Para Lelaki yang Patah Hati

Lelaki-lelaki Tanpa Perempuan by Haruki Murakami

“Tapi, melalui rute mana pun, kesimpulan cerita tetap sama ‘kan?” – Kino

Akhirnya saya berhasil menikmati buku asal film terbaik 2021. Ternyata banyak sekali modifikasi. Tim kreatifnya terlampau kreatif. Drive My Car versi cerpen sungguh berbeda dengan versi filmnya. Hanya poin-poin utama yang dipinjam, seperti nama karakter, fakta aktor teater, sopir wanita, hingga perselingkuhan sang istri. Mayoritas benar-benar dikembangkan sendiri. Pembunuhan terutama, itu tak ada. Hanya untuk menambah dramatisasi. Atau bagian film ‘dipaksa’ disediakan sopir, itu bukan keinginan tuan Yusuke Kafuku, padahal di buku, jelas-jelas dia sedang cari sopir sebab SIM-nya dicabut. Atau bagian makan malam dengan keluarga di mana sang istri Lee Yoon-a seorang tuna rungu, atau bagaimana isi teater dijejali Bahasa Indonesia. Sebuah adaptasi yang sangat kreatif.

Murakami adalah penulis besar, maka wajar banyak tulisannya diambil orang lain. Beberapa cerpen di sini sudah kubaca di kumpulan cerpen lain, oleh penerbit kecil (tentu tanpa izin). Setidaknya ada tiga. Jadi kemarin pas kubaca, wah kok familiar, lalu wah sama. Ternyata memang sumbernya sama. Atau bahkan sebah adegan di novelnya dinukil jadi cerpen, seperti Kota Kucing di 1Q84 jilid 1 yang kutemukan di kumpulan cerpen Kota Kucing. Wajar, semakin besar semakin banyak orang tertarik, dan karyanya menyebar di berbagai sudut literasi. Apakah ini sudah saatnya bilang, Murakami mainstream? Bisa jadi, sudah banyak diskusi (baik langsung atau daring) dilakukan.

#1. Drive my Car

Aktor senior yang sudah menduda, mencari sopir pribadi untuk keseharian dari dan ke tempat kerja. Kafuku mendapat rekomendasi dari kepala bengkel langganannya, Oba. Sopir ini perempuan yang pendiam, tak cantik, dan begitu mengenal Tokyo sebab pernah jadi sopir pengantar barang, penjaga minimarket, kerja serabutan. Sang sopir Misaki malah jadi teman curhat, bahwa mendiang istrinya pernah selingkuh, tak hanya satu tapi banyak. Salah satunya adalah aktor kelas teri yang akan ditemuinya, sang sopir yang pasif heran, bagaimana bisa?

“Tidak perlu. Saya pernah bekerja sebagai sopir jasa antar paket. Peta Kota Tokyo sudah tercetak di kepala saya.” – Misaki

#2. Yesterday

Musik punya kekuatan untuk membangkitkan ingatan dengan amat jelas sampai terkadang membuat sesak dada. Dengan pijakan lagu Yesterday-nya The Beatles yang terkenal itu, seorang mahasiswa memiliki teman sekerja paruh waktu dai kafe. Orang Denenchofu, Kitaru yang malah belajar dan mempraktekkan dialeg Kansai. Orang lucu yang suka memplesetkan nyanyi Yesterday. Suatu hari mereka sepekat untuk memperkenalkan pacarnya Erika Kuritani ke Aku untuk kencan. Pacar masa remaja hingga kini, ia selalu gagal masuk universitas. Ada beban mental di sana. Dan sebuah film Woody Allen menjadi kenangan. Fakta-fakta pahir diedarkan. Jodoh memang tak ada yang tahu.

“Mimpi dapat saling dipinjamkan sesuai kebutuhan, mungkin.” – Tanimura

#3. Organ Mandiri

Dr. Tokai yang berpendirian aneh. Memilih memiliki perempuan tanpa ikatan. Hubungan yang terjalin adalah hubungan kilat, atau sekadar fun. Sang Aku, Murakami mendapati cerita langsung darinya sebagai teman di gedung olahraga tenis, dan juga skuas. Sebagai pendengar, Aku bersikap pasif. Dan sah-sah saja yang namanya manusia memilih cara pandang kehidupan. Hingga suatu hari sang dokter bedah mendapati masalah berat, ia jatuh hati sejatuh-jatuhnya, sehati-hatinya. Pada perempuan bersuami. Hiks,…

“Seorang gentlemen tidak banyak bicara tentang jumlah pajak yang dibayarkan serta tentang wanita yang pernah ditidurinya.” – Dr. Tokai

#4. Syahrazad

Hubungan seks tanpa ikatan kembali diapungkan. Kali ini Habara yang secara rutin mendapat kunjungan istri orang, yang ia juluki sebagai Syahrazad, puteri dalam dongen 1001 Malam. Mereka bercinta secara rutin, mencari waktu luang. Syahrazad akan datang, bercinta, berdiskusi di ranjang, lalu pulang ke suaminya. Diskusinya juga sangat amat aneh, bagaiamana Syahrazad sewaktu masih sekolah suka masuk ke rumah orang. Mencuri hal-hal kecil dari teman sekelasnya yang tampan, dari pensil, hingga barang pribadi. Emang freak, makanya ia suka menyelinap ke rumah Habara. Selingkuh dengan gaya? Sampai suatu ketika, ada nada kekhawatiran besar di hati Habara…

“Di kehidupan lampau aku adalah seekor lampei. Kutub Utara berada jauh di Utara.” – Syahrazad

#5. Kino

Kafe Bar yang menjadi titik utama kisah malah menjadi semacam tempat sakral bagi sang kucing. Lelaki yang ditinggal selingkuh istrinya, bercerai damai, lantas resign dari kerjaan, dan menepi. Di sebuah rumah milik bibinya, disulap jadi kafe bar yang tenang. Dengan jazz menemani. Seorang pengunjung tetap, dengan buku dan pesanan yang sama, duduk di pojokan. Mencipta rutinitas, mengakrabkan, walau jarang bersapa langsung. Masalah timbul, saat Kino dekat sama seorang perempuan, dan tidur di lantai atas dengan dalih memperlihatkan sudutan rokok di tubuh.

