Mata Penuh Darah #3

“Aplikasi-aplikasi adalah bagian dari peradaban yang tak dapat ditolak. Yang juga menjelma racun dalam obat.”Eko Triono, Kukirimkan Padamu Sebuah Hari dari Masa Depan

Kumpulan cerpen yang maaf, so so. Mencerita masa depan itu sulit. Kumpulan cerpen yang diterbitkan untuk merayakan 10 tahun penerbit Shira Media, dari berbagai penulis, dan karena nama Faisal Oddang dipajang, ia adalah penulis paling sukses dan menjual. Sayangnya banyak bagian cerita menulik masa depan yang gelap, tak bisa diterima, hanya memprediksi, beberapa bahkan ada yang luar biasa buruk. Hufh…

#1. Mata Penuh Darah: Dua Peristiwa, 1966 – 2033 by Faisal Oddang

Presiden Soeharto diadili atas kejahatan tahun 1966, sebuah masa kelam negeri kita akan pembersihan PKI. Tahun 2033 pengadilan fiktif itu dilakukan oleh keturunan yang tersangkut kejadian 1966.

“Anda di sini untuk menjawab, bukan bertanya.”

#2. Siasat Jitu Membunuh Mantan Kekasih by Adam Yudhistira

Cerita aneh tentang cinta, tikus, hingga pembunuhan terencana. Ini Amerika yang gegap gempita, dan presiden beserta pasangannya menghilang.

“Kenapa sih urusan cinta selalu lebih pelik dari urusan politik.”

#3. Siapa yang Membawa Lesatan Ingatan ini Bermula? by Teguh Dewangga

Memainkan waktu dan ruang, lesatan ingatan dan sejarah bangunan masjid. Melalui lorong di bawah tanah, memasuki dimensi lain. Hutan-hutan, bamboo itu berubah jadi bangunan beton di kemudian hari.

#4. Venesia by Pringadi Abdi Surya

Jakarta di masa depan tenggelam, menjadi Venesianya Indonesia. Transpotasi dengan kapal, K berangkat kerja dan begitulah. Ia berangkat dari Bogor. Generasi Vetsin, tak terikat tahun kelahiran.

“Selamatkan generasi kami dari vetsin!”

#5. Mengenang Olea by Wi Noya

Banyak cara mengenang orang terkasih meninggal dunia. Di masa depan dengan virtual, mengundang teman-teman lama, dan Olea bangkit dalam hologram untuk merakayakn ulang tahun. Namun tak semua puas.

“Pulang? Kan baru mulai, Mas.”

#6. Secangkir Kopi Ethanolic by Ahmad Ijazi

Dylan di tahun 2111, masa depan yang tak pasti itu disajikan dengan pernikahan… robot? Helena yang bisa berpikir dan menentukan keputusan.

“Tapi.. aku tak memiliki ayah dan ibu.”

#7. Perempuan dari Jalan Kuno Lingkar by Pilo Poly

Lanskap tak terbatas para Guardian di negeri antah.

“Yang berlari ke gunung membunuh harimau, dialah penguasa Lenin. Yang bertempur ke masa depan, dialah pahlawan Lenin.”

#8. Ule Sondok So-Len by Al El Afif

Cerita dari Makassar dengan banyak kata daerah.

“Dikenangnya suatu senja yang lalu, kala angin berputar di atasnya…”

#9. Budayut by Tony Lesmana

“Negeri ini kosong!”

“Negeri ini gosong!”

“Negeri ini bolong!”

“Seperti kumbang yang memburu angin.”

#10. Program Pembaca Nasib by Muhammad Aan

Bagaimana weton di Jawa dijadikan ramalan. Sebuah ramalan untuk menentukan jodoh, pasangan ideal, tanggal baik. Dipadukan teknologi, jadilah ladang bisnis.

“Laksi, menurutmu, seberapa besar kesabaranmu?”

#11. Sembilan yang Kedelapan by Asmi

Perayaan penikahan, tapi sudah tak menikah dengan pasangan. Perayaan yang dilanda kebimbangan. Loka dan Moze yang mengenang hal-hal yang selayaknya masih bisa dikenang.

