Pengelana Galau

In a Strange Room by Damon Galgut

“Berenang, tidur, merokok. Orang-orang yang datang kemari bersamanya tidak memercayainya keberuntungan mereka. Bagi mereka inilah Afrika sebenarnya, mereka datang dari Eropa untuk mencari tempat seperti ini, bukan liburan mahal seperti yang diperlihatkan di Air Terjun Victoria, atau hal berbahaya dan menakutkan yang mencoba menyakiti mereka di kereta. Di tempat ini, setiap orang berada di tengah alam semesta sekaligus di waktu bersamaan tidak berada di mana-mana. mungkin ini yang disebut pemenuhan spiritual, mereka sedang berada dalam pengalaman spiritual.”

Dibagi dalam tiga bagian, perjalanan di tiga benua. Afrika sebagai home town sang penulis, ke Eropa ke tempat kenalan saat petualang, dan terakhir ke Asia, tepatnya Bombay, India. Secara umum, kisahnya acak, seenaknya bagaimana menyampaikan kisah, tak fokus ke mana arah mau dibawa cerita, makanya terbaca aneh, atau inti cerita mau ngapain jadinya tak jelas. Terlalu lama berkeliling tanpa menetap di suatu tenpat telah membuatnya jauh dari dunia nyata, bahkan ketika sejarah digoreskan di mana-mana. “Aku sudah minum dua gelas kopi hari ini. aku tidak minum lebih dari dua gelas kopi tiap dua belas jam.”

Pertama, berjudul Si Pengikut, kita diajak ke Eropa. Sang Penulis, dengan mengambil nama depan saja Damon berkelana. Mulai dari Inggris, Prancis, Italia, Yunani, Turki, sekarang kembali ke Yunani. Di sinilah Damon berpapasan dengan Reiner, yang satu ke kota Mycenae, yang satunya ke Sparta. Awalnya sekadar sapa, lalu satunya berbalik. Perkenalan dengan pemuda aneh nan merdeka ini mengubah banyak hal. Merasa senasib dan sama-sama suka penjelajahan mereka berkenalan lantas berteman. Di ruang yang aneh, di mana keduanya seolah kekasih, jatuh hati, dan janji temu lagi suatu hari.

Lalu Reiner berkunjung ke Afrika Selatan, main ke rumah Damon. Permintaan aneh, hanya berdasar alamat tak mau dijemput di bandara, ia menelusur jalanan. Menginap, berjalan-jalan, mencari jejak, kegiatan apapun, menikmati hari. Awalnya menyenangkan. Kunjungan sahabat lama, jalan-jalan ke Lesotho, lintas kota, lintas Negara. Lalu hubungan mereka merenggang. Setelah naik turun bukit, menyaksi bukit, pemandangan alam Afrika menakjubkan, mereka mengalami selisih paham. Jadi pada titik perjalanan ini, ada saat-saat bersatu dan ada saat-saat berseteru.

Reiner yang kaya, memback-up semua keperluan akomodasi Damon, bagaimana bayarnya? Suatu saat nanti saja, tak perlu dipikirkan. Namun biaya tanggung itu mencipta perasaan tak enak Damon, ia merasa beban. Merasa tak punya suara, saat terjadi debat arah jalan, hingga perasaan muak didominasi. Konfliks kecil, riak besar. Membiarkkan dendam kesumat atas pembunuhan putrinya. Tak sesuatu pun bisa membahanbakari keinginan membalas dendam sehebat kesedihan mendalam.

Kedua, dilabeli Si Pencinta, kita diajak berkenalan dengan rombongan turis dari Eropa. Jerome, Alice, Christian, Roderigo, dkk. Mereka dalam perjalanan kota-kota, jalan-jalan tanpa tujuan jelas. Satu kaki terayun melewati kaki lain, setiap tapak kaki tertanam dan bergerak ke depan. Jalan kaki memiliki ritme yang bisa membuatmu melayang. Sebagai tuan rumah benua, walaupun bukan hanya Afrika Selatan, Damon malah merasa jadi beban. Kali ini bukan masalah keuangan, tapi malah hal-hal dasar. Dari visa, hingga kegamangan pilihan. berkutat di Benua Hitam Tanzania, Kenya, Zanzibar, Zimbabwe, hingga Malawi.

Dalam sebuah dramatisasi adegan, mengejar bus setelah melakukan penyogokan di perbatasan karena tak punya visa, teman-teman yang dikejar itu malah berikutnya ditinggal, setelah janjian akan bertemu kembali di Inggris. Secara tiba-tiba memutuskan pulang setelah berkenalan dengan orang yang kebetulan mau ke Afrika Selatan.

Inti cerita kedua, bukan di situ, tapi malah petualangan di Eropa. Main ke rumah Jerome, disambut dengan sangat hangat oleh keluarga temannya. Lalu saat temannya wajib militer, ia ke Negara lain. Pengelanaan yang umum, hingga akhirnya menerima kabar menyedihkan. “Aku kemari untuk merenung.”

