Realitas Merenggut Mimpi-Mimpinya

La Muli by Nunuk Y. Kusmiana

Tahukah kamu, Inah, nelayan sepertiku tidak bisa memilih-milih. Aku tidak benar-benar tahu ikan apa yang memakan umpanku. Cukup sering menangkap penyu dan terpaksa kulepaskan. Meski hati ini sedih mendapati mulutnya yang terluka karena kailku.”

Buku kedua dari Nunuk Y. Kusmiana yang kubaca setelah Lengking Burung Kasuari yang memukau itu, debut yang sukses berat. Kali ini temanya lebih variatif, mengambil sudut pandang penduduk asli Papua yang ditunjuk menjadi ketua RT, mencoba memecahkan masalah warga, menjadi penghubung pemerintah dan penduduk asli dan juga pendatang. Sebagai nelayan yang baik hati. Pondasi utama cerita ini adalah sebuah sumur yang terbuka yang coba dibuatkan dinding agar tak terjadi porno aksi, mereka dianggap melakukan mandi dengan porno sebab area terbuka, mengenakan sarung untuk dewasa dan telanjang bulat untuk anak-anak. “Masuk neraka saja komandan itu. Bikin susah semua orang, mentang-mentang dong tidak pernah mengalami susah air.”

Kali ini seolah tokoh-tokoh penting di Lengking menjadi tokoh pendukung saja. Bu Letnan adalah perwujudan ibunya Asih yang membuka toko kelontong. Kisahnya hanya berkutat di Papua, ujung Timur Indonesia yang bergabung dengan Indonesia 1969. La Muli adalah ketua RT yang terpilih, tak berpengalaman berorganisasi, warga asli kebanyakan yang tak terlalu mengenal birokrasi, mengalahkan La Ode Komarudin yang lebih kaya dan telah lama diakui berkuasa (walau tak sah). Istrinya Mutmainah (dipanggil Inah) adalah pribadi yang sederhana pula, berpikir praktis yang penting dapur ngebul, ada ikan yang dibawa pulang. Urusan dinding yang rumit, tak menghasilkan uang atau makanan membuatnya muak. Sejatinya hampir semua istri juga gitu-kan, “Cari duit kakak, bukan pangkat atau jabatan!”

Sebagai nelayan kecil, La Muli menjadi presensi nyata kehidupan warga kebanyakan. Tidur awal menjadi kemewahan tersendiri bagi nelayan seperti dia. Dibuka dengan masa kecilnya yang absurd bahwa ia akan menjadi orang penting yang disampaikan berkata-kata oleh kakek berambut putih yang dianggap gila, tapi ramalannya jitu. Ketua RT yang (mencoba) mengayomi, istrinya terlihat ngalir saja hidup. Pakai seragam? Enggak! Dapat gaji? Enggak! Apa pentingnya?! “Pekerjaan ini adalah kontribusi nyata warga bagi tertib administrasi.”

Suatu ketika dapat instruksi dari Komandan untuk membuat dinding di sumur umum agar tak menjadikan porno aksi, hal sederhana ini lalu memicu rentetan panjang masalah. Iuran warga per Kepala Keluarga (KK) dua puluh lima ribu rupiah, menjadi beban. Bukan macam gini, main buka mulut saja, macam uang tinggal ambil di pohon-pohon. Tak semua mau memberi, ada yang bayar tunai, ada yang bayar separuh, ada juga yang tak mau bayar. Pak RT mumet. Polemik pertama muncul dari pelacur berambur lurus, Sarita yang tinggal menyewa rumah La Rabaenga, belakang rumah Wa Ome. Ketika ditagih, malah menyampaikan kabar untuk menagih ke palanggannya yang utang, La Udin. Dalam rapat, walau La Muli tak menyampaikan langsung salah satu masalah penarikan iuran, hanya tersirat, tetap membuatnya marah. Suatu malam, La Udin melakukan tindak kekerasan yang berakibat Sarita harus dirawat di rumah sakit. Ada warga mendengar jerit sakitnya, tapi malah pasif sama ‘Bibi’, soalnya sudah terbiasa mendengar jeritnya. “Menantuku dengarkan ini, kalau ada kejahatan sedang terjadi dan kita diam saja, padahal kita mampu melakukan sesuatu, bukankah kita ikut berdosa?” Jangan bayangkan rumah sakit yang mewah dan mudah dijangkau, di sana urusan medis juga rumit dan sebagai ketua RT, ia harus mengantar. Waktu dan tenaganya tersita banyak.

