Badla: Kau Ada di Sini Sebab Kau Ingin Berada di Sini


“Di manakah keadilan?” N.G. Cherneshebvski (1928-1889)

Apakah kita cukup kuat untuk membongkar sebuah kasus pembunuhan? Tagline-nya sangat pas dan sudah mewakili inti cerita: memaafkan setiap saat tidaklah benar. Film sejatinya hanya di kamar hotel, tapi dalam berkisah latar, lantas melalangbuana ke rimba ingatan. Berdua merangkai kesepakatan, bekerja sama saling silang pendapat dengan was-was menjaga atensi untuk membunuh kata. Waspadalah, ada orang lain yang ingin mengambil keuntungan dari informasi yang kau miliki. Ini adalah film perang kata-kata demi menegakkan keadilan.

Luar biasa. Aku terhenyak. Tak menyangka, tutur cerita yang disajikan sungguh samar, dan saat tirai itu dibuka, aku terkejut. Pintar sekali yang bikin cerita. Ide menyelidiki, menakar, menimbang berbagai kemungkinan, mengungkap kasus berat dilakukan orang sipil dan berhasil dengan gemilang saja sudah terdengar aduhai. Ini disajikan dengan nampan emas, dengan kuah melimpah masih panas dan segar, aromanya dahsyat. Detektif dengan pengungkapan menyenangkan. Sajian istimewa dari India, aku jatuh hati (lagi) sama aktor senior Amitabh Bachchan.

Kisahnya tentang pasangan selingkuh Naina Sethi (Taapsee Pannu) dan Arjun (Tony Luke) yang sama-sama sudah berkeluarga, berlibur ke Eropa. Sebuah telepon masuk dan menyadarkan mereka untuk gegas pulang, di perjalanan terjadi kecelakaan. Korban pemuda bernama Sunny Kaur langsung meninggal (setidaknya sampai di jelang akhir yang kita tahu), dalam kepanikan karena buntutnya akan panjang, mereka malah menjerumuskan diri dalam palung masalah dengan menenggelamkan korban beserta mobilnya di danau.

Saat bergegas, mobil mereka bermasalah dan muncullah penolong. Keluarga itu membereskannya, menjamunya, dan kini malah runyam. Sebab mereka adalah orangtua korban, saat HP anaknya dihubungi ada di kantong Arjun, dan ia berakting menemukannya di meja lantas dikembalikan. Well, jalan pintas mengatasi masalah itu kini justru menjadi jalan panjang nan berliku meliar parah.

Sekembali ke rutinitas, mereka mencoba melupakan, kembali ke keluarga masing-masing. Oh tidak bisa, perasaan dosa dan kesalahan itu menghantui, dan kasus ditelusuri sedetail-detailnya. Naina adalah seorang bos dengan kuasa besar di Perusahaan, kunci utama di sini, ia punya uang dan suka manipulatif demi kepentingan pribadi, Arjun sejatinya coba dihilangkan. Namun tidak, kasus malah makin rumit. Dosa satu menentang dosa berikutnya.

Di hotel lain, kita kedatangan tamu, atas saran Jimmy pengacaranya, ia meminta tolong pada pembela kondang yang dalam kariernya 40 tahun tak pernah kalah dalam bersidang. Badal Gupta (Amitabh Bachchan) akan disewa Naina, ia kena kasus berat tuduhan pembunuhan kekasih gelapnya Arjun di hotel. Badal meminta calon kliennya menjelaskan sejujur-jujurnya, sebab kalau ia tak jujur ia akan tahu dan kesepakatan batal. Maka dituturkan ulang kasus ini. Apa yang tampak di depan, itu direka ulang dengan berbagai versi dan sudut pandang. Ia mencoba membuat kita bingung, melahirkan keraguan dan membuat kita takut untuk memenuhi kehendaknya. Badal tahu ada kejanggalan, mengoreksi, menjelaskan, meluruskan. Kejujuran memang pahit, tapi berhasilkah disampaikan? Sebab sang penutur dilema, “Aku akan menjadi bukan hanya tertuduh pertama, tetapi malah menjadi tertuduh utama.”

Naina makin kagum akan pembela kondang ini, sebab telaah dan analisisnya tajam, bahkan kasus pembunuhan di hotel yang awalnya terpojok sebab kamar terkunci dari dalam, dan segala tuduhan mengarah kepadanya. Ia lalu menyusun alibi dan agak merasa tenang sebab meyakini ada orang ketiga, kepalanya berdarah kena pukul, dan ia masih berpotensi bebas. Namun kita kembali di awal, dari desa kecil Aviemore tempat kecelakaan yang menewaskan Sunny. Dengan pola acak dan plot liar, irisan bawang itu dikupas dengan sangat seru dan sabar, sampai pada keputusan final. Ok, akhirnya Naina mencerita seaktual mungkin, segamblang mungkin, sesadis mungkin. Kita baru tahu, ada ungkapan besar terungkapkan jelang Badla berakhir. Kali ini tepuk tangan saya membahana, penonton terpesona, tirai pertunjukan ditutup dengan sungguh meriah. Konveti ditabur berhamburan memenuhi panggung. Sensasi sedap cerita film berkelas baru saja terjadi.

Ternyata setelah browsing, ini adalah adaptasi dari film Spanyol berjudul Contratiempo (2016). Sudah sangat lazim, film dari satu negara didaur ulang negara lain. Entah aslinya bagaimana, yang jelas versi Badla benar-benar memukauku. Film-film India, kata Cak Mahfud menjadikannya keuntungan baginya, salah satunya ia tahu Akele Hum Akele Tum yang mengekor Kramer vs. Kramer, ia menepuk sekali, dua lalat terjerebab. Atau Ghulam yang menjiplak On The Waterfront, dan tentu saja Mann yang merupakan copyan An Affair to Remember. Kali ini adalah adaptasi resmi. Sejujurnya daripada bilang imitasi atau tiruan, mending adaptasi resmi. Rasanya lebih terhormat.

