Fiksi Sejarah Myanmar dan Sekitarnya

The Glass Palace by Amitav Ghosh

“Orang-orang berpikir bahwa ini menyedihkan dan memang begitu. Tapi itu juga berarti bahwa aku tak punya pilihan lain kecuali memilih keterikatanku sendiri. Ini tidak mudah, seperti yang kaulihat. Tapi itu semacam kebebasan, dan oleh sebab itu, tidak tak bernilai.”

Penerbit Hikmah lagi, beberapa kali terjemahan Hikmah (grup Mizan) begitu memuaskan. Yang ini sungguh tebal, kumulai baca 3 Juni, dan diharapkan selesai akhir Juli, ternyata mbablas panjang sampai 17 September 2022. Buku tebal, lebar, walaupun fiksi ini bisa jadi adalah fiksi dengan sisipan sejarah yang sangat kental. Karena saya tak tahu sejarah Myanmar, maka banyak fakta sejarah yang fresh. Beberapa bagian malah membuatku mencipta kerut kening, terutama bagian awal bagaimana sang raja yang menyerah dengan mudah terhadap tentara Inggris (yang jua menjajah India), sehingga saat serbuan kompeni itu campuran Inggris – India. Di sana sampai mencipta sentiment anti-India. Begitu juga fakta sejarah, bagaimana tentara Inggris warga asli India lalu membelot membentuk tentara Nasional India, masa tahun 1940-an yang riuh akan kemerdekaan.

Kisahnya bisa jadi tentang Rajkumar, lelaki Burma (sekarang Myanmar) keturuan India. Ia adalah keturunan terakhir dalam silsilah keluarganya sebab dalam perjalanan perahu ke Mandalay, ibunya meninggal di atas sungai, namun sejatinya buku berkisah tentang sejarah Myanmar, Kolkota, Malaysia, hingga India. Semenajung Asia Tenggara di akhir abad Sembilan belas hingga seabad kemudian.

Seperti kita tahu, abad dua puluh riuh akan Perang Dunia pertama dan kedua, dan ini adalah salah satu efeknya. Perang sering menimbulkan benturan antara sejarah dan kehidupan individu. Dalam keadaan perang, situasi seperti revolusi, evakuasi massal, pemindahan populasi secara paksa, dan seterusnya, tak ada yang bisa memilih untuk menjauh dari sejarah. Abad dua puluh menjadi saksi atas berbagai malapetaka di Asia dan The Glass Palace mencoba mengisahkan dampak peristiwa tersebut terhadap keluarga dan individu.

Rajkumar muda, 11 tahun sampai di Mandalay untuk menjadi pelayan kedai Ma Cho. sebagai asisten pelayan kedai makanan yang dekat dengan Istana Kaca Raja Thebaw. banyak desas-desus tentang kehidupan kerajaan, rakyat jelata sekalipun di belakang sering mengeluhkan kemlaratan, mereka tetap mencintai kehidupan para bangsawan. Hormat hingga sembah sinuhun. Maka saat serangan Inggris tiba-tiba datang, Mandalay berubah total. Anehnya, kerajaan yang compang-camping mengeluarkan edaran yang kontradiksi, “Bangsa kita akan berpacu bersama para jenderalnya, kapten-kaptennya disertai kekuatan besar indanteri, artileri, pasukan gajah, dan kavaleri, lewat darat dan air, dan dengan keperkasaan tentaranta akan menghadapi orang-orang kafir ini…”

Dari kedai itulah, Rajkumar jadi saksi perubahan pepindahan kekuasaan, dengan mudah kepemimpinan raja dirampas, dan Burma menjadi tanah jajahan Inggris. Saat raja, Ratu Supayalat, dan segala pemangkunya dipaksa keluar untuk diasingkan, sebuah momen romansa tercipta, Rajkumar jatuh hati pada pandangan pertama kepada Dolly, salah satu pelayan putri. ia menandai, ia memberi hadiah, dan walau tak seindah harapan, ia menjaga asa api. Raja dan segala pasukannya diasingkan ke sebuah pantai di Ratnagiri India Barat, sejauh ribuan mil, jauh dari rakyatnya.

