Yang Berjanji di Jembatan Kayu Kala Hari Beranjak Senja

Bunga Kayu Manis oleh Nurul Hanafi

“Tentu saja aku tahu. aku tahu bermacam-macam jenis bunga, dan itu wajar. Aku ‘kan perempuan.”

Pada dasarnya manusia menyukai hal-hal bagus, hal-hal indah bagi kita sungguh nyaman dirasa mata atau telinga. Seni memberinya banyak jenis kenikmatan. Dan dari hal-hal yang dicecap itulah kita lari sementara dari kejenuhan rutinitas. Bunga Kayu Manis menawarkan jenis keindahan kata-kata (atau di sini berarti tulisan), dipilih dan dipilah dengan mujarab oleh Bung Nurul Hanafi. Beberapa bagian mungkin tampak terlampau lebai, atau ngapain melihat senja dari jembatan saja meloankolis, itukan hal yang lumrah taka da yang istimewa dari matahari jelang terbenam, umpamanya. Namun memang itulah keunggulan kata-kata, banyak hal dicipta berlebihan, dan terasa sentimental. Memang sulit kalau kita sudah bicara kenangan, angan dalam kepala tentang masa lalu, setiap orang beda-beda, dan semakian mendayu, semakin terasa feel-nya.

Kunikmati dalam dua hari, di pagi kerja 19 Oktober 2021 (tanggal merah yang ditukar), dan esoknya sampai siang seusai jalan-jalan ke Cikarang (ban mobil kempes). Semuanya mencoba menyentuh hati, kejadian-kejadian biasa yang coba dituturkan dengan keindahan syair terpilih. Aku kupas satu per satu, biar bisa kuingat hingga masa depan gambarannya tanpa perlu membuka buku.

#1. Aku tak bisa Mengatakannya

Pembuka yang ciamik. Pasangan tua yang saling silang pendapat nama bunga. Jelas cerpen ini yang diambil sebagai cover buku. Si Suami bukannya menghina istrinya, melainkan sebaliknya, yaitu menghina dirinya sendiri. Oh bukan, lebih tepatnya: menghina masa lalunya sendiri. Memang mirip ya, bunga kulit bawang dan bunga nawangsari? Aku belum pernah lihat atau sudah melihat tapi belum tahu namanya. Hanya dari penggambarannya saja kita tersentuh, betapa bijaknya suami.

#2. Duduk dalam Senja

Aku tahu, kau juga sedang membayangkan aku berkhayal selayak prajurit muda. Pohon, domba-domba dan segala kecamuk pikiran di senja hari. Udara lemas memelukku. Dingin. Tak terasa tentu.

#3. Kenangan tentang Kebiasaan Merawat Bunga

Kenangan orang terkasih yang telah meninggal dunia, kebiasaanya merawat bunga krisan. Maka saat istrinya pergi, bunga-bunga itu tak terawatt. Ia selalu ragu-ragu. Ia selalu bimbang.

#4. Musik Kamar

Aku menanggung rindu, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Lihat, tampak mellow bukan? Kenangan it uterus menggerogoti hari-hariku… kemudian aku menikmati indahnya berharap pada suatu ketidakpastian.
Ini curhat kepada Ran tentang masa yang sudah lewat, dan betapa sahabatnya Yusuf masuk dan meminangnya. Dijawab ya ataukah menanti Ran?

#5. Pinangan

Pintar juga, sebuah lagu yang benar-benar ada seolah tak diketahui identitasnya, hanya kenal nada dan liriknya di radio, lantas dicari dan ketemu. Di sini lagunya Kau Seputih Melati oelh Dian Pramana Putra. Pernah juga mengalami, terutama era 90-an dimana internet belum begitu akrab.

#6. Kancing Baju

Ini bagus banget. Kancing baju berburu, penembak jitu, dan adegan menginap di pondok berisi ibu dan anak kecil. Kicau burung dan perumpamaan yang absurd. Merasuk dalam rumpun mimpi.