“Ka, kita ini lucu ya. Kita datang ke sini untuk ulang tahun pernikahan kita yang bahkan rasanya nggak layak dirayakan.”

#12. Perihal Mesin dan Peristiwa Setelahnya by Galeh Pramudianto

Area-area yang saling bersinggungan menentukan tindakan dan hal-hal yang layak dilakukan.

“Aku ingin membuat cerita, tanpa harus bersusah payah memikirkan sebuah judul.”

#13. Bagaimana Kita Menulis Cerita Pendek 20 Tahun dari Sekarang by Ardy Kresna Crenata

Di tahun 1998 dan 20 tahun kemudian, cara menulis cerpen jelas berbeda. Dan cerpen yang bagus sering kali muram, gelap, busuk, tragis, dan hhhmm… menjijikan.

“Manusia bertanggung jawab atas punahnya sejumlah mamalia besar di bumi…”

#14. Nosarara Nosabatutu by Budi Saputra

Negeri Zamrud yang berubah, di musim panas dan kenangan abadi.

“Ya, menjadi mahasiswa di negeri ini adalah pilihan, agent of change…”

#15. Adam-Hawa, Iblis, dan Eksperimen Ali Mugeni by Ken Hanggara

Sejarah manusia, sebelum duo Adam Hawa turun ke bumi, iblis sudah duluan. Dan masa melesat di tahun 2381 Masehi, kotak raksasa ditemukan.

“… seiring dengan itu, anak-cucu Ali Mugeni pun berbuat hal yang sama, yang tak kalah hebat dari iblis dan anak-cucunya…”

#16. Katakombe Santa Fallecia by Agus Noor

Kepercayaan dan kontradiksi. Rahasia sakit yang diderita, dan pengorbanan untuk anak memang sepanjang masa.

“Bila pun kamu tak percaya doa, tak ada salahnya bila kamu mendoakan ibumu.”

#17. Percintaan Terakhir M by Bernard Batubara

Tinder, dan gelagat aneh M. Cinta dan nafsu di dunia digital, seinstan itu.

“Mantan mertuaku juga menganggapku alien…”

#18. Kukirimkan Padamu Sebuah Hari dari Masa Depan by Eko Triono

Kiriman masa dari masa depan yang bahagia.

“Hasrat kadang seperti haus yang diberi air laut.”

Mungkin karena usia juga, selera saya sekarang memang yang sederhana-sederhana saja. Makanya saya malah memilih cerpen Sembilan yang Kedelapan karya Asmi sebagai yang terbaik. Cerita ketemu mantan pasangan, yang dirayakan dengan sederhana dan aneh pula. Tak perlu muluk-muluk, tak perlu pakai kata futuristic nan fenomenal untuk membuat takjub pembaca. Hal-hal yang umum dan dekat dengan pembaca dan berhasil meletup emosi adalah bukti keberhasilan cerita, dan Sembilan yang Kedelapan tentu saja sangat membumi, dan dekat. Semua orang makan, semua orang berpesta di rumah makan, semua orang pernah mengalami cinta, memeluk kekosongan yang buat fun.

Oiya, mayoritas cerpen ini saya masukkan dalam program Menjalankan Wejangan Ray Bradbury. Dibaca nyaman satu cerpen satu hari. Sebuah kehormatan sejatinya, bahkan saya isi di sela kumpulan cerpen dunia, dan buku tebal cerpen Ernest Hemingway, yang juga kubeli dari Warung Sastra. Mengalir dan nyaman…

Mata Penuh Darah: Dua Peristiwa, 1966 – 2033 | by Faisal Oddang, dkk. | Penyunting Tim Redaksi | Rancang isi Tim Redaksi | Ilustrasi isi Marwa Pipit, Mutiara Arum K.S. | Ilustrasi sampul Bambang Nurdiansyah | Rancang sampul Katalika Project | ISBN 978-602-6657-98-4 | 206 halaman | 14×20 cm | Cetakan pertama, April 2018 | Penerbit Shira Media | Skor: 3/5

Karawang, 030522 – Tasya – Ketupat Lebaran

Thx to Warung Sastra, Yogyakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #3 #Juni2022

Mata Malam – Han Kang

Harus menyerah, jika pilihan lainnya hanya mati, kalian harus membuang senapan dan langsung menyerah. Cari cara untuk menyelamatkan diri.” Mereka sedang berjalan dalam barisan. Mengikuti perintah kami, mereka berjalan dalam satu barisan sambil mengangkat kedua tangan. Apakah dengan begitu mereka selamat?