Rajkumar telah melihat terlalu banyak hal di Mandalay dan menemukan terlalu banyak ambisi baru. Rajkumar dengan semangat membaja, ikut dan berguru pada Saya John, seorang wirausahawan yang seolah menjadi bapak angkatnya. Bisnis kayu jati, dan menjadi saksi betapa balok-balok kayu bisa mencipta darah mengalir di berbagai sudut. Singkat kata singkat cerita, Rajkumar sukses besar. Ia berhasil dalam perjudian bisnis, meminjam uang dan memutarnya dengan jitu, dan tersebab ia ingin merekrut orang-orang India, ia meminta tolong sama orang dalam, Uma sang istri Kolektor. Ia ingin bertemu Dolly, dan menyampaikan cintanya. Pengasingan yang dikira sebentar, ternyata lama. Di tahun 1905, 21 tahun pengasingan sang raja. Dan nantinya Ratnagiri menjadi tempat tiada pula bagi snag raja terakhir Burma.

Rajkumar di usia matang, Dolly yang cekatan dan begitu mengabdi awalnya tak tahu sejarah sang pemuja. Bahkan saat diminta untuk menjadi istri sang juragan, ia menolak. “Dia mencintai apa yang diingatkanya. Itu bukan aku.” Uma menjadi mak comblang, meyakinkannya, memintanya mengambil kesempatan. Ini hanya satu kali peluang, bila ia menolak maka, Dolly bisa jadi akan menghabiskan sisa hidupnya sebagai pelayan di tanah pengasingan. Dan dengan dramatis, lewat kapal yang beranjak, ia berlari mengejar masa depannya sendiri.

Begitulah, kisah ini lalu menuturkan kehidupan Rajkumar yang bahagia, dan segala turunannya. Memiliki dua anak, Neel  yang melanjutkan bisnis keluarga, dan Dinu yang suka fotografi. Lalu satu cucu yang menyatukan keluarga ini nantinya karena terpecah akibat perang, Jaya. Si bayi, Jaya menjadi pengikat yang menyatukan seluruh keluarga. Kisahnya sendiri menjadi pencarian di bab akhir, bagaimana Jaya mencari pamannya di sebuah kota kecil sang asing.

Plotnya sendiri jadi sangat liar kemana-mana. Uma yang janda menjadi seorang revolusioner. Bagi Uma, pemberontkan dan cara penumpasannya merupakan kulminasi mimpi buruk sebulan lamanya. Ia nantinya bergabung dengan Mahatma Gandhi. Ia menjadi saksi kejahatan Rajkumar melakukan tindakan asusila terhadap perempuan bawahannya, dan ia pula nantinya di hari tua menghabiskan malam-malam hening dengan yang ia kutuk. Tampak absurd sebenarnya, Uma yang sungguh kuat dan saking hebatnya, terlihat tak masuk akal.

“Bagaimanakah kau akan melawan musuh yang bertempur bukan karena kebencian maupun kemarahan, tetapi karena rasa patuh pada perintah atasan, tanpa protes maupun kesadaran?”

Bagian yang bikin salut adalah perjuangan India mengusir Inggris. Salah satu keturuan Rajkumar nantinya jadi tentara Inggris, dan bersama rekannya terbelah antara berdiri sendiri menjadi pribumi (sehingga disebut penghianat, pemberontak) ataukah bergabung dengan tentara baru, India. Yang merka inginkan hanyalah mengusir Inggris supaya mereka bisa melangkah masuk dan menggantikan posisi Inggris. Bahkan masuknya Jepang makin membelah kubu. Yah,  kita harus ingat bahwa mereka adalah generasi pertama tentara India yang terdidik. Mirip Indonesia tahun 1940 s/d 1945, terpecah dan rumit. Dia telah membentuk unit independen – Tentara Nasional India. “Kapten Mohun Singh telah mengambil langkah besar. Dia memutuskan untuk berpisah dengan Inggris.”

Tak ada penguasa yang baik dan penguasa yang buruk, semakin baik seorang penguasa, semakin buruk kondisi sang budak, karena dia berhasil membuat sang budak melupakan siapa dirinya. “Apa mereka juga bicara soal politik? Ya, sepanjang waktu. Mustahil untuk tak melakukannya, di Myanmar.”

Mengutip Weston, atau Trotsky bahwa bentuk seni dan revolusioner bisa menyentakkan orang atau mengusik rasa puas diri mereka atau menantang ide-ide lama berkat ramalan konstruktifnya mengenai perubahan.

Nilai novel sebagai suatu tulisan, kemampuannya untuk menginkorporasikan berbagai elemen yang terkandung dalam setiap aspek kehidupan – sejarah, sejarah alam, retorika, politik, keyakinan, agama, keluarga, cinta, seksualitas.

Ini adalah buku pertama Amitav Ghosh yang kubaca. Lahir di Kolkota (sejak 2001 ejaan Inggris Calcutta diubah menjadi Kolkota, karena begitulah sebutan dalama bahasa Bengali, sekaligus menghapus pengaruh kekuasaan Inggris), kecil di Bangladesh, Sri Langka, da India Utara. Ia tinggal di New York bersama istri dan kedua anaknya.