Amitabh Bachchan sukses besar memainkan orang cerdas yang selalu penasaran. Itulah yang membuat 100% ampuh, insting yang tajam. Saking lamanya tak melihat aktingnya, serasa nostalgia. Biasa nonton di tv tahun 1990-an, dulu rasanya ia sudah tua, kali ini makin terlihat tua. Tangguh, cerdik, lentur, keras, dan tua tapi tidak terlalu tua. Atau singkatnya ia tetap berkharisma, dari tatapan matanya saja kita tahu, ada kejanggalan yang akan dibongkar, dari intonasi, kita turut was-was salah langkah. Bahasa adalah peperangan dalam bentuk lain. Dan pada akhirnya segalanya terbuka dari hotel sebelah. Hebat sekali, oh ini to alasan beliau keras dan tak pandang maaf. Sabar sekali kisanak.

Menjaga agar saat menonton tidak kena bocoran di era digital sungguh sebuah perjuangan. Maka tanda spoiler patut diacungkan di mula bila kita mau bercerita sinopsis secara detail sampai tangan kapalan mengetik, mulut berbusa, saking semangatnya. Aku bersyukur di dunia ini, masih ada hal langka yang bagus selain puisi: twist. Menipu penonton!

Kau ada di sini sebab kau ingin berada di sini. Ketika rasa shock mulai memudar, berbagai pertanyaan muncul. Kok bisa?!

Badla | Year 2019 | India | Directed by Sujoy Ghosh | Screenplay Sujoy Ghost, Oriol Paulo | Cast Amitabh Bachchan, Taapsee Pannu, Amrita Singh | Skor: 5/5

Karawang, 270921 – Karrin Allyson – All Or Nothing at All

Review ini didedikasikan untuk Harsoyo Lee, yang hari ini ulang tahun 47. Sehat, bahagia, makmur. Thx atas rekomendasi film-filmnya. ❤

Aku hanya berharap kita semua tetap sehat, rukun di BM dalam keragaman, tak ada yang lain.

Di Kota Kucing, Manusia adalah Pengunjung

“Aku sangat menyukainya. Dia memiliki kebanyakan kualitas yang luar biasa. Tetapi terkadang sulit bagiku untuk mengikuti cara berpikirnya yang ekstrem…”

Memang jaminan mutu, penulis idola, pengarang terbaik modern yang masih hidup hingga saat ini. Setiap tahun kujago menang Nobel Sastra, maka semua buku terjemahannya coba saya nikmati. Kota Kucing dan Kisah-kisah Lainnya diterjemahkan entah dari mana, sebab di identitas tidak dicantumkan. Diambil dari berbagai sumber? Ya sepertinya, satu cerita adalah nukilan novel 1Q84, awalnya sudah familier. Kisah Tengo terbaca alurnya bahkan di halaman pertama. Saya baru baca books one, belum finish di seri tiga, tapi pijakannya sama. Apakah ini sejenis cerpen yang dikembangkan menjadi novel? Atau kumpulan cerpen ini adalah versi padat sebuah buku besar? Kreatif sekali kalian, kalau segitunya. Hanya kalian yang sudah baca riwayat Tengo, atau orang dibalik Penerbit Odyssee yang tahu.

Ada enam cerita, dan semuanya keren.

#1. Samsa Jatuh Cinta

Dia terbangun dan menemukan dirinya telah bermetamorfosis menjadi Gregor Samsa. Pembuka kisah yang to the point. Pijakannya jelas dari novelet Franz Kafka dimana Samsa terbangun suatu pagi menjadi seekor kecoa. Kali ini dibalik, seekor kecoa menjadi manusia. Kok bisa? Biasanya saya kurang suka cerita terkenal yang sudah menjadi ikon, lalu diburai dan dikembangkan oleh penulis lain. Namun kali ini jelas pengecualian, sebab jadinya malah terlena, terbuai akan nasib Samsa.

Samsa terbangun dalam kebingungan, dan memertanya kenapa jadi manusia? Dia tidak berubah menjadi ikan saja? Atau bunga matahari? Setidaknya, menjadi ikan atau bunga matahari lebih masuk akal daripada menjadi manusia – menjadi Gregor Samsa. Seandainya aku berubah menjadi ikan atau bunga matahari, aku bisa menjalani hidupku dengan damai, tanpa harus berjuang untuk naik atau turun tangga seperti ini. dalam keadaan lapar, ia turun ke halaman rumah yang terbentang meja penuh makanan. Saking laparnya, dia tidak peduli dengan ras. Hambar atau lezat, pedas atau asam, baginya semua rasa sama.

Samsa tidak tahu dari mana pengetahuan berasal. Mungkin terkait dengan ingatan berputar yang ia miliki. Setelah kenyang ia lalu menyusun kepingan info. Saat itulah muncul gadis panggilan, yang bertugas membetulkan kaca. “Gregor Samsa, kamu adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Kosa katamu kaya, dan selalu sampai ke intinya…”

Mereka ada di masa perang, era asli kisah ini. Praha yang bergolak, di mana-mana banyak tentara yang berjaga. Penjelasan sang gadis, untuk sampai rumahnya butuh perjuangan ekstra. Ia bukan ahli kunci, tetapi sebagai tenaga pengganti sementara. “Segalanya berantakan akibat bom di sekitar kita, tetapi masih ada yang peduli dengan lubang kunci yang rusak… mungkin mengerjakan hal-hal kecil dengan patuh dan jujur adalah cara untuk menjaga kewarasan di tengah dunia yang sedang kacau.”

Lubang kunci yang rusak ada di lantai atas, dan setelah banyak kecanggungan, basa-basi, sampai fakta aneh bahwa di masa itu, masih ada yang peduli kunci yang rusak terdengar janggal. Yang pasti Samsa jatuh hati padanya. “Jika kamu memikirkan seseorang dengan sungguh-sungguh, kamu akan bertemu dengannya lagi.”

