
“Just be a rock.”
Ya ampun, ga jelas. Gegayaan. Dengan kostum bervariasi, dimensi berbagai lorong, sampai monster-monsteran. Tak ada nada khawatir di sana. Tautan emosi penonton lepas. Hype-nya ketinggian. Terasa biasa saja, apalagi endingnya, yah gitu doang. Happily ever after, setelah porak poranda penuh intrik dan ketegangan, akhirnya hanya adegan bahagia di hari cerah dan mereka-pun berciuman. Meh. Template kisah fantasi sejenis ini sudah sangat banyak dicipta, sudah bosan. Hanya satu adegan yang benar-benar membuatku histeris, dialog diam dua batu dengan jurang menganga di bawahnya, matahari menyinari mereka, memoles kebimbangan, dan dalam diam mereka cerewet. Namun, sayangnya, itupun dirusak. Saat akhirnya mereka bergerak, bukan digerakkan. Hukum Newton ditentang. Hufh…
Kisahnya tentang keluarga China yang hidup di Amerika, pasangan Evelyn Wang (Michelle Yeoh) dan Waymond Wang (Ke Huy Quan) sedang mempersiapkan pesta tahun baru Imlek, semua pelanggan usaha penatu mereka undang. Sebelum pesta mereka bersama sang ayah Gong Gong (James Hong) di atas kursi roda ke kantor pajak Internal Revenue Service (IRS), guna pelaporan keuangan. Oleh auditornya Deirdre Beaubeirdre (Jamie Lee Curtis) mengindikasikan ada dana menyeleweng, sekalipun kecil, seperti karaoke atau hobi biasa yang menguntungkan. Kertas-kertas itu bagi auditor bisa bermakna dan sungguh bersuara. Maka mereka tetap harus mempertanggungjawabkan.
Gong Gong yang sangat tradisional, merasa keluarga ini terlalu bebas. Sering mengeluhkan banyak hal, dan saat kita diajak ke masa lalu, tahulah bahwa dulu Waymond pernah ditolak olehnya, disepelekan. Namun Evelyn tetap memilihnya sebagai pasangan. Naasnya, pergaulan anaknya sudah terpengaruh gaya Barat, putri satu-satunya Joy Wang (Stephanie Hsu) malah berpenampilan radikal dengan memilih pasangan lesbi Becky. Fakta ini tentu saja coba disembunyikan, agar Gong Gong tak shock.
Kembali ke kantor pajak, saat mereka di lift berangkat, Raymond menjelma seolah agen Men in Black. Dengan gerak cepat, cctv ditutup payung, ia memberi pesan intruksi, membisikannya pada sang istri. Perintah aneh, dengan earphone portable, dan selembar kertas tentang potensi segala dunia lain. Lalu saat akan pulang, aksi sesungguhnya terjadi. Dengan tas pinggang, Raymond mencipta kegaduhan, para pengaman gedung dibantai. Dalam keterdesakan, perintah Raymond malah terasa masuk akal. Everlyn dimintai tolong untuk memasuki dimensi antah, melihat potensi opsi hidup dirinya di masa lain, dirinya yang lain terbentang, lalu ia bisa menjelma, ia diminta menyelamatkan semesta dari kebengisan Jobu Tupaki. Sejenak timbul jeda yang tidak nyaman, tapi tindakan harus diambil. Mulai dari menit itulah, segalnya menggila. Amburadul, babak belur, porak poranda, hhmm… apa lagi ya untuk menggambarkannya. Intinya, layar dipenuhi segala hal tak teratur. Kita dijejali, potongan adegan seolah memasuki lorong, menjadi Evelyn yang lain, Raymond yang kain, Joy yang lain, dst. Segala-galanya ambyar.