“Aku ingin bertemu langsung dan meminta maaf padamu atas hal ini.” – mantan Istri Kino

#6. Samsa Jatuh cinta

Di Wina di masa perang, Samsa terbangun dengan bingung. Kelaparan, tak ada orang di rumah. Mencari makanan di lantai bawah, dan banyak tanya itu terjawab sebagian saat mendapati kunjungan perempuan yang datang membawa peralatan tukang kunci. Ia akan tukang kunci yang dikirim untuk mengecek keadaan kunci kamar Samsa. dan benar saja, kunci itu rusak parah. Interaksi mereka menghasilkan buing-buing asmara. Dan janji temu berikutnya. Aneh rasanya, di masa perang orang masih peduli sama keadaan kunci kamar yang rusak?

“Sepertinya aku membangunkanmu dari istirahat.” – Perempuan muda

#7. Lelaki-lelaki Tanpa Perempuan

Meliuk-liuk. Kisah panjang yang disajikan dengan cara tak lazim. Melalalngbuana tak terkendali. Kabar kematian seorang asing, maksudnya istri orang yang sekarang asing mencipta kesedihan mendalam. Mereka pernah dekat, M adalah pacar sama SMA. Mati bunuh diri, dan suatu malam suaminya menelpon memberinya kabar. Lantas membawanya ke masa lalu, dan bagaimana perasaannya andai dia-lah yang kehilangan istri. Empati, rasa menempatkan diri pada orang lain.

“Alasan aku suka musik begini adalah, pokoknya soal ruang.” – M

Ketujuh cerpen khas Murakami, panjang berbelit, detail, dan kesemuannya memiliki setidaknya, hati lelaki yang terluka akibat perempuan. Pertama, Kafuku ditinggal mati istrinya yang sebenarnya sudah tahu selingkuh, tapi tak berani menanyakan langsung. Kedua, Kitaru yang gagal ujian universitas ditinggal kekasihnya yang sudah kuliah duluan, dan akhirnya menjalin kasih di belakangnya. Ketiga, Dr. Tokai yang patah hati, ia kena karma-nya. Kali ini, malah lelakinya yang mati. Keempat, Habara yang ketakutan ditinggalkan selingkuhan, istri orang yang datang rutin ke rumahnya. Kelima, Kino yang ditinggal selingkuh istrinya, dan menyepi. Keenam, tokoh rekaan Kafka dibali, di mana seekor kecoa menjadi manusia, dan belajar memahami kehidupan barunya. Jatuh hati sama pengujung, perempuan yang dapat sebentar untuk mengecek kunci. Terakhir, Lelaki yang patah hati, perempuan masa lalunya yang meninggal dunia, meninggalkan kenangan dan ilusi. Kesemuanya memang cocok sama judulnya. Khas Murakami yang kalem, dan merespons kehidupan dengan lapang seolah air mengalir. Tak ada ledakan, tak ada letupan dahsyat. Tenang, menghanyutkan.

Ini adalah buku Murakami ke tujuh (di luar buku tentangnya atau pretelan cerpen dan esai beliau) yang kubaca setelah, Hear the Wind Song, Norwegian Wood, The Wind-Up Bird Chronicle, Kafka on the Shore, 1Q81 (jilid 1), Colorless Tsukuru Tazaki. Untuk cerpen-cepren, atau wawancara, atau esai juga beberapa sudah kubaca. Kesemuanya kuberi lima bintang. Dan setiap tahun kujagokan menang Nobel Sastra. Penulis terbaik yang masih hidup, legenda di masa kita. Favorit selamanya.

Next, 1Q84 jilid 2. So far so good…

Lelaki-lelaki Tanpa Perempuan | by Haruki Murakami | Judul asli Onna No Inai Otoko-Tachi | Copyright 2014 | Koi Suru Zamuza | Copyright 2013 | KPG 59 22 02014 | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia | Cetakan pertama, April 2022 | Penerjemah Ribeka Ota | Penyunting Ining Isaiyas | Perancang sampul Naela Ali | Penataletak Setyo Bekti Nugroho | v + 262 hlm.; 13.5 cm x 20 cm | ISBN 978-602-481-766-4 | Skor: 5/5

Karawang, 120722 – 220722 – 040822 – Letto – Sandaran Hati

Thx to Dojo Buku, Tangerang

Drive My Car: Memikirkan Kata-kata

“Jika aku hidup normal, mungkin aku akan jadi Schopenhauer atau Dostoevsky yang lain.”

Perbuatan selalu lebih banyak pengaruhnya daripada kata-kata, tapi bagaimana kalau kata-kata itu dialirkan dalam rengkuhan penuh cinta seolah langsung ditancapkan ke dalam pikiran? Kebenaran itu mengalir deras, dan ia menginginkan seluruhnya. Pengaruhnya tentu begitu tinggi, hingga hak-hak kita diabaikan dengan sukarela. Drive my Car adalah film dengan penerungan mendalam. Kata-kata dipilah dan dipilih sehingga penuh intimidasi tersirat. kata-kata membuncah, digurat dengan pena tajam, dipikirkan dengan sungguh-sungguh. Disajikan dalam mangkuk emas, citarasa sinema tiada dua.