Segalanya gelap: masa depan, saat ini, dan masa lalu. Mana yang benar dan mana yang salah? Samsa yang baru saja jadi manusia, memertanya banyak hal. Dunia sedang menunggu untuk dipelajari. “Aku tidak bermaksud kasar. Aku tidak sehat, ada banyak hal yang tidak kumengerti.”

#2. Pisau Berburu

Waktu berlalu dalam diam. Mungkin yang paling lemah sebab endingnya paling biasa, kalau tak mau dibilang datar. Narasinya panjang nan berbelit. Jadi suami istri yang sedang melakukan liburan, menginap di hotel dekat pantai, memperhatikan sekitar. Termasuk tetangga mereka yang unik.

Rutinitas sebagai sesama tamu, walau tanpa saling sapa mencipta keakraban tanggung. Dan di hari terakhir sebelum check-out, ia bertemu dengan sang pemuda Amerika tersebut. Di dini hari yang sunyi di dekat kolam hotel. Terjadi diskusi menarik. “Ketika Debussy tidak mendapatkan tempat di dalam opera yang ia susun, dia mengatakan ini: ‘Aku menghabiskan hari-hariku untuk mengejar ketiadaan yang tercipta – rien.’ Tugasku adalah menciptakan kekosoangan itu, rien-ku.”

Pisau berburu yang tajam yang berbahaya untuk seorang yang sakit fisik. Apakah itu semua hanya ilusi? Atau, aku adalah ilusi itu sendiri? Mungkin itu bukan masalah. Datanglah besok, dan aku tidak lagi ada di sini.

#3. Kota Kucing

Ini yang saya maksud nukilan novel 1Q84. Tengo yang unik, karakter istimewa ini mengunjungi ayahnya yang sudah tua di sebuah panti jompo, naik kereta dan menikmati sebuah buku dari Jerman tentang kota kucing, di mana seorang pemuda turun di sebuah stasiun, tak ada penghuni manusia, adanya kucing, banyak kucing, banyak sekali. Di sebuah menara, ia mendengar bahwa para kucing curiga ada manusia di kota ini, dan ia diburu. Saat ia kembali ke stasiun, kereta tak mau berhenti, maka ia kembali bersembunyi di menara lonceng. Stack, takut, prihatin dalam sepi. Fantasinya semakin jauh dan kompleks. Mereka mengikuti satu pola, tetapi variasinya tak terbatas.

Tengo, bernarasi selama perjalanan tentang masa kecilnya yang menjadi teman menarik iuran TV stasiun NHK, oleh ayahnya. Kabarnya ibunya meninggal saat kecil dan menghabiskan masa kecilnya menjadi teman jalan ayahnya tiap hari Minggu yang seharusnya merupakan hari libur.

Menyebalkan, dan sungguh ia muak. Maka hubungan ayah-anak ini jadi renggang dan janggal. Mereka adalah dua manusia terpisah yang berasal dari – dan sedang menuju –  tempat yang sepenuhnya berbeda. Bahkan memori masa kecilnya, melihat ibunya berselingkuh dengan lelaki lain menjadi alibi bagus untuk menanyakan, apakah ia anak kandung? Apakah ibunya masih hidup? Dst. Kalian takkan menemukan jawabnya, sebab khas Murakami, banyak hal menggantung, semakin banyak semakin penasaran, semakin bagus. Jika hidup dapat diukur dengan warna dan ragam episodenya, kehidupan ayah ayah Tengo begitu kaya dengan caranya sendiri, mungkin.

Aku tidak selalu ingin tahu akan kebenaran tentang siapa diriku dan dari mana aku berasal. Termasuk saat di masa tuanya, Tengo kembali menanyakannya, walaupun ujungnya tak ketemu juga.

Pengetahuan adalah modal sosial berharga. Itu adalah modal yang harus dikumpulkan hingga berlimpah dan digunakan kepada generasi berikutnya dengan sangat hati-hati. Itu juga harus diwarsikan kepada generasi berikutnya dalam bentuk yang bermanfaat…”

#4. Kino

Luar biasa. Tentang suami yang dikhianati dan bagaimana menghadapi kenyataan pahit. Saat kenyataan menghantam keras padamu, maka hantamlah dengan keras sebagai balasan. Seperti tanah kering yang menyambut hujan, ia membiarkan kesendirian, kesunyian, dan kesepian meresap dalam. Kino adalah pekerja kantor biasa, memiliki istri dan belum punya anak. Suatu hari saat ia ditugaskan keluar kota, dan balik tanpa info lebih cepat sehari sebelum jadwal, ia menemukan istrinya selingkuh. Ia marah, pergi tanpa menengok ke belakang. Tanpa membawa apapun, ia membangun ulang kehidupan. Ada yang salah di antara mereka sejak awal, seolah mereka telah menekan tombol yang salah. Aku harus belajar bukan hanya melupakan tetapi memaafkan. “Aku harus belajar bukan hanya melupakan tetapi memaafkan.”

Membuka bar dengan jazz dan arsesoris aduhai. “Mendengarnya, membawa kembali begitu banyak kenangan.” Bar milik bibinya yang kini sudah ia sulap menjadi tempat nongkrong yang menyenangkan. Ia bayar per bulan, ia sanggupi syarat itu. Berjuang dari awal lagi, mencipta idealismenya sendiri. Lalu seorang pengunjung aneh bernama Kamita, yang tiba setelah Magrib dengan buku tebal dan pesanan yang sama membuatnya penasaran. “Maksudmu beberapa masalah serius telah terjadi, bukan karena aku melakukan kesalahan, tetapi karena aku tidak melakukan hal benar? Ada masalah dengan bar ini, atau aku?”

Dari situ pula kita tahu, ada sesuatu yang aneh di kedai itu. Sesuatu yang janggal, ia bukan pengunjung biasa. Kino biasanya selalu berhati-hati dan menjaga jarak dari segala macam keterikatan. Tidak ada yang lebih buruk dari kecemburuan dan kebanggaan, dan Kino memilki sejumlah pengalaman yang mengerikan karena keduanya.

Sementara hujan tak kunjung reda, membasahi dunia dalam dingin yang menggigil.

