Mengarang Novel itu Gampang #26

“Siapa yang melarang? Kau menjadi pengarang, berarti kau membuat sendiri, mencipta sendiri.”

Luar biasa. Ini seolah menampar wajah para penulis yang masih gamang. Dibuat dengan model tanya jawab, saat-saat membacanya mencipta kalimat ‘iya ya, iya ya… terasa mudah, terasa gampang’. Sesuatu yang malah sangat amat menohok keragu-raguan. So far, buku motivasi menulis terbaik yang pernah kubaca. Ga kebanyakan teori, ga kebanyakan motode, cas cis cus, gegas tulis. Rasanya, akan malu bila kita yang manggut-manggut tak mempraktekkan gayanya. Ini buku kedua beliau yang kubaca, dan memang legend almarhum abah Arswendo ini. Salut.

Ini adalah sekuel dari Mengarang itu Gampang. Saya belum baca, akan kukejar cari. Kali ini fokus ke novel, di mana pengarang butuh perjuangan ekstra. Ini mengarang novel yang lebih membutuhkan napas yang panjang. Tak seperti cerpen yang spint, novel adalah bentuk lari marathon.

Sejatinya, selalu yang paling penting adalah praktek. Tak ada rumus yang paling pas bila ingin jadi penulis selain tulis! Sekarang! Keluhan utama adalah waktu, dan selalu kutemui jawabnya, waktu yang diberikan kepada semua orang sama. Mau sesibuk apapun, mau senggangur apapun, mau sejungkir balik bagaimanapun, waktu sehari adalah 24 jam.

Nasihat umum yang sekali lagi dipertegas ini. Mau kujelaskan cara mengelola waktu, rasanya kalian sudah paham teori manajemen waktu, jadi tak perlu deh. Saya ketik dan bahas bagian-bagian yang rasanya layak kutulis ulang, kubagikan kepada pembaca blog ini.

Pertama, teori menulis novel yang begitu penting adalah eksplotasi. Novel yang lebih tebal, bagaimana cara menjelaskan cerita, yaitu caranya dengan eksploitasi. Tokoh itu dikembangkan. Direntangkan, dipendekkan. “Pada saat mengetik, kamu sudah mulai dengan apa yang ‘telah selesai’ dalam kepalamu.” Ulasan, pengembangan, warna, semacam ini terjadi – diperlihatkan kepada pembaca – dari peristiwa. Ini yang memperkuat dan menjadi ikatan cerita. Titik tolak bisa dari apa saja. Dari mana saja. Yang penting eksploitasinya.

Kedua, pada dasarnya sebuah novel, adalah perkembangan karakter dari pelaku-pelakunya, perubahan, pergolakan, dan dalam rangkaian itu sebenarnya cerita sebuah novel. Itulah yang kita kenal dengan istilah, “jalannya cerita” atau “isi cerita.” Di novel kita banyak ditemui cara bercerita yang keluar konteks. Bukan sekadar bunga-bunga kata, tetapi merupakan rangkaian yang menyatu dalam kerangka besar. Ibaratnya titik-titik kecil dari sebuah gambar mosaik yang besar. Ketika kita menceritakan salah seorang tokoh, ceritanya berjalan. Rangkaian peristiwa terjalin, acuan dramatis berlangsung. Yang menggariskan dasar cerita adalah waktu.

Ketiga, latihan pengembangan kata. Praktek men-sinonim-kan kata terasa mudah, hanya sepuluh kata sepadan. Tidak mungkin tidak kautemukan. Pokoknya digali terus. Kata melihat contohnya, dengan gercep kita dapati lebih dari sepuluh sinonim. Memandang, menatap, melotot, menerawang, memfokuskan, melirik, mengedip, dst. Nah, variasi kata ini perlu agar pilihan diksinya lebih enak.

Keempat, dalam mengarang, pada dasarnya kita ini sedang mengadakan satu pembicaraan. Antara pembaca dengan pengarang. Dalam hal ini pengarang bisa berdialog langsung dengan pembaca, bisa juga melalui tokoh-tokohnya. Bisa dua-duanya sekaligus. Disesuaikan dengan keseluruhan. Akan tetapi realita bukan hanya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang berdialog. Realitas itu juga merupakan realitas keseharian.