Tidak tahu. Karena sepertinya itu hal yang wajar untuk dilakukan. Kisah tentang tragedi di Korea Selatan pada tanggal 18 Mei 1980, bagaimana sebuah demonstran buruh, mahasiswa dan warga dibubarkan dengan kekerasan yang mengkibatkan banyak kematian. Uprising Gwangju menjadi sejarah hitam Negeri Gingseng laiknya peristiwa pembersihan PKI tahun 1965 di Indonesia, semakin mengesahkan bahwa era diktator memang harus diruntuhkan. Katanya, bulan adalah bola mata malam.
Aku bahkan tak bisa mengeluarkan suara untuk berdoa sampai selesai.

Tuhan akan memaafkan dosa kami, seperti kami memaafkan mereka. Aku tidak memaafkan dan dimaafkan siapapun. Buku dibagi dalam tujuh bab yang berarti ada tujuh karakter yang diambil sudut pandang.

#1. Burung Kecil (Sang Pemuda, 1980)
Bagian dalam cermin adalah dunia dingin dan tenang. Ia diam memandang wajah asing yang menatapnya dari dunia ini, memandang pipi yang masih lembam kebiruan. Butuh waktu beberapa halaman untuk memahami Mata Malam ini akan ke arah mana, dah biasa saya ga baca kover belakang, takut kena spoiler. Pembukanya adalah narasi berisi sebuah gedung yang mencekam karena mayat bergelimpangan, sederet panjang ranjang berisi orang mati, dan ini bukan yang terakhir karena akan datang lagi truk berisi lebih banyak tubuh terluka atau sudah tak bernyawa. Karena memang ga paham Korea, maka saya ngalir saja sampai pada satu titik klik bahwa kekejaman ini dilakukan oleh tentara pemerintahan yang menembaki warganya sendiri. Kamu merasa aneh melihat mereka menggelar bendera Korea di atas peti mati dan mengikatnya kuat-kuat dengan tali. Kenapa mereka menyanyikan lagu kebangsaan untuk orang-orang yang dibunuh oleh tentara? Kenapa mereka menyelimuti peti mati dengan bendera Korea? Seolah-olah yang membunuh mereka bukan Negara. Ia baru berusia 15 tahun saat hari naas itu terjadi.

Ya, ironis memang. “Benar, bau busuk bisa hilang jika kita menyalakan lilin.”

#2. Napas Hitam (Kawan Sang Pemuda, 1980)
Ketika seseorang masih hidup, di mana gerangan burung kecil yang pergi ketika orang itu mati? Di dahi yang berkerut, di bagian atas kepala seperti lingkaran cahaya, atau di suatu tempat di jantung? Berikutnya kita diajak berpindah karakter, kalau yang pertama adalah sang pemuda (lebih tepatnya sebenarnya remaja), kita sekarang ke kawannya yang sudah mati. Ia menjadi saksi tumpukan mayat, betapa malaikat kematian begitu sibuknya. Bahwa di dunia sesaat setelah kematian, satu jiwa dengan jiwa lain tak bisa komunikasi, mereka hanya bersinggungan, dimensi yang sama frekuensi lintas yang beda. Kekejaman militer dikupas sedemikian mengerikan. Padahal hanya bunyi tetesan air, tapi aku mengingatnya, seakan-akan ada orang yang datang.

Manusia meninggal yang menghuni dunia antara. Ke mana jiwa pergi ketika raga sudah mati? Mendadak kamu berpikir begitu. Berapa lama jiwa bertahan di sisi raganya semula?
Yang menakutkan itu tentara. Orang mati sih tidak menakutkan.”