#5. U.F.O. di Kushiro

Ini juga tentang suami yang kehilangan istrinya, Komura ditinggal istrinya setelah gempa yang menimpa Kobe. Semua akibat dari gempa itu seperti gema monoton yang jauh darinya. Menjelaskan secara sederhana tetapi jelas mengapa dia tidak ingin hidup dengan Komura lagi. Tanpa kejelasan kenapa ia cabut, teman sekerjanya Sasaki lalu menyarankan liburan ke Hokkaido. Sekalian menitipkan benda aneh untuk diberikan kepada adiknya.

Di bandara, ia disambut Keiko Sasaki dan temannya, Shimao. Dari sana mereka mengakrabkan diri, dan khas Murakami persahabatan sesaat ini menjelma liar. Cerita mereka berhenti pada titik itu. Dia berhenti sejenak untuk membiarkan ceritanya meresap. Dan yang terjadi, terjadilah. Shimao menggambarkan suatu pola rumit di dada Komura dengan ujung jarinya, seolah sedang melemparkan mantar sihir.

#6. Kemarin

Pikiranku seperti diselimuti kabut. Ini yang terbaik, sangat bagus. Di tempatkan di paling akhir pula. Tanimura memiliki teman aneh bernama Kitaru, orang Tokyo yang belajar dialek Kansai dan mempraktekkannya. Bukan hanya mempraktekkan, juga mendalami dan benar-benar menjelma orang Kansai. Hajar mereka tepat di depan dengan memberikan fakta bahwa aku berasal dari De-nen-cho-fu. Bayangkan, ada orang Jakarte, belajar logat Tegal dan benar-benar menyusupinya dengan sungguh. Mereka berkawan di kedai kopi dekat gerbang Universitas. Sama-sama aneh memang, tapi Kitaru terlampau kreatif. Tes masuk perguruan tinggi Waseda (tempat kuliah Murakami) dua kali gagal, sementara Tanimura langsung kuliah. Jika kamu tidak tahu apa yang kamu cari, akan sulit untuk menemukannya.

Maka saat ia berkunjung ke kampung halaman di Denenchofu, berceritalah ia bahwa ia memiliki pacar sejak sejak sekolah. Teman akrab sejak kecil, Erika yang cantik sekali. Mereka terlihat cocok, dan saling melengkapi, tapi memang Aki (panggilan sayang Kitaru) lebih ekstrem. Muncul ide gila, bahwa Tanimura diminta kencan sama pacarnya. Awalnya ga mau, tapi karena Tanimura sahabatnya sendiri, dan percaya sekali, maka kencan itu terwujud. “Tetapi, pengalaman yang sulit dan rasa kesepian, adalah sesuatu yang kamu perlukan ketika masih muda. Bagian dari proses kedewasaan.”

Diskusi suatu akhir pekan itu di Shibuya dan menonton film Woody Allen, menjadi kejadian yang absurd untuk dikenang. Menjadi penghubung banyak hal, sebab setting cerita lalu dilempar ke masa depan dengan nasib berbeda untuk ketiganya. Dia menelusuri halaman-halaman buku ingatannya. Merenungi bagaimana hal-hal pada akhirnya berakhir – setelah semuanya telah diputuskan – adalah masalah kronis lainnya. Kimura di Amerika, Tanimura yang sudah menikah tanpa anak, dan Erika yang menjadi sales juga belum menikah. “Kamu terlalu cantik untuknya.”

Pertemuan tak sengaja di hotel itu mengungkap hal-hal masa lalu yang terpendam. Betapa kemarin, walau sudah lewat masihlah sangat berharga. Yang bisa kita lakukan supaya kedua mataku tetap terbuka ketika angina yang kuat menerjang adalah menarik napas, dan terus maju.

Lakukan apa yang kamu inginkan dan lupakan apa yang orang lain pikirkan. Aku terkesan denganya. Yang masih tersisa dalam ingatanku hanyalah fragmen-fragmen, yang bahkan aku tidak yakin apa benar begitu yang dinyanyikan Kitaru. Seiring berjalannya waktu, ingatan, tanpa bisa dihindari, menyusun kembali dirinya sendiri.

Memang istimewa penulis yang satu ini, segala pujian rasanya tak akan selesai dikumandangkan untuk cara bercerita yang keren. Kota Kucing adalah kumpulan cerpen pertama yang kubaca, setelah novel-novelnya dan memoar asyik tentang lari. Dan jelas buku-buku keren lainnya pasti kususul baca. Kucing, jazz, absurditas narasi, cinta yang tenggelam, lari… inilah semesta Murakami.

Kota Kucing dan Kisah-kisah Lainnya | by Haruki Murakami | Copyright Odyssee Publishing, 2019 | Cetakan pertama, Mei 2019 | Alih bahasa Dewi Martina | Penyunting A.D. Saputra | Tata letak The Naked! Lab | Perancang sampul The Naked! Lab | Ilustrasi sampul Louis Wain Paintings, 1886 – 1936 | Skor: 5/5

Karawang, 240821 – Louis Armstrong feat. Ella Fitzgelard – Isn’t This a Lovely Day (To Be Caught in the Rain)

Thx to Sentaro books, Bekasi

The Broken Circle Breakdown: Sumber dari Segala Keindahan adalah Kehidupan

Hidup membuatmu merasa dendam. Hidup mengambil semuanya darimu dan menertawaimu. Hidup menghianatimu.”

Pandangan keras ideologi baik politik, agama, sosial, atau apapun itu tak laik disampaikan ke khayalak pendengar heterogen karena potensi menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), apalagi ini di tengah konser yang hening dan syahdu. Lebih gila lagi, yang disampaikan menghujat agama mayoritas dengan pelik pekik menyatakan ateis. Luar biasa konyol bukan? Luar biasa gila!