Kelima, bagaimana penggunaan dialek dalam narasi? Sebaiknya jangan, kecuali kalau pengarang memakai bentuk aku, dan dalam hal ini bercerita secara langsung kepada pembacanya, yang seusia dan sederajat. Dalam mengarang rangkaian penggambaran semua ini merupakan bagian yang direncanakan, bagian yang secara sadar diolah. Makanya, bahasa daerah/asing baiknya tak dicantumkan dalam narasi tak langsung. Bahasa Indonesia itu kaya, sebisa mungkin dipakai, terlalu cetak miring itu bikin tak nyaman pembaca. Memang paling bagus menjalani sendiri, dengan begitu perasaan itu otentik. Kamu sendiri bisa langsung merasakan. Dan menemukan ide-ide penulisan di situ. Terasa kekayaan bahasa dan warna untuk penggambarannya.

Keenam, lokasi cerita ya di sekitar kalian tinggal. Itu lebih pas dan mengena, bukan tempat jauh sekadar hasil imajinasi. Kamu akan lebih mengenal Bekasi ketimbang Belfast, kamu lebih tahu tugu Monas ketimbang Menara Eifiel, jadi pilih setting di mana kalian mengakrabinya.

Ketujuh. Karena unsur seks banyak sekali ragam dan bentuknya yang mudah sekali menyesatkan seorang pengarang. Ya, unsur seks itu makrum ada di banyak cerita. Bedanya, cara pengembangannya ekplisit atau implisit. Tak kayak stensilan yang ujug-ujug bercinta, atau menjelaskan detail adegan. Semakin indah dalam absurditas, adegan seks makin unik.

Kedelapan, unsur humor juga sangat penting. Semua novel tiba-tiba saja menjadi serius, gawat, dan berat persoalannya. Padahal kalau ada unsur humor, bisa lebih segar. Menciptakan greget hidup adalah kata lain dari memanjakan kemungkinan, menelurkan hipotesa. Humor tak melulu harus sampai ngakak, adegan-adegan standar sekitar kita justru yang paling ideal sebab akan melibatkan emosi pembaca.

Terkahir, percaya proses. Kalau sudah niat, kalau sudah ketik-ketik, kalau sudah mulai, harus diselesaikan. Pastikan ada garis finish di ujung sana. Sebab untuk dijadikan buku memang harus ada titiknya, terserah mau setebal apa, mau bergenre apa, mau ke penerbit mana, yang penting adalah jadi buku. Semua itu berproses.

Rendra tidak begitu saja muncul dengan Blues untuk Bonnie, Affandi tidak tiba-tiba saja bisa memlototkan cat langsung dari tube ke kancas,. Sardono tidak tiba-tiba saja menemukan Samgita atau Cak Rina, Arifin C. Noer tidak begitu saja menaklukkan panggung dengan segala adegan yang paling muskil, Danarto tidak begitu saja menjadi Adam Ma’rifat, Putu Wijaya tidak lahir sudah edan. Para jawara ini bergulum dalam proses, menjadi satu, mengalir, hanyut, dan mata batin yang siap dan terbuka.

Jadi siap untuk menulis novel? Gaaas… Ukurannya adalah pendekatan kreatif.

Mengarang Novel itu Gampang | by Arswendo Atmowiloto | GM 84.123 | Penerbit PT Gramedia, 1984 | Secara bersambung pernah dimuat di majalah Hai tahun 1983 | Skor: 5/5

Karawang, 260622 – Etta James – At Last

Thx to Saut, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #26 #Juni2022

“Bagaimana Cara Mendapatkan Ide?”

Menumis itu Gampang, Menulis Tidak by Mahfud Ikhwan

Saya berharap bisnisnya kali ini bagus, atau setidaknya baik-baik saja. Namun, melihat intensitasnya ngopi bersama saya, saya khawatir yang terjadi adalah sebaliknya. Ia memang banyak gagal, dan mungkin karena itu kami berteman.”

