Jeritan Dari Pintu Kubur – Abdullah Harahap

“…di kota banyak kami dengar kabar-kabar aneh tentang kampung ini. Pencurian mayat bayi, tempat perampok berkumpul, kematian-kematian ganjil…”

Buku kedua Abdullah Harahap yang kubaca, setelah terpesona dengan Kolam Darah, saya memang memastikan akan membaca karyanya lagi. Sayang sekali, untuk kali ini kurang memuaskan. Saya sudah bersiap ketakutan, saya sudah was-was aura mistisnya, saya sudah antispasi membaca dalam remang Malam Minggu sendiri dan kutuntaskan hari ini (27/10/19). Sayang sekali, gagal terpenuhi. Jeritan Dari Pintu Kubur malah berjalan klise, dramanya bak sinetron azab yang tayang di tv tiap malam, endingnya ketebak, yang baik pada akhirnya menang, yang kalah ya yang jahat. Aura mistis yang kunanti juga nyaris ga muncul, hanya segelintir tanpa bikin merinding. Tumbal bayi malam Jumat Kliwon, jimat untuk pengasihan, tapi justru malah dendam kematian yang utama. Bagaimana arwah penasaran mencipta kengerian untuk menuntut balas.

Kisahnya tentang Parman, perampok yang selesai menjalani hukuman. Mendapati istrinya meninggal secara tak wajar. Ditemukan tewas nyaris telanjang di sungai, info yang beredar karena bunuh diri. Namun jelas bukan karena itu, pembaca sudah diberitahu bahwa kematian Lila karena ulah Pak Lurah (karakter tanpa nama) yang mencoba memperkosanya, dalam kamarnya ada lubang yang mengarah ke top roof, Lila lari dan di atap itulah, Lila terjun ke sungai. Lila menjadi arwah penasaran. “Persetan! Biar halusinasi, kalau itu jerit arwah isteriku, aku tak peduli.”

Parman adalah pembantu pak Lurah, maka karena ia akan diusir warga, ia minta bantuan perlindungan. Pak Lurah punya asisten Pak Bejo yang kekar dan plontos, gambaran jahat seorang antagonis yang bengis. Pak Lurah yang walau gugup, mencoba membantu. Namun suatu pagi, saat Parman sedang merenungi nasib di tempat ditemukannya Lila nyangkut di akar pohon sungai, ia menemukan keganjilan. Di tepian rumah Pak Lurah, di sungai itu ia menemukan kutang Lila, maka spekulasi Pak Lurahlah yang melakukan pembunuhan berkecamuk di kepala. Subuh itu, ia mendatangi rumah orang terkaya di desa itu. Teriak-teriak kayak orang gila, warga berkumpul, malah massa itu lalu mengeroyok Parman yang seperti orang gila. Lalu dirawat di klinik, Bejo diminta membereskan oleh bosnya. Malam itu, arwah Lila menolong Parman, karena menampakan diri dan membuatnya bersembunyi di semak menyaksikan Bejo yang coba membunuhnya pulang tanpa hasil.

Parman kabur ke Bu Lasmi, mantan istri Pak Lurah. Di sana ia cerita bagaimana kronologinya, karena pernah ada asmara diantara mereka, ada sendu yang menguar, tapi Bu Lasmi sudah berencana menikah, maka godaan Parman ditampik. Ia membantu perawatan Parman ke kota, dengan bus yang dalam perjalanan ia pingsan berkat banyak darah keluar. Naas, kaki kanannya harus amputasi karena sudah kena inspeksi, ia hampir putus aja. Sekarang bagaimana ia bisa menuntut balas dengan satu kaki?

Maka Bung Abdullah mencipta karakter bernama Dorothea, seorang suster yang wajahnya mirip Lila. Parman mengejarnya, mengeja Lila untuk perempuan yang merawatnya, nyaris membuatnya gila. Antara halusinasi ataukah penampakan ataukah ia sudah beneran edan. Nah, dari sinilah keklisean kisah dimulai. Sungguh kebetulan yang konyol dicipta, Tea yang bercerita pada kedua orang tuanya, lalu kita tahu identitas Tea yang ternyata bersaudara dengan Lila, lalu membantu Parman membalas kematian kakaknya, lalu amburadullah kengerian yang sudah disusun itu. “Hantu? Tidak ada hantu di dunia ini bung. Apalagi di siang bolong seperti kemarin, waktu kau kejar-kejar suster Dorothea…”

Pak Lurah seorang bisex, Bejo wakilnya adalah pasangan tidur, mereka memiliki jimat dari mayat bayi yang mati di malam Jumat, diawetkan dan disimpan dalam sebuah kotak. Barang siapa memilikinya, ia bisa tembus pandang. Dari situlah kekayaan Pak Lurah, merampok dalam senyap. Parman sendiri tertangkap dalam aksinya karena setelah melacur, ada rambut perempuan yang terselip sehingga ajian itu hilang.

