
“Tak usah kita pikirkan ujung perjalanan ini…” – Jody
Sungguh mengguncang, memikirkan tindakan-tindakan ekstrem yang diambil oleh orang-oarng di dunia industri perfilman sekadar untuk mencipta karya lanjutan. Tak perlu memusingkan makna belibet dibalik kenikmatan kopi. Ini adalah film fun di tengah hutan. Misinya terdengar mulia, melawan perusahaan dzalim yang merebut tanah milik warga. Sengketa tanah, berujung perbudakan. Terdengar familiar? Sebuah kebetulan, bulan lalu kita mendengar seorang pejabat melakukan kerja paksa, lengkap dengan penjaranya beredar di sosial media, dan pahitnya di era digital ini, hal-hal seperti itu masih ada. Ben dan sobatnya Jody terseret dalam pusaran, nyali tinggi, aksi tak kalah tinggi.
Si kekar Ben (Chicco Jerikho) membantu warga untuk mempertahankan tanahnya dari penyitaan oleh perusahaan, sengketa itu mencipta demo dan akhirnya membuat Ben diculik untuk dijadikan pekerja paksa di dalam hutan. Secara dramatis, drama culik itu terjadi hanya sesaat setelah menelepon sobatnya Jody (Rio Dewanto) yang lantas melacak, melalui HP Ben yang retak, melalui Pak Hasan (Arswendi Nasution) seorang negosiator demo, Jody menelusur preman palak, yang berakhir pada penculikan yang lain. Apes tak bisa ditolak, Jody malah turut ditangkap.
Di sebuah hutan tersebutkan mereka terpenjara, menebang pohon, mengangkutnya, sistem kerja paksa modern (sejujurnya tidak ada tegang-tegangnya, kelihatan aktingnya), entah hutannya di mana, yang jelas memang tampak natural lengkap dengan nyanyian sunyi. Pemimpin pengawas adalah Aa Tubir (Yayan Ruhian), ia mudah marah, mudah pukul, apalagi saat dibuatkan kopi anak buahnya, kopi apa kolak?
Maka dari usulan Jody, Ben menawarkan jasa membuat kopi. Seorang barista, tentu saja terasa beda, sungguh nikmat. Dari menatap layar saja kita bisa mengecap lezat. Dari sinilah ia dapat akses, dan suatu malam mereka berdua berhasil kabur, berkat peta penghuni lain. Namun ternyata peta itu tak mengarah ke kota, tapi ke sebuah perkampungan kecil dalam hutan. Jody terluka kena tembak, parah, hujan, asing. Misi penyelamatan di tengah hutan yang rasanya mustahil.
Tersebutkan duo cantek Rinjani (Hana Prinantina) dan Tambora (Aghniny) and co. termasuk bocil imut Musang (Muzakki Ramdhan) dengan ketapelnya. Mereka penghuni asli hutan yang kehilangan pemimpin suku, yang ternyata adalah sang pemberi peta Maka disusunlah rencana pembebasan, misi penyelamatan yang memberi kita sungguhan aksi cepat nan lihai. Jadi ini menjadi film penyelamatan tahanan, tema kepahlawanan diapungkan. Disaji dengan rentetan tembak, panah melaju, adu fisik hantam sana-sini. Duduk dan nikmatilah, tak perlu memikirkan blooper, alur aneh, atau kok bisa-kok bisa-kok bisa lainnya. Musuh-musuhnya berjatuhan seperti lalat.
Saya belum menonton Filosofi Kopi, tapi saya sudah menikmati bukunya. dari sebuah kumpulan cerpen Dee Lestari yang tipis, naskah dikembangkan, dan meliar. Tak menyangka, buku terbaik Tempo tahun itu, lantas menjelma film action. Memang adaptasi bukunya tak ada, ini murni ide Bung Angga and co. yang mengubah drama jadi film bak-big-buk. Sah-sah saja, bebas. Namanya ide, boleh dituangkan, boleh dibiarkan.