Sebelum filmnya dirilis saya udah plot skor sempurna, ini adalah adaptasi dari cerita pendek Penulis favorit sedunia Haruki Murakami. Saat menonton, sepanjang menit bilang wow wow wow. Saat usai, rasanya tak ingin usai. Setelah menonton, seolah mabuk cinta. Jelas sangat memenuhi ekspektasi, makin menggelora setelah pengumuman nominasi Oscar, masuk jajaran best picture! War-biasa, doa-doa kelas berat diuntaikan menjadi the-nextParasite. Secara sah, bahkan sebelum menuntaskan film-film 2021 lainnya, sudah ada di puncak pilihan film terbaik. Kini setelah tiga bulan, tetap tak tergoyahkan.

Ini tentang cinta dan kesetian, ini tentang komitmen melanjutkan hidup sekalipun fakta-fakta pahit menampar, ini tentang belas kasih dan kesedihan membuncah, diredam dalam balutan sandiwara, lantas diumbar di jalan-jalan. Ini adalah sepenggal kisah hidup Yusuke Kafuku (Hidetoshi Nishijima), seorang guru dan pemain panggung senior. Tampak di permukaan ia adalah seorang suami yang ideal. Namun baru beberapa menit, kita langsung ditampar kejutan pahit.

Istrinya Oto Kafuku (Reika Kirishima) saat ditinggal keluar kota malah selingkuh. Ia tahu dengan cara dramatis, setelah pamit berangkat untuk terbang, sampai di bandara penerbangan dibatalkan, tanpa memberitahu istrinya, ia kembali pulang. Ia mendapati istrinya bercinta dengan orang asing, tindakannya yang membuat shock, bukan hanya dia, tapi juga penonton, sungguh diluar duga. Yusuke malah kembali menutup pintu, keluar rumah dengan kesedihan membuncah, lantas menginap di hotel. Bahkan setelahnya melepon, tetap dengan nada yang riang. Bagaimana bisa ada seorang suami tak mendamprat istrinya yang terang-terangan selingkuh di rumah? Wait, bagi pembaca buku-buku Murakami kalian pasti sudha akrab dengan pola sejenis ini. Dan tahu alasannya. Namun kita simpan saja, yang jelas Yusuke sudah memutuskan meredamnya.

Waktu terus bergerak, dan kabar duka tiba. Setelah masa berkabung dua tahun, Yusuke menerima tawaran mengajar dan mengarahkan sebuah drama panggung Paman Vanya di Hiroshima. Baginya berkutat di panggung sandiwara adalah panggilan hidup. Ia menjadi mentor latihan yang dihormati. Segala akomodasi ditanggung panitia, tinggal di pinggir danau, reservasi makanan berkualitas, hingga antar jemput dari dan ke tempat penginapan – kantornya. Nah yang terakhir ini memunculkan dilema, sebab Yusuke sudah punya mobil pribadi warna merah marun Saab 900. Ia tak ingin orang lain menyupiri, ia begitu mencintai kendaraannya, merawatnya dengan baik. Namun panitia tak mau ambil resiko, Tuan Yusuke tetap duduk di kursi penumpang.

Misaki Watari (Toko Miura) adalah sopir profesional. Gadis mungil pendiam ini akhirnya diperbolehkan menjadi sopirnya. Mereka tidak sepakat untuk sepakat. Meskipun masing-masing tahu yang sebenarnya untuk keselamatan bersama. Setidaknya coba dulu, dan benar saja, cara berkendaranya halus, nyaman, dan sesuai harapan. Begitulah, film akan berkutat hingga akhir di sekitar itu. Misaki nyupir, Yusuke melatih sandiwara. Lantas di sebuah malam tragedi terjadi. Pementasaan yang menyisakan hari, dipertanyakan akankah tetap berlangsung? Fakta-fakta lebih pahit diungkap, semuanya menundukkan kepala. Tenang, tenanglah di surga.

Sebaiknya daripada menghukum, hendaknya kita mencoba memahami mereka. Yusuke dengan legowo menerima perlakuan menyeleweng istrinya, cinta buta yang kalau dilihat dari kacamata awam, terlihat aneh sekali. Setidaknya marah kek, komplain kek, ancam cerai kek, dst. Apakah dengan rasa cinta meluap-luap, lantas memaafkan? Jawabannya ada di tengah film, saat Sang istri mengajak bicara serius sepulang kerja nanti, dan hasilnya mengejutkan. Takut kehilangannya sudah level dewa gan, cinta yang secinta-cintanya, sayang yang sesayang-sayangnya, tanpa banyak cingcong dan embel-embel syarat. Benar-benar war-biasa. Bukankah mengetahui semua berarti memaafkan semua?

Jawaban berikutnya, lebih menghentak, bagaimana masa lalu pahit keluarga ini diungkap. Rasa kehilangan orang terkasih, memang itulah yang menyatukan dengan sangat erat, makanya rasanya sudah tak umum, perlakuan membiarkan pasangan selingkuh.

Kembali lagi ke atas, kebanyakan novel-novel Murakami memang tak lazim, dan tema suami yang membiarkan air mengalir, menatap hari-hari dengan pasif, tatapannya tak bisa ditebak, arah pikirnya melalangbuana, hingga ide aneh tak terkira. Saya sudah akrab, dan Drive My Car makin mengukuhkannya, promo literasi yang amat pantas. Saya baca buku-buku Murakami seolah-olah datang dari sebuah bintang di langit, bukan dari dunia ini. Nikmat sekali, liar sekali, antusias sekali.

