Aisyah Putri 2: Chat On-Line #23

“Kalau mau lebih aman lagi, ngajak ahwat lain pas buka internet atau chatting. Jadi kalau satu niatnya nyeleweng, yang lain bisa ngelurusin.” – Elisa

Merupakan lanjutan Aisyah Putri: Operasi Milenia, kali ini kita diajak berchatting ria. Semua tokoh seri pertama masuk lagi, tak banyak tambahan. Hanya permasalahan dan konfliksnya berbeda. Di tahun 2000, online tentunya belum semudah sekarang. Belum sebanyak dan senyaman saat ini. masih harus di warnet, tarif yang mahal, hingga tak sesederhana sekarang bila ingin lanjut ke chat berikutnya, atau hingga akhirnya kopi darat. Dalam singkatnya, zaman itu untuk chat butuh perjuangan lebih. Tak seperti sekarang, bisa rebahan dan murah.

Dalam chatting, Puput – panggilan Aisyah Putri dan kawan-kawan berkenalan dengan banyak orang asing. Salah satunya bahkan dari luar negeri, bule cewek yang menanyakan beberapa hal, salah satunya, sampai bikin shock sebab ramai-ramai, dikira in bed? Hehe… begitu pula, saat dapat kenalan bule luar negeri, salah satunya mengajak kopi darat di mal. Dan saat meet-up, ta-da… bule dari Hongkong.

Beberapa singkatan yang sudah kita kenal, disampaikan ulang. Di zaman itu mungkin tak seperti sekarang yang mudah menemukan jawab di google. Asl misalnya, sudah umum dengan menjawab identitas kita: age, sex, location. Atau singkatan-singkatan lain yang sudah dikenali: btw, brb, pls, thx, gtg, hingga imho.

Teman-teman Puput dengan segala keunikannya, Linda yang gendut dan hobi makan, Elisa mantan model yang hijrah berjilbab, Retno yang tomboy, Mimi yang non muslim, Pino yang berambut njegrak, Agung yang alim, hingga poni Windu yang norak. Semua sudah dipetakan sifat dan karakternya. Saling melengkapi dan mengisi, hari-hari penuh warna di sekolah. Masa paling indah, mau dalam bentuk apapun, masa itu tak berlebihan beban hidupnya.

Selain kisah chatting, kita juga disuguhi konfliks remaja lainnya. Pertama, tetangga baru mereka yang tinggal di jalan Kemuning 3, bule dari Amrik. Dengar bule, keempat kakak Puput langsung siap beraksi. Dengan segala upaya, untuk berkenalan. Apalagi, pas pindahan datang, mereka intip cewek-nya bening. Maka saat hari H mereka berbondong-bondong ke rumah Miss Naomi, kejutanlah yang didapat. Ini cerita masih nempel hingga sekarang, makanya pas baca ulang kemarin hanya menelusur, hanya saja bagian Encun Naomi kzl dengna nada sinisnya agak lupa.

Kedua, teman Puput yang sedih. Sehingga berhari-hari Elisa tak masuk sekolah, ditengok ramai-ramai untuk menghibur, sebagai anak broken home orangtua cerai. Dari dibawakan makanan, dibelikan buku motivasi, hingga keceriaan yang menular. Nasihat-nasihat umum, berhubung ini buku Islami dan remaja maka hal-hal itu standar saja.

Ketiga, ketika Om Piet datang rutin ke rumah dan memicu curiga anak-anak bahwa mama mereka mau menikah lagi. Maka duo Vincent dan Hamka lantas melakukan penyelidikan, mengikuti jejak calon ayah mereka. Dari kantor hingga rumah makan. Maka betapa kesalnya, saat di restoran itu menemukan sang om sedang makan siang bermesraan dengan gadis cantik, jelas itu sepasang kekasih. Walaupun seorang vice president perusahaan, walaupun tunggangannya BMW, jelas mereka tak rela mama menikah dengan lelaki tak beres.

Dan saat hal-hal penting ini mau disampaikan, mama Cuma ketawa sebab kedatangany rutin om Piet adalah untuk memberikan kabar baik yang mengakibatkan mereka sekeluarga berkereta api ke Yogya. Dan berhektar-hektar tanah siap disajikan. Berkenalan dengan cewek-cewek Yogya, jalan-jalan ke UGM, menikmati kuliner Malioboro, hingga singgah ke Candi terbesar. Sayangnya, tujuan utamanya malah terlepas.

Keempat, syuting di sekolah 2000. Ini bagian yang sangat biasa, umum, dan sederhana sekali. Sekolah di kota besar, dijadikan setting cerita film. Dan tentu murid-murid itu terlibat sekalipun pemain figuran. Nama-nama seleb-nya diplesetkan, seperti Lulu Topping, Rem Punjabi, hingga Jeremy Jorghi. Judul terkenal sinetron 2000 Ku Tersandung juga disebut. Namun memang bagian ini, biasa sekali.