Mungkin kurang sreg sama pemilihan penyampaian kisah, terlalu klise dan mudah ditebak, panjang berliku dan isinya kurang nendang. Hanya bagian-bagian tertentu yang mencipta wow, rerata biasa. Nilai lebihnya ini buku fiksi sejarah yang nyaman dan mudah diikuti, nilai kurangnya, bahasanya kurang satrawi, umum, dan sangat mudah dicerna. Tak sampai meluap-luap seperti buku Hikmah lainnya, tapi sudah cukup sebagai permulaan Amitav Ghosh, pemennag penghargaan Satra Italia, Grinzane Cavour Prize. Kalau ada buku lainnya, siap dinikmati.

Istana Kaca | by Amitav Ghosh | Diterjemahkan dari The Glass Palace | Terbitan Random House Trade Paperbacks, Inc. New York, 2000 | Penerjamah Reni Indardini | Penyunting Suhindrati a. Shinta | Penyelarasa aksara Alfiyah, Indah | Pewajah sampul Andreas Kusumahadi | Penata letak elcreative26@yahoo.com | Penerbit Hikmah (Pt. Mizan Publika) | ISBN 978-979-114-220-5 | Cetakan I: September 2008 | Skor: 4/5

Untuk Kenangan tentang Ayahku

Karawang, 200922 – Gerry Mulligan – Capricious

Thx to Ade Buku, Bdg

Badla: Kau Ada di Sini Sebab Kau Ingin Berada di Sini


“Di manakah keadilan?” N.G. Cherneshebvski (1928-1889)

Apakah kita cukup kuat untuk membongkar sebuah kasus pembunuhan? Tagline-nya sangat pas dan sudah mewakili inti cerita: memaafkan setiap saat tidaklah benar. Film sejatinya hanya di kamar hotel, tapi dalam berkisah latar, lantas melalangbuana ke rimba ingatan. Berdua merangkai kesepakatan, bekerja sama saling silang pendapat dengan was-was menjaga atensi untuk membunuh kata. Waspadalah, ada orang lain yang ingin mengambil keuntungan dari informasi yang kau miliki. Ini adalah film perang kata-kata demi menegakkan keadilan.

Luar biasa. Aku terhenyak. Tak menyangka, tutur cerita yang disajikan sungguh samar, dan saat tirai itu dibuka, aku terkejut. Pintar sekali yang bikin cerita. Ide menyelidiki, menakar, menimbang berbagai kemungkinan, mengungkap kasus berat dilakukan orang sipil dan berhasil dengan gemilang saja sudah terdengar aduhai. Ini disajikan dengan nampan emas, dengan kuah melimpah masih panas dan segar, aromanya dahsyat. Detektif dengan pengungkapan menyenangkan. Sajian istimewa dari India, aku jatuh hati (lagi) sama aktor senior Amitabh Bachchan.

Kisahnya tentang pasangan selingkuh Naina Sethi (Taapsee Pannu) dan Arjun (Tony Luke) yang sama-sama sudah berkeluarga, berlibur ke Eropa. Sebuah telepon masuk dan menyadarkan mereka untuk gegas pulang, di perjalanan terjadi kecelakaan. Korban pemuda bernama Sunny Kaur langsung meninggal (setidaknya sampai di jelang akhir yang kita tahu), dalam kepanikan karena buntutnya akan panjang, mereka malah menjerumuskan diri dalam palung masalah dengan menenggelamkan korban beserta mobilnya di danau.

Saat bergegas, mobil mereka bermasalah dan muncullah penolong. Keluarga itu membereskannya, menjamunya, dan kini malah runyam. Sebab mereka adalah orangtua korban, saat HP anaknya dihubungi ada di kantong Arjun, dan ia berakting menemukannya di meja lantas dikembalikan. Well, jalan pintas mengatasi masalah itu kini justru menjadi jalan panjang nan berliku meliar parah.

Sekembali ke rutinitas, mereka mencoba melupakan, kembali ke keluarga masing-masing. Oh tidak bisa, perasaan dosa dan kesalahan itu menghantui, dan kasus ditelusuri sedetail-detailnya. Naina adalah seorang bos dengan kuasa besar di Perusahaan, kunci utama di sini, ia punya uang dan suka manipulatif demi kepentingan pribadi, Arjun sejatinya coba dihilangkan. Namun tidak, kasus malah makin rumit. Dosa satu menentang dosa berikutnya.