Tentu saja tak banyak, karena menulis tidak memberi saya banyak uang…

Melihat ilustrasi bukunya saja sudah bikin males, tiga pose santuy, rebahan dalam kebosanan. Dan warna kuning, jersey Malaysia yang mengesalkan itu. Banyak hal mewakili pengalamanku sendiri, otomatis banyak hal pula menjadikannya ironi hidup. Sepakbola, buku, Muhammadyah, resign di tahun 2009, males keluar rumah (apapun modanya), kopi melimpah dst. Lazio, Chelsea, La Coruna rasanya hanya tim gurem yang tak ada apa-apanya dalam sejarah Eropa dibanding gelimang gelar AC Milan, Liverpool, dan eehhheemmm Madrid. Saya benar-benar mencintai bola lebih belakangan, baru di Piala Dunia 1998 kala Italia bersama aksi Vieri-nya, yang hanya semusim, maka ketika hijrah dengan rekor hatiku tetap bertahan di Olimpico. Sepakat sekali segala apa yang dikisah panjang lebar dalam ‘Menunggu”, yang menyata bahwa kecintaan pada permainan ini sungguh absurd.

Walau terkesan sombong, seperti yang terlihat dalam wawancara di Youtube, “saya punya buku baru lagi…” atau ketika mengunggah gambar di sosmed saat membubuhkan untuk momen pra-pesan. Keterangan yang tertera, ‘resiko penulis produktif’ bagiku, Cak Mahfud adalah pribadi rendah hati. Dalam esai yang diproduksi untuk kolom Mojok selama 2020 ini, kita bisa mengenal Sang Penulis, sebagian besar lucu, sebagian besarnya lagi ngomong ngalor ngidul nostalgia masa lalu. Apa yang disampaikan adalah hal-hal umum, kegiatan sehari-hari, hal-hal yang biasa kita hadapi. Tak ada yang muluk-muluk, ngawang-ngawang, atau seperti yang sering disebut sama beliau, “tak rumit dan tidak ndakik-ndakik”.

Kebetulan saya baru saja menyelesaikan baca Zarathustra. Bagus sih, tapi benar-benar melelahkan, serius sekali, dan mencoba ‘mengesankan’, bagus di sisi lain tapi tak nyaman. Benar-benar Menumis Itu adalah penawar jitu. Sebagai buku pertama yang kuselesaikan baca bulan ini, ini benar-benar fun, ketawa ketiwi sendiri, dan seringkali bilang, ‘wah aku banget’ hahahaha…. Berisi 21 tulisan dengan tema yang berkutat di kontrakan. Sebenarnya mau ulas acak dan sekenanya aja, ternyata malah ketikannya tak bisa dihentikan. Lagian baca biografi Bung Karno sudah selesai, dan waktuku melimpah. Yo wes, setiap kolom kukupas singkat-singkat sahaja.

#1. Ayam di Beranda

Dibuka dengan cerita ayam yang suka ‘main’ di beranda kontrakan, suka buang tahi, dan gelisah nangkring di pohon kala hujan. Apa yang ditampilkan adalah kejadian lumrah yang seringkali dialami masyarakat Pedesaan. Sampai akhirnya seorang penulis muda berkunjung, menyingkirkan kursi dari beranda, dan membantu ngepel. See, tak ada bom yang meledak di pekarangan!

#2. Dapur Hijau

Tentang dapur yang asri, memberi corak hijau di dalamnya dengan sebuah wastafel. Well, so sorry bukannya sombong kita-kita warga urban, sudah biasa dengan wastafel rumah. Bukan perabot mewah, bukan pula sesuatu yang patut dibanggakan. Namun inilah keunikan kisah, ia lalu bernostalgia ke era masa perjuangan semasa kecil. Dan, sayangnya apa yang dicerita di masa lalu, sungguh mirip denganku di Palur. Lantai tanah, cuci piring dengan abu gosok, nimba sumur buat ditampung di ember cuci.

#3. “Pulang

Cerita ketiga bisa jadi yang terbaik (yah yang kedua deh), memaknai kata ‘pulang’. Pengalaman pribadi jua, sebagai perantau sejak lulus STM, saya tenggelam dan ada kesan sentimental bila berbicara rumah. Dulu saya selalu bilang, pulang kampung. Pulang ya ke Palur, dan selalu bilang berangkat kembali ke Cikarang. Namun sejak terikat gadis di Karawang, arti rumah memberi kesan berbeda sebab ada tujuan di sini, dan apa yang ditampilkan dalam kolom ini sungguh tepat sekali. Jadi pas ia mudik ke Lamongan, lalu pamit balik ke Bantul, ia berujar ‘pulang’ ke temannya. Rasanya apakah ia menemukan rumah baru di Yogyakarta? Apalagi, tiap update berita, “saya sudah tak tahu lagi, siapa yang lahir, siapa yang mati.” Sungguh tepat sekali. Bukankah apa yang terjadi pada saya juga terjadi dengan kebanyakan perantau? BIG ya!