#7. Rambut

Terselip nada murung dalam pujiannya. “Seperti apapun penampilanmu, kau tetap cantik.” Si Nona dan pelayannya Tamar yang sibuk menata rambut, lama dalam berdandan. Dan segala keributan penampilan cantik perempuan.

#8. Bunga Kayu Manis

Ini hanya adegan pemuda memberi kuntum bunga kayu manis kepada gadis. Dah itu saja, tapi merentang 4 halaman. Apakah yang membuat beda satu perasaan, antara terjalin bersama kenangan bunga flamboyan dengan bunag kayu manis? Lalu sang gadis menemukan bunga lain. “Hai, tunggu aku.”

#9. Bernyayilah

Nyanyi. Kalau yang benyanyi orang yang disayangi, apapun bentuk dan lagunya akan disukai. “Bernyanyilah, seluruh tubuhmu penuh nyanyian.”

#10. Impian Sarang Burung

Narasi utuh tentang gadis yang bermimpi tentang sarang burung, dan anak-anak burung yang berisik memanggil paruh induknya.

#11. Hari ke Tiga Ratus

Ini cerita lintas masa, disatukan dalam kenang dan fakta-fakta tentang bocah penggembala domba yang beristirahat di tepi sumur. Dengan pohon akasia yang menaungi.

#12. Jejak Duri

Warih dan seruan kepada gadis yang berlalu. Gadis itu memendam rasa kesal padanya. Ia tak tahu mengapa. Berlalu, lantas mengaduh sebab kaki sang gadis tertusuk duri. Semakin dekat Warih, sang gadis malah cabut dengan keranjang yang ditinggalkan. Apakah gadis itu meninggalkan keranjangnya seperti seorang kekasih yang melepaskan pelukan?

#13. Yang Berjanji di Jembatan Kayu Kala Hari Beranjak Senja

Lebih tepatnya berjudul, seorang istri menanti kekasih gelapnya di jembatan. Hehe… janji temu itu gagal terwujud sesuai kesepakatan tersebab hal-hal yang dijelaskan dengan ringan seolah wajar. Padahal ada bogem yang melayang, dan kemarahan yang terselubung. Sadriyya dengan senyum melamun.

#14. Gadis Pencari Sarang Burung dan Bocah Pemain Layang-layang

Mimpi dan bangun, bangun dan ia bermimpi. Bocah dan gadis kecil saling silang. Bagaimana ciap burung-burung kecil di sarang, layang-layang yang dipegang, dan perjalanan pulang di hari gelap.

#15. Payung

Udara dingin dan putih. Paying Alin yang ketinggalan di bawah pohon. Sani dan temannya yang ngobrol, mengapa ada musim rontok? “Karena semakin banyak orang yang kehilangan sesuatu.”

#16. Trayek Pegunungan

Ini salah satu yang terbaik. Perjalanan di kendaraan umum, menyaksi seorang istimewa yang dalam hati muncul kecamuk untuk menyapa, betapa sulitnya memulai. Perjalanan gunung yang naik turun turut serta mencipta hati yang bergolak. Dan tetap geming saat finish?

#17. Seekor Kumbang

Kumbang dan belalang. Satu ditangkap yang lain. Betapa ringannya udara.

#18. Surat dalam Hujan

“Kesepian lebih dekat pada hujan namun menyukai ledakan.” – Acep Zamzam Noor.
Surat yang hilang. Surat hanya jejak kaki di hamparan salju dan ia begitu tak kenal pada hujan yang menguburnya. Semua lenyap.

#19. Burung-burung dan Perawan

Perawan-perawan seperti juga burung-burung, seperti juga bunga-bunga, seperti juga kupu-kupu. Mereka mau dan mendamba dikirim salam. Rumah perawan penuh kicau burung yang menyampaikan salam. Apa isi pesannya?