Apakah saya sudah bosan sama action gegayaan seperti itu? Yang utama selalu, bagiku adalah cerita. Buat apa film penuh gaya, pakai alat bantu tarung berlebih, berbaju badut, hingga mata palsu ketiga, kalau ujungnya cuma untuk berkunjung damai, dan segalanya baik-baik saja. Semuanya tak masalah. Template sejenis ini, di mana sang tokoh diajak menjelajah ke dimensi tak berbatas, berpetualang penuh nafsu fantasi, lalu pulang, dan tak apa-apa. Seolah kita terbangun dari mimpi. Mimpi sereal apapun, oh itu hanya imaji.
Ada ironi saat Evelyn merasakan getar gairah mengaliri punggungnya, tahu kemungkinan lain di semesta lain, ia bisa jadi apa saja. Ia tersenyum, dan juga sedih. Sama saja, saya membayangkan, andai dulu saya mengejar Sherina Munaf membabi buta, salah satu jiwa saya di semesta lain, ada yang nyangkut sukses menjadikannya pasangan. Liar? Tidak juga. Sudah umum. Apakah ini ide baru? Jelas tidak. Malah terlihat klise dan usang. Modifikasi gentayangan di universe kalau ujung-ujungnya kosong, kurang menarik.
Untuk berpindah semesta, syaratnya terlampau sederhana, dan bisa dilakukan tergesa. Kurang renungan, dan terlalu mudah. Tak ada adegan moksa yang syahdu, tapa brata dengan lapis adegan jiwa terbelas misalnya. Atau aturan garis singgung yang mencipta khawatir. Di sini tak ada, A24 malah mencipta action dengan konveti ditebar sepanjang menit. Dengan alat, konsentrasi, klik, memasuki lorong, wuuuuzz… seolah film sci-fi. Tidak, saya tak terlalu nyaman melompat-lompat secepat itu. Berkali-kali saya menguap mengintip HP guna lihat jam, terasa sangat lama. Begitu pula, kakek-kakek di sampingku. Main HP mulu saking bosannya, dan bahkan dia pergi sebelum film berakhir. Permainan dimensi lain itu identik yang gelap-gelap, malah kita tak disuguhi deraan pikiran-pikiran gelap.
Kita maklumi betapa Evelyn khawatir, saat di kantor pajak suaminya akan merusak dengan melawan. Sayangnya emosi Evelyn tak berhasil menautkannya ke penonton. Memang orang harus hidup tenang dan stabil, membahayakan nyawa dengan main pukul tidak akan menyelesaikan masalah. Namun, saat segalanya berantakan, dan harus ada yang membereskan. Ia juga bisa silat, mencuri ilmu Evelyn yang lain. Hufh, ending saat meminta tas pinggang, itu jelas kita maklumi, tapi tak melegakan.
Adegan batu yang sunyi itu sejatinya sangat menghibur. Dua manusia potensi jadi benda mati, dan saling menasehati. Diakui kasih segala-galanya tentang segala-galanya. Krik… krik… krik… Beberapa detik membuatku menganga melihatnya, lain-lainnya terlupakan. Secara fisik dan temporal di dalam enklave-enklave dimensi seperti inilah, yang amat sangat keren. Sayangnya tak lama, sebab kita kembali ke hingar bingar taburan konveti.

Kusaksikan senin malam 4 Juli 2022 bersama May, yang saat akan mulai kujanjikan, kubisikkan “Ini film bagus, Bersiaplah.” Ternyata setelah usai komen kita tooossss, dia juga tak suka. Harapannya ketinggian, komennya: drama keluarga biasa, malah muter-muter dan akhirnya bahagia. Biasa banget. So, lihatlah. Ini dari kacamata awam, istriku bukan movie freak. Hanya nonton saat diajak, dan sepakat film so so. Hufh… jadinya nyesel ‘kan skip Broker.
Suddenly, everything. Sempat digadang-gadang jadi madness sesungguhnya ketimbang film Madness in Universe lainnya. Ternyata sama saja, gegayaan doang.
Everything Everywhere All at Once | 2022 | Directed by Daniel Scheinert, Dan Kwan | Screenplay Daniel Scheinert, Dan Kwan | Cast Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, James Hong, Ke Huy Quan, Kamie Lee Curtis | Skor: 3/5
Karawang, 270722 – Etta James – At Last