#4. Menumis itu Gampang

Tulisan keempat lucu, dan cocok jadi judul buku. Kita harus hargai orang-orang yang mau memasak sendiri. Dan ini ia lakukan, dengan nada tak serius. “Saya memang ahlinya melakukan tindakan sia-sia dengan cara yang rumit.” Begitu katanya ketika nasi gagal itu dikasih ke ayam di halaman. Patut dihargai pula tentang pijakan hidup dalam pergulatan fikih tentang nasi orang mati. Dan poin utamanya, memasak tumis kangkung yang nikmat dengan sachet produksi Indofood Racik ternyata gampang, rasanya sama dengan kuliner Yogya yang enyak-enyak itu. Rahasia penting seolah terbongkar. Hahaha tawa Plankton Sheldon. Mereka memakai bumbu instan yang sama. Oh catet!

#5. Perjalanan

Dalam Perjalanan, ini jelas mewakili kata hatiku. Tahun 2009 atau 2010, dalam catatan facebook saya pernah nulis 100 about me, salah satu poinnya saya tak suka jalan-jalan, tapi selalu ingin merenung di gunung atau main air di pantai, selfi di bukit hijau, nah kok bisa? Saya tak suka traveling. Di sini dibongkar. Ia menyebutnya, “kegelisahan yang tak terjelaskan.

#6. TV

Saya punya TV merek-nya Oke tahun 1998 kala Piala Dunia berlangsung (atau setahun sebelumnya, lupa), dan betapa bangganya saya bisa nonton di rumah sendiri, biasanya saya nebeng nongkrong di tetangga atau saudara sekadar menikmati Layar Emas RCTI atau Dunia dalam Berita TVRI. Kalau remote rusak, kaki menjulur untuk mengganti channel, antena harus diputar bila kena angin, atau baru baterai yang di-pepe di atap kala ‘habis’.

#7. Bonsai

Ketika tahun 2009 saya keluar dari pekerjaan, punya waktu berlimpah untuk ngopi dan punya sedikit tabungan untuk bersantai…” Persis saya, pengen leha-leha menyusun bebek rencana di pematang sawah. Namun saya mbalik ke tanah rantau untuk kembali jadi buruh, karena menurut bebek rencana umur 28 harus nikah, dan ngopeni anake wong, harus punya penghasilan. Oh, saya pecundang sejati, tak punya keberanian penuh mewujudkan impian liar, tak berani bertaruh. Hanya berani separuh gerak, lalu terpenjara lagi. “Kurang lebih seperti orang-orang yang memelihara pohon hanya untuk dikerdilkan.” Hiks, sedih mengingat itu. Ternyata masa itu baru 11 tahun, dan pertaruhan telah luntur. Salut buatmu, Cak Mahfud.

#8. Beradab

Rebahan, tidur, bengong berlama-lama memandang rak buku. Saya juga sudah sering melakukan sebelum pandemi. Maka kini menjadi beradab, dianjurkan, bahkan didesak. Sewaktu kecil, sudah biasa menunggu jambu jatuh di bawah pohon tetangga, sudah jadi kebiasaan menanti pelem ranum kena goyang angin atau badai, bahkan sisa codot juga kita embat, setelah jatuh di kalen? Kenapa tidak? Yah, kalau tak mau jatuh karena alam, gmana kalau kita jatuhkan. Pakai ketapel misalnya. Di sini, kita tahu iklan ‘belum lima menit’ adalah lelucon. Tisu? Idem!

#9. Tiga Jumat

Kita semua di masa yang sama, larangan kumpul apapun termasuk menggelar Jumatan sungguh terasa janggal. Apalagi ancamannya adalah label munafik, hadisnya jelas dan shahih. Dan dengan bijak (jiah… memang bijaksana) ia menjawab, “Aku ikut keputusan PP Muhammadyah saja.”