Saya terlalu takut. Sulit untuk mengakui hal ini. Terlalu takut untuk melempar dadu. Namun mari tetap dilanjutkan, saya pernah dengar sebuah cerita, yang awalnya kusangka suatu mimpi yang tak keruan. Dan mimpi itu menghantui hingga di kehidupan nyata. Lantas saya terbangun lagi, itu bukan mimpi, itu adalah narasi yang disampaikan kekasih saat di puncak kenikmatan dunia, lantas setiap narasi memasuki area kebeningan air, senyap lantas beriak, lalu semua seolah dihentikan tiba-tiba. Saya ingat suara di kepalaku. Itu bukan suaraku yang sedang berpikir, melainkan hanya raungan dalam kesunyian. Jutaan hal muncul dalam sekejap, istriku terlalu baik, saya amat mencintainya, sehingga tidak sepantasnya dituduh macam-macam, ia terlalu pintar, terlalu berbelas kasihan dan terlalu-terlalu lainnya. Potongan adegan riak air itu menampar kesadaran seperti orang terbangun dari tidur. Cerita itu terhenti di situ, dan saya tak tahu kelangsungannya. Lantas bagaimana bisa saya mendengar kelanjutannya dari lelaki asing, manusia lain yang justru malah bisa menembus garis finish? Rasanya, ketakutan terbesar adalah apa yang mungkin ia temukan. Begitulah, orang-orang yang kita kira dekat, tak selalu berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan lepas. Rahasia-rahasia gelap disisihkan ke relung hati, bersemanyam di sana, akan mengaum di waktu yang tepat. Auman itu sayangnya, ia lewatkan sebab ia tak siap. Yang namanya siap dan tepat sering kali bagai dua kutup yang sama, selalu menolak dan menjauh. Manusia berencana, sebaik mungkin, esok yang terjadi jauh panggang dari api. Lalu lintas ingatan itu masuk ke dalam bundaran di kepala kita, lalu berputar-putar sesaat dan lama kemudian, imajinasi pun mulai bekerja menyatukan lalu lintas ingatan itu dan mengarahkannya ke ribuan jalan yang berbeda. Tafsir yang beragam. Selama bertahun-tahun, saya terus dibebani ingatan ini, merasakan penasaran, sambil mencoba melupakannya. Jadi mengingatnya kembali dan menuliskan semua faktanya di ingatan jangka panjang, saya berharap dapat mengurangi paling tidak sebagian dari tekanan itu terhadap mimpiku. Fantasi itu lantas membumbung tinggi menerawang langit. Saya, di sini tentu saja perwakilan uneg-uneg Sang Duda kesepian. Menjelma seperti sang perisau, seorang pelamun.

Saya nulis ini sebenarnya kurang lega, pengen nonton ulang, pengen baca buku-buku sandiwara, pengen baca sastra Jepang, masih pengen nulis seribu kata lagi. Namun waktu Oscar tinggal 3 hari. Yo wes apa adanya. Drive My Car awalnya mau saya ulas terakhir sebelum menebak para jawara, tapi karena menipisnya waktu dan acara kejar tonton ulas sepertinya mustahil tuntas, di mana film yang sudah ketonton langsung ulas bergantian, ternyata H-3 ini masih begitu banyak. Film ini bahkan bukan film best picture terakhir yang kuulas, masih ada West Side Story. Padahal rencananya mau tonton ulang, mau baca buku-buku naskah sandiwara: Three Sisters dan Menunggu Godot, hanya satu yang terkejar. Yo wes, ngalir saja. Drive My Car sudah mengunci Bahasa Asing, yang menarik tentu nominasi lain yang lebih bergengsi. Naskah adaptasi jelas saya jagokan pula. Sutradara akan satu rel sama Film terbaik, ini sulit dan hanya pernah terjadi sekali di mana Bahasa asing bersanding pula. Berprediksi itu sulit, tapi tetap saya akan menempatkan yang menurutku laik. Empat piala sapu bersih? Berat, tapi masih ada harapan, selalu ada harapan.

Memikirkan kata-kata, lalu memberinya nyawa di atas panggung. Semua petunjuk sudah dikaitkan, semua titik dihubungkan. Perjalanan telah usai. Terima kasih untuk segalanya, lantas kunci mobil berpindah tangan. Ketiadaan tidak lagi ada dalam genggaman kita seperti halnya kemutlakan. Goodluck Murakami.

Drive My Car | 2021 | Jepang | Directed by Ryusuke Hamaguchi | Screenplay Ryusuke Hamaguchi, Takamasa Oe | Cast Hidetoshi Nishijima, Toko Miura, Reika Kirishima | Skor: 5/5

Karawang, 240322 – Rob Thomas – The Man to Hold the Water

Semesta Murakami: The Art of Fiction Issue


Semesta Murakami by John Wray, dkk

“Aku suka membuat orang tertawa setiap sepuluh halaman.”

Terdiri atas tujuh cerita, plus satu pengantar dari Cep Subhan KM. menyenangkan sekali menyaksi Penulis favorit menjalani hari-harinya, ditulis dengan gaya santai dalam bentuk esai dan wawancara. Sebagian besar mungkin sudah sungguh familiar, atau karena berkali-kali dibaca, sekadar pengulangan, tapi mayoritas memang hal-hal asyik. Seperti proses kreatif menulisnya, sudah sering kubaca; bagaimana ia menulis dalam bermimpi, dan dalam daya imaji, itu adalah kegiatan mimpi yang bisa dilanjutkan. Atau bagaimana adegan drama yang memberinya ilham di lapangan olahraga dalam momen ‘eureka’ Aku bisa menulis, atau di bagian familiar hampir semua jagoannya menderita.

