November2022 Baca

Karena kau perempuan, Nduk. Cah ayu yo kudune menikah, punya suami lantas mengabdi. Kuwi kodrate wong wedhok.” – Tabula Rasa, Ratih Kumala

Bulan Anniversary ini dilewati dengan banyak degub mengkhawatirkan. Pekerjaan menuntut untuk keluar kota hampir setiap minggu. Piala Dunia sudah dimulai, kini memasuki partai-partai akhir grup, hingga kesibukan di rumah yang memang butuh perhatian. Yang paling menyedihkan, teman istriku divonis sakit parah, #GWSAbu sakit kepalanya ternyata tak sekadar sakit kepala.

Lalu keputusan mengambil sepeda listrik (4.4 juta tunai, dari koperasi) merupakan langkah maju untuk membantu transpotasi, tapi langkah mundur dengan cicilan sejutaan di koperasi, makin banyak utangnya.

Dan hilangnya Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2022, setelah kepergiaan Richard Oh, belum ada yang meneruskan. Sehingga November yang biasanya rekap baca buku lokal melimpah, kini sedikit sekali. Saat menyadarinya, baru baca fiksi lokal 21 buku. Jauh dari rekap tahunan, makanya Desember ini saya fokus mengejarnya. Namun tetap, semuanya mengalir sahaja…

#1. A Dash of Magic by Kathryn Littlewood

Kisahnya tampak klise. Kompetisi masak Internasional di Paris dengan sihir menyertai, dan peserta finalnya adalah saudaraan. Kemungkinan seperti itu sangat amat kecil terjadi di dunia nyata. Seperti kompetisi catur dunia, apakah pernah terjadi final dalam satu keluarga? Atau mungkin satu Negara? Sekalipun fiksi, tetap pijakan utama adalah kehidupan kita. Sekalipun sihir, tetap logika kehidupan harus dijadikan acuan. Dan banyak sekali trik yang disampaikan juga tak se-majic yang diagungkan, atau seseru buku satu. Trik-trik curang demi menjadi nomor satu, disajikan dengan plot kanak-kanak. Cara pemilihan pemenang juga begitu sederhana, tak serumit kompetisi Chef memasak tingkat RT, apalagi tingkat TV Nasional yang lebai. Jelas, kisah di buku ini sebuah penurunan. Dengan bekal kata, “Mengalir saja”, semuanya memuncak di Paris yang glamor. Nyaris tak ada kejutan berarti. Mungkin keunggulan utama buku ini adalah cover yang ciamik. Enak dipandang mata saat disusun rapi di rak.

“Kita selesaikan masalah satu-satu, Mi Hermana, pertama kita dapatkan bunyi lonceng dulu.”

#2. How the World Works by Noam Chomsky

Lega. Itulah perasaanku setelah bertahun-tahun coba menyelesaikan baca buku ini. Kubeli tahun 2015, sempat menggebu membaca di awal. Down di tengah jalan,. Tahun 2016 sempat pula coba kulanjutkan, dan kembali tertunda. Dan begitulah, tertimbun buku-buku lain. Terlupakan. Memang bukan buku yang santuy, bahasannya berat. Politik, dan begitu kritisnya banyak ungkapan-ungkapan yang bikin pemerintah panas.

“Ada kasus yang sangat solid untuk didakwa setiap presiden Amerika sejak Perang Dunia Kedua bertanggung jawab atas berbagai peristiwa berdarah di seantero dunia. Mereka semua merupakan penjahat perang atau setidaknya dalam kejahatan perang yang serius.”

#3. Marxisme, Seni, Pembebasan by Goenawan Muhammad

Penuh dengan kutipan. Sampai-sampai tak tahu mana pemikiran asli penulis, mana kutipannya. Buanyaaaak banget. Aneh rasanya membaca kutipan bertumpuk-tumpuk dalam satu paragraph panjang. Menelusur masa lalu dengan Marx sebagai pusatnya, didedah dan diuji ketahanannya oleh masa. Dan setelah lebih seabad Marx rasanya abadi, dilihat dari sudut manapun, layak didiskusikan. Sosialisme mengklaim, reliji juga, seni, ideology hingga manzhab lebih tinggi terkait tafsirnya sungguh liar. Dan buku ini hanya sebagian kecil darinya. Apalagi saya sedang baca Teori Sosiologi Modern, di mana Marx menyita halaman (otomatis perhatian) sangat tinggi.