#10. Kolom

Akhirnya ketemu juga yang namanya ‘ide mandek’ (saya tak buntu, hanya kosong). Menulis kolom memang pekerja, ada tuntutan bergaris waktu yang harus dipenuhi, persis sama buruh yang harus datang dan pulang di waktu yang ditentukan. Maka ia pun ngedabrus panjang lebar betapa tanggung jawab itu harus dilaksanakan. “…Anda haruslah seorang tukang jagal sekaligus juru masak untuk tulisan Anda.”

#11. Festival

Ramadan dan hingar bingarnya. Dari sekian banyak festival rutin ini, saya nyaris turut serta semua yang disebut. Menambahkan daftar sahaja; main monopoli, catur, ular tangga di teras rumah orang dari subuh sampai capek. Kadang jalan kaki memutar kampung, sambil ngobrol apapun. Malamnya tadarus menanti makanan, hingga petasan yang membahana di banyak malam. Kalau siang, ada ‘long bumbung’ dari pring (bambu) yang dilubangi, sulut api, saling tembak (apa kabar The Gunners?) Sungguh merindu masa-masa itu. Yah, kurang lebih begitulah Cak Mahfud menuturkan tulisan kesebelas ini. “Sekolah ke luar daerah kemudian mencipta rutinitas baru, dan menempatkan rutinitas lama sebagai nostalgia.”

#12. Kolom (2)

Ketemu lagi kata mandek? Yah, mirip. Mungkin ini yang digambarkan dalam cover. “Jika siang malas karena lapar, saat malam malas karena kekenyangan.” Di masa pandemi, dengan banyak larangan keluar, beli gorengan sang penjual mengucap terima kasih dengan begitu tulus.

Baik, bulan depan saya baca The Year of Living Dangerously-nya Christopher Koch yang katamu murahan, nge-pop.

#13. Sepeda

Sepeda, idem. Saya baru bisa naik sepeda saat kelas tiga atau empat SD dan menjadi olok-olok teman sekampung. Lambat benar ya, bahkan saya tak punya sepeda sendiri sampai akhirnya jelang lulus SD punya federal ungu ke-merah jambu-an. Itupun second, dari tetangga yang menang hadiah, bosan pakai, lalu dijual murah ke kita. Dibayar kredit, berbunga! Mantab. Kali ini Sang Penulis berkisah sejarah sepedanya, “angin dan kumbang”. Well, suatu saat saya mau cerita Sikusi, sepeda (motor) berusia 15 tahun dan akan terus kugunakan hingga ia kehabisan energi.

#14. Perayaan

Lega setelah libur paksa lama sepakbola, akhirnya bisa menyaksikan Haaland beraksi dan merayakan gol tanpa pelukan, ‘jaga jarak’. Yah, bahkan saya yang tak suka Bundeslig, saya tonton laga come bek itu seiklan-iklannya! Saya sendiri juga tak terlalu antusias Hari Raya, keliling kampung salaman. Saya lebih suka Cuma sama keluarga dekat, santuy ngumpul saja. Nyatanya, tahun 2020 tak ada mudik. Benar-benar Lebaran tak biasa, “Bagaimana lagi”, katanya, memaklumi.

#15. Berguna

Ini mungkin yang terbaik, lebih bagus dari “Pulang” sebab hakikat manusia yang berguna itu sangat lebar jabarannya. Jadi ingat, siang tadi istriku May menggalang baju layak pakai, makanan, dan segala bantuan buat korban banjir sama ibu-ibu sekompleks. Saya berdalih, “Kaosku mayoritas tak layak sumbang, bisa lima enam tahun sekali belinya” Ia memulai menggalangnya, tanpa banyak rencana, refleks saja melihat berita banjir di Karawang meluas. Dan berhasil. Tepuk tangan untuk May, hebat sayang. Saya turut terharu menyaksikan, barang bantuan itu menumpuk di rumahku hanya dalam waktu kurang dai 24 jam! Sungguh mulia dan berguna istriku, untuk masyarakat.