Sebuah Pengantar: Tenung Murakami oleh Cep Subhan KM

Bagus, isinya meringkas dan menjelaskan hal-hal yang memang harus dijelaskan. Sebagian buku yang disebutkan sudah dibaca, jadi nyaman sahaja, langsung klik. 1984 jelas rujukan utama 1Q84, keduanya sudah baca maka apa yang disampaikan mana yang lebih baik/penilaian secara keseluruhan mungkin berkebalikan bisa dengan jitu diserap. Aku sendiri sangat suka keduanya. Pengantar ditutup dengan apik dengan kalimat, “Tampaknya kekaguman kita terhadap Murakami, sedikit atau banyak, dipengaruhi oleh kekaguman kita terhadap dia sebagai subjek yang tak menyerah…” Amat langka menemukan penulis dengan keseimbangan menerapkan pola hidup sehat, dan mampu ikut marathon rutin! Hanya Murakami yang bisa.

#1. Menjadi Orang Asing di Negeri Sendiri oleh Laura Miller

Wawancara ini pertama terbit di salon.com pada 16 Desembr 1997. Bagaimana Raymond Carver memengaruhinya, adegan sumur terutama bagaimana ia terilhami anak yang terjatuh ke dalamnya seharian. Kalau kalian sudah baca, misalkan Kronik Burung Pegas; sumur menjadil simbol masuk ke dimensi lain. Menjadi tempat merenungkan kejadian antah yang merasuk ke sumsum. Termasuk adegan memilukan di Pembantaian Nanking dipindahkan ke panel Manchuria, di novel ada penggambaran prajurit yang tertangkap dikuliti hidup-hidup, atau membunuh dengan tongkat bisbol hanya untuk menghemat peluru. Lihat, imajinasi berhasil mencipta kengerian.

#2. The Art of Fiction Issue – Haruki Murakami oleh John Wray

Wawancara ini terbit pertama di tahun 2004 di The Paris Review. Tak salah penulis ini yang dipilih muncul di kover, sebab memang yang paling bagus. Panjang dan detail. Menjelaskan proses kreatif bagaimana inpirasi muncul. Jelas terpengaruh sama novel-novel lawas yang bagus. Dari The Great Gatsby, The Little Prince, buku-buku Kurt Vennegut, hingga bantahan bahwa novel-novelnya yang absurd apakah diilhami film The Spirited Away. Justru beliau sebut nama sutradara yang tak kukenal dari Finlandia: Aku Kaurismaki. Bakalan kuburu nih.

#3. Raja Kegelapan dari Dunia Mimpi oleh Stephan Phelan

Pertama terbit di harian The Age pada 5 Februari 2005. Satu dari dua yang ditulis bukan dalam bentuk wawancara. Esai tentang kekagumannya sama Murakami, menjelaskan beberapa poin yang mungkin sudah familiar. Riwayat hidup Murakami dari orang pemilik kafe, menulis, dan menjalani keseharian. Murakami pernah menyebut kisah-kisahnya sebagai ‘misteri tanpa solusi’, yang bisa kit abaca sebagai metafora dari kehidupan itu sendiri.

#4. Penangkap Mimpi oleh Sally Blundell

Dibandingkan dengan penulis pemenang Booker Prize (nantinya menang Nobel Sastra) Kazuo Ishiguro, yang bilang novelnya bernada surreal-yang berubah-menjadi-absurd; keinginan membelokkan keadaan. Namun Murakami tak setuju sebab baginya semua sangat natural.

#5. Dunia Bawah Tanah Murakami oleh Deborah Treisman.

Ada satu pembuka yang lucu. Sebelum wawancara, Murakami menjelaskan. “Menjadi novelis sejati: pertama ia tak akan membicarakan pajak penghasilan yang ia bayarkan; kedua, ia tidak menulis tentang mantan pacar atau mantan istrinya; ketiga ia tidak memikirkan soal hadiah Nobel Sastra.” Maka ia meminta tak menanyakan tiga hal itu. Hehe…

Pertama terbit di The New Yorker pada 10 Februari 2019, ini juga tulisan yang luar bias bervitamin. Aku kutip sahaja salah duanya, “Aku menulis sambil mendengarkan musik, jadi secara alami musik akan meresap ke dalam tulisan-tulisanku… ia memberi energi untuk menulis. Jadi aku sering menulis tentang musik, dan seringnya aku menulis tentang musik yang aku sukai. Ini bagus untuk kesehatanku. Ya, musik dan kucing. Mereka banyak membantuku.”

Gene Quill, musisi saksofon tahun lima puluhan hingga enam puluhan yang terinspirasi Charlie Parker pernah menjawab kritik di bar seusai tampil. Seorang pria berujar, “Hei yang Anda lakukan hanyalah bermain seperti Charlie Parker.” Gene mengulurkan saksofonnya dan berkata, “Ini. Bermainlah seperti Charlie Parker.” Dari kejadian ini, ada tiga anekdot. Pertama, mengkritik itu mudah. Kedua, menciptakan yang original itu sulit. Ketiga, seseorang tetap harus melakukannya. Begitulah, sama seperti di dunia tulis-menulis.

#6. Haruki Murakami: Melihat Kembali 40 Tahun Kerja Penulisannya oleh Kyodo News

Terbit pada 5 Juni 2019. Ini sudah diwarning berisi spoiler novel Killing Commendatore, tapi tetap kulibas habis juga walau aku belum baca, dan baru tahun ini diterjemahkan oleh KPG. Dan jelas sekali, aku pasti mengoleksinya. Tak masalah.
Sama, aku kutip sahaja dua bagian yang menurutku bagus. “Secara alami, tema dari cerita-ceritaku adalah perkara menjelajahi alam bawah sadar dan lubuk hati terdalam… bagian terdalam dari pikiran sadar. Ketika kita menggali alam pikiran sadar sedalam mungkin, kita akan menemukan makhluk-makhluk kegelapan dari dunia yang paling aneh.”