#20. Selimut

Tidur tanpa selimut dan drama menciptanya. Ah, dalam hawa sedingin ini memang hanya selimutlah barang yang paling kubutuhkan. Dengan perasaan diri telah menjadi seseorang yang dicintai, kurebahkan kepalaku kembali dan mengeratkan diri dalam pelukannya yang hangat dan menyeluruh.

20 cerita yang sebagian besarnya (kalau tak mau disebut semuanya) bermetafora, dijelaskan dengan tak gamblang, dimainkan kata-katanya secantik mungkin. Dipoles dengan diksi pilihan, dan sesantun mungkin. Buku kedua Bung Nurul Hanafi setelah Makan Siang Okta, keduanya masuk 10 besar KSK dan tak masuk daftar pendek. Saat buku masih kubaca, pengumuman sudah muncul, tapi tetap tak mengurangi penilaianku bahwa karya yang cantik selalu memuaskan pembaca. Tak biasa, tak lazim, tapi tak sampai membuat kerut kening berlipat-lipat. Seolah membacai puisi dalam bentuk narasi panjang.

“Hujan terlalu larut dan luka.” Satu kalimat pembuka paragraph dalam Surat dalam Selimut misalnya. Hanya menyampaikan cuaca dalam penyampaian makna dibentuk bagus. Semua terkubur, semua tak menyambut kerinduan.

Dengan keberhasilannya memukauku, jelas buku-buku lainnya akan kubaca dan kukoleksi lengkap. Termasuk karya-karya berikutnya, dengan antusias kunanti. Tq.

Bunga Kayu Manis dan cerita-cerita lainnya | oleh Nurul Hanafi | Penyunting Indrian Koto | Lukisan smapul “Opera Figures” by Gao Made (1917-2007) | Ink and color on paper, hanging scroll | Repro oleh Alfiyan Harfi | Desain dan tata letak Kaverboi | Penerbit Jualan Buku Sastra (JBS) | ISBN 978-623-2872022 | Cetakan pertama, April 2021 | 131 hlm.; 13 x 19 cm | Skor: 4/5

Karawang, 211021 – Billie Holiday – Me My Self and I

Delapan sudah, dua sedang berlangsung.

Thx to Jalan Literasi, Bandung. Thx to Titus, Karawang

Legeumanai Sura’-Sabbeu

Burung Kayu by Nudiparas Erlang

Mengapa dendam dan pertikaian tak berkesudahan?”

Buku yang kental sekali budaya daerah Mentawai, di pedalaman Pulau Siberut, Sumatra. Banyak kata daerah disodorkan, butuh beberapa kali baca kata itu muncul dan diulang untuk paham, karena di sini tak ada bantuan/glosarium. Imajinasi naratif yang rada kebablasan. Temanya mempertahankan budaya asli di tengah gempuran modernitas, pemerintah pusat (Jawa) yang mencoba masuk, mendirikan perkampungan baru, memberi bantuan rutin, memberi opsi agama International, mencoba memberi napas pemikiran baru. Sementara kebiasaan lama dengan roh kepercayaan, seteru dengan suku sebelah, sampai kebiasaan-kebiasaan yang turun dari moyang perlahan kena gusur. Tema bisa juga lebih melebar dengan unsur memertahankan lingkungan asli, hutan yang sudah banyak dibabat itu harus dilawan. Namun tak, lebih ke drama keluarga. Seperti kata-kata di sampul belakang, ini tentang dendam yang terkorusi waktu dan keadaan. Mereka diikat kepentingan yang sama: menyelamatkan hutan dari penggundulan, menuntut ganti rugi atas ladang dan hutan yang akan dimanfaatkan perusahaan.

Kritik sosial juga tersaji dalam perselisihan surat serah terima tanah 36 hektar tanah kepada Dinas Sosial menjadi seluas 360 hektar. Jelas itu manipulasi data, korupsi khas Indonesia. Rasanya bikin geram, tapi nyatanya memang hal-hal semacam ini ada, menjamur subuh di era Orba. Maka sungguh jenaka ada karakter anjing bernama Sistem atau Pemerintah.