Di sinilah seninya, urusan dinding sumur merembet ke yang lain. Bahkan eksekusi endingnya ketika dinding jadi-pun masalah bukannya selesai, malah melebar ke lain hal pula, karena dinding itu bermasalah (saya bocorin dikit, masalah cakar ayam!) lalu malah La Muli dituduh korupsi dana warga. Astaga… mau mandi nyaman dan aman saja ribetnya. “Mengapa ada orang yang tega mengurusi bagaimana caranya orang mandi?”

Buku ini juga terasa bervitamin, dengan menyodorkan fakta-fakta kecil yang asyik. seperti pola tidur nelayan yang menyesuaikan jadwal kerja. “La Muli masih tidur, kamu akan sulit membangunkannya, meskipun kamu meledakkan bom di telinganya. Beginilah nelayan sejatinya, atau kamu bisa kembali sedikit siang, ia akan bangun saat itu.”

Fakta permainan harga untuk komoditi ikan, saat bulan terang dan saat ada badai, harga ikan melambung tinggi seperti harga emas. Mirip dengan budaya pertanian yang mana, kala panen raya justru harganya terjun. Atau hal sepele tentang sopan santun berpakaian ketika menghadap orang penting, “baju diseterika membuat bapa kelihatan penting.”

Tentang tata cara berniaga ada yang bikin trenyuh, bagaimana ada yang jualan hasil kebun dari pulau seberang. Pulau Muna yang jauh, mengangkut hasil alam untuk dijual di sana, dengan mengarungi laut dua hari berperahu seadanya, bersama angin yang menggerakkan layar terkembang! Gilax, terdengar janggal tapi juga nyata. “Selamat datang, selamat berjuang di tanah rantau yang keras ini.”

Di Papua nuansa reliji juga kental. Sayangnya Allah kelewat sibuk bekerja, sampai-sampai aku mendapat ‘kembung-kembung’ yang tidak berharga ini, dan teri yang jauh tidak ada harganya di pasar. Rasanya aneh debat suami-istri ini, saling silang pendapat. Dua orang yang berdoa kan lebih kuat daripada hanya satu orang, “Kurasa kalau kau ikut berdoa, Allah akan menutup kupingnya, karena kamu selalu berdoa dengan berisik. Kalau kita berdoa untuk mendapatkan hanya ikan yang tidak kelewat besar. Mungkin Allah akan mendengar doamu dengan mendatangkan ikan-ikanyang tepat.”

Satu lagi fakta asyik. bagi kita ngopi bergelas-gelas dengan aneka rasa dan merek sudah biasa, dan setiap saat juga bisa. La Muli dan uring-uringan istrinya yang kekurangan dana, buat kopi manis saja jarang-jarang. Sebuah kejadian langka, ngopi manis dan nyaman dengan buku atau HP. Maka ketika bertamu ke Sarita meluruskan masalah dan mendapat suguhan kopi, bersama Letnan. Respon keduanya berseberangan. Pak Letnan yang berkecukupan, menganggap kopinya basa-basi yang tak menarik (bahkan tak diminum!), lain halnya Pak RT. Ia mencecap dan menikmati setiap seruputannya. La Muli membayangkan akan kenangan kopi manis di rumah Sarita. Mulutnya bahkan masih bisa mencecap rasa manis yang tertinggal di sana. Haha… bersyukurlah wahai umat santuy sekalian.

Tentu saja kita harus angkat topi untuk pemilihan diksi, dibawakan dengan meriah dan renyah. Mencipta nyaman para pembaca guna mengikuti alirannya. Bahkan dengan menatap pohon pisang dengan tanpa alasan yang jelas dan menanyai tentang jenisnya. Sebaris kalimat sederhana yang mumpuni. Atau penutup paragraf berujar: Senja lenyap seperti satu tiupan napas. Malam pun datang. Nah! Sastra yang asyik-kan, tak perlu kerut kening untuk dunia jauh, dituturkan dengan porsi adonan kata pas. “Dinding yang bagus, aku ikut membangunnya.”