Ketiga, kita bersama Anna, teman sekaligus pacar temannya. Ke India, menelusur budaya. Banyak area kumuh, banyak kunjungan ke tempat-tempat eksotik. Sayangnya bagian terakhir ini, Damon mendapati teman perjalanan bermasalah. Sakaw narkoba, punya pacar cewek, hingga niatannya bunuh diri. Memiliki penyakit mental yang ke mana-mana bawa obat. Tujuan utama ke India untuk healing, malah ambyar. Hufh… Yang pada akhirnya obat itu malah ditelan bersamaan membuat repot semua orang. Di setiap keberangkatan, jauh di lubuk hati terdalam, seperti titik hitam, muncul ketakutan akan kematian.

Sekarat, diselamatkan malah marah-marah. Menghubungi keluarga di Cape Town untuk menjemputnya, hingga keputusan-keputusan konyol lainnya. Dunia hitam di tanah orang, merepotkan, mengesalkan. Apakah bisa selamat, Anna?

Kisah dibuku ini langsung mengingatkanku pada film The Man with the Answers. Lelaki galau melakukan perjalanan laut, berkenalan dengan lelaki tamvan tapi tampak nakal. Awalnya pasif saja, tapi setelah turun dari kapal, berkendara mobil tua, mereka malah saling mengisi dan menjaga. Di Jerman segalanya berakhir. Nah, bagian pertama buku ini mirip sekali. Namun di The Man with the Answers jelas motif dan plotnya, apa yang akan diraih di kota tujuan. Sementara In a Strange Room, mau apa dan ngapainnya tak jelas. Mau merenung di tempat terpencil? Mau menyatu dengan alam? Atau mencari jati diri? Jelas dengan alasan itu kurang kuat, ditambah, Damon tak terlalu mempermasalahkan uang, artinya ia kaya, tak terlalu takut duitnya habis, tak detail penjelasan bagaimana ia bertahan hidup dengan uang seadanya, walau seringkali bikin tenda untuk menghemat, seringkali pula menginap di hotel. Ini jelas buku orang jalan-jalan saja. Dan kisah sejenis ini, kurang konfliks, kurang menarik. Malah tampak konyol, saat di India bersama teman wanitanya, hambar.

Saya membeli buku ini karena berlabel Nominator The Man Booker Prize 2010 untuk novel The Good Doctor, bukan buku ini. yah, seperti Eka Kurniawan untuk Lelaki Harimau, bukan O. kurang lebih seperti itulah, mungkin saya akan terpukau sama The Good Doctor, dan merasa standar untuk O. Mari kita buru…

In a Strange Room | by Damon Galgut | Copyright 2010 | Published by Atlantic Books Ltd. | Alih bahasa Yuliany dan Shandy T | 188102536 | ISBN 978-979-27-8972-0 | Penerbit Elex Media Komputindo | Cetakan pertama, 2010 | Skor: 3.5/5

Karawang, 140722 – Manhattan Transfer – Birdland

Thx to Ade Buku, Bandung

The Road

Kau sudah tahu semua cerita tentang aku. Kau ada di sana. // Kau punya cerita yang di dalamnya aku tak tahu. // Maksudmu seperti mimpi-mimpi? // Seperti mimpi-mimpi. Atau cuma hal-hal yang kaupikirkan.

Bagaimana yang tidak akan pernah ada berbeda dari tidak pernah ada? Buku tanpa tanda petik. Semua, baik kalimat langsung atau sebuah kata yang perlu kutip, tak ada tanda petiknya. Benar-benar ya, mana ceritanya juga antah pula. Sejatinya, setelah menyelesaikan baca, inti kisah tak rumit amat. Duo ayah anak yang melakukan perjalanan dari kota ke kota, bergerak terus untuk mencari perlindungan berujung di pantai di zaman masa depan yang kelam. Itu saja, dari awal sampai akhirnya terjadi tragedi itu, segalanya dicerita datar. Tak ada yang perlu diperdebat lebih, selain kenapa ini terjadi. Jadi pertanyaan filosofisnya, mengapa bumi bisa sedemikian mengerikan. Ini jelas penggambaran hitam, mengerikan kurang pas, hhmm… porak poranda mungkin lebih pas. Sebuah masa suram dunia yang kita tinggali.

Nasihat-nasihat secara tak langsung juga sejatinya disampaikan. Secara tersirat, seperti kata Papanya, Ingat, hal-hal yang kaumasukkan ke dalam kepalamu tersimpan di sana selamanya. Bukankah manusia adalah gudangnya kenangan? Bukankah memori adalah hal yang begitu berharga, di manapun, di masa kapanpun. Atau Kau lupa apa yang ingin kauingat dan kau ingat apa yang ingin kaulupakan. Ya, dasarnya ingatan itu abstrak, tapi masih bisa diolah. Dialog ini disampaikan sambil lalu, saat di depan api unggun atau saat dalam perjalanan mendorong kereta belanja atau saat dalam bungker kegelapan. Sang Papa mencoba berpikir tapi pikirannya kacau. Ada saat-saat ketika ia duduk memperhatikan anak itu tidur yang membuatnya mulai terisak tak terkendali.