#3. Tujuh Tamparan (Sang Penyunting, 1985)
Sudut berganti dengan aneh, sekarang kita menjadi seorang penyunting. Melesat lima tahun kemudian. Tentang peristiwa berdarah itu, ditulis, diedit, disunting hingga nantinya akan disebarluaskan – diwartakan. Pihak Pemerintah tentu saja menyunat segala hal yang buruk tentang mereka. Sang penulis dicari, penerbit diancam, jurnalisme dibungkam. Terdengar familiar dengan periode kelam Indonesia masa Orde Baru? Ya, di Korea hal seperti ini ternyata juga terjadi. Di Korea Selatan yang sekarang tampak sangat maju itu, tahun 1980an masih mencekam. Aku tidak akan menghabiskan hidupku hanya untuk melindungi diri sendiri.

Tiba-tiba kamu berpikir jendela itu seperti sesuatu menghembuskan napas yang panjang. Malam, seperti makhluk raksasa, membuka mulut untuk menghembuskan napas dingin yang lembab. Udara panas yang tadi memenuhi kantor tertutup, terisap ke dalam paru-paru kelam. Tujuh tamparan untuk perempuan itu terjadi sore jam empat di tengah pekan. Keras dan berkali-kali. Bukan keluhan yang tercipta, tapi sebuah kesumat tulus untuk menegakkan kebenaran. Gulingkan Chun Doo Hwan si Penjagal. Aku ingat perasaan tidak takut lagi, perasaan rela mati, perasaan segar, seakan-akan darah puluhan ribu orang terkumpul membentuk satu pembuluh darah.

#4. Besi Dan Darah (Sang Tahanan, 1990)
Aku butuh lebih banyak kenangan. Aku harus memutar kenangan, lebih cepat lagi, agar tidak terputus. Ini sama seramnya. Setelah bercerita para korban yang meninggal kita diajak menjadi korban yang selamat, ditahan, disiksa, diintimidasi hingga traumatis bak zombie, sepuluh tahun kemudian. Kisahnya detail di hari berdarah itu bahwa banyak anggota demo sebenarnya yang memegang senjata tapi mereka tak menggunakan untuk benar-benar melindungi diri, banyak remaja, anak-anak dan sang karakter utama yang terlihat senior pun baru berusia 23 tahun. Divonis sembilan tahun, tapi tak sampai setahun dibebaskan bersyarat, bebas apa? Hati mereka remuk redam atas penyiksaan. Seandainya masa pada musim panas semi tahun itu kembali lagi, kamu mungkin akan mengambil jalan yang serupa. Seperti ketika kamu hanya sibuk menghindar dalam permainan menghidari bola waktu dirimu masih SD, sampai akhirnya kamu harus memegang bola karena hanya dirimu sendirian yang tersisa.

Kita pikir senapan bisa melindungi kita.”

#5. Bola Mata Malam (Sang Gadis Buruh, 2002)
Bukan berarti pula kelompok massa pertama bersifat biadab. Kebiadaban yang memang pada dasarnya ada pada manusia, pada mereka hanya menjadi ekstrem akibat kekuatan massa. Sang pencerita berikutnya adalah korban yang tampaknya hanya ikut-ikut demo, selalu memanggil kak Seong Hee. Menurut konstitusi, kita sama berharganya dengan orang lain. Berarti kita juga punya hak yang setara, menurut Peraturan Buruh. Mengandalkannya, menjadikannya panutan, segala hal yang disampaikan menjadi acuan tindakan. Di tahun 2002 ia diminta wawancara media, tapi menolak. Akhirnya dikirim rekorder agar menyampaikan hal-hal yang ingin disampaikan, merekam sendiri. Kemudian kita tahu betapa berat masa itu. Menghadapi hari esok dalam hilang hasrat, bahkan ketika halaman bab ini akan habis saya sampai hampir menangis, bagaimana manusia bisa sekejam itu mengambil hak hidup dengan tangan-tangan kotor. Ke mana nurani pergi?

Apakah kamu bisa bersaksi dan mengatakan bahwa kamu menderita karena kecupan singkat, karena sentuhan tangan di pipimu, dan bahkan tatapan mata yang singgah di lengan dan betismu pada musim panas? Kamu berdiri terdiam tidak tahu ke mana perginya sesuatu yang bagai burung kecil itu saat melihat wajah keriput nenek yang telah berubah menjadi mayat.

Ya, saya dengar.”