Begitulah, ini novella Islami yang terbit di pergantian Millenium di mana internet masih sangat baru, dunia perkenalan maya masih sangat jarang. Pantas saja berisi nasihat, ideal chatting. Atau, kopi darat yang aneh. Saya baca sih masih relate, dan langsung klik. Entah kalau dibaca generasi remaja saat ini, mungkin kaget menyaksi peserta chat menyimpang dan ditanggapi berlebih, sebab zaman sekarang hal itu sudah sangat banyak, walau tetap saringnya tetap kudu ada.

Saya membeli buku ini tahun 2006, tertera berharga 16,5 ribu. Di sebuah toko Purwakarta, pinggir jalan. Uniknya, saat itu saya ke sana untuk berkunjung ke rumah saudara, sekaligus bertemu darat sama teman chat MirC. Namanya Citra, dan memang mengajak ke toko buku sebab memang saya berminatnya buku. Saya sih pas kopi darat pasif, sangat pasif. Makanya saya iya-iya saja pas dia ajak ke mal lantas dia dan saudaranya main game Timezone, mengajak beli makanan, dst. Saya pasif, sebab tak tahu apa yang harus dibicarakan saat pertama bertemu, tak tahu ngobrolin apa selain buku, atau bola, dan jelas dua topik yang dia tak suka. Begitulah, masa lajang yang absurd. Betapa polosnya. Hehe…

Ini saya baca ulang cepat, demi ulas. Ternyata seri pertama sudah dua tahun lalu. Buku-buku Islami yang pernah menghinggapi masa laluku, seri tiga dst juga ada di rak buku, dan sepertinya akan saya tuntaskan semua. Asma Nadia, nama yang sangat terkenal kala itu, terutama bila kamu langganan Majalah Annida. Dan saya bersyukur pernah menjalani masa itu dengan majalah keren ini.

Aisyah Putri 2: Chat On-Line | by Asma Nadia | Penerbit PT. Syaamil Cipta Media | Desain sampul dan ilustrasi isi Halfino Bery | Editor dan tata letak Agus Supriyantp | Copyright 2000 | Cetakan kedelapan: Januari 2004 | 160 hlm.; 18 cm | ISBN 979-9435-05-6 | Skor: 3/5

Karawang, 230622 – Sheila Jordan – Comes Love

Thx to Toko Buku Purwakarta (Citra), Purwakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #23 #Juni2022

Derai Sunyi #13

image

Meskipun sunyi itu keheningan pekat. Kosong, tanpa suara. Tapi, kerinduan atas orang-orang terkasih adalah sunyi yang gemerisik pada helai daun, tanah dan udara. – Diilhami dari kisah nyata penganiayaan PRT di Surabaya.

Terkadang prediksi kita meleset. Eh sering perkiraan meleset lebih tepatnya. Tahun 2004 ketika saya selesai membaca novel ini saya menangis, benar-benar air mata kesedihan yang mendalam atas apa yang terjadi pada Sri Ayuni sang tokoh utama di kisah ini. Begitu kejam dan menyayat hati nurani. Saat itu saya berprediksi, novel ini hanya tinggal waktu, pasti akan diangkat ke layar lebar. Kini 12 tahun berselang, justru novel-novel yang tak jelas lokal yang berlomba diadaptasi. Buku sebagus ini bahkan seakan tak ditengok sekadar isu untuk digambarkan di bioskop. Yah, masa depan siapa yang tahu?

Kisahnya perih, kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang tak terbatas. Sebelum dimulaipun kita sudah tahu akhir nasib Sri. Kenapa? Karena di bagian pembuka sudah diberitahukan bahwa ini berdasar kisah nyata penganiayaan Pembantu Rumah Tangga (PRT), dan seperti yang sudah sering kita lihat di berita-berita yang menghiasai istirahat siang. Pilu.

Berisi lima bagian yang dipecah dalam sub-bab kita disuguhi sebuah kisah panjang tentang seorang remaja putri yang punya mimpi namun kandas di kerasnya hidup. Kisah dibuka dengan kepedihan rindu ibu kerhadap anak bungsunya yang pergi merantau tapi tak kunjung kembali, bukan. Tak ada kabar lebih tepatnya. Dengan air mata menetes ia meraih Al Quran, memulai hari dalam tanya pada diri sendiri. Ia ingin melihat kebenaran walau itu pahit. Kapan? Kapan bidadarinya kembali? Gusti Pengasih, kapan? Ia tahu tak baik memburu-buru Tuhan. Makhluk-Nya yang meminta bukan cuma dia. Miris, air matanya kembali menetes.

Lalu kisah kembali ditarik dari depan. Sri Ayuni adalah si ragil dari tiga bersaudara. Ayah dan sulung Mas Tarjo meninggal dalam kecelakaan, angkot mereka diseruduk kereta. Meninggalkan ibu, Sri dan Ning. Mereka memang dari keluarga sederhana, mbak Ning tak sempat menamatkan SLTP namun pintar. Kegigihannya dalam belajar membuatnya tetap setaraf lulusan SMU — bahkan lebih. Sekolah tak hanya di bangku sekolah. Ia tak suka berdandan, membiarkan segala apa adanya. Bersama Sri mereka saling menopang menjalani hidup.