“Kekerasan di media sosial muncul secara terfragmentasi, tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Aku pribadi pecaya, semakin panjang suatu cerita maka semakin baik. Karena ia tidak terfragmentasi. Harus ada poros nilai yang konsisten di keseluruhan cerita. Dna ia harus bertahan dalam ujian waktu.”

#7. Akhir yang Bahagia untuk Sang Pelukis dan Penulis

Berisi percakapan antara Haruki Murakami dan pelukis dan penulis sahabatnya Mizumaru Ansei.

Murakami: Sebenarnya, setiap kali meminta bantuan, aku sudah memiliki ide di kepala. Hanya saja, aku selalu gagal menyampaikannya dengan kata-kata. Begitu juga ketika aku meminta bantuanmu.

Ini buku special untuk penggemar Haruki Murakami. Tipis, kecil, tapi sungguh berbobot. Nyaman sekali bila kita membaca orang yang sudah kita kenal, bagiku penulis terbaik yang masih hidup saat ini adalah beliau. Setiap tahun berdoa dan berharap menang Nobel Sastra, entah sampai kapan. Semoga Haruki Murakami berumur panjang dan terus menulis hingga akhir hayat. Catatan ini kututup dengan nasehatnya tentang dunia kepenulisan tentang kesabaran:

“Untuk menulis novel yang panjang, diperlukan setidaknya satu tahun dengan tingkat konsentrasi dan semangat tinggi.”

Semesta Murakami | by John Wray, dkk | Penerbit Odise | Cetakan pertama, Februari 2021 | ISBN 978-623-95462-4-3 | Penerjemah Dewi Martina | Penyunting Agata DS | Tata letak The Naked! Lab | Perancang sampul The Naked! Lab | Skor: 5/5

Karawang, 251021 – Michael Franks – Samba Do Soho

Thx to 7 teman dalam 700k untuk Juventus-nya Tuan Pirlo. Thx to Sentaro Books, Bekasi.

Di Kota Kucing, Manusia adalah Pengunjung

“Aku sangat menyukainya. Dia memiliki kebanyakan kualitas yang luar biasa. Tetapi terkadang sulit bagiku untuk mengikuti cara berpikirnya yang ekstrem…”

Memang jaminan mutu, penulis idola, pengarang terbaik modern yang masih hidup hingga saat ini. Setiap tahun kujago menang Nobel Sastra, maka semua buku terjemahannya coba saya nikmati. Kota Kucing dan Kisah-kisah Lainnya diterjemahkan entah dari mana, sebab di identitas tidak dicantumkan. Diambil dari berbagai sumber? Ya sepertinya, satu cerita adalah nukilan novel 1Q84, awalnya sudah familier. Kisah Tengo terbaca alurnya bahkan di halaman pertama. Saya baru baca books one, belum finish di seri tiga, tapi pijakannya sama. Apakah ini sejenis cerpen yang dikembangkan menjadi novel? Atau kumpulan cerpen ini adalah versi padat sebuah buku besar? Kreatif sekali kalian, kalau segitunya. Hanya kalian yang sudah baca riwayat Tengo, atau orang dibalik Penerbit Odyssee yang tahu.

Ada enam cerita, dan semuanya keren.

#1. Samsa Jatuh Cinta

Dia terbangun dan menemukan dirinya telah bermetamorfosis menjadi Gregor Samsa. Pembuka kisah yang to the point. Pijakannya jelas dari novelet Franz Kafka dimana Samsa terbangun suatu pagi menjadi seekor kecoa. Kali ini dibalik, seekor kecoa menjadi manusia. Kok bisa? Biasanya saya kurang suka cerita terkenal yang sudah menjadi ikon, lalu diburai dan dikembangkan oleh penulis lain. Namun kali ini jelas pengecualian, sebab jadinya malah terlena, terbuai akan nasib Samsa.

Samsa terbangun dalam kebingungan, dan memertanya kenapa jadi manusia? Dia tidak berubah menjadi ikan saja? Atau bunga matahari? Setidaknya, menjadi ikan atau bunga matahari lebih masuk akal daripada menjadi manusia – menjadi Gregor Samsa. Seandainya aku berubah menjadi ikan atau bunga matahari, aku bisa menjalani hidupku dengan damai, tanpa harus berjuang untuk naik atau turun tangga seperti ini. dalam keadaan lapar, ia turun ke halaman rumah yang terbentang meja penuh makanan. Saking laparnya, dia tidak peduli dengan ras. Hambar atau lezat, pedas atau asam, baginya semua rasa sama.

Samsa tidak tahu dari mana pengetahuan berasal. Mungkin terkait dengan ingatan berputar yang ia miliki. Setelah kenyang ia lalu menyusun kepingan info. Saat itulah muncul gadis panggilan, yang bertugas membetulkan kaca. “Gregor Samsa, kamu adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Kosa katamu kaya, dan selalu sampai ke intinya…”

Mereka ada di masa perang, era asli kisah ini. Praha yang bergolak, di mana-mana banyak tentara yang berjaga. Penjelasan sang gadis, untuk sampai rumahnya butuh perjuangan ekstra. Ia bukan ahli kunci, tetapi sebagai tenaga pengganti sementara. “Segalanya berantakan akibat bom di sekitar kita, tetapi masih ada yang peduli dengan lubang kunci yang rusak… mungkin mengerjakan hal-hal kecil dengan patuh dan jujur adalah cara untuk menjaga kewarasan di tengah dunia yang sedang kacau.”

Lubang kunci yang rusak ada di lantai atas, dan setelah banyak kecanggungan, basa-basi, sampai fakta aneh bahwa di masa itu, masih ada yang peduli kunci yang rusak terdengar janggal. Yang pasti Samsa jatuh hati padanya. “Jika kamu memikirkan seseorang dengan sungguh-sungguh, kamu akan bertemu dengannya lagi.”