#6. Ke Arah Bunga Mereka (Ibunda Sang Pemuda, 2010)
Ini bagian paling menyedihkan. Menjadi sang ibunda korban tragedi. Sebagai janda yang membesarkan tiga anak, anak pertama bekerja ke Seoul, anak kedua hidup dalam satu atap dan si bungsu adalah remaja yang tewas di bab pertama. Kejadian saat hari H sungguh ‘menggemaskan’. Sang ibunda malam itu sudah datang ke gedung dengan anak nomor dua, mencari si bungsu. Dibentak petugas, diminta kembali pulang oleh tentara dengan acungan senjata, karena sekarang berlaku jam malam. Awalnya anak keduanya melawan, memaksa. Namun dengan tenang sang ibu memintanya mengalah pulang, ia tak mau kehilangan anaknya lagi. Dan esoknya kita tahu, si bungsu tewas. Gemas, karena misi menyelamatkan nyawa orang terkasih itu hanya sejengkal dalam gedung, dibatas tembok saja! Sedih, menyedihkan sekali dunia ini. Katanya, pohon hanya bernapas satu kali sehari. Mereka menghirup dalam-dalam cahaya matahari saat terbit, kemudian mengembuskan dalam-dalam karbon dioksida saat matahari terbenam.

Dong Ho…, hiks.

#7. Lampu Berselimut Salju (Sang Penulis, 2013)
Aku dihadiahi radio kecil oleh seseorang. Radio itu bisa memutar balik waktu. Katanya aku hanya perlu memasukkan tanggal ke layar digital radio itu. Aku menerima dan memasukkan waktu ’18:05:1980’. Aku harus ke tanggal itu jika aku ingin menulis tentang peristiwa 18 Mei. Yang terakhir kita menjelma menjadi sang Penulis, Han Kang. Ia menuturkan bagaimana jalan liku untuk menulis kisah ini. Ditelusur, dicek and ricek, wawancara, meminta izin pada para keluarga korban, dan alasan mengapa kisah ini harus dituturkan. Saat Uprising Gwangju terjadi, Han Kang baru berusia sepuluh tahun.

Sekarang kita sudah memiliki raga, jadi seharusnya kita tidak perlu menggerakkan tubuh jika ingin bertemu. Namun kalau aku tidak punya tubuh, bagaimana caranya menemui Kakak? Bagaimana aku bisa mengenali Kakak yang tidak bertubuh? Ada ingatan yang tak bisa sembuh. Ingatan tersebut tidak memudar seiring berlalunya waktu, tapi malah akan menjadi satu-satunya yang tersisa ketika segala yang lain terkikis.

Well yeah, saya tak mengikuti segala hal berbau Korea. Saya tak tahu musik-musik K-Pop, drama K-Pop, atau sekedar selintas lewat di beranda sosmed langsung saya skip. Lebih bikin males, mereka memiliki nama-nama yang mirip. Di ulasan ini saya hanya menyebut tiga nama dan saya yakin seminggu lagi hanya satu yang akan kuingat, mungkin sebulan kemudian lupa semua nama-nama karakternya. Hanya sang Penulis yang mudah diingat. Kecuekanku ini, termasuk dunia literasi dari Negeri Gingseng. Kenapa saya putuskan baca ini, yang pertama ini adalah terbitan Baca. Saya sudah baca dua terbitan lama mereka, keduanya masuk best 100 Novel versiku: Herman Hesse: Stephenwolf dan karya William Golding: The Lord of the Flies (Apakah mereka dari Penerbit yang sama? Entahlah). Kiranya mereka fokus ke karya terjemahan sastra dunia, maka saat dari Penulis Vegetarian yang mengalahkan buku Eka Kurniawan ini dialihbahasakan, hanya masalah waktu saja saya pasti nikmati. Jadi wujud lahap buku ini bukan karena Korea-nya tapi penghargaan Man Booker International Prize 2016. Ini penghargaan jaminan mutu. Kedua ini adalah buku hadiah dari rekan sekerja Iyul yang bulan lalu resign untuk fokus jadi IRT. Sejatinya kalau Iyul ga belikan buku ini (dan Seribu Kunang-Kunang di Manhattan) saya juga akan beli paket 100,000 tiga buku itu (bersama Vegetarian dan Kafka), tapi justru saya malah dapat durian runtuh bahwa Mata Malam sudah pesan di Dema Buku, yo wes jadinya budget itu saya alihkan untuk Harbolnas kemarin, meluncur ke Mizan Store.