Di hotel lain, kita kedatangan tamu, atas saran Jimmy pengacaranya, ia meminta tolong pada pembela kondang yang dalam kariernya 40 tahun tak pernah kalah dalam bersidang. Badal Gupta (Amitabh Bachchan) akan disewa Naina, ia kena kasus berat tuduhan pembunuhan kekasih gelapnya Arjun di hotel. Badal meminta calon kliennya menjelaskan sejujur-jujurnya, sebab kalau ia tak jujur ia akan tahu dan kesepakatan batal. Maka dituturkan ulang kasus ini. Apa yang tampak di depan, itu direka ulang dengan berbagai versi dan sudut pandang. Ia mencoba membuat kita bingung, melahirkan keraguan dan membuat kita takut untuk memenuhi kehendaknya. Badal tahu ada kejanggalan, mengoreksi, menjelaskan, meluruskan. Kejujuran memang pahit, tapi berhasilkah disampaikan? Sebab sang penutur dilema, “Aku akan menjadi bukan hanya tertuduh pertama, tetapi malah menjadi tertuduh utama.”

Naina makin kagum akan pembela kondang ini, sebab telaah dan analisisnya tajam, bahkan kasus pembunuhan di hotel yang awalnya terpojok sebab kamar terkunci dari dalam, dan segala tuduhan mengarah kepadanya. Ia lalu menyusun alibi dan agak merasa tenang sebab meyakini ada orang ketiga, kepalanya berdarah kena pukul, dan ia masih berpotensi bebas. Namun kita kembali di awal, dari desa kecil Aviemore tempat kecelakaan yang menewaskan Sunny. Dengan pola acak dan plot liar, irisan bawang itu dikupas dengan sangat seru dan sabar, sampai pada keputusan final. Ok, akhirnya Naina mencerita seaktual mungkin, segamblang mungkin, sesadis mungkin. Kita baru tahu, ada ungkapan besar terungkapkan jelang Badla berakhir. Kali ini tepuk tangan saya membahana, penonton terpesona, tirai pertunjukan ditutup dengan sungguh meriah. Konveti ditabur berhamburan memenuhi panggung. Sensasi sedap cerita film berkelas baru saja terjadi.

Ternyata setelah browsing, ini adalah adaptasi dari film Spanyol berjudul Contratiempo (2016). Sudah sangat lazim, film dari satu negara didaur ulang negara lain. Entah aslinya bagaimana, yang jelas versi Badla benar-benar memukauku. Film-film India, kata Cak Mahfud menjadikannya keuntungan baginya, salah satunya ia tahu Akele Hum Akele Tum yang mengekor Kramer vs. Kramer, ia menepuk sekali, dua lalat terjerebab. Atau Ghulam yang menjiplak On The Waterfront, dan tentu saja Mann yang merupakan copyan An Affair to Remember. Kali ini adalah adaptasi resmi. Sejujurnya daripada bilang imitasi atau tiruan, mending adaptasi resmi. Rasanya lebih terhormat.

Amitabh Bachchan sukses besar memainkan orang cerdas yang selalu penasaran. Itulah yang membuat 100% ampuh, insting yang tajam. Saking lamanya tak melihat aktingnya, serasa nostalgia. Biasa nonton di tv tahun 1990-an, dulu rasanya ia sudah tua, kali ini makin terlihat tua. Tangguh, cerdik, lentur, keras, dan tua tapi tidak terlalu tua. Atau singkatnya ia tetap berkharisma, dari tatapan matanya saja kita tahu, ada kejanggalan yang akan dibongkar, dari intonasi, kita turut was-was salah langkah. Bahasa adalah peperangan dalam bentuk lain. Dan pada akhirnya segalanya terbuka dari hotel sebelah. Hebat sekali, oh ini to alasan beliau keras dan tak pandang maaf. Sabar sekali kisanak.

Menjaga agar saat menonton tidak kena bocoran di era digital sungguh sebuah perjuangan. Maka tanda spoiler patut diacungkan di mula bila kita mau bercerita sinopsis secara detail sampai tangan kapalan mengetik, mulut berbusa, saking semangatnya. Aku bersyukur di dunia ini, masih ada hal langka yang bagus selain puisi: twist. Menipu penonton!

Kau ada di sini sebab kau ingin berada di sini. Ketika rasa shock mulai memudar, berbagai pertanyaan muncul. Kok bisa?!

