Meet Your Maker #11

“Ketika aku menjelaskan bahwa serangan itu bukan perang, memang itu benar. Manusia tidak perlu perang untuk menjadi monster… kita adalah monster yang berada di dunia yang salah, saat oenghakiman pertama datang sampai penghakiman terakhir muncul…”

Cerita horror tanpa hantu. Sebenarnya pembuka hingga adegan ditemukan kejanggalan, buku ini bagus sekali. Pengenalan karakter dan penggambaran suasana lelaki jomblo menyendiri, jauh dari keluarga dan rekan-rekan, dan karakter pemalas tapi tak malas seperti ini bijaknya dikembangkan jadi karakter umum, dengan problematika kebutuhan sehari-hari. Sayang, sejak adegan terkunci, jendela macet, dan ditemukan banyak darah di luar kamar, kisah jadi ala film kelas C, yang suka mengkaget-kagetkan penonton. Mencoba filosofis, tapi tak sepenuh hati.

Jazz Timor, desainer freelance kere yang tinggal sebuah apartemen murah Capital Malrose, siang itu bangun tidur dengan kepala pening tak keruan. Belum sarapan, dan saat gegas berangkat kerja, ia terjebak. Tinggal di lantai tiga kamar 3B, dan tak terlalu mengenal para tetangga, mereka semua dihantui para pembunuh mengerikan.

Pertama, monster dengan kepala terbelah. Kedua, monster dengan pedang besar. Dan ketiga, monster dengan tangan besar. Mereka membantai para penghuni apartemen. Satu per satu dibunuh seolah tanpa motif, sampai banjir darah. Jazz lantas mencoba menyelamatkan tetangganya Tania dan Kate dengan mengalihkan konsentrasi, ke lift yang terbuka, hingga meluncur turun. Namun ia tak mati, sebab bersama monster tangan besar bak adegan Bruce Willis di Die Hard, dengan tali lift terjerebab di lantai basement. Ternyata di bawah-pun semua tertutup. Gerbang, pintu, jendela, segala akses keluar benar-benar rapat.

Di lobi, Jazz bertemu Hans dan Richard yang juga kebingungan. Dicerita bagaimana pagi itu memang tak wajar, segalanya remuk redam mencari pertolongan. Bergabung pula di lobi, para penghuni yang selamat. Dari Cindy, Rosi, Linda, Matt, sampai sang samurai Ryusuke dan anaknya. Karena HP tak ada sinyal.. HT juga tak bisa menghubungi keluar, lalu bisa meminta tolong bagaimana? Usulan Jazz untuk ke lantai atap untuk mencari sinyal, terdengar konyol sebab, kudu naik lagi, yang berarti ketemu para monster lagi, dan begitulah, memang tak ada opsi yang lebih bijak.

Kenekadan mereka, perjuangan mereka untuk bertahan hidup, hingga fakta-fakta yang terungkap lantas disajikan. Siapa selamat?

Ekspektasi saya memang tak tinggi dan terpenuhi, buku-buku horror atau sejenis bukan genre saya. Sembari mengisi waktu sahaja menikmatinya. Kubaca cepat, dan begitulah. Kasha-kisah mistis kalau diramu benar memang menarik, dan ini hampir diramu benar. Namun nyatanya malah tak mistis, hehe. Teringat Thanos malah, atau The Maze Runner, atau film-film serial yang booming kemarin: Alice in Borderline atau Squid Game. Hebatnya, ini diramu tahun 2014, jadi Meet Your Maker bukan mengekor, malah mendahului. Tetap saja, idenya tetap sebuah ATM. Hanya, sayangnya tergesa. Akan beda penilaian overall, kalau jumlah halaman jadi 500 atau lebih, sehingga ada penjelasan bagaimana Pak Tua mencipta skema, bagaimana para monster bermotif, hingga makna hidup dijelaskan secara filosofis.

Pertama, nama-nama karakter yang kebaratan. Hampir semuanya, kecuali tentu saja karakter dari Jepang. Kedua, horror yang memiliki beban. Temanya berat, tapi eksekusinya sederhana. Terlalu cepat, kalau tema melawan populasi misalkan, penjabarannya tak bisa sekadar dua bab belasan lembar. Tanggung jadinya. Atau tema uji coba, harus ada riset yang njelimet, penelitian ilmiah yang panjang kali lebar. Bukan penjelasan duduk manis dengan ulasan, mengapa. Namun tenang saja, saya juga tak suka pondasi The Maze Runner. Ketiga, ini seperti sinetron horror dengan bujet minim. Tergesa, mengada, suka yang kaget-kagetan. Boleh saja kalau bentuk visual, untuk menghibur abege labil, tapi tak  kan ini tulisan. Modalnya tarian tangan di atas keyboard, tak perlu mencipta tata setting mahal untuk ditampikan di layar, kenapa tak dicipta wow sekalian. Penjelasan naik turun gedung misalkan, mudah sekali. Jejerit para karakter malah merusak suasana.

Ini adalah buku pertama yang saya baca dari Jacob Julian, sobat lama yang pernah tidur bareng di Kemah Sastra 2011. Dari Jatim naik kereta, dijemput di stasiun gaas naik angkot ke Cibubur. Beliau adalah satu dari sekian teman yang berhasil menelurkan karya, salah duanya adalah Ari Keling dari Bekasi. Berteman di sosmed, walau tak sering bersapa, malah di grup film BM yang sering berinteraksi. Genre bukunya tak hanya horror, komedi dan percintaan juga ada. Satu lagi bukunya sudah ada di rak juga sudah tersedia, siap santap. Well, awal yang bagus untuk JJ di blog ini, selamat. Halla Madrid, Bravo Benzema!