Nilai minusnya, ada beberapa misal: terlampau sering menyebut ‘batok kepala’ sebagai ungkapan ada pemikiran yang akan atau tertahan untuk disampaikan. Sekali dua sih OK, tapi ini udah kebablasan. Tema sumur sempat akan membuat boring, konyol sekali, sampai sebegininya urusan air bersih. Untungnya temanya diperlebar ke lainnya, terutama ketika Inah memutuskan terjun ke laut saat ‘bertemu’ teman lama Zubaidah, teman Mutmaimah satu-satunya di perantauan mati bunuh diri. Kisah menjelma abu-abu, memudar dan melejit lagi dalam bayangan. “Jangan mengingini yang aneh-aneh Idah, tidak baik menyimpan pikiran macam itu.”

Tema kritik pemerintahan juga tersebar di banyak halaman, tank bekas Perang Dunia II di lepas pantai yang akan dibeli (oleh orang Jawa), menjadi polemik suku asli. Besi rongokan yang oleh kaca mata awam otomatis berpikir, buat apa? Dihargai oleh orang jauh, buat museum misalnya. Papua besarnya tiga setengah kali pulau Jawa luasnya. Lalu kritik terhadap birokrasi, “sering kukatakan kepada anak buahku harus menangani kampung kacau-balau ini dengan tegas, tapi tidak kasar.” Dan terutama sekali ketika Bapa Ondoafi dan anaknya menghadap Gubernur. Kelihatan sekali itu suara hati sebagian rakyat, orang-orang Pemerintah itu hanya mau menafsirkan hukum yang menguntungkan mereka saja. Tentang hak guna tanah, hak kelola dong tapi dimaksudkan jual beli. Dengan naskah kumal dan kuno sebagai bukti? Kritik nyata dalam sastra. Jadi kalau kalian membenci penjajah, atau merasa nenek-moyangnya didzolimi, sampai mengutuk keras Belanda atau Jepang atau segala penindasan yang melatari segala hubungan bilateral, pikir lagi! Sangat jelas, bangsa kita juga melakukannya hal serupa. “Sudah kuduga akan begini.”

Debat suami-istri ditampilkan tak hanya La Muli dan Inah. Pak Letnan dan istrinya yang menjaga kios juga sesekali muncul. Walaupun kita sudah banyak menikmatinya dalam drama Lengking Burung, di sini sisa-sisa sausana kehebatan Bu Yatmi masih terlihat. “Dia itu polisi, Bu. Aku tentara, beda urusan… Dia urusan sipil aku urusan perang, beda jurusannya.” Asyik. Sehat terus #Wildan!

Ditemukan beberapa kata tak baku, misal ‘hutang’, typo juga berkali-kali ditemukan contoh: ‘bagaiamana’, ‘istrtinya’. Bagian teknis yang bagus tentu saja ada di covernya yang keren. Suka sama ilustrasi sederhana gini. Urusan cetak kertas buram atau hvs bagiku tak terlalu pengaruh yang penting jilidnya OK. Kalau boleh saran, editingnya harus ditingkatkan, triple check kalau perlu. Proof reader itu penting, sangat dianjurkan! Ini adalah satu dari rangkaian paket KSK Daftar Panjang dari Basabasi, yang tahun ini mengirim empat wakil! Wow… untungnya #unboxing pertama ini, bagus. Jadi ada antusiame lebih guna melanjutkan. Prediksiku, dengan skor empat setengah bintang (skor yang sama kuberikan untuk Lengking Burung) rasanya sangat pantas masuk daftar pendek. Tema mirip dengan Burung Kayu yang kemarin selesai baca (suku pedalaman, ketua RT/Kepala Desa, sampai budaya lokal yang tergerus), tapi jelas pembawaan La Muli lebih mantab, lebih hidup, lebih asyik, lebih terasa lelehan nikmat di setiap halamannya, bisa jadi sebab Nunuk mengambil setting tempat ia tumbuh, sudah menghirup dalam-dalam bertahun latar yang dicerita, singkatnya tempat yang sudah ia sangat akrabi, jadi memang seolah mencerita pengalaman pribadi. Good!