Jadi seberapa bagus kisah tragedi Uprising Gwangju ini? Rekomendasi dah, untuk penikmat sastra yang butuh konsentrasi lebih. Kata-katanya disusun dengan jeli, terjemahan Ok banget, hanya menemukan satu typo: rasa rakut – halaman 60; kover fresh dalam artian Mata Malam sendiri adalah bulan dengan coretan urek-urekan bulan hitam. Terima kasih Penerbit Baca, terima kasih Dema Buku, terima kasih sekali untuk Iyul.

Sepertinya Vegetarian dan karya Han Kang berikutnya yang beralih bahasa Indonesia tinggal tunggu waktu yang tepat untuk kubaca. NexT…

Mata Malam | By Han Kang | Diterjemahkan dari Human Acts | copyright 2014 | First published in Korea by Changbi Publishers, Inc | Indonesian translation rights by Baca Publishing House, 2017 – Bentang Aksara Cahaya | Penerjemah Dwita Rizki | Penyunting Arif Bagus Prasetyo | Pemeriksa aksara Moh. Sidik Nugraha | Penata isi Aniza Pujiati | Perancang sampul Wirastuti – TEKOBUKU | Ilustrasi sampul Freepik | Cetakan I: Oktober 2017 | ISBN 978-602-6486-12-7 | Skor: 4/5

Karawang, 12-131218 – Sherina Munaf – Ada

Mata

Gambar

Entah setan apa yang menghinggapinya, hari ini Juan Maguel Mata Garcia (akan) bergabung dengan Setan Merah. Setelah tiga hari penuh mengisi headline gossip transfer winter, akhirnya sore tadi Mourinho mengizinkannya pergi ke Manchester United. Patut disayangkan sebenarnya karena selama dua musim beruntun dia adalah pemain terbaik pilihan supporter. Dengan bandrol yang kabarnya mencapai 37 juta Pound (akan jadi pemain termahal MU sekaligus pemain yang paling mahal dijual Chelsea), The Blues masih untung karena ketika musim panas 2011 dia dibeli dari Valencia seharga 23,5 juta Pound.

Mata mengawali karir profesionalnya di Valencia tahun 2007, setalah menjadi pemain muda binaan Real Madrid. Dia jadi pujaan publik Mestalla walau usianya masih sangat muda. Selama empat musim, Mata mengoleksi 43 gol dari 179 penampilan. Setelah tampil bagus bersama El Che, Mata menarik minat pelatih baru Chelsea saat itu, Andre Villas Boas (AVB). Mata adalah rekrutan pertama dan prosesnya sangat cepat. Kala itu, AVB hanya berujar sangat menginginkan gelandang kiri Spanyol tersebut, tak ada dua hari dia resmi berlabuh di Stanform Bridge. Kalau dillihat sekilas, tampangnya memang mirip AVB. Berjampang, cakep. Awalnya Mata diproyeksikan untuk menyokong penyerang Spanyol, Torres yang selama di tangan Don Carlo redup namun malah Mata yang justru bersinar. Mengenakan nomor keramat 10, lungsuran dari Benayoun, dia melakukan debut saat menang 3-1 atas Norwich City. Mata termasuk pemain yang berkontribusi besar mengantar Chelsea juara Liga Champion untuk yang pertama kalinya di akhir musim 2011/2012. Tak salah jika true blue menyukainya. Menjadi pemain kedua setelah Ruud Gullit tahun 1996 yang menyabet best player di musim perdana.

Di musim keduannya, bersama midfield baru Oscar dan Hazard yang begitu mobile di tengah, Mata tetap tak tergeser. Lini tengah Chelsea begitu padat dan sungguh mumpuni, dia tetap stabil penampilannya. Sempat terseok di liga, Chelsea yang berganti nahkoda dari Di Matteo ke Benitez, mengakhir musim dengan gelar Piala UEFA. Gelar yang sejujurnya tak pernah dalam pikiran kita dan sekali lagi dia terpilih menjadi pemain pujaan fan.