Badla | Year 2019 | India | Directed by Sujoy Ghosh | Screenplay Sujoy Ghost, Oriol Paulo | Cast Amitabh Bachchan, Taapsee Pannu, Amrita Singh | Skor: 5/5

Karawang, 270921 – Karrin Allyson – All Or Nothing at All

Review ini didedikasikan untuk Harsoyo Lee, yang hari ini ulang tahun 47. Sehat, bahagia, makmur. Thx atas rekomendasi film-filmnya. ❤

Aku hanya berharap kita semua tetap sehat, rukun di BM dalam keragaman, tak ada yang lain.

Section 375: Drama Pengadilan Mencipta Kerut Kening Berlapis

Zero tolerance policy for sexual misconduct.”

===tulisan ini mungkin mengandung spoilert===

Film India tak hanya menari dan bernyanyi. Film India juga banyak yang slow dan menantang nalar serta edukasi hidup, inilah salah satu produk unggul sinema tentang drama di pengadilan. Mengingatkanku pada novel-novel John Grisham yang solid, perdebatan mendalam di kursi-kursi panas, mengingat pula kegigihan dan kepahlawanan perempuan di novel-novel Sidney Sheldon, terutama Rage of Angels yang dahsyat. Di sini, perempuan tampak lebih hebat, lebih perkasa, dan menangan. Urusan syahwat, lelaki selalu apes berkonotasi. Alurnya khas Sheldon yang upaya membalikkan keadaan dan dramatis-nya dapat. Section 375 merupakan bagian KUHP yang berlaku di India, yang jadi rujukan ayat kasus pelecehan seksual.

Dibuka dengan ditangkapnya seorang sutradara terkenal Rohan Khurana (Rahul Bhat) atas tuduhan pemerkosaan disertai kekerasan terhadap desainer kostum yang membidani filmnya, Anjali Dangle (Meera Chopra). Tampak sangat meyakinkan kasus ini, pendulum salah memberat pada laki-laki kalau mengenai syahwat. Pengacara yang ditunjuk adalah pengacara senior Tarun Saluja (akting hebat Akshay Khanna) berupaya sebaik-baiknya mendampingi, melawan jaksa penuntut umum muda ambisius, mantan anak didiknya Hiral Gandhi (Richa Chadda), bisa jadi ini adalah kasus besar pertamanya yang berarti bisa untuk mendongkrak karier. Segala daya dikerahkan demi kemenangan sang korban. Kemenangan menjadi hal mutlak yang harus diraih walau mengorban kemanusiaan, rasa empati diredam di lumpur terdalam.

Kasus yang tampak mudah ini lalu mengabu, meragu, luruh dengan berjalannya menit, sangat mengingatkan film noir 12 Angry Men di mana, para juri berubah haluan perlahan dengan terungkapnya fakta-fakta baru dalam selidik. Section 375 mengupas perlahan detail perkara, tak lurus bernarasi tapi jelas dipikat dengan gaya menegangkan. Khurana seorang public figure, sehingga mengundang lalat perhatian, ia dicerca dengan dalih menggunakan kuasa sutradara film dengan melaksana pelecehan. Membakar emosi nitizen. Sampai muncul demo berjilid-jilid meminta terdakwa dihukum seberat-beratnya, atau sebijaknya dibilang seadil-adilnya? Sejujurnya adegan demo-nya kelihatan banget palsu. Property massa dan lembar bendanya kaku, tak digarap dengan intens. Khurana ditengah tekanan publik tampak tenang, tak menggebu, tampak sangat bersalah – ya, tampak menyembunyikan poin penting – ya, pertaruhan aib dan mertabat. Aib seorang lelaki, dan martabat pekerja seni. Anjali sebagai korban juga pasif, menampil perempuan lemah yang dirugikan – ya, menjaga emosi tetap tertahan – ya. Yang jelas ada sesuatu yang disembunyi mereka berdua. Menempatkan diri sebagai designer yang tak bernama di kancah Bollywood, tapi ketika menit mula kedatangannya di apartemen diungkap, kita tahu ada yang janggal.

Ia hanya seorang rekomendasi, ia seorang fan, ia seorang posesif akut!

Anjali datang ke apartemen Khurana untuk menunjukkan kostum filmnya. Pembantu diminta keluar, lalu kasus itu terjadi. Kejanggalan pertama muncul, rambut Anjali ada di kasur padahal pertemuan di ruang tengah. Apakah ada paksaan masuk kamar ataukah sukarela? Kejanggalan berikutnya, memar luka di selakangan, andai ada kekerasan fisik, kenapa ada di kedua sisi dengan bekasnya kena benda keras. Tak ada barang bukti ditemu, tak ada benda keras yang ditemukan di TKP. Lalu CCTV dan rekaman coba dibuka, booom! Menarik sekali. Adu cerdik ini menemui titik akhir yang mengejutkan. Menggemaskan. Kasus pemerkosaan ini lebih suram dari yang dikira.