Kisah utamanya tentang Legeumanai, sosok yang kuat dan berdiri di antara budaya lama dan serbuan budaya nasional. Kerja sama dunia medis dan dunia roh yang mungkin bisa ditempuh tanpa mencederai keyakinan para penghuni lembah. Ia menjadi penghubung, pejabat yang ditunjuk mewakili suku sekaligus mulut pemerintahan Indonesia. Untuk sampai ke sana, kita diajak keliling ke masa lampau. Masa ketika berburu babi menjadi gengsi tinggi para uma/suku pedalaman.

Pertikaian-permusuhan antardua uma, sudah terjadi lama sekali sebelum masa Legeumanai. Sejarahnya tercatat (dan mungkin terbaca lucu), karena babi kabur bisa menjadi pemicu pembunuhan. Perselisihan uma satu dengan uma lain, dimulai dari seekor babi sigelag, babi besar yang dijadikan alat toga keluarga Babuisiboje untuk mengawinkan anak lelaki mereka dengan adik perempuan Baumanai. Naas, babi yang dipersembahkan itu kabur pulang, lantas dicari dan ditanyai, tapi enggan mengaku. Nah, si gadis membocorkan fakta. Dan dua pemuda yang naas dibunuh karena emosi. Permusuhan itu lalu turun temurun, karena para pembunuh kabur membuka lahan baru dan beranak pinak. Baumanai yang dikenal di sekujur lembah sebagai leluhur yang pernah membunuh keluarga Babuisiboje. Keturunan berharap kedua uma akan menjalani paabat.

Uma yang patut disegani di saentero lembah menjadi jargon utama. Membalas kekalahan berburu dengan menenggerkan burung enggang-kayu di puncak pohon katuka. Menjadi petaka ketika sang pemanjat tewas di depan anak dan istrinya. Awan hitam menggumpal-mengental di atas bubungan sapou-nya… hanya remang senja yang terlihat. Menjadi penutur bagaimana tragedy itu tercipta. Ah, siapa yang dapat mengira cuaca? Saengrekerei ke puncak pohon. Memasang burung enggang-kayu, dan wuzzz… wassalam.

Uma-uma atau suku-suku yang berkerabat dan yang bermusuhan – sebagaimana kisah-kisah yang kadang mengesankan, kadang memilukan, kadang membanggakan, yang didapatnya saban malam dari teuteu-nya. Mengurai-mengurut asal-usul uma, tak mungkin terhindar dari kisah mengenai pertengkaran dan perpecahan, kekecewaan dan kepergian, ketakcukupan dan keterpisahan. Ayam dan babi adalah pembayaran yang sangat berharga pada waktu itu

Kisah cinta sepasang remaja yang tengah menikmati rejana semesta. Mereka beda uma, mereka menyatukan atas nama asmara. Tampak romantis, berkencan dengan alam dan seekor ulat yang menyatu dalam ciuman. Cintanya tak pernah ikut mati atau menjadi sekadar kiretat di pohon durian dan di dinding uma. Keduanya melupa, melupa pada pantang-larang, pada tulou yang mengintai dan mengancam.

Keputusan Taksilitoni menikahi adik iparnya memang diliputi banyak alasan, tapi terasa masuk logika demi anak kesayangan Legeumanai. Pindah ke Dusun Muara, barasi baru buatan pemerintah untuk memajukan suku-suku di hulu. Saengrekerei sang kepala desa yang dihormati, ada bagian ketika bantuan dari pemerintah beras-beras berkarung itu akan didistribusikan dengan kapal, agar tak bolak-balik maka beberapa kapal mengangkut banyak, tapi tetap saja ada yang tak terangkut, sebagai kepala desa yang berpengalaman ia memutuskan yang tak terangkut disumbangkan ke daerah sekitar. Beres? Sementara…

Karena suatu ketika muncul desas-desus bahwa beras itu dikorupsi sang kepala desa, mengambil dan menyimpan untuk pribadi. Betapa marahnya ia, maka ia melakukan sumpah. Bernyali melakukan tippu sasa, melakukan kutukan bagi dirinya sendiri di hadapan banyak mata. Dan berdoa Ulaumanua melindungi anaknya. Jleb! Keren… Padi tak pernah tumbuh subuh di tanah gambut tanah lumpur tanah cadas.