Tekad Sri untuk membahagiakan ibu sudah bulat. Penghasilan dari desa di pesisir pantai tak akan cukup untuk mereka. Mbak Ning selalu bersikukuh agar bertahan. Ada banyak cara untuk menggapai mimpi bersama, tak harus keluar kota. Jauh nan misteri. Namun, seperti di pembuka, “Ibu, Sri pamit…” dari kota Tegal itulah Sri menantang ibu kota. Matahari terik mengiringi kepergian mereka.

Bersama Mas Arik sepupunya, mereka naik kereta api. Dalam perjalanan, Mas Arik bercerita bahwa calon majikannya mempunyai rumah dengan tiga lantai dan tiga pembantu. “Barangkali satu tukang cuci dan setrika, satu tukang masak dan satu tukang kebun. Dan kamu mungkin akan melayani dua anaknya, atau untuk bantu beberes.” Fakta rumah dengan tiga pembantu, belum lagi sopir dan satpam membuat Sri, gadis lugu ini takjub. Ia akan berjuang demi ibu!

Harapan besar tu luluh bahkan hanya beberapa menit setelah Mas Arik menyerahkan Sri kepada Nyonya Lili, majikan. Sri yang berkerudung diminta melepasnya. Sri yang menjawab dengan anggukan dibentaknya, “tak punya mulut?” Sri yang polos itu kini benar-benar menghadapi kerasnya kehidupan. Di rumah itu ada Mak Iin yang dituakan. Ada Onah dan Wati yang saling membahu dan nasibnya sama saja, kena omeh dan tampar menjadi rutinitas. Penganiayaan di depan Sri membuat tekad untuk bertahan itu luruh. Pak Hendri majikan pria terlampau sibuk sehingga tak tahu menahu. Kedua anaknya, Non dita yang baru berusia 14 tahun sama kejamnya. Sedang Den Ivan yang baru TK lebih mudah di-emong. Mungkin karena Sri yang bungsu, sehingga ketika melihat anak kecil rasanya seperti memanja seorang adik.

Nah nyonyanya yang galak itu akhirnya memainkan perannya. Jilbab Sri direnggut, ia dikucilkan di lantai atas tanpa diberi makan. Dengan kain gorden ia yang terluka mencoba tetap menjalankan sholat. Dengan air mata meniti ia ingat sama Mbak Ning dan ibu. Ingat harapan-harapan sebelum datang ke Jakarta. Lapar dan letih, ia bersenandung lirih. Saat membacanya saya ikut merinding, bayangkan suatu ketika di layar lebar diiringi akustik yang menyayat. Sebuah drama kehidupan yang megah nan menusuk.

Amening zaman edan | ewuh aja ing pambudi | mule edan ora tahan | jen tan melu anglakoni | boja kadumen melik keliren | wekasanipun dilalah karsa Allah | begjane kang lali | luwih begja kang engling lan waspada.

Penganiayaan demi penganiayaan yang dialami Sri membuyarkan segala mimpinya. Ujung kisah ini memang bukan tanya nasib Sri di rumah neraka. Setelah penderitaan itu, kita lalu diajak mengenalnya lebih jauh dari masa lalu. Dan munculnya karaketr lain yang akan saling silang. Dengan tema sama, kasih cinta kepada seorang  ibu. Lalu setelah segala detail yang sedu sedan kita diajak menelusuri tanya sang ibu dan perjuangan Ning mencari jawab. Berhasilkah?

Endingnya sungguh membuat merinding. Sepi, sunyi dan penuh luka. Betapa para majikan yang suka menganiaya pembantu perlu kembali merenungkan arti sebuah kesabaran, arti berbagi dan hidup yang hanya sekelebat. Ketika kita merasa hopeless, kita harus selalu ingat ada Yang Maha Segalanya. Tak ada yang bisa mencegah segala keajaiban yang dicipta. Cerita penuh pesan moral yang layak ditelaah lebih mendalam. Derai sunyi, sebuah kisah pilu pembantu. Profesi mulia yang dipandang sebelah mata ini berhasilkah mengusik para produser film kita? Kalau sampai 50 tahun lagi tak terwujud masuk bioskop, kebangetan sekali!

Derai Sunyi | oleh Asma Nadia | ilustrasi Dyotami Febriani | design sampul dan isi Andi Y.A. | Diterbitkan oleh Penerbit DAR Mizan | Cetakan III, Rabiul Awal 1425 H – Mei 2004 | 240 hlm.; ilus.; 17 cm | ISBN 979-3035-54-4 | Skor: 4,5/5

Karawang, 140616 – Coldplay – Viva La Vida

#13 #Juni2016 #30HariMenulis #ReviewBuku – Happy birthday Sinna Sherina Munaf, gadisku!