“… keindahan yang benar-benar, yang tertinggi adalah keindahan yang dijumpai oleh manusia di dalam dunia kenyataan dan bukanlah keindahan yang diciptakan seni.” – Chernishevski

#4. The Hundred Secret Sense by Amy Tan

Ini jelas lebih mudah dicerna ketimbang The Joy Luck Club yang plot-nya berlapis. The Hundred Secret Senses sekalipun menyertakan dunia yin yang absurd dan mengundang arwah untuk berdiskusi, mengunjungi hantu-hantu masa lalu untuk membantu memahami masa kini, setidaknya alurnya masih runut. Sudutnya fokus pada Olivia, yang lainnya hanya sempalan, atau kalaupun keluar jalur, hanya mencerita detail yang menunjang. Kwan jelas begitu dominan menemani, sebagai kakak-nya yang paling setia, Kwan justru tokoh terpenting, terutama aspal cerita yang padat, dan eksekusi kunci di endingnya yang tak terduga.

“Janji mengajakku ke bioskop atau kolam renang akan mudah terhapus dengan dalih lupa, atau lebih buruk lagi, variasi-variasi licik mengenai apa yang dikatakan dan dimaksud.”

#5. The Art of Novel by Milan Kundera

Kundera menulis dengan semangat merayakan lelucon. Dari judul-judulnya sudah terlihat. Harus membaca buku-bukunya dulu untuk bisa menikmati secara maksimal buku ini. Saya baru membaca empat: Pesta Remeh Temeh, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Identitas, dan Kealpaan. Dan itu tak cukup. Selain mengupas novel-novelnya, kita juga diajak bersafari ke novel-novel hebat sebelumnya. “Kita sering mendengar trinitas suci novel modern: Proust (belum baca), Joyce (Ulysses belum baca), Kafka (sudah baca). Menurut saya, trinitas itu tak ada. Kafka memberikan orientas baru, yaitu orientas post-Proustian. Caranya memahami diri sungguh-sungguh mengejutkan.” Ya, ketiganya sangat dominan dikupas, ditambah Cervantes (belum kubaca), Schweik (sudah kubaca), hingga Balzac. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang kunikmati. Ada tiga kebijakan utama yang wajib dikembangkan manusia: toleransi, humor, dan imajinasi.

“Novel memiliki kekuatan untuk menggabungkan puisi dan filsafat, bukan sebaliknya.”

#6. Menyingkap Rahasia Akhirat by Al Ghazali

Luar biasa. Karena ini hal yang baru, saya terpesona. Alam akhirat yang misterius itu dijelaskan dengan gamblang, bagaimana kehidupan setelah kematian. Dari mulai detik-detik kematian, hingga putusan akhir penghakiman pada-Nya. Ini versi Islam, artinya segalanya bersumber pada Al Quran dan Hadist sehingga, diluar itu tak disinggung sama sekali.

“Tak ada yang bisa menyingkap rahasia-rahasia akhirat kecuali orang yang menguasai ilmu-ilmu keakhiratan.”