Segalanya gelap: masa depan, saat ini, dan masa lalu. Mana yang benar dan mana yang salah? Samsa yang baru saja jadi manusia, memertanya banyak hal. Dunia sedang menunggu untuk dipelajari. “Aku tidak bermaksud kasar. Aku tidak sehat, ada banyak hal yang tidak kumengerti.”

#2. Pisau Berburu

Waktu berlalu dalam diam. Mungkin yang paling lemah sebab endingnya paling biasa, kalau tak mau dibilang datar. Narasinya panjang nan berbelit. Jadi suami istri yang sedang melakukan liburan, menginap di hotel dekat pantai, memperhatikan sekitar. Termasuk tetangga mereka yang unik.

Rutinitas sebagai sesama tamu, walau tanpa saling sapa mencipta keakraban tanggung. Dan di hari terakhir sebelum check-out, ia bertemu dengan sang pemuda Amerika tersebut. Di dini hari yang sunyi di dekat kolam hotel. Terjadi diskusi menarik. “Ketika Debussy tidak mendapatkan tempat di dalam opera yang ia susun, dia mengatakan ini: ‘Aku menghabiskan hari-hariku untuk mengejar ketiadaan yang tercipta – rien.’ Tugasku adalah menciptakan kekosoangan itu, rien-ku.”

Pisau berburu yang tajam yang berbahaya untuk seorang yang sakit fisik. Apakah itu semua hanya ilusi? Atau, aku adalah ilusi itu sendiri? Mungkin itu bukan masalah. Datanglah besok, dan aku tidak lagi ada di sini.

#3. Kota Kucing

Ini yang saya maksud nukilan novel 1Q84. Tengo yang unik, karakter istimewa ini mengunjungi ayahnya yang sudah tua di sebuah panti jompo, naik kereta dan menikmati sebuah buku dari Jerman tentang kota kucing, di mana seorang pemuda turun di sebuah stasiun, tak ada penghuni manusia, adanya kucing, banyak kucing, banyak sekali. Di sebuah menara, ia mendengar bahwa para kucing curiga ada manusia di kota ini, dan ia diburu. Saat ia kembali ke stasiun, kereta tak mau berhenti, maka ia kembali bersembunyi di menara lonceng. Stack, takut, prihatin dalam sepi. Fantasinya semakin jauh dan kompleks. Mereka mengikuti satu pola, tetapi variasinya tak terbatas.

Tengo, bernarasi selama perjalanan tentang masa kecilnya yang menjadi teman menarik iuran TV stasiun NHK, oleh ayahnya. Kabarnya ibunya meninggal saat kecil dan menghabiskan masa kecilnya menjadi teman jalan ayahnya tiap hari Minggu yang seharusnya merupakan hari libur.

Menyebalkan, dan sungguh ia muak. Maka hubungan ayah-anak ini jadi renggang dan janggal. Mereka adalah dua manusia terpisah yang berasal dari – dan sedang menuju –  tempat yang sepenuhnya berbeda. Bahkan memori masa kecilnya, melihat ibunya berselingkuh dengan lelaki lain menjadi alibi bagus untuk menanyakan, apakah ia anak kandung? Apakah ibunya masih hidup? Dst. Kalian takkan menemukan jawabnya, sebab khas Murakami, banyak hal menggantung, semakin banyak semakin penasaran, semakin bagus. Jika hidup dapat diukur dengan warna dan ragam episodenya, kehidupan ayah ayah Tengo begitu kaya dengan caranya sendiri, mungkin.

Aku tidak selalu ingin tahu akan kebenaran tentang siapa diriku dan dari mana aku berasal. Termasuk saat di masa tuanya, Tengo kembali menanyakannya, walaupun ujungnya tak ketemu juga.

Pengetahuan adalah modal sosial berharga. Itu adalah modal yang harus dikumpulkan hingga berlimpah dan digunakan kepada generasi berikutnya dengan sangat hati-hati. Itu juga harus diwarsikan kepada generasi berikutnya dalam bentuk yang bermanfaat…”

#4. Kino

Luar biasa. Tentang suami yang dikhianati dan bagaimana menghadapi kenyataan pahit. Saat kenyataan menghantam keras padamu, maka hantamlah dengan keras sebagai balasan. Seperti tanah kering yang menyambut hujan, ia membiarkan kesendirian, kesunyian, dan kesepian meresap dalam. Kino adalah pekerja kantor biasa, memiliki istri dan belum punya anak. Suatu hari saat ia ditugaskan keluar kota, dan balik tanpa info lebih cepat sehari sebelum jadwal, ia menemukan istrinya selingkuh. Ia marah, pergi tanpa menengok ke belakang. Tanpa membawa apapun, ia membangun ulang kehidupan. Ada yang salah di antara mereka sejak awal, seolah mereka telah menekan tombol yang salah. Aku harus belajar bukan hanya melupakan tetapi memaafkan. “Aku harus belajar bukan hanya melupakan tetapi memaafkan.”

Membuka bar dengan jazz dan arsesoris aduhai. “Mendengarnya, membawa kembali begitu banyak kenangan.” Bar milik bibinya yang kini sudah ia sulap menjadi tempat nongkrong yang menyenangkan. Ia bayar per bulan, ia sanggupi syarat itu. Berjuang dari awal lagi, mencipta idealismenya sendiri. Lalu seorang pengunjung aneh bernama Kamita, yang tiba setelah Magrib dengan buku tebal dan pesanan yang sama membuatnya penasaran. “Maksudmu beberapa masalah serius telah terjadi, bukan karena aku melakukan kesalahan, tetapi karena aku tidak melakukan hal benar? Ada masalah dengan bar ini, atau aku?”