Sedih maksimal. Kesedihan layar sinema yang ditawarkan sungguh menggerus hati, pahit getirnya kehidupan dalam rumah tangga, dijalin dan dililitkan dengan erat, mencekik megap-megap sesak napas dalam ketidakberdayaan menapaki kerasnya masalah yang didapat. Kalau ngomongin luka keluarga, jelas sungguh sulit diabaikan. Dunia fana ini, memberi kita keniscayaan bahwa orang terkasih nomor satu, dan sarinya jelas keluarga di urutan teratas. Maka saat plotnya tentang anggota kelurga sakit keras dan efek setelahnya, jelas ini menjadi suguhan tema berat. Disajikan dengan riak timbul tenggelam antara harapan dan keambyaran, The Broken Circle Breakdown adalah fakta betapa manusia selalu tak berdaya di hadapan takdir. Sekuat apapun, secerdas apapun, sesuper apapun.

Kisahnya tentang pasangan keren di Ghent, Belgia. Mereka tampak ideal di luar, tapi setelah berkeluarga dan kita turut serta menyaksikan kehidupan rutinitas, kita tahu ada masalah besar di antara mereka. Masalah yang bakalan meledak di masa depan. Didier  (Johan Heldenbergh) adalah musisi kenamaan, ia adalah lead vocal, seorang idealis. Musik yang dibawakan sama grup adalah jenis bluegrass, sering tampil di kafe, menjadi idola lokal. Nantinya makin besar dan berkembang hingga bisa tampil dalam konser. Seorang ateis murni dan radikal.

Dalam ensiklopedia dijelaskan bahwa ateis berasal dari bahasa Yunani, athos. Kata itu tidak mengacu pada orang-orang yang tidak memercayai Tuhan: kata itu mengacu pada orang-orang kesepian, orang-orang yang diabaikan oleh para dewa. Maka, ini membuktikan bahwa manusia tak pernah bisa benar-benar ateis. Karena, kalaupun kita ingin diabaikan oleh-Nya, Tuhan tidak akan mengabaikan kita di sini. Maka untuk menjadi seorang (hampir) ateis, pertama-tama harus menyendiri dan tak menikah. Didier banget, tapi sekali lagi ia hanya hampir ateis.

Elise (Veerle Baetens) adalah perempuan pencipta tato, sekujur tubuhnya dihiasi, nama-nama mantan kekasih diukir, tapi setelah putus dihapus. Ia seorang realis, menjalani hidup dengan dasar pijakan kepercayaan padaNya yang kuat. Lihat, pasangan musisi dan pembuat tato, tampak serasi bukan? Masalah agama/keyakinan-lah yang dirasa menjadi pijakan penting.

Awal mula bertemu adalah Didier mengunjungi toko tato, berkenalan, mengajak Elise menyaksikan konser lokal, dan malam itu kita tahu Elise jatuh hati. Adegan pembukanya adalah ini, lagu Will the Circle Be Unbroken? Apa yang menarik di dunia ini? Amerika. Musisi bluegrass terhebat siapa? Memang ada yang lebih hebat dari Musisi Amerika? Dst… dialog puitik dan keren yang laik dikenang dalam keromantisan akut. Hubungan mereka langsung klik dan panas. Berlanjut ke jenjang serius, dan saat Elise memberitahu bahwa ia hamil, Didier marah. Dalam rumah koboinya, ia langsung pergi dengan perasaan murka sebab ia malas berkomitmen.

Entah kenapa tiba-tiba saat pulang ia membawa bahan material bangunan, anak kita tak kan tidur di trailer yang secara tak langsung berteriak, ‘Ok kita berkeluarga’. Kehadiran buah hati Maybelle (Nell Cattysse) melengkapi keping kebahagiaan mereka. Tumbuh kembang dalam suasana indah hubungan. Namun tunggu saja, ini film berat, dan masalah pelik itu muncul juga, Tuhan mengirim penyakit kanker untuk Maybelle setelah ulang tahunnya yang keenam.

Film dibuka dengan adegan nyanyi mendayu, lalu di rumah sakit Maybelle diambil darahnya. Diagnose kanker, proses terapi, penyembuhan berlarut, rambutnya gundul, kemoterapi yang gagal, dan berakhir dengan kesedihan maksimal. Keluarga ini hancur, rumah yang ceria itu menjelma seketika kesunyian. Pedih sekali.

Endingnya sendiri menghentak, luar biasa. Saat tekanan hidup sungguh berat. Elise sendiri juga menjadi penyanyi, masuk ke dalam grup dan sukses berat sebab suaranya bagus. Saat keruntuhan itu terjadi ia kembali ke toko tato, dan mengganti namanya jadi Alabama. Termasuk alasan sentimental di baliknya, seperti dimula Didier yang mengagumi Amerika, di akhir menjadi boomerang kemarahan karena dalam siaran TV Presiden Bush yang menentang penelitian embio dan menolak gerakan aborsi. Begitulah, satu-satunya konsistensi adalah ketidakkonsistensian.

Adegan ujung di rumah sakit menampilkan jawaban makna kehidupan. Seperti disebutkan dalam kitab-kitab kuno, nyawa seseorang meninggalkan tubuhnya enam jam setelah ajal menjemputnya, menurut Suyuti pada saat itu jiwa seseorang menjadi suatu yang gaib dan dapat berpindah-pindah, dan ia harus tinggal di alam Barzakh hingga kiamat datang. Maka bergemalah nyanyian itu mengantar di titik akhir.

Didier bilang ke anaknya, tak ada kehidupan setelah kematian. Mati ya mati, hilang dari dunia, menuju ketiadaan. Sementara Alabama, percaya ada surga dan segala konsekuensi akhir. Maka saat Maybelle menyaksi kematian burung gagak yang menabrak teranda (tenda/beranda) ia bertanya kemana perginya jiwa si burung? Surga itu dimana? Surga adalah masa depan yang kita semua impikan, tapi bagi Didier, surga adalah tempat mimpi-mimpi dalam kenangan dilestarikan.

