Kronik Singkat Pasca Tragedi 1965 di Bali dan Kisah lainnya

Rindu Terluka by Putu Oka Sukanta

“Dan sabungnya ini kan di Pura kita. Tentu dewa memihak kita.”

Ngeri. Permulaan cerpen ini banyak mencerita pasca tragedi 1965 di Bali. Bagaimana tokoh utama bisa selamat, dengan berbagai juang, dengan ke pulau Jawa sebagai tahanan, dengan legowo dan menyisihkan egoism, dengan banyak cara. Termasuk bagaimana ada adegan setelah masa genting lewat, ia pulang ke Bali dan bertemu dengan para algojo, walau tak sampai dibunuh juga sebab sudah lewat jauh, kengerian itu masih sangat terasa. Mengherankan, sungguh heran bagaimana bisa dunia bisa berputar dengan keganasan dan tata kelola sadis membantai teman/saudaranya sendiri.

Sebagian lagi tema lain, tema umum bisa sampai Batam atau kehidupan sehari-hari yang biasa mistik. Ini Bali, dunia seberang dengan sering disinggung dan dupa dinyalakan lebih tajam.

#1. Pan Blayan

Rapat desa untuk memutuskan masuknya industry ke desa mereka, Pan Blayan antusias sebab tanahnya yang kena gusur dapat ganti rugi dan ia bisa mendapati jalan mulus dekat rumahnya. Begitu pula rencana membuka usaha, tapi harapan tak semulus kenyataan.

“Hidupmu di jalan becek berlumpur. Bukan jalan licin beraspal.”

#2. Made Jepun

Kehidupan sehari-hari warga Bali, ibu jualan, ayah kerja, adik kakak sekolah, dst. Lalu segalanya berubah tersebab tragedi 1965. Segala yang berbau PKI dihilangkan, tak peduli kamu orang mana, siapa, dan mengapa.Made Jepun dituduh anggota Gerwani, dan ia kena coduk, tapi tak sembarangan, karena nantinya ia menggila dan ‘sakit kotor’. Ada karma di sana.

“Bilang aku tidak ada. Mati.”

#3. Rindu Terluka

“Jangan dulu.” Melarikan diri ke Jawa untuk bertahan hidup, sampai kapan? Dipenjara sampai kapan? Kerinduan di tanah kelahiran Bali berulang kali dipendam, sebab setiap saat bisa saja kena ciduk. Putu Sarka yang bertahan dan menyadari semua temannya sudah dibunuh.

“Semua orang bilang kamu sudah mati. Meme tidak percaya. Meme tidak membolehkan orang membuatkan pengabenan untuk kamu. Ada balian goblog yang juga bilang kamu sudah dibunuh, jauh di sana.”

#4. Kerbau Betanduk Emas

Ini seperti lanjutan, sebuah surat ditujukan kepada I Putu Mustika, bila jika sudah bebas dan ingin bertemu I Plutut bisa menemui saya, Suaeb. Dan begitulah, ia memutuskan mudik ke Bali, katanya zaman sekarang sudah berubah dan ia tak akan diburu. Dan ia bertemu dengan teman-temannya, yang dianggap PKI tapi tak PKI bisa bertahan hidup, dilecehkan. Seih.

“Ah, kalau dulu kamu menemuiku, pasti kelewangmu yang menghabisi nyawaku. Apa yang mereka pikirkan tentang diriku sekarang?”

#5. Tukang Kebon

Lucu, bisa jadi ini cerita terbaik. Sederhana tapi sangat mengena. Putu Mastra mencita anaknya bisa sekolah sampai SMA dan bisa kerja menjadi pegawai di kantor. Terus berdoa padaNya. Galang yang sudah lulus tak kunjung mendapat kesempatan, jadi ikut ayahnya ke sawah. Sampai suatu hari tukang kebon kantor Gubernuran meninggal, Putu Mastra bertemu Nengah Sandi, dan meminta tolong anaknya untuk bisa bekerja di sana. Mulanya optimis, sebab memang harus dari bawah. Namun suatu hari, bukan kenaikan pangkat yang Galang terima, tapi pukulan telak tersebab hal esensial.

“Berat mana Galang, jadi pegawai kantor atau di sawah?”

#6. Batu

Batu dan mitos keramatnya, ditaruh sesajen, ada penghuninya, dan orang yang berani menghina, apalagi mengencinginya akan kena kutuk. Cerita masa lalu, yang kini bisa jadi banyak yang sudah tak percaya. Batu itu masih ada, dan kembali ke masing-masing orang untuk percaya atau tidak, hingga suatu hari ada yang sakit keras.