Berbanding terbalik denganku. Saya males keluar rumah, males turut ngopi bapak-bapak kompleks (beda sama teman lama rasanya), males ronda, males ikut kerja bakti. Dua minggu ini ada kegiatan perbaikan fasum, dan saya absen keduanya. Males sekadar nyupir antar arisan. Benar-benar tak guna saya ini, egois atau lebih ke cuek. Nah, tema itu dijabarkan panjang lebar sama Cak Mahfud di sini, jelas kamu sangat berguna, peranmu lebih besar Mas. Saya HRD Perusahaan, yang bahkan ketika ada sanak family nitip lamaran saja saya tolak, atau ketika saya terima (dengan terpaksa) surat lamarannya, saya ikutkan tes dengan fair, banyak yang gagal. See, benar-benar tak berguna ‘kan saya?! Lebih ke males urusan sama orang aja, dan kerjaanku setiap hari adalah konsultasi, konseling karyawan, kasih nasehat, mendengar orang-orang bermasalah menjelaskan masalah. Lalu memberi opsi solusi. Ironis, malesi ‘kan?

Karena melihat ke-“berguna”-an buku/tulisan bisa sangat konkret sekaligus abstrak, bisa sangat spesifik tapi juga bisa sangat luas, dank arena itu sulit diukur, maka tujuan “berguna” untuk buku pelajaran ini saya modifikasi yang lain lagi, saya lakukan untuk novel berikutnya lagi.”

#16. Menunggu

Ini menarik. Bagaimana menunggu Liverpool juara Liga, dirayakan dalam kekaleman. Tak perlu emosional, setelah rontok pertama kali tiga gol di tangan Watford, kalah sama Atletico, dan lepas FA. Akhirnya penantian itu berakhir kala Chelsea ‘membantu’ memastikan gelar juara Reds di tengah pekan, ini terjadi setelah laga-laga sepakbola ditunda. Lalu ia bercerita bagaimana mencintai tiga klub BESAR di Eropa. Jadi pengen cerita detail bagaimana saya mencinta klub jagoan. “Nikmati selagi bisa. Jika gembira, terharu, keranjingan, edan, atau diksi-diksi meluap-luap yang lain…

#17. Ideal dan Ironi

Dulu, kos terakhir saya sebelum nikah adalah sebuah rumah sepi, kontrakan terpencil dengan pemandangan sawah, dan kuburan tepat di depan halaman rumah. Rumah sendirian di tengah lapang, rumah terdekat sekitar lima puluh meter, selepas Isya, benar-benar sunyi. Kontrakan itu tak laku, maka sama induk semang disewakan teramat murah. Saya betah tinggal di sana sebab sepi banget. Tiap malam kubaca buku di teras, ditemani suara jangkrik ya sesekali dengar mp3 HP track list George Benson, semilir angin, selepas nyeruput kopi dan jeda baca memandang ke depan, kuburan yang sungguh tenang. Batu-batu nisannya jelas terlihat sebab kuburan itu di atas, rumah yang kuhuni di bawah. Manteb! Saya merindukan masa itu.

Maka Cak Mahfud terasa terganggu saat pohon-pohon di dekat rumah itu ditebang, suara pembangunan menggeber, menyayat sepi, lalu ia bercerita masa kecilnya sebagai side-kick pencuri kayu di hutan.

#18. Tercerabut

Sungguh ironis, seorang bocah tegalan seperti saya membutuhkan wabah untuk kembali ke umbi-umbian.” Mana salah kupas lagi, hahahahaha… well, di kampung saya punya kebun penuh singkong dan ketela. Entah dari jenis apa, dulu sampai muak sama pohong. Benar banget, tanamnya simple. Tinggal tancap, di pelajar IPA baru kutahu namanya stik, bisa dilakukan untuk pohon-pohon istimewa, sebab tahan segala cuaca, dan sehat.

#19. Perempuan Tua dan Benang Rayutnya

Menyukai sepakbola, seperti benang yang susah payah dirajut dan kemudian dibongkar, adalah rasa sakit dan sulit yang dinikmati, kebahagiaan yang fana dan dengan cepat memudar, dan ia lakukan berulang-ulang. Dan saya kira karena itulah, saya tak membutuhkan rasa sakit yang lain.”

#20. Hasil

Apakah lagi-lagi saya sedang bercerita tentang hal-hal sia-sia yang bias akita alami?” Ya, kok tahu? Setelah membaca tujuh halaman, saya sempat agak boring, mana menariknya penghijauan dapur itu? Dan hebatnya, ia tahu, ia sudah merasakan apa yang akan pembaca rasakan.