Tak aneh setelah kehilangan anaknya, Elise menempel stiker burung di teranda agar burung-burung lain selamat. Kegiatan sederhana ini memicu kemarahan sang suami dan begitulah, runtuh segalanya. Tak semua orang bisa sepakat denganmu, tak bisa dipaksakan keyakinan orang lain agar sama. Dunia yang berbeda adalah dunia yang universal, tak perlu merasuki isi kepala orang terdekat. Jadi lingkaran itu akan hancur juga kalau dipaksa belok ‘kan?!

Berkat The Broken, saya teringat kata-kata N.G. Cherneshebvski (1928-1889), seorang filsuf, sastrawan, kritikus serta perjuang revolusioner dari Uni Soviet. Beliau bilang, “Sumber segala keindahan adalah kehidupan. Kenyataan hidup dan keindahannya mendahului kesenian dan perasaan estetis tentang keindahan. Kesenian hanyalah reproduksi kehidupan, dan di dalam karya-karya kesenian kiranya tak ada hal yang tak terdapat di dalam kenyataan hidup. Keindahan tertinggi dan sebenar-benarnya adalah keindahan yang ditemukan di dalam dunia kehidupan.” Dengarkan kau, kehidupan bukan melulu soal prinsip, kehidupan adalah soal mencari keindahan.

Tokoh Elise/Alabama dimainkan oleh artis sekaligus penyanyi, maka lantunan lagunya terasa menghentak indah. Tokoh Didier juga terlihat nyata, sifat ateis dan komitmennya juga luar biasa. Pedonan utama ateis adalah ia tidak memedulikan apa pun, kecuali cinta dan kebahagiaan. Masalahnya seorang filsuf entah siapa saya lupa, pernah bilang, “… dan ingatlah ini: mereka yang mencari kebahagiaan justru tidak akan pernah menemuinya.”

Ini bisa juga disebut film musikal sebab banyak sekali selingan nyanyi, bagus-bagus lagi. saya lebih suka menyebut ini jenis film drama pilu. Tindakan-tindakan yang diambil seolah nyata, tragedinya juga pas banget, seolah para tokoh benar-benar memiliki opsi tindakan, bukan menurut skenario.

Polanya sendiri acak, kita diminta menyusun potongan-potongan adegan yang tersaji. Pembukanya adalah nyanyian awal mula mereka berkenalan, lalu di rumah sakit saat cek darah itu jelas Maybelle sudah enam tahun, makin ke tengah durasi justru makin mundur masanya, dan adegan penghujung adalah final masa kini. Pola macam ini bagus, dan membuat gelombang pikir. Lega sekali akhirnya tuntas, melelahkan mengharukan. Seperti di dalam mimpi buruk, semua orang merasa sendirian, dan kita tak menyadarinya itu hanyalah maya. Orang-orang yang membuat keputusan buruk dalam kehidupan mereka gara-gara gejolak kekeraskepalaan sesaat, dan kemudian seumur hidup patut menyesalinya.

Pada akhirnya, burung gagak di dalam dadaku akan hidup; ia akan mengepakkan sayangnya dan, tepat sebelum gerakannya menyesakkan dadaku, sebelum air mata ini menetes – ia sudah terbang bebas.

The Broken Circle Breakdown | Tahun 2012 | Negara Belgia | Directed by Felix van Groeningen | Screenplay Carl Joos | Story Johan Heldenbergh & Mieke Dobbels; Play The Broken Circle Breakdown featuring the Cover-Ups of Alabama | Cast Veerle Baeten, Johan Heldenbergh, Nell Cattrysse | Skor: 5/5

Karawang, 070821 – The Corrs – So Young

Thx to Lee, rekomendasi terbaiq.

Doctor Strange: Dormammu Kita Perlu Berunding

image

The Ancient One: You want to know what I see in your future? Possibility.

Kesan pertama kelar nonton adalah film ini weird, wild, trippy, amazing dan tentu saja jawdropping. Coba tontonlah dalam versi IMAX, sepertinya akan semakin membuatmu berdecak kagum atau malahan pusing? Film terbaru Marvel yang kutonton semalam benar-benar film Marvel yang tak biasa. Pertama kalinya mereka menggunakan sihir dalam cerita. Kisahnya dibuka dengan bagus guna membuat first impress penonton melonjak. Seorang pustakawan dikerumuni rampok, dipenggal lalu para rampok mengambil sebuah buku dan merobek selembar. Aksi itu diketahui, adegan berikutnya mereka berkejaran. Bukan aksi biasa. Lubang api ‘pintu kemana saja’ dibuat. Kota dilipat. Tembok layaknya sedatar lantai buat bergelut. Sampai aksi saling lempar mantra sihir seperti kisah-kisah Harry Potter. Dan tentu saja ini pembuka yang sangat menjanjikan. Kalau kalian beruntung dan teliti kalian akan melihat salah satu gedung yang dilipat adalah gedung Starks Avengers di Manhattan.

Setelah opening scene tanpa teks sama sekali, tanpa judul. Kita langsung diajak ke New York, Amerika menemui Doctor Stephen Vincent Strange (Benedict Cumberbatch) seorang dokter ahli bedah terkemuka, ia sedang melakukan operasi dengan alunan musik ‘Feels So Good’. Dialog kocak tentang tahun rilis album tahun 1977 ataukah 1978 memberi bukti bahwa Strange adalah orang cerdik dan teliti, bukan hanya di bidang kedokteran namun di aspek pengetahuan umum. Seorang pasien yang dinyatakan meninggal oleh dokter lain pun bisa diselamatkan setelah operasi pengambilan peluru di kepala. Dibantu dokter Christine Palmer (Rachel McAdams) sekaligus kekasihnya.

Suatu malam dalam perjalanan dengan mobil mewahnya dia mendapat telepon dari rumah sakit, bahwa ada pasien luka parah. Beberapa ditolak karena berbagai alasan, sampai akhirnya salah satu yang mungkin bisa ditangani. Salah seorang yang pasien yang mungkin ditanganinya adalah seorang kolonel US Army yang terluka saat mencoba armour. Jelas ini adalah link ke serial Iron Man. Namun sayang sekali, dia kehilangan fokus menyetir sehingga terjadi kecelakaan fatal. Mobilnya terguling luluh lantak masuk jurang. Kecelakaan itu mengubah hidupnya. Luka yang diderita sangat parah. Berbagai operasi menghasilkan keputusan final, jari tangannya tak bisa disembuhkan, jarinya tak bisa digerakkan sempurna. Jari yang sangat berharga bagi seorang dokter bedah, kiamat.