#7. Tabula Rasa by Ratih Kumala

Kisah sedih di Rusia, kisah sedih di Yogyakarta, kisah sedih di Kanada. Asmara yang yang melilit para karakter. Temanya berat, sebab melibat homo dan lesbi serta kematian-kematian orang terkasih. Mainnya jauh, sampai Benua Amerika dan Eropa. Bagi jelata macam saya, jelas tak relate. Banyak kejanggalan, atau mungkin tak nyaman dinikmati orang kebanyakan. Mahasiswa pintar yang mengikuti kemanapun ayahnya ditempatkan bekerja, tak main-main antar kota, tapi sudah melintang ke Rusia. Dan sesuai catatan sejarah di awal 1990-an terjadi perebutan kekuasaan yang mengambil banyak nyawa warga, termasuk sang kekasih. Lalu masa merentang sedasawarsa di Yogya, kini ia sudah dewasa dan menjadi dosen. Menemui rasa cinta lagi kepada salah satu mahasiswinya. Gayung seolah disambut, tapi enggak juga sebab, sang kekasih memiliki penyimpangan seksual. Dan begitulah, aliran kisahnya berkutat di masalah hati, dan tindakan. Mengikuti kata hati ataukah menjadi warga kebanyakan yang legowo?

“Kamu jangan mondar-mandir aja, kayak setrikaan.”

#8. Jejak Sufi Modern by Abu Fajar Alqalami

Lucu. Mungkin tak seberat buku-buku sufi kebanyakan, mungkin pula dan sak-klek sama aturan Islam yang kaku. Ini malah jadi sejenis diskusi, seorang awam agama, bertanya kepada pendiri pondok pesantren. Rasanya tepat, sebab biar ahlinya yang menjawab. Maka kiai Badrun memberi petuah-petuah hidup, yang mungkin bagi kita sudah umum (atau malah usang). Dasar agama, tuntunannya, hingga rasa syukur. Yang menarik, diskusi itu mengalir nyaman, dan apa adanya.

“Hujan sudah reda, kita jalan lagi.”

#9. Poison by Sara Poole

Novel renaisans di Italia. Tentang hari-hari menuju penunjukan Paus baru. Ini bisa jadi fiksi di sisian sejarah. Paus lama, yang sudah tua dan sakit-sakitan segera mengeluarkan dekrit yang sama dengan perintah dari Spanyol bahwa warga Yahudi akan dimusnahkan, atau diusir dari negerinya, tapi sebelum dektrit itu dirilis, drama terjadi di dalam istana. Racun menjadi alat bunuh yang umum, dan begitulah Francesca Giordano, ahli racun itu melaksanakan tugasnya. Di Roma yang panas, dan sejarah mencatat Rodrigo Borgia menapaki puncak kekuasaan.

“Apakah kauyakin ingin melakukan semua ini?”

#10. Wasripin & Satinah by Kuntowijoyo

Tak menyangka arah buku ini akan ke sana. Ini adalah novel kedua Kuntowijoyo yang kubaca, setelah Pasar yang fenomenal itu. Yang ini tampak lebih kompleks dengan ending yang lebih berani. Kritik politik dari arus bawah hingga pusaran pusat yang njelimet. Pasangan yang saling mencinta, dengan segala kekurangan dan segala kehebatan masing-masing, di puncak ketenaran dan kegemilangan, segalanya berbalik. Wasripin yang bak nabi, dan Satinah yang secantik merak, akhir yang tak terduga. Benar-benar dibawakan dengan sangat bagus, mengalir dengan sangat nyaman dan begitu rapinya. Ah, rasa itu, kenapa terlambat disampaikan, dalam lamaran aneh dengan hasil pancing di pantai sepi ikan, dan jelmaan indah, lantas dihempaskan.

“Ah, pasti kura-kura dalam perahu.”

#11. Logika Falus by Tomy F Awuy

Kumpulan cerpen dari penebit Metafor yang legendaris. Temanya lebih banyak menelusup di area psikologi. Dari hubungan lesbi, pemikiran liar para lelaki, hingga kehidupan malam para Jakartan. Sebagai cerpen yang diambil judul, Logika Falus justru malah yang paling biasa, di mana dua pria mendebat seorang penyanyi kafe yang elok. Lalu berjudi, dan bagaimana diakhiri dengan antiklimaks.

“Ayahmu converso. Apakah kau tidak tahu itu?”