Ketika laut mampu memberimu apa saja, mengapa mengais-aisnya di daratan? “Pendek saja doanya, Allah tahu bagaimana terdesaknya kita dengan waktu.”

La Muli | by Nunuk Y. Kusmiana | Editor Faisal Oddang | Pemeriksa aksara Aris Rahman P. Putra | Tata sampul Sukutangan | Tata letak Ieka | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Maret 2020 | Penerbit Basabasi | 200 hlmn, 14 x 20 cm | ISBN 978-623-7290-78-0 | Skor: 4.5/5

Karawang, 160920 – Linkin Park – Plc 4 Mie Head

Thx to Basabasi Store, Titus Pradita, Shopee.
Tiga sudah, Sepuluh Menuju – KSK 20

Pada Suatu Masa di Jayapura

Lengking Burung Kasuari by Nunuk Y. Kusmiana

Itu burung kasuari. Dia suka marah kalau melihat kita dekat-dekat dengannya.” – Sendy

Keren. Keren adalah kata pertama yang terucap ketika selesai baca semalam (05/04/2020) di akhir liburan. Tata bahasa, plot, penyampaian kisah, karakter yang kuat sampai akhirnya ditutup dengan manis. Kalau boleh kasih sedikit keluhan, adalah ending-nya yang bahagia. Walau Asih kena tamparan, pada kenyataan mereka meninggalkan rumah dengan senyum. Merasa sakit hati, tapi mau mengadu ke siapa? Sempat berpikir ngeri, seperti akhir kisah The Boy in the Stripped Pyjamas karya John Boyne di mana eksekusi akhir, sang anak menghilang hingga benar-benar menguras air mata, Lengking Burung Kasuari tak sepahit itu. Padahal susunan kisah sudah tepat mengarah ke sana, bahkan di bab terakhir di lembar-lembar akhir Asih ‘sudah berjumpa’ dengan tukang potong kep. Penculik anak-anak berambut lurus! Namun tidak, ini adalah buku tentang kehangatan keluarga, sebuah memoar terselubung yang meyakinkan sekali ketika dituturkan karena seolah memang Mbak Nunuk mengalami segalanya, dan menuangkannya dalam buku.

Kisahnya mengambil sudut pandang orang pertama, dan akan terus begitu sampai selesai. Dari anak SD bernama lengkap Kinasih Andarwati, panggilannya Asih, memiliki keluarga harmonis dengan permasalahan yang membumi, maksudnya umum seperti finansial, permainan anak-anak masa lalu yang menyenangkan, hingga pendidikan yang apa adanya. Asih adalah anak pertama dari keluarga asli Jawa Timur, Bapaknya ditugaskan ke Jayapura tahun 1970, dan mereka ikut serta. Ibu Yatmi yang luar biasa hebat. Memiliki adik yang imut, cerdas, dan sungguh menyenangkan bernama Tutik, selisih dua tahun. Bocah cilik bertubuh kuat. Mereka menjalani hari-hari yang panas di bumi Papua, setahun setelah resmi bergabung dengan NKRI. Ada adegan bagus, maksudnya bervitamin. Tentang Pantai Base-G, sejarahnya semasa Perang Pasifik, pantai itu dan seluruh wilayah yang dulu dikenal dengan nama Hollandia menjadi basis pertahanan tentara Sekutu. Wilayah itu dinamai Base-G atau basis pertahanan dengan urutan ke-G. Basis pertahanan di atasnya di sebut Base-F terletak di Hawaii. Jadi ada Base-A sampai E? Mungkin di Amerika. Yang jelas Base-G adalah armada ketujuh Amerika Serikat. Wow, serius baru tahu saya.

Dibuka dengan narasi meyakinkan, tetangga mereka yang asli Papua memiliki bengkel kendaraan, rumahnya berhalaman luas. Dengan daya tarik buah kersen yang pohonnya menjulang di kandang babi, dan di sampingnya ada kandang dengan seekor burung kasuari, yang suka mengejar siapa saja yang menampakkan diri di dekatnya. Asih berkenalan dengan Sendy Patricia Karake, teman pertamanya, tetangga mereka yang Kristiani dan kaya. Sendy sekolah di SD Paulus di Dok Lima Atas, jauh sehingga berangkat –pulang diantar mobil. Selain main pasar-pasaran, masak-masakan acara paling disukauinya adalah memetik buah kersen, unik karena lewat samping, dekat kandang kasuari, dan akhirnya di atap rumah. Dari sinilah judul buku ini diambil. Lengkingan sang burung dan karakteristik hewat tersebut yang terlihat galak, sejatinya berhati lembut. Hewan liar di hutan, dipelihara.