Kisah menjadi makin tak jelas saat, Pak Lurah dengan mudah memecat Bejo, orang kepercayaan yang sudah lama mengabdi demi pemuda bernama Kardi yang mencari kerja, mengantar surat untuk Bejo agar pulang. Pak Lurah terkesima kemudaan Kardi dan nafsunya membumbung, Bejo sendiri saat sampai di kampung menemukan kejanggalan karena alasan ia diminta pulang, ayahnya sekarat dan akan membagikan warisan. Bagaimana ini merupakan jebakan, ibunya buta huruf dan adik-adik perempuannya hanya bisa bersolek. “Mengapa kau pandangi aku begitu? Mata pak lurah membayangkan ketakutan.”

Kisah berakhir dengan nyaris tanpa pukau, Pak Lurah menuai kejahatan, Parman menuai kerja kerasnya, Tea menemukan kejutan, bagaimana ia belum tampil tapi ada penampil lain yang ternyata arwah Lila sendiri yang muncul menuntut balas. “Aku bukan membanggakan diri, isteriku memang cantik. Itu salah satu sebab mengapa aku teramat mendambakannya.”

Agak janggal membayangkan Tea menolak dokter atau banyak lelaki yang menggodanya, ia adalah semacam perawat idola. Kalau dokter yang sudah beristri wajar, tapi begitu banyak pemuda lajang mengantre, lalu menjatuhkan pilihan kepada Parman yang terlihat gila? Semakin tercurah perhatian perempuan terhadap laki-laki, semakin tertumpah pula harapan lelaki lain yang justru mengharapkan perhatian itu ditunjukkan hanya pada dirinya seorang. Atau inikah yang dinamakan cinta? Cinta buta.

Cerita tampak terlalu mengada-ada, seolah orang jahat itu harus menuai kepahitan di akhir. Hati manusia abu-abu, kebaikan mengurus Lila dan ibunya memang tampak lumrah, tapi ia mengharap balas nafsu yang terlihat agak konyol. Legenda urban, dimana pencurian mayat yang dikubur malam Jumat Kliwon atau malam Selasa Kliwon memang ada, di kampungku dulu juga gitu. Keluarga akan mendirikan tenda di dekat kubur sampai 40 hari setelah penguburan. Serem? Begitulah nyatanya. Seolah ini memberi gambaran kisah semacam ini memang mungkin terjadi. Tapi jelas, ga sesinetron ini. Semua dendam apakah harus terbalas? “Aku akan datang untuk membalasmu!

Ini adalah buku bekas persewaan dan perpustakaan. Hurufnya sebagian kabur, kertas buram yang sudah berusia lebih dari 30 tahun. dari penerbit indi, dicetak tanpa ISBN dengan ukuran sedikit lebih besar dari buku saku. Ada stempel merah ‘Perpustakaan NIKA’ Delanggu dan ‘Taman Batja Galiuk’ Kauman 120 Pati. Sayang sekali halaman hilang dua, halaman 63-63 bagian yang agak panas ketika Parman berkunjung ke Bu Lasmi, perempuan yang merenggut perjakanya. Bagian itu jelas disobek, kepingan kisah menjadi tak lengkap.

Dengan kekecewaan ini apakah saya tak berniat lagi akan kisah horor Abdullah Harahap? Nope, sesekali memang perlu terpeleset untuk menggapai harap lagi. Jeritan Dari memang gagal memenuhi harap, tapi jelas ini hanyalah pijakan horor kecil untuk letupan seram selanjutnya.

Dorothea tertengadah. Takjub.

Jeritan Dari Pintu Kubur – Abdullah Harahap | Cetakan pertama, Agustus 1984 | Penerbit ‘GULTOM’ Agency | Skor: 2.5/5

Karawang, 271019 – Bee Gees – You Should Be Dancing

Buku dibeli di lapak buku bekas Gladag, Solo pada tanggal 29 September 2019 beli 5 hanya 20k bareng Damar Laziale