#12. Ranah 3 Warna by A. Fuadi

Buku lanjutan Negeri Lima Menara yang sungguh biasa sekali. Sebuah penurunan drastis, ini seperti orang yang menceritakan pengalaman hidupnya, dari lulus pesantren hingga meraih impian keluar negeri. Kuliah di jurusan Hubungan Internasional, ke Kanada impian itu diwujudkan. Tersebab saya sudah membaca Laskar Pelangi dan lanjutan, seolah ini pengulangan. Dan, karena ini lebih mapan, lebih tampak menjaga image. Artinya, orang pesantren yang alim ini tak banyak mencipta konfliks, sungguh main aman. Jadi tentu saja, membaca novel dengan minim konfliks adalah sebuah pengalaman standar.

“Logika bahasa penutup kau tidak jalan, terlalu lemah. Tapi yang lain sudah baik.”

#13. Prey by Michael Crichton

Keren banget. Partikel dan bakteri dicipta, dengan kamera berukuran nano, dan jadilah penemuan dahsyat. Awalnya jinak, lalu lepas, dan pada akhirnya mereka dengan cepat beradaptasi, menjadi makhluk hidup yang menuntut eksistensi. Di sebuah lab di tengah gunung, Jack sang perancang program, seorang IT expert itu tercengang sebab kode yang ia cipta kini menjadi liar dan mengancam umat manusia. Ternyata penyebabnya justru istrinya sendiri yang juga seorang penemu, Julia yang beberapa hari tak waras. Pasangan ini saling silang, dan sebelum makhluk itu membunuh orang lebih banyak, harus dimatikan, harus dimusnahkan.

“Jadi kesimpulannya sederhana. Mengelompoklah dan jangan menonjol.”

#14. Sepotong Hati di Sudut Kamar by Pipiet Senja

Buku harian yang jadi buku. Luar biasa. Kita tahu kehidupan pribadi Pipiet Senja yang menderita leukemia. Namun detail bagaimana kehidupannya dari kecil, remaja, hingga awal mula meraih impian membuat buku, jelas tak banyak yang tahu, kecuali lingkar pertemanan/saudaranya. Nah, dari buku inilah kalian akan menemukan banyak hal pribadi beliau. Kehidupan keluarga, percintaan awal, hingga perkenalan dalam dunia teater, sandiwara nulis novel, dst. Di era Orde Baru yang minimalis, konvesional, di mana karya ditulis tangan atau diketik di mesin ketik, perjuangan seorang penderita leukemia menjadi penulis sungguh sangat inspiratif.

Karawang, 011222 – Bon Jovi – Always

Pasar #18

“Kekayaan, kedudukan, kekuasaan, kepandaian, dapat mematikan rasa. Mati rasa berarti hilang kemanusiaan kita. Hidup ialah bagaimana kita merasakan sesuatu. Bukan bagaimana kita memiliki kemewahan, kekuasaan, kekayaan.”

Novel dengan penggambaran detail mengagumkan. Mencerita apa adanya keadaan pasar dan par penghuninya. Sejatinya setting hanya satu tempat dari mula sampai jelang akhir. Pasar dan situasi yang ada. Orang-orangnya juga itu-itu saja, berkutat melelahkan. Pada dasarnya menggambarkan sifat manusia yang mengingin nyaman, ketika terusik maka ia marah, dan saat keinginan-keinginan tak terkabul, jadi petaka. Minim konflik tapi sungguh menohok saat masalah itu dilemparkan ke pembaca.

Kisah utamanya hanya ada empat karakter yang dominan. Pak Mantri sebagai tokoh sentral yang bertugas menjaga pasar pemerintah. Pasanya ada di Gemolong, yang setahu ada di Sragen, tapi entah apakah setting di kota lain mengingat sang Penulis lahir di Yogyakarta. Kedua adalah tukang karcis, bawahan Pak Mantri yang tiap hari menarik uang ke para pedagang. Ketiga adalah Siti Zaitun, petugas bank yang kantornya bersebelahan sama kantor pasar. Keempat adalah antagonis kaya bernama Kasan Ngali. Ia memiliki rumah besar yang dekat pasar, ia banyak melancarkan aksi jahat.

