“… Keterpisahan fisik kami dengan India pastilah menjadikan kami tidak mampu merengkuh secara penuh seluruh hal yang telah hilang; karenanya kami menciptakan sederetan fisik, kami tidak menyuguhkan kota-kota atau kampung-kampung yang nyata, melainkan kota atau kampung gaib, sebuah tanah air imajiner, sebuah India khayali.”
Buku ini kubaca kilat ketika mudik ke Solo akhir bulan September lalu (28-30/09/19). Kubaca di sela jalan-jalan, nengok saudara ke RS Muhammadyah Karangananyar, ketemu Winda di Pesantren Beqi Sragen, dan akhirnya kutuntaskan di pagi hari terakhir sebelum kembali ke Karawang. Renyah, wow dan sungguh bergizi, saya suka kumpulan esai dibalik proses kreatif sebuah karya. Mungkin salah satu kumpulan esai terbaik yang kubaca, nikmat sekali melahap uneg-uneg penulis kelahiran India yang kini menjadi warga Negara Inggris ini. Pengalaman beliau dalam menjadi juri kontes novel, bagaimana proses kreatif penulisan tercipta, betapa kangennya ia sama kampung halaman, sampai beberapa pembelaan kerkait kontroversi yang tercipta.
Berisi lima tulisan cemerlang tentang dunia literasi.
#1. Pengaruh
Ini semacam nasihat bahwa ketika menulis karya yang masih dalam proses, ga perlu koar-koar. Karena kita hanya akan membicarakan hal yang sudah jadi. Tutup mulut rapat-rapat, biarkan jari jemari yang menari. ‘Sejenak izinkan saya untuk meninggalkan metafora kesusastraan sebagai zat cair, buku-buku mudah mewujud karena spora yang mengawang-awang di udara sebagaimana ia mewujud karena akar budaya dan kekhasan penulis.’ (halaman 4). Karena ini membahas pengaruh dan proses kreatif setelahnya, kita akan memasuki dunia yang abu. Karena pengaruh adalah hal yang tak terhindarkan dalam kesusastraan, maka seseorang mestinya perlu memahami bahwa pengaruh bukanlah hal utama yang menentukan kualitas sebuah karya.
Batas antara pengaruh dan peniruan, bahkan antara pengaruh dan penjiplakan, masih agak kabur.
Setiap Penulis punya kelasnya masing-masing. Pengaruh bisa saja kuat, tapi mencipta ciri juga perlu. ‘Kejelasanan, kecergasan, ketepatan, visibilitas, dan multiplisitas. Nilai-nilai ini memenuhi pikiran saya saat memulai menulis Harun dan Cerita Laut.’ (h. 10). Saya sudah punya buku Harun, belum kubaca sih. Menanti waktu yang tepat saja.
Seperti kebanyakan Penulis yang menggali pengalaman pribadi, lalu dibumbui fantasi dan imaji, Rushdie sering menuainya dari masa lampaunya. ‘Saya belajar mengolah bahan-bahan berharga yang berasal dari masa kanak, mengolah bahan dari kehidupan pribadi menjadi sesuatu yang bernilai seni dan mitos.’ (h. 14).
#2. Para Novelis Muda Terbaik Inggris
Pengalaman Rushdie menjadi juri kontes menulis, tahun 1983 menyaring 20 Penulis Muda Inggris. Muncul pro dan kontra, tapi waktu jua yang menjawab. Yang paling menonjol, tentu saja akhirnya kita tahu Kazuo Ishiguro yang menang Nobel Sastra dua tahun lalu. Sepuluh tahun kemudian dilakukan hal serupa, dan nama Ishiguro muncul lagi. Jelas, ini kompetisi yang hebat.
Ini juga semacam pembelaan sih, betapa melelahkan menyeksi naskah. ‘Kalau Anda sudah membaca dua ratus novel lebih, Anda pun mulai memerhatikan beberapa tren dan tema yang umum.’ (h. 21). Beberapa mungkin biasa, bahkan cenderung buruk, tapu jelas nada optimis harus tetap diapungkan. ‘Teranglah sudah bahwa terlalu banyak buku diterbitkan; terlalu banyak penulis yang bukunya terbit tanpa alasan jelas; dan terlalu banyak penerbit yang serampangan, kebijakan penerbit yang menerbitkan begitu banyak buku secara asal-asalan demi keuntungan semata dan berharap salah satu buku yang mereka terbitkan laris… Karena saya ingin mencari tahu bahwa karya-karya bagus benar-benar ada, dan menurut saya, inilah karya-karya bagus itu.’ (h. 23).