Jelas ini adalah salah satu film pengadilan terbaik, angka penjualan tiket bioskop mengecewakan – mungkin karena tema drama merenungnya, tapi secara ulasan sangat positif – jelas, ini kisah drama roller coaster. Penampilan terbaik Akshay Khanna, turut gereget, ikut sedih tapi tak sampai nangis. Menampilkan perjuangan hingga titik keringat terakhir, tampak lelah sekaligus semangat membara dalam sorot mata harap. Keyakinan, memang sekalipun benar terkadang menampar umatnya. Simbol pengadilan menampil wanita dengan mata ditutup kain dengan memegang timbangan, yah begitulah. Telaah Section 375 membutuhkan kemampuan Kognitif Elliot yang terdiri atas kecerdasan, ingatan, dan perhatian. Produk hukum tak ada yang sempurna, bisa dimanipulasi dan disalahgunakan. Menikmati jenis film drama semacam ini butuh konsentrasi dan sejumput kesabaran.

Secara naskah juara. Seolah kupas kulit bawang, yang perlahan nan pasti kebenaran adalah inti, selongsong kulit itu diungkap satu per satu, satu per satu, lalu ketika sampai di keputusan ternyata malah menimbulkan air mata kepedihan. Naskah seperti ini sulit dibuat, plot maju-mundur, drama kriminal tanpa tembakan dan ledakan. Mencintai sepi dan kebosanan, laksana perdu puisi. Baca syair melengking nyaring, moral diikat ketat, ruang sidang pengadilan yang menolak gema kebenaran. Simpan argumenmu, jabat tangan di makan malam menjadi fakta pahit ironi kehidupan berikutnya. Lantas, siapa penista pengadilan sesungguhnya?

Endingnya bikin marah penonton. Tak kita kira akhir babak semacam itu. Hakim berkerut kening, penonton berkerut kening, para juri berkerut kening, inilah film yang mencipta kerut kening berlapis-lapis. Pak Pengacara dan Bu Jaksa lalu ngopi bareng. Hahaha… film yang mengajarimu banyak hal. Film yang tak nyaman, mencipta hingar bingar di meja kursi pengadilan.

Contoh nyata, bagaimana sebuah sinema berhasil mengatrol keadaan dan emosi penonton, film tenang yang perlahan nan pasti riaknya menggelombang luapan atensi tinggi. Suatu hari, entah sepuluh atau lima puluh tahun lagi Film Ini akan jadi pembahasan seru para akademisi calon-calon sarjana hukum, dengan dalih yang tampak di permukaan tak seperti yang kamu kira. Beruntung kita sudah mengerutkan kening terlebih dulu. John Grisham bertepuk tangan dengan nyaring di sana. #MeToo

Section 375 | India | Year 2019 | Directed by Ajay Bahl | Screenplay (additional & dialogue) Ajay Bahl | Story and screenplay (dialogue) Manish Gupta | Cast Akshaye Khanna, Richa Chadha, Meera Chopra, Rahul Bhat, Shriwara, Kishore Kadam, Kruttika Desai | Skor: 4/5

Karawang, 130520 – Bill Withers – Lean on Me

Gully Boy: Ideologi Rap dan Konsekuensinya

“… Akan kuubah mimpiku untuk disepadankan dengan realitaku. Aku ingin ubah realitaku agar sepadan dengan mimpiku. Tuhan telah memberiku hadiah, aku takkan mengembalikannya. Keputusanku sudah bulat.”

Selama ada kehidupan, harapan selalu ada untuk mewujudkan mimpi adalah tema film yang sangat umum. Sudah jutaan kali dibuat. Gully Boy hanya gelintir itu. Saya lebih mengenal musik rap dari Amerika, yang umum saja dari Eminem, Kanye West, 50 Cent sampai Puff Daddy, bonus Mike Shinoda demi Linkin Park. Sejarah musik berakhir dengan gairah dan ledakan keberanian. India? Alamak, baru kali ini saya menyaksikan ada yang nge-rap bahasa Hindi. Untung terjemahan filmnya bagus (thx a lot Rafli_Khan), yang bahkan adu rap dialihbahasakan dengan lugas. Banyak kalimat puitis, banyak romantisme, karena ditulis oleh mereka yang langsung bersentuhan dengan jalanan, seakan memang curhat penyanyi kepada pendengarnya, ini lho kehidupan masyarakat kelas bawah, seadanya, mengalir apa adanya. Seru menyaksikan rapper menyatu gitu, great act put together. Bertahun-tahun sejak sekarang, akan ada potongan adegan film ini yang akan dibagikan dan dinyanyikan dalam media sosial. Catat itu. Penampilan pas rap battle bagus sih, natural saling ejek dan cela di atas panggung. Ngalir saja, seolah memang tak ada arahan naskah, karena memang mereka rapper asli.

