
“Namaku, Siska? Bramandita. Panggil saja Bram…”
Mungkin tampak klise. Namun ternyata tak seklise itu. Pengelolaan cerita mengalir nyaman, cerita para remaja tentang kasih tak sampai, cinta segitiga mencipta bencana, karena status sosial, si miskin yang merindukan damba pasangan kaya. Orang tampan yang mengingin cinta gadis cantik. Hingga berantem marah akibat cemburu. Sebuah tusukan maut, mengacaukan tatanan kehidupan para muda-mudi ini. Liar, penuh amarah, jantan.
Bramandita atau panggil saja Bram dalam perjalanan balik ke Bandung, dengan bus butut di Jakarta mengejar kereta api. Hampir tertabrak mobil saat turun dari bus, dan mau ganti moda. Mobil dengan sopir pemuda, turun dan hampir baku hantam. Namun di samping sopir ada cewek cantik, yang mencegahnya, namanya Siska sebab disebut oleh si sopir. Bram jatuh hati.
Jodoh memang tak ada yang tahu. di stasiun Bogor, nasib mempertemukan Siksa dan Bram duduk berdampingan. Perjalanan kereta malam itu, seharusnya syahdu. Namun sang pacar Tommy sudah wanti-wanti, dan kekikukan tak cair hingga sampai Bandung. Tommy berkata dalam hati, “Alangkah bermurah hatinya Tuhan berkenan memberi kesempatan dalam hidup Bram untuk melihat hasil ciptaanNya yang begitu memesona.” Malah, seorang pramugari cantik Merri yang menambatkan hatinya. Merri dijemput pamannya, Bram diantar, nebeng sampai rumah.
Bram adalah mahasiswa ITB, anak seorang penjahat kambuhan. Ayahnya kini mendekam di sel tahanan karena kasus perampokan yang gagal. Naas, rumah korban malam itu yang dikira kosong, malah ada penghuni lain. Kasus perselingkuhan, yang karena niat pencurian itu, membongkar affair. Ibunya hanya tukang jahit, terima pesananan. Seringnya dari butik ternama, yang mengalirkan pekerjaan ke ibunya.
Nah, nasib kembali mempertemukan Bram dengan Siska sebab saat ibunya minta tolong mengantar baju pesanan ke tantenya Zus Nelly, malah diminta langsung ke rumah pelanggan. S. Harjadiningrat di Jl. Trunojoyo. Dan ternyata itu rumah Siska. Masih sama, mereka berdua tampak ketus, belum cair. Masih jaga gengsi. Bram benar-benar jatuh hati akan kecantikan Siska, yang sudah bertunangan dengan Tommy. Mereka sejatinya saudaraan, dulu Tommy adalah anak angkat Suradi Harjadiningrat, ayahnya Siska. Anak pancingan dari saudara, maka setelah Siska lahir dan adiknya juga, Tommy dikembalikan. Namun garis nasib sudah digoreskan.
Sebuah wisata di Tangkuban Perahu, Lembang menjadi pemicu sejatinya. Siska dan Tommy pacaran, Bram dan teman-teman kuliahnya juga di sana. Sutikno, mahasiswa sekaligus guru SD yang sudah menikah dan punya tiga anak, istrinya Soraya, anaknya Nora, Andi, Barda. Ini kurang ajar sebab malah berpacaran dengan mahasiswi Sri Sudarmi yang pacarnya ke luar negeri. Bram berdiri di tengah-tengahnya. Untungnya ia masih punya hati sehingga ajakan Tikno, nanti malam ke rumahnya diajak belajar atau ke mana kek agar mereka bisa jalan. Sebuah misi perselingkuhan, tapi gagal, malah berujung petaka. Mobil plat Jakarta Kingswood Tommy nyusruk mengakibat ia luka parah. Dibantu Bram, dan inilah yang membuka hati Siska.