Saya merasakan semacam keputusasaan ihwal budaya memfitnah dalam kehidupan kita.
#3. Tanah Air Imajiner
Yang saya tulis adalah sebuah novel tentang kenangan. Menjadi judul buku, ternyata memang inilah tulisan uneg-uneg terbaik di buku ini. ‘Masa silam adalah negeri asing’ begitu kalimat pembuka terkenal novel berjudul The Go-Between karya L.P. Hartley, ‘di sana segalanya berbeda’. Namun potret itu memberitahuku hal lain. Masa kini adalah negeri asing sedang masa silam adalah kampung halaman. Meskipun kampung halaman hilang di sebuah kota yang hilang dalam kabut waktu yang juga hilang.’ (h.25).
Curhat, setelah melakukan pindahan dari tempatnya terlahir. India menjadi asing setelah sekian puluh tahun. Rasanya seperti ada yang memberi tahu kalau kehidupan di luar negeri adalah ilusi, dan bahwa hal yang saya rasakan saat ini merupakan kenyataan. Mewedarkan narasi yang tidak bisa dipercaya. Dalam Midnight’s Children yang fenomenal itu, tampak sekali alur yang disaji adalah olahan banyak kejadian nyata, dibalut angan liar fiksi. Sebuah kebenaran khayali meskipun tampak jujur tetaplah menundang kecurigaan pada saat yang bersamaan, yang beberapa serpihannya hilang dan mustahil ditemukan.
‘Pemahaman kita adalah bangunan besar goyah yang dibangun banyak sobekan, dari dogma, dari trauma masa kecil, artikel di surat kabar, peluang yang terlintas, film lawas, kemenangan-kemenagan kecil, orang-orang yang dibenci, orang-orang yang kita cintai.’ (h. 31). Karena lamanya pergi dari India, seolah tempat kelahirannya ini sebuah tanah air imajiner. Fantasi, atau pembauran antara fantasi dan kenyataan adalah cara menangani masalah.
Demikianlah sastra bisa dan mungkin harus menciptakan kebohongan atas fakta-fakta resmi.
‘Orang Amerika kulit putih maupun kulit hitam terlibat perang melawan realitas. Deskripsi yang mereka buat saling bertentangan. Jadi jelaslah sudah bahwa menggambarkan ulang dunia merupakan langkah awal yang sangat penting sebelum mengubahnya.’ Hal ini terlihat seperti tips menulis cerita yang kuat. Fiksi yang tak sepenuhnya fiksi. Fiksi yang masih bisa dikhayalkan, ada korelasi, ada pijakan yang masuk akal. ‘Maka penciptaan realitas alternative yang artistic, termasuk di dalamnya novel tentang kenangan, menjadi politis. Milan Kundera pernah menulis, ‘Perjuangan seseorang melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.’ (h. 33).
Upaya menaklukkan bahasa Inggris barangkali bisa menjadi proses pembebasan bagi diri kita.
Translation (penerjemahan) secara etimologis berasal dari bahasa Latin berarti ‘melintasi’. Hal yang lumrah jika selalu ada yang luput dalam proses penerjemahan. Namun aku berpegang pada gagasan bahwa memang ada yang hilang tapi ada juga sesuatu lain yang bisa didapatkan. Salah satu kebebasan yang menyenangkan bagi kesusastraan migran adalah kebebasan untuk memilih sendiri leluhur kesusastraannya. (h. 45).
#4. Tentang Penulis dan Kebangsaan
Ini sejenis esai lanjutan. Lebih mendetail. Ketika gairah mematik imajinasi, maka ia dapat merasakan kegelapan sebagaimana ia merasakan suasana terang benderang. Sebuah bangsa membutuhkan lagu kebangsaan dan bendera. Sedang si penyair justru menyodorkan kekacauan. (h. 48). Seperti nasihat Seno Gumilar Ajidarma bahwa, ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Di masa yang sarat dengan kesyakwasangkaan, di bumi yang hina ini, dalam kubangan air berlumpur ini, kesusastraan perlu mengambil peran. Mereka bisa mengerti bahwa bangsa yang tak berbatas bukanlah hanya ada dalam khayalan.