Kisahnya tentang rapper India yang tumbuh dari keluarga kelas bawah di Mumbai. Murad Ahmed alias Gully Boy – yang berarti Remaja Jalanan (diperankan dengan menawan oleh Ranveer Singh). Ia adalah mahasiswa tingkat akhir, seorang muslim dalam keluarga kolot. Ayahnya poligami, dengan membawa istri barunya ke dalam rumah sempit mereka. Ayahnya hanya seorang sopir pribadi yang berjuang mencari uang untuk menghidupi banyak anggota keluarga. Ibu Murad seorang pembantu, istri pertama yang sering cekcok, nenek Murad dan adik Murad. Hidup dalam rumah sederhana sekali, kurang petak karena sempit, kumuh dan berisik.

Pacar Murad adalah mahasiswi kedokteran dari keluarga terpandang, ayahnya dokter, Safeena dipaksa jadi dokter bedah. Walau terlahir dan besar dalam Islam yang taat, terlihat Safeena Firdaus (diperankan badass oleh Alia Bhatt) ingin bebas dari kungkungan ketat. Aturan dasar moral itu sederhana: hasrat menginginkan, agama melarang. Berdua, melawan dunia. Adegan saat di bus, Murad duduk dengan earphone santai, lalu Safeena setelah ibunya turun dari bus, ia menyusul duduk berdampingan, berbagi penyumbat telinga musik dengan tangan saling meremas, ikonik sekali.

Hasrat Murad adalah musik, berkenalan dengan rapper lokal kenamaan, MC Sher (Siddhant Chaturvedi). Ia ingin mengubah masa lalu menjadi puisi. Karena ini menyangkut tentang dirinya, di bagian dalam – hati, maka itu patut ditulis. Inilah yang patut dibaca banyak orang, patut didengar banyak orang. Mencipta musik dengan tulisan aslinya, unggah di Youtube, dengan nama samaran Gully Boy. Respon penonton positif, dan mengundang seorang produser India berpendidikan Amerika, Sky (Kalki Koechlin). Terjadi intrik, karena Sky yang mengenal seks bebas, merasuki kehidupan rendah hati Murad. Kolaborasi mereka bertiga and the genk menuntun kepada kompetisi Rap untuk jadi penyanyi pembuka konser rapper terkenal, berhadiah satu juta rupee. Tak perlu mengenal Naezy dan Devine untuk tahu siapa pemenangnya.

Sayang tema yang diusung terlalu banyak, ga fokus, durasi dua jam setengah ga akan cukup untuk menampung masalah yang meluap: isu agama, bagaimana taaruf dalam Islam ketika akan menikah, dengan memperkenalkan calon pasangan dengan melihat foto dan biodata, tanpa pacaran. Tema mewujudkan mimpi, bahwa seorang kere bisa mencapai kasta tinggi kala berjuang menekan limit kemampuan tertinggi. Tema perjuangan perampok mobil demi bertahan hidup, menghalalkan segala cara. Tema pasangan yang keras kepala, posesif dengan segala daya akan kuperjuangkan cintaku padamu, walau badai menghadang, walau harus mendaki gunung, walau harus menampar gadis lain, meremukkan botol bir ke kepalanya, walaupun harus menentang orang tua. Dan memang gadis macam gini ada. Banyak. Sampai tema musikalitas itu sendiri, ideologi rap dan konsekuensinya.

Menonton film biopik sejatinya perkara titik pandang. Melihat takdir seseorang dari ‘atas’ mengamati nasib dari menit ke menit. Di sini, kita tahu ada yang istimewa pada sang protagonis: bakat dan keinginan keras mengubah jalan hidup. Di antara kegiatan bersama manusia yang paling sulit diorganisasi adalah kekerasan, pada dasarnya manusia baik. Kegiatan paling mudah dalam sosialisasi, bisa jadi adalah bermusik hip-hop. Kasih salah seorang lead sebuah mik, kepalkan tangan dan mari nge-rap!