Palmer menghiburnya, namun karena emosi mereka bertengkar. Dia teringat seorang pasien Jonathan Pangborn (Benjamin Bratt) – kalian pasti pangling, di sini Bratt terlihat sangat tua dengan uban — yang dulu ditolaknya karena luka yang mustahil disembuhkan. Nyatanya kini ia berhasil pulih. Penasaran Strange menemuinya. Dengan merendahkan ego ia memohon info, kuncinya ada di Kamar-Taj, di kaki gunung Himalaya, Nepal. Sebuah perjalanan jauh ditempuh. Dengan wajah brewok dan kumal, ia mencari harapan terakhirnya. Di sebuah kampung yang sepi dia dibegal, karena tak beruang begal meminta jam yang ia kenakan, jam kenang-kenangan dari Palmer. Dia diselamatkan oleh Karl Mordo (Chiwetel Ejiofor), namun sayangnya jam Palmer rusak. Diantarnya Strange ke padepokan.

Di sana ia bertemu The Ancient One (diperankan dengan sangat bagus oleh Tilda Swinton). Dijelaskan berbagai metode yang rasanya mustahil di dunia kedokteran ala Barat. Pengobatan tradisional mulai dari akupuntur, metafisik, refleksi, spiritual heal sampai kerokan (mungkin). Tentu saja Si Strange tak percaya. Lalu The One kasih hentakan ke tubuhnya yang membuat roh Strange melayang di dimensi lain. Melayang di langit, terjatuh, terjerebab. Hentakan yang membuka matanya, ada dunia lain selain dunia kita. Bahwa ada ilmu kasat mata yang luar biasa. Ada keajaiban bahwa kepercayaan diri itu sangat penting dalam penyembuhan. Ketika akhirnya ia takjub dan memohon, ‘Teach me!’, sang dokter didepak keluar pintu. No!

Scene berikutnya kita tahu, ternyata The One pernah kecewa terhadap murid yang membelot. Kaecillius (dimainkan dengan luar biasa oleh musuh James Bond di Casino Royale– Mads Mikkelsen yang berkuncir dan maskara hitam di sekeliling matanya) dan kawan-kawan. Dialah pasukan yang ada di adegan pembuka. Namun kali ini kenapa ga dicoba? Apalagi kali ini sang tamu sampai lima jam terpekur di depan pintu, memohon. Bukan sembarangan orang tentunya sampai punya tekad baja gitu. Kesempatan itu datang juga, Strange diterima. Ditunjukkan kamar lalu diberi selembar kertas bertuliskan ‘Shamballa’. Bingung, ‘kertas opo iki?’, semacam mantra? Haha.. penonton ketawa. Password wifi ternyata. Asem! Yup, kata itu diambil dari serial komiknya berjudul, ‘Into Shamballa’.

Karena pada dasarnya ia cerdas, maka proses belajarnya sangat cepat. Buku-buku tebal dilahap dengan rakus. Belajar ketenangan, mediasi sampai pembentukan lingkaran ‘pintu ke mana saja’ yang awalnya dirasa rumit muncul percikan doang, perlahan ia berhasil mencipta. Saat percikan yang dia buat belum 100% jadi, The Ancient One mengajaknya ke puncak Everest, sambil ngobrol bahwa pemandangan di sana sangat indah dan dingin. Hanya butuh waktu kurang dari sejam untuk membuatmu beku dan tewas. Lalu the One masuk ke lingkaran dan menutupnya, meninggalkan Strange dalam kesendirian dan memaki dia belum siap. Di kuil The One dan Mordo menunggu, awalnya mereka mulai cemas juga karena sang dokter ga muncul-muncul, bahwa kipas sudah siap dikibas untuk menjemputnya, namun taadaaa… Strange muncul dari lingkaran dengan tubuh menggigil. Yes, he did it!

Mulailah ia belajar lebih intens, brewoknya dicukur, jambangnya dibersihkan. Menyisakan kumis tips dengan dua garis ke bawah. Saya langsung nyeletuk, wah gmana kalau brewokku dibuat gitu juga. Kebetulan besok mau cukur menyambut ‘No Shave November’. Sang pustakawan baru, Wong (Benedict Wong) menjelaskan bahwa Kaecillius mencuri selembar kertas dari kitab terlarang. Perkenalan dengan Wong sendiri berisi joke yang aneh, menggelitik. Tak ada tawa, padahal sang dokter suka melucu. Orang-orang terkenal dengan satu kata disebut Eminem, Beyonce, dll. Ah tahu saja Marvel cara bercanda. Walau jayus tetap saja sukses membuat penonton tergelak. Dari penjelasan dan buku-buku yang dia sikat, ia tahu ada tiga kuil suci di dunia ini yang perlu dijaga: Hongkong, London dan New York. Ada musuh besar yang coba dibangkitkan Kaecillius dan kawan-kawan. Dread Dormammu yang abadi, timeless.

Saat malam hari ia menyelinap masuk (mengingatkanku pada kebiasaan trio Harry Potter yang suka kelayapan malam di Hogwarts), di perpustakaan itu juga akhirnya Doctor Strange menemukan Eye of Agamotto, sebuah benda kuno yang bisa memajumundurkan waktu. Masuk ke dunia looping time. Apel yang ia gigit bisa kembali utuh, kroak lagi, utuh lagi, somplak lagi, utuh lagi. Wow! Kini ia punya kekuatan sihir. The Sorcerer Supreme. Buku yang kertasnya dicuri pun bisa dicipta dalam bayang, dan tahulah ia rencana busuk Kaecillius. Mengincar hidup abadi dan waktu dihentikan.