Bagaimana merasakan simpati atas ‘nyawa’ tanaman kangkung, memberi tambahan waktu hidup walau tak lama. Hahaha… pengen tak lempar potnya ke tembok, biar ambyar sekalian. Hahaha

#21. Dua Jendela

Sebagai cerita penutup, tertanggal tulis 14 Juni 2020 yang berarti kolom ini berlangsung enam bulan. Cerita ini lebih tenang, memandang jendela dengan perpektif dua arah. Jendela depan dan belakang rumah yang memberi pandang horizon bahwa Cak Mahfud ternyata jarang menulis tentang masa kini, seorang sentimental? Ya lebih tepatnya, ia adalah pemuja masa lalu. Idem, sepakat, seiya sekata. “Gampangnya, semulia apa pun pekerjaanmu, pada akhirnya larinya ke dapur juga.”

Kubaca dalam tiga hari (5-7 Feb 21), Karawang hujan bertubi-tubi, saya yang memang dasarnya malas keluar rumah, makin rapat selimut dan membuncahkan daftar baca. Ini adalah buku ke, hhmm… bentar saya hitung lagi. Dawuk check, Kambing dan Hujan check, Sepakbola Tidak akan Pulang check, Cerita Bualan check, Dari Kekalahan check, dan ini. berarti sudah lebih dari separuh karya beliau kulahap. Ulid, Belajar Mencintai, Aku dan India (jilid 1) sudah kumiliki, rencana bakal kubaca tiap bulan satu bukunya. Jilid II India sudah pesan, kemungkinan kubeli bersamaan dengan sekuel Dawuk. Itu artinya, setidaknya sampai bulan Juli sudah terjejer daftar baca-ulasnya. Mantab bukan? Mahfud Ikhwan adalah salah satu Penulis terbaik di era kita, jaminan kualitas, tak pernah mengecewakan setidaknya sampai buku keenam yang kulahap.

(Ket: Kambing dan Hujan setelah ku bongkar rak sejam tidak ketemu, ternyata dulu pernah dipinjam teman, dikembalikan, kutaruh laci, terlupakan. Sampai sekarang, terlelap di sana)

Salut sama keberanian pilihan hidup kala di persimpang jalan, hal yang nyaris kulakukan tahun 2009 saat resign dari kerja dan coba menata ulang arti hidup. Namun saya tak seberani itu, saya hanyalah manusia kebanyakan yang turut dibelenggu jam kerja, terpenjara kewajiban tahun 2011 menikah. Darani pernah bilang, “Kenikmatan pujian dan kepasrahan hati yang bisa dirasakan bujangan tidak akan bisa dihayati orang yang kawin.” Ibrahim ibn Adham mengungkapkan hal serupa, “Ketika seorang lelaki kawin, ia naik perahu; kalau anaknya lahir, perahu itu karam.”

Sebagai penutup saya kutip ‘kebanggan’ Cak Mahfud yang sukses dengan pilihan hidupnya. Seperti Murakami yang berani menutup kafe-nya demi fokus menulis. Walaupun taraf-nya beda, tapi keberaniannya di frekuensi yang sama. “Meski sering menolak menyebut kegiatan menulis saya sebagai pekerjaan, pada dasarnya memang inilah pekerjaan saya. “Menjalankan darma”, “membeli buku”, “bersenang-senang”, “melakukan apa yang bisa saya lakukan”, atau frasa lain yang kadang terlalu agung dan selalu sulit diverifikasi…”

Sekali lagi, selamat, kamu berhasil memukauku. kapan-kapan saya pengen icip-icip tumis kangkung buatanmu.

Menumis itu Gampang, Menulis Tidak | by Mahfud Ikhwan | 2021 | Penyunting Prima Sulistya | Pemeriksa aksara Dyah Permatasari | Penata isi dan desain sampul M. Saddam Husaen | Ilustrator isi Nurul Ismi Fitrianty | Cetakan pertama, Januari 2021 | xiv + 252 halaman | ISBN 978-623-7284-48-2 | Penerbit Mojok | Skor: 4/5

Karawang, 090221 – Dizzy Gillespie feat. Charlie Parker – A Night in Tunisia

Thx to Dema Buku, Jakarta