Dari situ pula kita tahu, ada sesuatu yang aneh di kedai itu. Sesuatu yang janggal, ia bukan pengunjung biasa. Kino biasanya selalu berhati-hati dan menjaga jarak dari segala macam keterikatan. Tidak ada yang lebih buruk dari kecemburuan dan kebanggaan, dan Kino memilki sejumlah pengalaman yang mengerikan karena keduanya.

Sementara hujan tak kunjung reda, membasahi dunia dalam dingin yang menggigil.

#5. U.F.O. di Kushiro

Ini juga tentang suami yang kehilangan istrinya, Komura ditinggal istrinya setelah gempa yang menimpa Kobe. Semua akibat dari gempa itu seperti gema monoton yang jauh darinya. Menjelaskan secara sederhana tetapi jelas mengapa dia tidak ingin hidup dengan Komura lagi. Tanpa kejelasan kenapa ia cabut, teman sekerjanya Sasaki lalu menyarankan liburan ke Hokkaido. Sekalian menitipkan benda aneh untuk diberikan kepada adiknya.

Di bandara, ia disambut Keiko Sasaki dan temannya, Shimao. Dari sana mereka mengakrabkan diri, dan khas Murakami persahabatan sesaat ini menjelma liar. Cerita mereka berhenti pada titik itu. Dia berhenti sejenak untuk membiarkan ceritanya meresap. Dan yang terjadi, terjadilah. Shimao menggambarkan suatu pola rumit di dada Komura dengan ujung jarinya, seolah sedang melemparkan mantar sihir.

#6. Kemarin

Pikiranku seperti diselimuti kabut. Ini yang terbaik, sangat bagus. Di tempatkan di paling akhir pula. Tanimura memiliki teman aneh bernama Kitaru, orang Tokyo yang belajar dialek Kansai dan mempraktekkannya. Bukan hanya mempraktekkan, juga mendalami dan benar-benar menjelma orang Kansai. Hajar mereka tepat di depan dengan memberikan fakta bahwa aku berasal dari De-nen-cho-fu. Bayangkan, ada orang Jakarte, belajar logat Tegal dan benar-benar menyusupinya dengan sungguh. Mereka berkawan di kedai kopi dekat gerbang Universitas. Sama-sama aneh memang, tapi Kitaru terlampau kreatif. Tes masuk perguruan tinggi Waseda (tempat kuliah Murakami) dua kali gagal, sementara Tanimura langsung kuliah. Jika kamu tidak tahu apa yang kamu cari, akan sulit untuk menemukannya.

Maka saat ia berkunjung ke kampung halaman di Denenchofu, berceritalah ia bahwa ia memiliki pacar sejak sejak sekolah. Teman akrab sejak kecil, Erika yang cantik sekali. Mereka terlihat cocok, dan saling melengkapi, tapi memang Aki (panggilan sayang Kitaru) lebih ekstrem. Muncul ide gila, bahwa Tanimura diminta kencan sama pacarnya. Awalnya ga mau, tapi karena Tanimura sahabatnya sendiri, dan percaya sekali, maka kencan itu terwujud. “Tetapi, pengalaman yang sulit dan rasa kesepian, adalah sesuatu yang kamu perlukan ketika masih muda. Bagian dari proses kedewasaan.”

Diskusi suatu akhir pekan itu di Shibuya dan menonton film Woody Allen, menjadi kejadian yang absurd untuk dikenang. Menjadi penghubung banyak hal, sebab setting cerita lalu dilempar ke masa depan dengan nasib berbeda untuk ketiganya. Dia menelusuri halaman-halaman buku ingatannya. Merenungi bagaimana hal-hal pada akhirnya berakhir – setelah semuanya telah diputuskan – adalah masalah kronis lainnya. Kimura di Amerika, Tanimura yang sudah menikah tanpa anak, dan Erika yang menjadi sales juga belum menikah. “Kamu terlalu cantik untuknya.”

Pertemuan tak sengaja di hotel itu mengungkap hal-hal masa lalu yang terpendam. Betapa kemarin, walau sudah lewat masihlah sangat berharga. Yang bisa kita lakukan supaya kedua mataku tetap terbuka ketika angina yang kuat menerjang adalah menarik napas, dan terus maju.

Lakukan apa yang kamu inginkan dan lupakan apa yang orang lain pikirkan. Aku terkesan denganya. Yang masih tersisa dalam ingatanku hanyalah fragmen-fragmen, yang bahkan aku tidak yakin apa benar begitu yang dinyanyikan Kitaru. Seiring berjalannya waktu, ingatan, tanpa bisa dihindari, menyusun kembali dirinya sendiri.

Memang istimewa penulis yang satu ini, segala pujian rasanya tak akan selesai dikumandangkan untuk cara bercerita yang keren. Kota Kucing adalah kumpulan cerpen pertama yang kubaca, setelah novel-novelnya dan memoar asyik tentang lari. Dan jelas buku-buku keren lainnya pasti kususul baca. Kucing, jazz, absurditas narasi, cinta yang tenggelam, lari… inilah semesta Murakami.

Kota Kucing dan Kisah-kisah Lainnya | by Haruki Murakami | Copyright Odyssee Publishing, 2019 | Cetakan pertama, Mei 2019 | Alih bahasa Dewi Martina | Penyunting A.D. Saputra | Tata letak The Naked! Lab | Perancang sampul The Naked! Lab | Ilustrasi sampul Louis Wain Paintings, 1886 – 1936 | Skor: 5/5

Karawang, 240821 – Louis Armstrong feat. Ella Fitzgelard – Isn’t This a Lovely Day (To Be Caught in the Rain)

Thx to Sentaro books, Bekasi