Filmnya dicipta nyaman, alurnya mudah diikuti dan tertebak, mungkin bagian endingnya terasa kurang, kalau tak mau dibilang sungguh lemah. Sejago itu, seklise itu, sedrama itu. Saat di pemukiman hutan, terlihat sepintas ada warga mendorong bak beroda yang rodanya dibuat dari kayu! Wah seterpencil itukah? Padahal gaas sebentar bermobil kita sudah mendapati jalan raya. Malah tampak aneh sebenarnya, tanggung.
Seluruhnya tampak canggung aktingnya, maaf hampir seluruhnya. Entah tata kelola yang kurang atau memang sudah cukup dibuat seperti ini, taka da tegang-tegangnya. Saat jagoan tertembak, kita sudah meyakini bakal selamat, begitu pula saat jagoan yang satu tertembak, kita sudah antisipasi selamat. Terlihat kalang kabut hanya untuk mencipta air mata saja tidak berani. Maka suguhan di akhir, di mana kejutan yang disusun terasa gagal. Saling tembak dan tusuk, tapi sudah terlambat.
Sulit memang membuat cerita bagus di tengah gempuran hiburan yang meluap. Apalagi film aksi, perlu telaah mendalam, belum lagi koreo dan pengambilan gambar yang tentunya lebih rumit dibanding genre drama misalnya. Cerita bagus memang harus buat beda dan menyenangkan. Yang utama apapun sajiannya, bisa buku atau film jelas adalah cerita, tak perlu hingga hingar bingar padahal.
Tak perlu penuh pertarungan, yang sederhana dan berkesan sudah cukup. Dua film lokal sebelumnya yang kutonton adalah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas luar biasa indah, yang utama bukan bentuk retro, jelas ceritanya indah menyinggung adi kuasa lelaki yang lemah syahwat; dan Yuni yang drama abis. Tema feminism diapungkan, lalu diumbar menyerahkan ke penonton untuk menefasir sendiri. Keduanya memberi antusiasme, Ben and Jody membuat saya kembali membumi, banyak hal perlu diperbaiki. Film jenis Seperti dan Yuni, rasanya hanya segelintir dari puluhan yang menyedihkan.
Film ini sejatinya punya amunisi bagus dari Yayan Ruhian yang sudah mendunia, jaminan aksi lho, entah kenapa ia malah dikasih skrip ‘ayoooo tembak’, logikanya manusia seperkasa apa yang meminta tembak jarak dekat? Ada pula Fariz Alfarizi, teman Sherina di Wiro Sableng. Entah juga mengapa ia dikasih porsi aneh, mengawal dengan bego para tahanan dan perkelahian ala kadar. Luna Maya bahkan sekadar lewat, diberikan kepada artis cantik lain-pun tak akan beda. Dua cantek Hana dan Aghniny juga tak sayang sekali. Pada dasarnya kembali ke cerita. Dengan modal bagus itu bayangkan saja, orang-orang ini menggelar meja permainan, dan Yayan siap untuk bermain.
Padahal Luna Maya suruh duduk di kafe meresap kopi, berbicara filsafat saja itu akan jauh lebih menarik. Bayangkan, Luna menyilangkan kaki dengan rok pendek, membenarkan letak rambut, dengan senyum mengatakan sebuah kutipan Kierkegaard bahwa hidup manusia baru dimengerti dari belakang, tetapi harus dijalani dari depan. Segitu saja bisa mencipta seisi bioskop secara kolektif menarik napas dalam-dalam. Lalu mengutipnya di twitter.
Jadi kapan film action lokal bisa kembali memukau? Deret kecewa akan jauh lebih panjang. Pertanyaan itu selesu jawabannya.
Ben and Jody | Tahun 2022 | Indonesia | Sutradara Angga Dwimas Sasongko | Naskah Angga Dwimas Sasongko, M. Nurman Wardi | Pemain Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Yayan Ruhian, Hana Prinantina, Arswendo Nasution, Aghiny Haque, Luna Maya
Karawang, 120222 – Linkin Park – P5hng Me A’wy