Ya sudah, kekuatan cerita berkutat di situ saja sampai akhir. pak Mantri yang sudah sepuh jelas adalah generasi kolot yang berpikir secara tradisional dalam memecahkan masalah. Ia memiliki pagupon dengan burung merpati banyak sekali, sering mengganggu orang-orang baik penjual maupun orang sekadar lewat. Nah kasus pertama dikemukakan, merpati itu dianggap sungguh bikin sial. Sering mengambil makanan para penjual, tainya sembarangan, berisik, dst. Maka suatu pagi saat ditemukan seekor sekarat, marahlah Pak Mantri yang meminta Paijo mengusut siapa yang membunuh, meminta tolong Siti menyembuhkan. Haha.. padahal keduanya biasa saja, atau malah lega, keinginannya diwakilkan seseorang.

Berjalannya waktu malah makin banyak yang dibunuh, puncaknya orang-orang pasar pindah ke rumah Kasan Ngali, rumahnya dibuka untuk umum, tanpa dipungut bayaran, Paijo yang meminta karcis sering kali zonk, para pedagang banyak yang menolak bayar. Seteru itu sudah ada lama, tapi kali ini benar-benar ditabuh.

Siti Zaitun seorang muda yang mengeluhkan keadaan di desa sepi. Bank sepi, tak banyak yang menabung mengancam masa depannya di sana, sejatinya ia biasa saja, malah syukur dipindahkan ke kota sebab desa tampak tak menarik bagi darah muda. Apalagi tetangganya si tua yang banyak komplain.

Paijo adalah susunan terendah dalam karta ini, ia hanya pesuruh. Ia manut saja ditendang ke kanan ya ayoo, disepak ke kiri yo monggo. Perannya banyak disepelekan. Sebagai kaki tangan Pak Mantri ia memang seolah tak punya suara. Pagi sudah rapi-rapi, kadang bakar telo atau pohon di kumpulan daun yang menggunung setelah disapu. Ia sering kali pula menjadi pelampiasan amarah atasannya, nasib jadi pasukan.

Kasan Ngali adalah manusia tamak, bermasalah sejak dalam pikiran. Duda, dengan mantan istri berjajar. Ia membuka rumahnya untuk pasar jelas bukan murni kemanusiaan. Ia memiliki misi mempersunting Siti Zaitun yang polos. Tahu bank sepi, ia menabung banyak. Untuk menarik perhatian ia beli mobil dengan disopiri, walau mobil bekas. Seolah menjadi malaikat kebajikan, ia membebaskan tempatnya buat jualan, membagi-bagikan uang seolah uang tinggal metik dari dahan. Bahkan saat ada misi membunuh merpati, ia dengan arogan membeli setiap merpati yang berhasil ditangkap saat Pak Mantri akhirnya melepas siapa yang mau, lalu dilepas lagi, dengan memberi tanda bahwa merpati itu miliknya. Aksi paling menjijikan menurutku adalah saat memberi hadiah ke Siti Zaitun, ‘memaksa’ untuk dijadikan istri. Bagi Kasan Ngali satu jalan tertutup bukan berarti hilangnya jalan lain. Akal pedagang itu lebih banyak dari jumlah jalan ke Bank. Tak tahu diri, dan fakta uang tak bisa membeli segalanya diapungkan dengan sangat gemilang.

Begitulah, waktu bergulir dengan tenang. Minum teh dengan dengkur merpati, cahaya mentari menerobos jendela memercik ke tempat kita santai. Dunia yang damai itu pada akhirnya menjadi tujuan Pak Mantri, seolah ada sebuah klik. Ia melepas segalanya, ikhlas dan penuh kerelaan tak ada sebersit materi yang perlu diganduli. “Kalau macan mati meninggalkan belang, Pak Mantri mati meninggalkan tembang.”

Paijo yang pegawai rendahan seolah dijadikan titik baik untuk naik derajat. Hanya Paijo sungguh-sungguh terhina, emngutuki diri sendiri, tertawa ialah pernyataan kemarahannya yng terpendam. Ia menapaki banyak sekali pelajaran hidup. Dari Kasan kita belajar, menyombongkan kekayaan, satu dari sekian macam perbuatan yang tak patut dikerjakan. Menyombongkan kepandaian, menyombongkan kesaktian, menyombongkan pangkat, menyombongkan kekayaan.