Asih bersekolah di SD Persit (Persatuan Istri Tentara) milik ABRI Angkatan Darat, berangkat bareng adiknya Tutik yang masih TK, bareng pula anak tetangga, Watik dari keluarga Bahar yang sekelas sama Tutik. Letaknya di Klofkamp, sebelah timur Ajen (Asisten Jenderal). Terlihat di sini keluarga Asih dekat dengan Keluarga Bahar karena setiap berangkat aktivitas, kunci rumah dititipkan kepada Tante Bahar. Nah, karena tante Bahar memiliki ‘musuh’ tetangga bernama Tante Tamb (panggilan Magda – nama kecil), mereka perang dingin maka otomatis keluarga ini juga bermusuhan walau mencoba netral tetap saja ada gap. Sejatinya, di sini kita sudah bisa menebak ke arah mana cerita ini ketika Tante Tamb yang menggangu Asih mulu. Dari meminta bawang, minyak, sampai memaksa menjaga Butet, anaknya yang balita. Saya sudah curiga cerita mengarah ke sana, karena pemintaan paksa itu terkesan janggal. Mbak Nunuk kurang rapat menyimpan kejutan yang ini.

Ekonomi menjadi triger berikutnya untuk mengayuh kalimat. Sebagai tentara biasa, gaji mereka pas-pasan. “Ah, gaji tentara. Biar naik juga masih kecil juga.” Sampai tengah bulan dah ludes, maka di sinilah peran istri bergerak. Hebat. Hebat adalah kata pertama yang kuucap ketika tahu Bu Yatmi nekad melakukan bisnis, membuka kios di pedalaman yang pengiriman barangnya bisa berbulan-bulan setiap kapal baru menurunkan jangkar. Dengan jarak kira-kira dua kilo meter dari rumah, setiap pagi dia berangkat jaga kios sembako di Polimak Atas. Modal? Akhirnya mereka pinjam ke koperasi tentara Puskopad (Pusat Koperasi Angkatan Darat) atas nama bapak. Di sini saya takjub. Seorang istri tentara, berjuang demi membantu finansial keluarga. Banting tulang, karena keluarga adalah segalanya. Paginya masak, bangun subuh, siang istirahat bentar, balik lagi sampai sore. Luar biasa. Catat ya, ini kota Jayapura tahun 1970an yang minim transpotasi, minim bahan pokok, minim komunikasi, minim warga, sebuah kota yang sepi. Ibunya akhirnya tersandung kasus, bisnis kayu yang dia geluti rontok. Om Said yang bertugas mengurus, mengambil kayu dari pedalaman, suatu ketika kapalnya kena badai, maka kayu itu dibuang ke laut demi menyelamatkan nyawa. Malam ketika menyampaikan itu, kita mengetahui bahwa ada yang punya keris di rumah asri ini! Selain itu, bisnis batu bata yang dilakukan di samping rumah juga akhirnya kena tegur sama satuan, terhenti juga. Di sini tampak sekali, ini adalah cerita realita. Menjalankan bisnis itu tak gampang, jatuh bangun, kena tipu, terjepit masalah, finansial megap-megap. Jelas, ini ditulis dengan hati. Hati yang pernah merasa pahit manisnya perjuangan.

Kasus berikutnya, Asih naik kelas tiga, tapi nilainya ada merah dua. Naik kelas dengan percobaan. Membuat malu bapaknya. Sementara Tutik yang TK justru gemilang, ia sudah terlebih dulu bisa membaca, tiap sore ‘sekolah’ juga, ngaji, dan pemikirannya lebih praktis. Cool! Karakter favorit. Sendy pernah mengajak Asih ke Gereja, demi sekotak permen. Pernah pula ikut Natalan di rumahnya, demi kesenangan, turut dalam pesta dansa, yang ini gagal karena khusus untuk orang dewasa. Nah, dengan polosnya Tutik bilang Dosa, orang Islam ga boleh masuk gereja karena nanti akan dibakar di neraka. Haha… setelah icip gulali, ikut juga malahan. Oh dunia anak yang menyenangkan.

