri melebihi cinta kepada siapa pun, sehingga disebut narsisisme.

Kewasdaan Troya. “Aku takut kepada orang Yunani, meskipun ketika mereka memberi hadiah.” – Pendeta Laocoon.

Nilai etis prinsip kemenangan adalah segalanya, jelas lebih rendah nilainya daripada sikap terhormat dalam kekalahan.

Pendekatan persuasif dalam mencapai tujuan, dengan hasil akhir win-win solution – yang kadang terdengar rada-rada munafik.

Mao Zedong: mundur selangkah untuk maju beberapa langkah.

Terdapat tiga strata social dalam pewayangan. Strata tertinggi adalah dewa-dewa, strata di bawahnya adalah para kesatria, dan strata terbawah adalah rakyat jelata, yang terwujud dalam punakawan. Di antara para dewa dan kesatria terdapatlah ‘strata antara’ yakni manusia setengah dewa, yang meskipun bertubuh manusia, tetapi tingkat kesuciannya setara – jika tidak melebihi – dewa, yang dikenal sebagai para Begawan ahli rupa. Adapun para raksasa sebagai anasir kejahatan adalah oposisi abadi terhadap semua strata.

Jokowi tidak pernah berhasil ngibul: sekali wagu tetap wagu. Ndeso.

Pengalaman sebagai pedagang pun membuat ia sulit dikibuli pedagang lain.

“Jangan dikira saya ini tidak bisa tegas. Saya juga bisa tegas.” Meskipun diucapkan dengan nada datar, saya menyarankan tidaklah terlalu perlu untuk coba-coba mengujinya.

Apa bedanya badut politik dengan badut biasa? Ternyata bukan berbeda, tetapi bertentangan. Jika badut biasa nilai tambahnya jelas, yakni memberikan hiburan, dan karena itu dibutuhkan, maka kehadiran badut politik sangat memprihatinkan.

Kuasa adalah suatu bnetuk tindakan atau hubungan antarkhalayak, yang pada setiap persentuhannya bernegosiasi, sehingga karena itu tiada akan pernah tetap dan stabil. Orde Baru membangun berhala baru yang bernama ‘stabilitas’.

Politik praktis, politik dalam pengertian sempit, yang urusannya adalah seberapa banyak mendapat massa terpilih, kursi di parlemen, dan jago-jago partai menjadi menteri, syukur-syukur menjadi presiden plus wakilnya.

Dalam buku taktik catur 1001 Winning Chess Sacrifices and Combinations penjelasan ‘zugzwang’ adalah ‘compelled to move’ atau ‘dipaksa untuk bergerak’, adapun penjabarannya: suatu posisi ketika seorang pemain tidak terancam, tetapi hasilnya adalah kerugian baginya pada saat bergerak.

Situasi zugzwang adalah situasi yang sangat sulit diatasi: harus bergerak, tetapi ancaman menjadi nyata justru karena pergerakan itu sendiri.

Dalam buku How Not To Play Chess: sebelum mengajari orang-orang menjadi suci dan sufi, adalah lebih baik menunjukkannya bagaimana menghindari dosa.

Kapan seseorang tidak harus berterusterang? Itu terjadi jika suatu pesan berpeluang, atau bisa dipastikan akan menimbulkan persoalan apabila disampaikan dengan terbuka, tetapi yang tetap mendesak untuk disampaikan. Pada saat itulah dibuthkan kata-kata bersayap. Dengan begitu kata-kata bersayap bukanlah sekadar sindiran, melainkan terdapat factor ungensi di dalamnya.

Mereka adalah pribadi yang tidak tertarik kekuasaan, kekayaan, maupun status social, karena bagi mereka kebahagiaan terdiri atas pengetahuan atas kebenaran.

Membuat catur lebih terbandingkan dengan politik daripada permainan lain, dan secara social lebih istimewa. Seolah dengan menjadi pemain catur sama belaka dengan menjadi ahli strategi dalam kehidupan politik.

Mereka yang berotak unggul dan memilih jadi pecatur di Uni Soviet sebetulnya melarikan diri dari kenyataan, karena hanya di atas papan catur yang disebut peraturan bisa dipegang teguh (Rand, 1982: 52-7).

Jika ia menyukai film, bukanlah melulu karena tergiring arahan pembuatnya, melainkan karena bermakna bagi diri dan kehidupannya, demi kepentingannya sendiri. Jadi makna bagi pemirsa, bukan konsumsi melainkan produksi.

Kekuasaan harus dibatasi, tidak seumur hidup. Karena kekuasaan absolut selalu melakukan korupsi terhadap rakyat, dnegan cara mengubah rakyat menjadi kawan dan partisan.

Anarkisme adalah gerakan politik yang menuntut penghapusan Negara, mengganti semua bentuk otoritas pemerintahan dengan persekutuan bebas, dan kerja sama kelompok maupun pribadi secara sukarela.

Bersama Verheijen, saya juga setuju: “Kecintaan saya terhadap tumbuhan dan hewan cukup besar, tetapi kepentingan manusia harus didahulukan.”

Patriotism dalam politik tak pernah kekurangan dimensi.

Tubuh manusia dibentuk oleh norma-norma kesehatan, gender, dan keindahan. Tubuh secara konkret dibentuk oleh diet, olahraga, dan intervensi medis.

Kesemuan itu jadi berganda, karena politik identitas sendiri secara teoritis adalah pengingkaran terhadap fakta, bahwa dalam situasi pascamodern, identitas selalu sekaligus kenergandaan identitas.
Seperti telah diketahui bersama, dalam politik kata rakyat paling sering dieksploitasi, dimanfaatkan, dipinjam, diatasnamakan, maupun diputarbalik.

Pemimpin yang ideal adalah yang bebas dari kontrak politik, karena dukungan partai yang mana pun tidaklah mungkin dilakukan tanpa kepentingan.

Jokowi, Sangkuni, Machiavelli | Oleh Seno Gumira Ajidarma | copyright 2016 | Cetakan pertama, September 2016 | Penerbit Mizan | Desainer sampul Dodi Rosadi | 216 hlm.; 21 cm | ISBN 978-979-433-977-0 | Skor: 3.5/5

Untuk Nagalangit dan Lautan Cahaya

Karawang, 300419 – Brian Adam – Heaven // 290619 – Sherina Munaf – Click Clock

#30HariMenulis #ReviewBuku #Day29