“Tergantung kacamata yang kau pakai melihatnya.”

#7. Lengking Puisi

Ini cerita tentang kelahiran bayi terkasih, dibuat dengan syahdu meliuk-liuk puitik. Kahadiran yang dinanti, buah hati perempuan yang mengalir dalam syair.

“Dalam semua hal, anakku yang perempuan dan laki-laki adalah sama.”

#8. Mangku Dauh

Sabung ayam yang dilarang, tapi tetap dilakukan. Bambu-bambu disiapkan, jagoan sudah siap bertarung, penonton pun sudah menanti. Ah, judi, sering kali berujung petaka. Kali ini sungguh besar pengorbannya.

“Tidak ada penjudi yang aman hidupnya, berhentilah berjudi sebelum hidupmu sengsara.”

#9. Dewi Bulan Jatuh di Batam

Niah dan kegiatan medis masyarakat melawan penindasan di Batam. LSM mungkin identik dengan image negatif, tapi memang kalau dijalankan benar akan benar-benar bermanfaat. Dan perjuangan pembela kaum perempuan di tanah rantau yang sibuk di Batam terjadi.

“Ya, orang hidup, sering kayak burung, hinggap sebentar di dahan pohon, kemudian terbang lagi.”

#10. Beny

Beny si bungsu yang nakal, sering kena tegur tetangga sampai Pak RT, sering jail ke anak-anak lain, dan orangtuanya sering kena kritik. Begitu pula di sekolah, orangtua dipanggil sebab nakal sekali. Karena masalah bertumpuk, dan tak ada solusi bagus yang bisa dilakukan, muncullah ide untuk menitipka Beny ke kakeknya di Jawa Timur. Dan begitulah, si nakal itu malah jadi dirindukan.

“Mereka menangis, Kek.” / “Mereka kehilangan kau, Beny.”

#11. Bermula dari Lidia

Lidia sang penyanyi keliling, dalam sebuah seminar ia-lah yang bermula mendaku menderita Aids, masih muda dan menjadi bahan diskusi. Apakah ada kesempatan kedua? Bagaimana kalau menikah, dan pasangan akan turut kena? Anaknya juga, dunia berjalan dengan anehnya.

“Kok ada lelaki yang mau?”

#12. Bongkar

Ini masalah empati, tinggal nyaman di rumah tapi melihat sekeliling yang tak hidup susah, tak punya rumah. Kadang nitip jemur, kadang minta barang. Kasihan, tinggal di pondok bambu. Hingga suatu hari, terjadi penggusuran. Mereka akan tinggal dimana?

“Kasihan mereka, Pa.”

#13. Jembatan Cahaya

Lubang buaya dan misteri sejarah. Ketika ke museum Lubang Buaya, dengan relief dan segala detail yang disajikan, apakah bisa dipercaya catatan sejarah itu? Menelusuri sejarah dari berbagai sudut, menuntut kebenaran.

“Saya mencari apa yang tidak saya temukan.”

Kubaca santuy, sudah dua bulan tapi terbengkelai sama bacaan lain, nah awal pekan lalu, kebetulan dapat tugas luar kantor ke Bandung, bawa dua buku. Diluar duga Menembus Kabut bisa kuselesaikan baca cepat sewaktu berangkat, maka separo buku ini kutuntaskan selama perjalanan baliknya. Lumayan asyik, memang teman baca perjalanan tuh idealnya yang sederhana, cerpen sejenis ini, jangan yang berat kek bahas filsafat atau tasawuf.

Ini buku pertama Bung Putu Oka Sukanta yang kubaca, dari identitas penulis, terlihat beliau adalah salah satu korban tragedi 1965, dipenjara tanpa diadili. Terliaht cerpen-cerpen ditulis berdasar pengalaman pribadi. Bagus, terasa nyata, tak ngawang-awang. Terlebih, ini terbitan Metafor yang memang terkenal bagus di tahun 2000-an yang konsen di sastra. Semoga ada kesempatan menikmati buku-buku lain beliau.

Rindu Terluka | by Putu Oka Sukanta | Penerbit Metafor Publishing | 2004 | 13579108642 | Penyunting SiSi Arsianti | Cover dan Layout Muhammad Roniyadi | ISBN 979-3019-22-0 | Skor: 4/5

Kupersembahkan kepada Ibu dan Bapak di khayangan: Made Sukanta, Ketut Taman, dan Ketut Sringanis

Karawang, 311022 – Ella Fitzgerald – Indian Summer (Live)

Thx to Anita Damayatnti, Jakarta

Ingatan, “Tidak”, Cinta #10

“Pakaian hanyalah penampilan, tapi hati adalah kesungguhan.”