Di sini tak ada nama karakter, hanya dipanggil Papa dan Anak. Mereka adalah pengelana, dengan kereta dorong belanja yang ada di supermarket yang menampung peralatan ala kadar, makanan dan minuman yang ala kadar pula, menjelajah kota-kota, menghindari manusia lain, bersembunyi dari kawanan lain, sebab bakal dijarah, atau direbut apa yang mereka bawa. Tak ada kata egois di sini, kalau mau bertahan hidup, tanggungjawab ada di diri kalian sendiri. Sayangnya, manusia dalam keadaan mendesak seperti ini, segala hal bakal dilakukan demi sesuap nasi. Menjadi brutal, menjadi menusia seutuhnya.

Mereka berjalan menuju Selatan, menuju pantai. Berpacu dengan kegelapan. Dari satu tempat ke tempat lain, tiap bertemu dengan orang lain, waspada. Bertemu dengan orang lapar sungguh berbahaya bukan? Nekad! Membayangkan melihat manusia lain, berdiri dengan pakaian compang-camping, hilang pada matahari acuh tak acuh yang sama. Waspada? Dan alasan waspada ini nantinya sungguh sangat beralasan. Sepeti kata Papanya, Kita harus terus berpindah-pindah. Kita harus terus mengarah ke selatan. Menemukan bukit, membuat api unggun, membuat tenda darurat, menemukan  rumah kosong, menemukan bensin, api, makanan sisa, hingga hal-hal pokok cara survive di kejamnya dunia. Tidur sedikit dan tidak lelap. Bermimpi berjalan di hutan berbunga tempat burung-burung terbang di depan mereka. Matahari yang menyengat, hujan yang mendera, salju yang ganas di dinginnya cuaca. Hidup di alam liar.

Kita tak diberitahu mengapa bumi bisa sehancur itu, apakah karena perang? Wabah? Sebuah serangan zombie? Invasi alien? Entah, tak dicerita. Hanya tahu, keduanya sudah di sana, masa-masa awal bencana tak dikisah. Judulnya udah pas, ini memang novel Jalan, sebab ya kisahnya di jalanan. Ada masa mereka menemukan bungker berisi banyak makanan, minuman, kotak P3K, hingga segala alat untuk bertahan, tapi mereka harus bergerak, dan ini sungguh sulit. Yah, kembali ke jalanan.

Tema kesepian, kesunyian, dan keterasingan menjadi bumbu utama. Hari-hari terlepas tak dihitung dan tak berkalender. Jelas, manusia adalah makhluk sosial yang perlu bersinggungan dengan orang lain, di sini menjadi sangat nyata dan betapa pentingnya mengenal tetangga. Menjadi sulit saat, segalanya tak berjalan mulus, kendala mengapung, hingga hal-hal dasar kebutuhan manusia disampaikan. Makan, tempat tinggal, pakaian. Dan dimana peran agama?

Pertanyaannya, bila kalian ada di posisi itu apakah kalain tetap orang baik-baik? Kebaikan akan menemukan  anak kecil itu. Senantiasa begitu. Akan terjadi lagi. Percaya saja sama ilmu tabur-tuai, sebab kalimat ini menjelma nyata, siapa yang akan menemukannya kalau ia tersesat? Siapa yang menemukan anak kecil itu? Pada akhirnya menjadi boomerang, segala tindakan dan ucapan kita berbalik ke kita.

Ini adalah novel kedua Cormac McCarthy yang kubaca, ketakjuban dalam No Country for Old Men berlanjut. Namun bagiku novel berkover orange itu jauh lebih bagus, lebih kuat, dan ceritanya lebih mudah masuk. Konfliks juga jelas, penyelesaian lebih ciamik. Dalam The Road, kita disuguhi berbagai macam pengandaian, hal-hal yang masih abu-abu, seolah puisi yang perlu tafsir lebih lanjut.

Kututup dengan kalimat panjang sang Papa yang memberi petuah ke anaknya, dan rasanya pantas kubagikan ke semua pembaca, bahwa ketika mimpi-mimpimu adalah dunia yang tak pernah ada atau dunia yang tidak akan pernah ada dan kau gembira lagi, maka kau akan menyerah. Paham? Dan kau tidak boleh menyerah. Takkan kubiarkan.

Jadi, katakan kepada kami, menuju ke mana dunia ini?

Jalan | by Cormac McCarthy | Diterjemahkan dari The Road | Copyright M-71, Ltd.2006 | Alih bahasa Sonya Sondakh | Ilustrasi dan desain sampul Satya Utama Jadi | GM 402 09.006 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan pertama, Januari 2009 | 264 hlm; 20 cm | ISBN-10: 979-22-4316-X | ISBN-13: 978-979-22-4316-1 | Skor: 4.5/5

Buku ini dipersembahkan kepada John Francis McCarthy

Karawang, 250522 – The Best Vocal Jazz Relaxing Singing with Swing

Thx to William Loew, Medan