Di musim 2013/2014, Chelsea memasuki era baru menyambut pulangnya the Special One. Gegap gempita Bridge ternyata tak segemelap hati Mata. Pernyataan Jose Mourinho yang secara gamblang mengatakan tak akan cocok permainan Mata dengan strateginya membuatnya tak mendapatkan tempat di tim inti. Waktu itu Jose pernah berujar bahwa dua pemain dipersilakan pergi yaitu Mata dan Luiz. Sebagian fan berang, namun banyak yang santai saja. saya di tengah-tengahnya. Saya sebal kalau dua bintang tersebut tersingkir sementara pas Jose resmi berlabuh ke London saya juga pernah berujar, silakan pilih pemain kesukaan Jose. Selama di tangannya saya optimis Chelsea akan banyak mendulang gelar. Kegalauan fan awalnya tak terbukti, keduanya tetap dalam tim walau minim menit bermain.

Namun saat tahun berganti dan Mata hanya tampil 17 kali, itupun tak penuh dan tanpa gol spekulasi kembali menyeruak. Penampilan terakhir Mata berseragam Chelsea adalah saat menumbangkan Soton 2-0. Saat itu Mata yang starter dan memberi sedikit kontribusi, saat babak kedua belum lama berjalan dia diganti Oscar, saat itulah bahasa tubuh kekecewaan Mata terlihat, dia tak bersalaman dengan Jose dan berjalan lunglai keluar lapangan. Tertunduk sedih. Media pun mencium adanya kemungkinan dia cabut, mengingat ini adalah musim piala dunia sehingga Mata butuh menit bermain lebih untuk satu tempat di timna Spanyol.

Gambar

(ini nih gambar yang ramai diperbincangkan)

“Saya ingin agar dia berada di sini. Saya tidak ingin dia pergi, itulah keinginan saya. Tetapi pintu saya terbuka, pintu klub juga terbuka untuk Mata jika ingin keluar,” Mourinho pasca laga lawan Soton..

Inilah mind game ala Mourinho. Tak ingin pergi namun pintu selalu terbuka. Benar saja, tak ada menit bermain lagi untuknya, kegalauan Mata akhirnya membuka pintu negosiasi dengan manajemen Manchester Untited. Hanya berselang dua hari, keluarga Mata sudah mengkonfirmasi bahwa dia akan ke Old Trafford. Agen Mata langsung terbang dari Spanyol ke Inggirs. Awalnya harga Mata ada di angka 39 juta, namun United menawar 35 juta. Chelsea meminta 37 juta dengan tambahan paket Rooney, mereka menolak. Namun sang pemain sudah berniat cabut sehingga akhirnya Chelsea meminta harga 37 juta, MU menyanggupi. Kamis (23/01) Mata medical, dan Sabtu siang nanti ini tinggal konfirmasi resmi atau 48 jam berselang. Well, ini tawar-menawar kayak di pasar loak aja ya.

Dengan kepergian Mata ke Manchester United, maka berakhir pula cintaku padanya. Kontrak berdurasi lima tahun itu hanya berjalan separuh, yang saya sayangkan adalah Mata ke rival EPL. Walau banyak yang bilang ini strategi Mou untuk merengkuh gelar EPL, karena MU dan Chelsea sudah bersua dua kali maka head-to-head dengan rival big four akan terjadi dengan Mata di dalamnya. Tapi tetap saja saya kecewa. Sesuatu yang lumrah kalau fan benci klub lawan, MU adalah rival langsung Chelsea dalam pemburuan gelar dalam satu dekade ini. Sayang sekali Mata malah pilih ke sana, padahal tahun ini MU hampir bisa dipastikan nir-gelar. Kalau menit bermain, masih banyak klub lain yang siap menampung. Jadi sebelum kata resmi pindah, saya sudah bisa berucap selamat tinggal kepada Mata. MU menyelamatkan Mata untuk menyelamatkan MU. Semoga tak menyesal menyebrang ke Reds Devil. Jadi bagaimana nasib David Luiz selanjutnya?

Karawang, 250114