Para Behalfis membenci sisi tragis kehidupan. Mereka memandang kesusastraan semata politis, mereka menukar nilai-nilai politis dengan nilai-nilai kesusastraan. Sebuah pembunuhan atas pikiran, maka waspadalah. (h. 50). Nasionalisme menjadi ‘laku pemberontakan terhadap sejarah’, nasionalisme yang berkeras menutup apa yang tidak bisa lagi ditutup, nasionalisme yang mendirikan garis batas pada sesuatu yang semestinya tidak memiliki batas.
#5. Membela Novel
‘Wacana basi yang oleh Profesor Steiner ditambahi embel-embel yang ditakar sevcara pas, embel-embel tentang matinya pembaca (atau setidaknya perubahan radikal pembaca), para pembaca yang berubah menjadi sejenis orang jenius aneh; juga tentang matinya buku cetak menjadi buku elektronik.’ (h. 56).
Kita mesti menundukkan kepala di hadapan sosok ini. Sosok itu, tak lain dan bukan adalah Sang Kritikus. “Tak perlu diragukan lagi bahwa kini nilai prestis novel sudah sangat turun. Belasan tahun lalu ungkapan semacam ini, ‘saya belum pernah membaca novel’ disampaikan dengan sedikit nada menyesal, namun kini ungkapan demikian disampaikan selalu dengan nada bangga.” (h. 57).
Hal yang disampaikan oleh Profesor Steiner bahwa sastra tidak memiliki masa depan. Illiad dan Odyssey awalnya bahkan mendapatkan ulasan buruk. Tulisan-tulisan bagus tidak pernah lolos dari serangan, utamanya serangan dari para penulis yang juga menghasilkan karya-karya bagus. Selayang pandang sejarah kesusastraan menunjukkan bahwa taka da satu pun mahakarya yang selamat dari cercaan saat pertama kali diterbitkan. Setiap penulis akan dijelek-jelekan oleh penulis lain sezamannya. (h. 57-58).
Cara pandang kesusastraan seperti memandang bumi sebagai permukaan datar ini, begitu sudah dipahami. Sesungguhnya tidak banyak terjadi ‘kematian’ pembaca, melainkan hanya ‘kebingungan’ pembaca. Banyak novel yang membuat kapok pembaca. Saya masih ingat, bagaimana kecewanya buku Leila S. Chudori, Laut Bercerita. Novel jelek tentang sejarah reformasi Indonesia itu begitu monoton. Maka wajar saya ga minat membaca karya beliau lain. Kesempatan menikmati karya beliau lainnya, Pulang muncul hanya karena pinjam, baca free. Namun sekali lagi mengecewakan, maka sangat wajar saya ga akan mengeluarkan duit untuk membaca buku Leila apapun setelah itu.
Seni novel niscaya tetap bertahan tanpa keberadaan dirinya. Apakah saya perlu minta maaf karena mencerca buku pemenang penghargaan Sastra Nasional prestis? Nope. Kurasa setiap penikmat karya punya sudut masing-masing. Dan kasus Leila, sejatinya sangat banyak.
Menulis adalah proses validasi diri. Maka bisa dikatakan bahwa sebuah buku tidak bisa dinilai karena individu yang menulisnya, melainkan karena kualitas tulisannya. Memang puja-puji yang dilontarkan dalam suasana tenang tidak cocok bagi kesusastraan, sebuah mahakarya akan membuat gaduh jiwa dan pikiran. Buku-buku yang berkualitas adalah buku yang menjangkau tepi dan mengambil resiko untuk terjungkal dari tepi itu. Atau mungkin, karya sastra yang baik memang sejak dulu hanya diminati oleh segelintir orang. Buku yang membahayakan penulisnya karena beragam hal, buku yang menantang artistik. Salman Rushdie, jelas melakukannya. Dengan gemilang!
Tanah Air Imajiner, Kumpulan Esai | By Salman Rushdie | Diterjemahkan dari Imaginary Homeland dan Step Across This Lane | Penerjemah Rozi Kembara | Penyunting Olive Hateem | Perancang sampul & Isi Agus Teriyana | vi + 74 hlm.; 13 x 19 cm | Cetaka pertama, Agustus 2019 | ISBN 978-623-90721-8-6 | Penerbit Circa | Skor: 4.5/5
Karawang, 051119 – Maddi Jane – Dark Horse