Adegan saat jelang klimaks, debat sama bapaknya tentang pilihan karier bukan hal baru, sesuatu yang umum. Kewajiban seorang bapak adalah membantu anaknya membuat keputusan-keputusan jitu dan mencegah munculnya keputusan yang salah akan masa depan. Tetapi bagaimana kalau selama ini bapaknya memegang prinsip yang salah, prinsip dusta? Bahwa selama ini ayah mempercayai sebuah falsafah kolot? Bahwa inilah nasib kita, bahwa nasib kita adalah seonggok sampah. Yah, usia tua bukan jaminan pengarah nasib yang baik. “Aku melihat matahari terbit lebih banyak darimu, yang kuajarkan kepadamu hanyalah apa yang aku ketahui.” Nah!

Saya punya tiga alternatif ending yang bisa mengubah penilaian secara menyeluruh. Pertama, laiknya kisah Romeo + Juliet, ending sedih itu menjadi terkenang selamanya. Coba ketika Murad mencapai garis final, buat ending tragis: dia atau Safeena tewas kena geledek kek, tertabrak odong-odong kek, tertembak polisi yang mengejarnya, atau safeena minum racun karena dipaksa nikah dengan pria pilihan ibunya. Saya ga suka mereka semua bahagia, semua karakter utama tersenyum di akhir. Bahkan sang penjual narkoba-pun tampak dijemput pulang, semu lepas bak kelebihan hormon endorfin. Selamalamalamalamalamalamanya… bah!

Alternatif kedua adalah tak tahu siapa pemenang kompetisi, biarkan menggantung. Ketika memasuki final, sang mc mengumumkan acara puncak dimulai dan musik rap mengalun merdu masuk lalu credit title muncul. Biarkan penonton memutuskan sendiri, bagaimana akhir yang diminta. Bukankah yang begini tampak seksi?

Alternatif terakhir dibikin dramatis, ketika Murad semisal sedang di panggung, pengumuman pemenang dan polisi sudah berkerumun di bawah siap menyeret ke penjara. Ingat ya, ada adegan rekan rampok ditangkap, ditengok di sel dan komit menjaga rahasia. Masak secanggih ini, masak serapi itu, Murad tetap tak tersentuh polisi, polisi India kan pintar-pintar bro. dengan mic di tangan polisi berteriak, Murad ditahan sebagai penjahat! Wah ucapan itu akan lebih jleb ketimbang seluruh isi lirik lagu yang dinyanyikan. Hanya karena polisi tidak menangkapmu, bukan berarti kau tak bersalah.

Mungkin karena film berdasarkan kisah hidup rapper asli Naved Shaikh (Naezy) dan Vivian Fernandes (Devine) sehingga endingnya ga diledakkan. Ga dibuat boom! Devine sendiri muncul di akhir film sebagai comeo dalam lagu Apna Time Aega.

Menurut undang-undang Hammurabi tatanan sosial Babilonia berakar di asas keadilan yang universal dan abadi, dititahkan oleh dewa-dewi. Asas hierarki amat penting, menurut kode tersebut manusia terbagi menjadi dua jenis kelamin dan tiga kelas: orang-orang kelas atas, rakyat jelata, dan budak. Dalam Islam, agama yang dianut dua keluarga karakter utama, bahwa semua manusia diciptakan setara, dikarunia Allah hak-hak tertentu yang tak bisa dicabut, antara lain mencakup kehidupan, kemerdekaan dan pencarian kemerdekaan. Sementara menurut sains, manusia bukan ‘diciptakan’ melainkan berevolusi. Dan manusia jelas tidak berevolusi hingga bisa ‘setara’. Gagasan kesetaraan terjalin erat dengan gagasan penciptaan. Ada ironi sebenarnya ketika bapaknya meminta tetap rendah diri, sementara ajaran agama menyatakan kita terlahir sama. Sebagian besar pilihan yang kita buat dalam hidup memang menyakitkan, Pak, maaf saja. Dan Murad menampar orang tuanya tanpa gerak tangan. Di manakah letak optimisme? Di dalam takdir atau kekacauan? Jika ingin menjadi seorang istimewa di tengah sesak banyak orang, kita harus membuat diri kita fantastis. Gully Boy mewujudkannya seolah berbisik, “Bertahun-tahun lalu kita berjanji dengan takdir; dan sekarang tiba waktunya kita akan menebus janji kita, secara substansial…” selanjutnya adalah adegan di atas panggung dengan gemuruh penonton di ending.

Apapun yang terjadi selanjutnya tidak bermakna bagi kita.

Gully Boy | Year 2019 | Directed by Zoya Akhtar | Screenplay Zora Akhtar, Reema Kagti, Vijay Maurya | Cast Ranveer Siggh, Alia Bratt, Siddhant Chaturvedi, Vijay Raaz, Kalki Koechlin | Skor: 3.5/5

Karawang, 081119 – Fourplay (Feat. El Debarge) – After The Dance