Ada bagian setiap selip beberapa bab, tentang tarian mistis. Antara impian atau kenyataan, laku purba untuk memohon roh leluhur atas sebuah musibah atau permintaan yang rasanya sulit diwujudkan. Mimpi-mimpi tentang sirei muda yang menari di atas api unggun. Jangan biarkan jiwa-jiwa keluar dari kampung ini. Dan engkau roh-roh punen, terimalah roh-roh mereka, dan lindungilah mereka dari segala penyakit dan dari kejahatan. Persembahan yang rasanya akan dimusnahkan agama baru itu lantas kembali dilakukan demi keselamatan seorang terkasih. Legeumanai Sura’-Sabbeu. Ia dingin di dalam api…

Dalam remang purnama, semua yang hadir di uma itu bergeletakan; sebagian berbaring begitu saja di beranda, sebagian lainnya membentangkan kelambu-kelambu dan meringkuk di dalamnya. Pikirannya kusut-masai.
Budaya yang dipertahankan menjadi benteng kemajuan. Seekor babi telah disembelih, dimantari, dan dibaca juga gurat hatinya. Bukahkah jiwa-jiwa kami telah dipikat sedemikian rupa agar tetap betah di uma. Lucu juga agama baru yang diperkenalkan mendapat sambutan, walau banyak yang berganti-ganti sesuai selera. Semua orang mengaku sebagai simata saja, sebagai orang awam saja. Sebagian menanggalkan agama lama dan menggantinya dengan salah satu agama-baru-resmi-pula. Rada aneh rasanya, Menyanyikan lagu-lagu pujian kepada tuhan yang bukan roh leluhur. Babi bagi muslim haram, tapi di sana kan jadi kebanggan kekayaan. Sipuisilam, tak boleh makan babi. Nah!

Ini adalah kandidat pertama KSK yang kubaca pasca pengumuman daftar panjang. Lumayan bagus sebagai pembuka, bisa masuk daftar panjang saja sudah syukur, apalagi bisa melaju ke lima besar, yang jelas bukan jagoanku untuk juara. Buku pertama yang kubaca dari penerbit indi Teroka, yang ternyata masuk ke ‘Naskah yang Menarik Perhatian Juri’ Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019′. Temanya terlalu umum, sudah sangat banyak cerita tentang suku pedalaman yang diterjang modernitas, walau dengan bahasa yang unik, walau dengan narasi yang mendayu, walau dengan meliuk-liuk panjang, jelas kualitas adalah utama.

Telusur kata itu menemukan klik akhir yang menentrampakan, bahagia dan lega.

Puncak pohon katuka, sebuah uma, jajaran abagmanang, bakkat katsaila… Tampak luar biasa, magege.

Burung Kayu | by Nudiparas Erlang | Copyright 2020 | ISBN 978-623-93669-0-2 | Penerbit CV. Teroka Gaya Baru | Cetakan I: Juni 2020 | Penyunting Heru Joni Putra & Fariq Alfaruqi | Sampul Kevin William | Tata Isi Gerbera Timami | Skor: 3.5/5

Untuk para pemeluk teguh Arat Sabulungan

Karawang, 140920 – Protocol Harun – A Whiter Shade of Pale

Thx to Dema Buku, Titus Pradita, Tokped.
Dua sudah, Sepuluh Menuju – KSK 20