Ibu Bram sudah memprediksi, mending sama Merri. Pramugari baik, yang ketika diperkenalkan berhasil menyentuh hatinya. Ketimbang Siska yang kaya, tapi berpotensi remuk. Naluri keibuannya memberitahu bahwa anaknya sedang menempuh jalan yang berbahaya. Sebuah cenayang yang tepat. Sebab kisah ini menjadi hitam saat Bram memaksa diri untuk memilih Siska. Begitu pula feeling ibu Siska. Ah, perasaan lembut seorang ibu yang cinta anak-anaknya. “Aku mendapat firasat, akan terjadi hal-hal yang tidak kita kehendaki. Mudah-mudahan saja pemuda lain yang diundang anak kita, berhalangan datang…”
Sebuah undangan pesta ulang tahun ke delapan belas Siska menjadi bencana. Tommy yang tak diundang, datang langsung dari Jakarta. Bram yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba, motor butut tua Honda rusak di jalan. Dan walau terlambat sampai, bersiteganglah Tommy dan Bram di sana. Kehadiran Bram merubah situasi itu secara total. Alangkah mustahil pertemuan semacam itu bisa terjadi di tengah kecamuk jalan yang semakin edan ini. Lebih mengejutkan lagi, ayah Siska ternyata sudah mengenal Bram, dan itu menambah bumbu percik amarah. “Tommy ada di sini sekarang. Hadapailah kenyataan itu. Camkan pula, kalian sudah bertunangan. Aduh nak, tahukah kau apa artinya?” Ditambah lagi nama seorang cewek, Lidya yang hamil menambah pusaran konfliks.
Hingga di ujung kisah cinta segitiga ini, tak semua selamat. Nyawa seseorang melayang. Egoism, amarah, hingga pilihan hidup yang terlampau memaksa bisa jadi karenanya, waktu tak bisa diputar balik. Begitulah kehidupan.
Buku terbit tahun 1980-an, banyak kosa kata jadul. Gongli? Saya tak tahu, hingga akhirnya saya googling. Artinya gadis yang melacur untuk kesenangan semata. Hehe, kata penting di eksekusi akhir ini ternyata. Atau kutipan ini, saya tak paham. Seperti Joan Tanamal ditanya Tanty Yosepha, Tommy menyahut: “Ya mana.” Dan berkat Google saya menemukan jawab. Itu kutipan dialog film Yoan (1977) yang pastinya nge-trend kala itu. Wajib dicari!
Atau kalimat yang masih relate hingga saat ini, “Hanya satu dua. Perkembangan peradaban tidak membuat orang lantas kehilangan sopan santun… Bram, Aku akan menangis selama satu minggu, kalau kau tidak mau kuajak makan sekarang…!” Tampak manja, tapi ada benarnya juga.
Satu kalimat panjang lebai, saat Bram dirasuki asmara tampak wajar. Kita semua pernah muda dan mengalaminya. Cinta itu buta. “Tuhanku. Apakah aku telah jatuh cinta pada Ummat-Mu yang bernama Siska? Jawablah. Jawablah. Apa? Kau tidak mau menjawab? Kalau begitu KAU tak jujur. KAU perlihatkan Siska kepadaku, dan ketika aku sudah mulai menyukai gadis itu, KAU tidak mau menyalakan oborMu untuk menerangi dadaku yang gelap gulita ini…”
Karena ini bersetting jadul, tak ada internet, taka da HP maka sebuah permintaan maaf dikirim via surat. Yang kemudian diminta lagi, sebab menyampaikannya langsung akan lebih afdol. “Tak sepatutnya aku meminta maaf lewat kartunama. Itulah sebabnya aku datang hari ini… untuk mengulangi permintaan maaf atas kekasaran dan kekeliruan yang telah kuperbuat.”
Dan betapa relate-nya kehidupan ini akan nasehat penting ini. masa muda, masa yang berapi-api. Segala zaman akan sama, kesalahan-kesalahan kembali terulang, dan segalanya dilindas waktu. “Aduh, Nak kau masih muda, masih belum matang mengenyam hidup di dunia ini. Bagimu, atau bagi orang-orang muda seperti kau, apa yang tampak itu sajalah yang ada. Apa yang tersirat tak pernah kau baca…”
Sayang sekali buku ini dicetak tanpa ISBN, tanpa tahun. Identitas buku hanya tiga: judul, penulis, penerbit. Hanya itu! Padahal ini buku bagus, terbaik setelah Kolam Darah yang horor abis, keren abis! Buku ini jelas ditulis seorang kawakan, seorang yang tahu bagaimana mencipta kejutan. Sebab bab terakhir sangat keren. Tak menduga, kukira bakalan klise dengan bumbu roman, tapi mahal berdarah-darah, twist. Dan jelas, saya menambahkan nama beliau di daftar penulis lokal favorit.
Bram yang malang. Tommy yang malang. Siska yang malang. Betapa jahatnya dia, betapa banditnya dia. Sejahat ayahnya sendiri. Sebandit ayahnya sendiri. Cinta segi tiga di antara mereka telah sama-sama melahirkan dendam. “Betapa kejamnya dunia.”
Menentang Sejuta Matahari | by Abdullah Harahap | Penerbit Sinar Pelangi, Bandung | Skor: 4/5
Karawang, 120922 – Miles Davis – Once Upon A Summertime
Thx to Erii, Jakarta