Akhirnya kita sampai pada kesimpulan. Bapak naik pangkat, sekarang jadi asisten Wakil Gubernur sehingga upahnya turut naik dan akan mendapat rumah dinas yang lebih layak. Bagaimana kios ibu? Sampai cicilan lunas, mereka sedikti lega karena nyaman dengan finansial. Lalu teror Tukang potong kep, tukang potong kepala manusia yang digaungkan Sendy mematik takut Asih, karena mereka hanya mau anak berambut lurus. Jembatan sudah jadi, tapi kepala anak-anak tetap dicari untuk ditimbun di bawah jembatan. Cerita ini nyaris mendekati sempurna di akhir, kenapa? Karena suram adalah koentji maka, akhir yang bahagia terasa terlalu nyata. Tak ada adegan darah, penculikan, atau parang yang beraksi. Ini adalah novel keluarga yang indah. Makin manis ketika ada adegan ‘pamit’ terhadap burung kasuari. Yah, setidaknya novel ini tampak meyakinkan, tampak keren, dan elok. Untuk dikisahkan kepada anak-anak atau remaja. Rate-nya SU – Semua Umur.

Salah satu kegiatan yang kusuka adalah bapak yang jelang tidur membacakan cerita kepada Asih dan Tutik. Cerita yang beragam: Perang Bratayudha, Cinderella, Gadis Korek Api, apa saja. Klop denganku di mana setiap jelang tidur Hermione Budiyanto merengek minta dibacakan cerita, dari Harry Potter, Narnia, sampai buku-buku Roald Dahl. Saat ini sih dua novel Winnie The Pooh tamat. Hebat sih, anak lima tahun hapal detail adegan di Hutan Seratus Ekar dan berkat Pooh pula, ia bercita-cita menjadi ilustrator seperti Ernest H. Shepard karena memang hobinya gambar dan warnai apa saja. Suka loncat-loncat di kasur karena suka sekali aksi membal-membal Tigger. Seperti Tutik yang sudah bisa baca di masa TK, Hermione juga sudah bisa baca latin dan Arab di Paud. Apalagi ending buku pertama Pooh yang diberi hadiah pensil warna, maka ia makin giat menggambar, setiap harinya satu gambar dan dipamerin ke saya.

Satu lagi yang agak personal adalah, sekarang keponakanku yang jadi tentara ABRI Angakatn Laut sedang bertugas di Sorong, Papua Barat. Terasa kisah ini, kehidupan di Timur seperti apa. Walau beda masa, beda angkatan, setidaknya ada gambaran bumi Papua yang jauh… jauh sekali dari tanah Jawa. Menjadi sangat penting untuk bisa menempatkan diri dan kondisi. Indonesia dengan ragam budaya dan bahasa.

Nunuk Y. Kusmiana lahir di Ponorogo, setahun ketika Papua bergabung dengan NKRI ia turut pindah ke Jayapura bersama keluarga saat berusia lima tahun, sampai tamat SD dan SMP. Lulus perguruan tinggi di Yogyakarta, dan aktif di Koran Ekonomi Bisnis Indonesia dan menjadi wartawati di kelompok Gramedia Majalah. Novel ini adalah buku pertamanya, sebagai novel pemenang unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016. Cool! Debut yang menyenangkan.

Tampak sekali, penggalan cerita diambil langsung dari pengalaman pribadi, tentunya dengan bumbu imajinasi dan keseruan pemilihan diksi. Salute!

Lengking Burung Kasuari | by Nunuk Y. Kusmiana | GM 617 202.016 | Editor Sasa | Desain sampul dan ilustrasi Fauzi Fahmi | Desai nisi Nur Wulan | Copyright 2017 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | ISBN 978-602-03-3982-5 | Skor: 4.5/5

Untuk Sam dan Didit

Karawang, 070420 – Bill Withers – Lean On Me

Thx to: Taman Baca Bustaka Galuh Mas, Karawang.