Tarung itu terjadi, terlempar ke London. Saling sikat, saling kejar dan adu taktis. Di kuil London itulah Si Strange bertemu jubah merah yang ikonic itu, mengingatkanku pada jubah gaib Potter. The Cloak of Levitation yang bisa membuatnya terbang. Jubahnya sendiri seperti bisa berfikir. Pertarungan itu ditampilkan dengan dahsyat. Kota-kota dilipat, dinding buat lari-larian, jalanan digebrak. Bagian terbaik film ini ada di sini. Inception what? 3D-nya juara sekaligus bikin pusing. Kamera diputer-puter melawan gravitasi. Gedung-gedung seakan dihadapkan cermin sehingga jungkir balik. Sampai mereka terlempar ke sebuah bus dengan seorang penumpang tua sedang membaca buku ‘The Doors of Perception’ karya Aldous Huxley – yup Penulis fenomenal The Brave New World, bapak tua Stan Lee berujar ‘ini sungguh menggelikan’. Dan saya tepuk tangan, keren!

Kaecillius bisa ditaklukkan dengan sturdy gag, sebuah perangkap besi yang mengingatkanku pada perangkap Hannibal Lecter, yang anehnya si Mads juga main sebagai Lecter. Sayangnya Strange terluka. Butuh operasi secepatnya. Ambulan? Oh mereka tak butuh. Tinggal buat lubang di udara lalu cus ke rumah sakit New York dan minta bantuan Palmer. Di rumah sakit itu roh-roh berantem, saling lempar mantra dan adu hebat. Dan tentu saja Strange menang. Setelah segala sedikit mereda, disusun rencana bagaimana mencegah Kaecillius memanggil Dormammu. Namun saat kekuatan sedang dibentuk, Mordo ikut meragu. Ia curiga The One punya rahasia dan mencuri keabadian milik dimensi lain lalu menyimpannya dari semua orang. Tak ada kompromi, kuil-kuil keburu dihancurkan pasukan Kaecillius. Waktu semakin mendesak, berhasilkah ia mengundang dewa kegelapan? Apakah jari sang dokter bisa sembuh? Apakah benar The Ancient One abadi? Bisakah Dormammu masuk ke bumi?

Well, sangat seru. Sekali lagi Marvel berhasil memuaskan dahaga. Film ini laiknya perpaduan Inception untuk permainan grativasi gedung-gedung diputar seperti Magic Square. Bahkan Strange membuat Inception terlihat seperti papan tes beta anak magang. Mirip Batman Begins untuk permainan pikiran. Mirip Iron Man yang sombong akan kecerdikan dan ego lalu bangkit dengan menyusun kekuatan, lihat saja jambang dan kumisnya dah sama si Tony Stark. Mirip The Matrix yang rumit antar dimensi. (Spoilert!!!—– maaf ga nahan buat diketik juga yang ini). Mirip Source Code dan Edge of Tomorrow di mana waktu bisa diputar ulang. Karena tujuan Kaecillius memang melawan waktu. Timeless. Jadi dua film itu wajib disebut. Dan emang jadi kunci penting film ini. Dan tentu saja sangat mirip dunia sihir Harry Potter untuk banyak hal. Mulai jubah gaib, pintu kemana saja, mantra-mantra, sampai niat membangkitkan Lord Voldemort. Hebatnya Scott Derrickson sukses besar menggabungkannya. Sebuah pembuka yang bagus untuk phase tiga.

The Ancient One aslinya adalah seorang kakek tua, karena digambarkan hidup lama namun dalam film dirubah dan diperankan perempuan tanpa rambut. Saya sih Ok saja, siapa yang bisa menolak Tilda? Saya pertama mengenal Tilda di Narnia: Siang, Penyihir dan Lemari. Karena saya fan berat buku CS Lewis, tentu saja sepak terjang Tilda patut diikuti. Dan syukurlah kali ini ia sukses.

Benedict Cumberbatch sendiri sangat pas memerankan si dokter aneh. Mimiknya memang masih sangat Sherlock, namun gayanya yang slengekan dirasa kocak. Ingat dialog awal sama Kaecillius? Mister? Dokter. Oh Mister dokter. Bukan, dokter Strange. Mister dokter Strange. Terlihat sepele, namun sungguh lucux. Karena pada dasarnya Si Strange ini cerdas, orangnya optimis dan sangat arogan. Hal kecil mau dipanggil pak – siapa – gitu ia ga mau. Maunya Dokter Strange. Dan Sherlock Holmes sukses bertransformasi.

Endingnya sendiri bikin greget. Antiklimaks. Ga khas Marvel yang ancur-ancuran. Setelah semua babak yang panjang dan melelahkan dalam aksi, film malah diakhiri adegan snob. Layak disebut sebagai ‘WTF moment of the year’. Yah, itulah hebatnya dunia Marvel yang begitu rumit. Namun karena saya bukan pembaca komiknya saya begitu menikmati. Scene after credit tentu saja layak dinanti saat akhirnya film kelar. Saya kok ngerasa film ini singkat, tahu-tahu bubar. Dan tampilan Thor sepintas membuka asa. Menyambung ke Thor3: Ragnarok? Final scene-nya sendiri memastikan Doctor Strange gabung di Infinity War. Makin menggila ini Marvel Cinematic Universe (MCU). Waspadalah, Marvel sedang menguasai dunia!

Doctor Strange | Year 2016 | Directer by Scott Derrickson | based on comic book by Stan Lee and Steve Ditko | Writters Jon Spaihts, Scott Derrickson, Thomas Dean Donnelly, Joshua Oppenheimer | Cast Benedict Cumberbatch, Chiwetel Ejiofor, Rachel McAdams, Benedict Wong, Mads Mikkelsen, Tilda Swinton, Benjamin Bratt, Scott Adkins, Michael Stuhlbarg, Stan Lee | Skor: 4,5/5

Karawang, 011116 – Michael Jackson – You Rock My World

Thanks temans: Deddy Tri, Dewi Nur, Rani Wulandari