Luar biasa, buku-buku terbitan Metafor dengan tema sastra ditulis keroyokan, sebagian malah hasil terjemahan. Ini edisi perdana, dan sudah sangat bagus. Buku kedua yang kubaca, bagus semua. Kenapa buku sebagus ini tak dilanjutkan terbit ya? Tahun 2000-an saya belum paham sastra, sekarang melahap banyak sekali sastra, dan buku ini makin membuat saya respect sama buku-buku Metafor.

Ini justru terbitan #1, dan langsung menghentak dengan menjual nama Jose Saramago. Bukan cerpen sebenarnya, hanya nukilan novel Blindness bab satu. Karena saya sudah baca, saya langsung klik, sayang buku itu dipinjam teman dan tak kembali, sehingga nostalgia itu hanya sebab. Nanti deh, saya cari novelnya lagi.

Disajikan juga wawancara sang maestro cerita Portugal ini, sangat-sangat bervitamin memberi tips-tips menulis. “Saya menulis empat halaman sehari. Ini soal penataan pikiran, mungkin kelihatannya tidak banyak, tapi… Syarat pertama untuk menulis adalah duduk, dan menulislah.” Dan yang lokal-pun tak kalah hebat, almarhum Umar Kayam menyumbang wawancara dengan post credit seolah ‘farewell’. Hebat, buku yang luar biasa. Semoga ke depan ada buku sejenis ini diterbitkan lagi.

#1. Sang Pemula (Prolog) by Sitok Srengenge

Ini adalah sambutan, dari sang penggagas. Sang Pemula yang menjadikan perkenalan terbitnya Prosa. Angkat topi untuk ide ini buat Bung Sitok Srengenge. “Cara pandang, daya apresiasi, dan selera para pengasuh suatu media bisa memunculkan warna dan nilai tunggal.”

#2. Cerita tentang Ibu yang Dikerat by A.S. Laksana

Masih dengan Alit, karakter favoritnya. Dan karena saya sudah baca, saya menelusur saja kata-kata ini, seolah baca ulang. Kehebatan di sini adalah kejut siapa sudut pandang sebenarnya, dan motif ada sejatinya yang disembunyikan. Sedih, amarah, dan takjub sama pola seperti ini, seringkali berhasil menipu pembaca.

“Ku benar, mestinya ia bertobat. Tapi segalanya sudah terlanjur dan ia mungkin terlalu angkuh.”

#3. Guna-guna dan Gula-gula by Danarto

Perkara telat kawin, dan godaan di luar sana. Mas Guru yang ditegur Pak Kiai, kenapa tak kawin-kawin, sampai mempertanya metode ajar, sebab ia sendiri rasanya perlu diajar. Sehingga Pak Kiai menawarkan guna-guna menjerat wanita. Gaji guru kan tahu sendiri, makanya ia nekad ambil sebab yakin keampuhannya, efeknya bikin tawa. Dan dialog akhir yang sungguh-sungguh bikin ngakak.

“Carilah mangsa lain. Guna-guna yang saya bekalkan sangat ampun untuk memeluk sekian gadis dengan berbagai tipe dan etnik.”

#4. Kebutaan by Jose Saramago

Cerita tanpa nama karakter, kebutaan tiba-tiba di persimpang jalan. Tak ada yang tahu mengapa laki-laki itu mendadak tak bisa melihat. Matanya diselimuti putih, dan ia harus diantar pulang ke apartemennya. Istrinya memeriksakan ke dokter mata, yang malah bikin heran. Dan begitulah, (nantinya) menyebar.

“Kalau nyatanya anda buta, maka kebutaan anda saat ini tidak bisa dijelaskan.”

#5. Dadu by Nirwan Dewanto

Cerita wayang atau drama perwayangan dengan selubung nasihat kehidupan.

“Si pengarang (seorang pengarang yang tak mencantumkan namanya), memang sengaja merancang sejumlah jebakan untuk membingungkan (atau memabukkan) pembaca.”

#6. Tiga Kisah by Sapardi Djoko Damono

Tiga cerita yang (seolah) taka da keterkaitan. Testamen tentang anjing kampung yang baik, Jalan Lurus yang bernarasi, dan Membaca Konsultasi Psikologi tentang suami seorang PNS yang pening.

“Mungkin saya ini seorang suami yang berpandangan kuno, tidak begitu memahami perubahan zaman.”