Kritik sosial juga banyak ditemukan. Salah satu yang kusuka adalah seolah ini penggambaran politik. Sebab orang itu kalau sudah berpolitik lain soalnya. Yang benar bisa salah, yang salah bisa jadi benar. Dunia yang dipolitikkan ialah dunia yang dibolakbalik. Hati pembaca turut dibolak-balik merasakan sensasi kesedihan sesering tertawa lepas akan situasi yang dicipta.

Pak Mantri sebagai seorang priyayi pada suatu kesempatan diminta tolong membuat gubahan tulisan. Merasa tersanjung dan dibutuhkan. Namun ada kalanya ia kesulitan saat akan menulis surat complain ke polisi. Susahnya menulis, tak semudah mencangkul. Sebentar ia merenung-renungkan nasib mereka yang mengajar orang untuk menulis, para guru itu… kalimat pertama ialah yang sukar. Sesudah yang pertama meski akan berjalan dengan sendirinya…

Ada satu kalimat yang absud nan menawan. “Ia memegangi mulutnya, seolah takut akan keluar kata-kata yang tak pada tempatnya.” Membayangkan kalimat itu terbesit kejanggalan. Mulut ditutup takut kata-kata keluar. Bukankah otak yang menyusuh untuk bicara atau diam?

Teori kehidupan banyak sekali diapungkan. Salah satu yang asyik mungkin saat menyinggung nafsu. Kuntowijoyo ini mirip sufi ya. “Kita punya tiga macam nafsu. Nafsu amarah ialah yang membuatmu angkara, mendorong kepada perbuatan jahat. Nafsu lawamah ialah memberi pertimbanga, berada di tengah-tengah, bergoyang seperti timbangan. Dan nafsu mutmainah ialah yang menuntunmu ke kebaikan…”

Filsafat kehidupan tentu saja ada. Apa itu bahagia? “Soalnya ialah bagaimana kamu merasakan, bukan bagaimana sebenarnya yang terjadi. Rasa ialah kunci dari kebahagiaan.” Nah, intinya ada di rasa. Di situlah titik paling vital yang menjadi kunci kehidupan.

Dan karena ini mengenai Jawa dan budayanya. Nasehat untuk selalu, “Ingatlah bahwa kau orang Jawa, ketika engkau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain.” Menjadi poin kesekian yang laik dibagikan. Udar-udar roso, saling menghormati dan tenggang rasa.

Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Lulusan UGM fakultas sastra tahun 1969 lalu mengabdi di almamaternya. Tahun 1973 mendapat tugas belajar di Universitas Connecticut, USA dan memperoleh gelar M.A setahun berselang, sementara gelar Ph.D-nya diperoleh di Universitas Columbia dalam studi sejarah tahun 1980. Nama besarnya sudah melegenda, banyak bukunya tersebar di media sosial yang membuatku penasaran. Namun setelah baca esai Mahfud Ikhwan-lah saya benar-benar memutuskan menikmati karyanya. Pasar adalah novel pertama Kuntowijoyo yang selesai kubaca.

Buku ini kudapat dari giveaway Twitter @akudodo, kuselesaikan baca saat Isoman tiga minggu bersama buku-buku lainnya. Terima kasih.

Pasar | by Kuntowijoyo | Cetakan pertama, Maret 1995 dan kedua, November 2002 diterbitkan oleh Bentang | Cetakan ketiga, 2016 diterbitkan oleh Mataangin | Desain sampul Buldanul Khuri | Ilustrasi cover Anugerah Eko T. | Tata letak Erwan Supriyono | Penerbit MataAngin | ISBN 978-979-9471-26-0 | Skor: 5/5

Karawang, 180721 – The Cranberries – Loud and Clear

 #30HariMenulis #ReviewBuku #18 #Juli2021