#7. Penangkaran Binatang by Whani Darmawan

Ini adalah uneg-uneg para binatang yang ditangkar, dan bagaimana proses serta prosedurnya. Banyak bahasa Jawa-nya, hingga dibuatkan banyak catatan di akhir.

“Bisakah engkau menangkarkan landak, lele, dan ikan pari di dalam hati?”

#8. Bertemu Hemingway by Gabriel Garcia Marquez

Wawancara bersejarah dengan George Plimpton di Paris Review, Hemingway mengatakan bahwa berlawanan dengan gagasan Romantik tentang kreativitas – kenyamanan ekonomi dna kesehatan yang terjaga, sampai kapan pun merupakan hal yang kondusif untuk menulis bahwa salah satu kesulitan utama pengarang adalah mengatur susunan kata sebaik-baiknya.

Satu hari kerja hanya boleh berhenti ketika pengarang telah mengetahui dari mana ia akan memulai esok harinya. Saya kira tidak ada nasehat yang lebih berguna yang bisa diberikan tentang kegiatan mengarang.

Karya Hemingway penuh dengan penemuan-penemuan sederhana dan memesonakan seperti ini, yang menegaskan perumpamaan yang dipakainya sebagai acuan untuk menyusun definisinya sendiri tentang penulisan sastra, bahwa seperti gunung es, karya sastra hanya akan bisa berdiri kokoh jika ditopang di bawahnya oleh tujuh-perdelapan bagian dari keseluruhan rancang-bangunnya.

Sebagaimana diutarkannya sendiri, karya Across the River semula dimaksudkan untuk menjadi sebuah cerita pendek dan terperosok ke dalam ‘hutan bakau’ sebuah novel.

Jika orang begitu lama menyelami karya seorang penulis dengan intensitas dan kecinaan yang demikian besar, niscaya ia akan kehilangan cara membedakan fiksi dengan kenyataan.        

#9. Dunia di Sebutir Pasir by Hasif Amini

Karya sastra memang sering menemukan dayanya justru dari semacam ketiadaan pesan, atau kekaburan amanat (kata yang lebih baik adalah ambiguitas), yang sekaligus berarti bahwa pembaca bisa bekerja atau bermain membubuhkan bayang-bayang baru pada setiap pembacaan.

Menyediakan ceruk-ceruk remang yang bisa dihuni hantu-hantu makna

#10. Ingatan, “Tidak”, Cinta dialog dengan Katherine Vas

Keren banget. Wawancara hebat, sederhana tapi memikat.

“Saya biasanya hanya menulis di rumah. Saya tidak bisa menulis di hotel, atau di rumah teman. Sama sekali tidak mungkin, saya hanya tidak mampu melakukannya, taka da yang bisa keluar. Itu saja.”

“Ketika ide sudah saya dapatkan, segera saja itu menjadi obsesi… Saya telah mengarang sebuah kisah cinta tanpa sepatah katapun cinta.”

#11. Cerita yang Hidup dan Hantu Ilmu Sosial by Umar Kayam

Keren ini sih, wawancara pada 22 Januari 2002 yang nantinya (atau sudah) legendaris antara AS Laksana, Sitok, dan Hasif kepada Umar Kayam. Kita jadi tahu pandangan sastra sang penulis Para Priyayi ini. Saya kutip saja sebagian kalimat-kalimat bagus ini:

“Bahasa Indonesianya bagus tapi ruwet. Enigmatik. Sajak-sajak yang baik itu menurut saya harus bisa menggugah imajinasi. Meskipun imajinasi yang kita dapat tidak sama dengan sang penulis.”

“Pertimbangan utama editing: wagu opo ora? (janggal apa tidak?)”

“Mana yang lebih penting menurut Anda, logika atau keindahan bahasa. Sama-sama penting.”

“Terhadap Rendra memang saya subjektif, seperti juga terhadap Goenawan. Tidak bisa objektif sata pada dua orang itu, karena hubungan pribadi kita terlalu dekat.”

Tulisan ini ditutup dengan kabar, pada 16 Maret 2002 sang legenda meninggal dunia. “Pak Kayam meninggal dunia.” al-fatihah.

Prosa #1 – 2002 | Redaksi Sitok Srengenge (Kerua), Hasif Amini, Arif B. Prasetyo, Rani Elsanti (sektertaris) | Desain Muhammad Roniyadi | Penerbit Metafor | Skor: 5/5

Karawang, 100622 – Westlife – I Lay My Love On you

Thx to Buku Jarang, Bekasi

#30HariMenulis #ReviewBuku #10 #Juni2022