Meet Your Maker | by Jacob Julian | Penyunting Dian Nitami N. | Proofreader Irwan Rouf | Ilustasi isi Indra Fauzi | Desain cover Budi Setiawan | Penata letak Di2t | Penerbit Mediakita | Cetakan pertama, 2014 | iv + 188 hlm.; 13 x 19 cm | ISBN 979-794-459-X | Skor: 3/5

Karawang, 110622 – Gregory Porter – Don’t Lose Your Steam

Thx to Anita Damayanti, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #11 #Juni2022

Happy Birthday Sinna Sherina Munaf 32 Tahun. Best wishes…

The Autopsy of Jane Doe: Aku Tidak Percaya Hantu, tapi Aku Takut Padanya

Tommy: “Jadi kalau kamu dengar bunyi ‘ting’ (di kaki), maka dia masih hidup.”

Aku tidak percaya hantu, tapi aku takut padanya. Dunia gaib berserta arwah gentayangan menghantui keluarga petugas otopsi. Ayah, anak, dan pacar anaknya dilingkupi horror, mencekam. Hal-hal mistis terjadi saat otopsi mayat istimewa, keganjilan bagaimana dibalik kulit mayat ada simbol sebuah sekte sihir dari masa lampau mendirikan bulu roma. Langkah antisipasi diambil, tapi segalanya berantakan.

Kisahnya dibuka dengan mendebarkan, sesosok mayat ditemukan ditimbun dalam lantai basemen rumah tua. Mayat masih utuh dan tampak baru walau sekelilingnya lusuh. Pihak kepolisian mengirimnya ke rumah keluarga Tilden untuk diotopsi.

Tommy (Brian Cox) dan anaknya Austin (Emile Hirsch) sebenarnya baru saja selesai tugas, tapi karena sobat polisi Sherif Burke (Michael McElhatton) meminta hasilnya esok pagi harus ada, mereka lembur. Sementara acara kencan nonton bioskop sama Emma (Ophelia Lovibond), pacar Austin diminta pulang lagi dan balik jemput nanti. Well, kengerian dimulai dari sini.

Mayat itu diberi identitas Jane Doe (Olwen Catherine Kelly), semua prosedur otopsi dilakukan. Kamera nyala, rekaman jalan, pembedahan dimulai dari pengecekan fisik luar lalu kepala dibuka. Turun ke tubuh, hingga tuntas di anggota kaki. Semua memang tampak janggal. Mayat yang sudah dikubur puluhan atau ratusan tahun ini masih utuh, darah segar muncul. Ngeri, seolah baru kemarin malaikat maut menjemput.

Makin mengerikan, mereka menemukan simbol di balik kulitnya. Simbol sihir dari masa lampau. Ini jelas bencana, teror digalakkan. Lampu mati, badai menerjang, pohon rubuh menimpa atap, pintu terkunci sendiri, bayangan hitam menyelingkupi, kabut sesaat menari, hingga terdengar suara asing meritih. Kita semua menyaksi efek bedah jenasah. Sebuah lonceng yang dipasang di ujung jari kaki sejatinya untuk memastikan tubuh ini sudah jadi mayat, maka saat pisau bedah menyentuh kulit, akan ada urat syaraf yang tertarik, menyalurkan energi itu untuk memberi tahu para petugas bahwa jiwanya masih ada.

Maka saat anak-bapak ini mencoba kabur dan sembunyi di kamar lain, dan muncul asap disertai bunyi lonceng yang bergerak, tahulah, mereka benar-benar menemukan mayat penyihir yang mengancam. Dengan celah yang terbuka, Tommy menghantamkan golok. Fatal!

Tommy yang frustasi bahkan meminta anaknya untuk langsung menembaknya bila ia nanti kesakitan dalam sekarat, ia lebih baik mati draipada menderita. Maka saat kembali ke ruang otopsi, dan tragedi berikutnya muncul, keberanian Austin diuji. Tak sampai di situ saja, saat ia mendengar langit-langit berderak dan mengira bantuan datang, adegan itu malah menjadi bencana berikutnya sekaligus penutup. Keapesan keluarga berurusan dengan mayat yang salah.

Olwen Catherine Kelly hanya berakting tidur sejak mula, dan saat layar ditutup ia tak ada dialog. Mayat memerankan karakter penting yang menghantui, ia memberi makna kalau lagi apes, masalah memang kadang mendatangi.

Genre horror memang ada di ujung daftarku, tapi dari beberapa referensi menganjurkan menikmati. Sesuai saran, kumatikan lampu, ditutup pintu dan jendela, kusaksikan tengah malam. Ditambah saat itu hujan. Aroma mistis coba dipanggungkan, mencipta suasana cekam. Memang mengerikan, walau temanya teror dari Dunia Lain, sejatinya plotnya masih bisa diterima.

Banyak cara untuk menakuti penonton. Para hantu adalah makhluk abadi sejati, di mana yang mati ‘dihidupkan’ sepanjang masa. Hantu-hantu memiliki vitalitas yang lebih besar pada masa kini daripada sebelumnya. Semakin hari semakin banyak, semakin variatif bentuknya. Para hantu yang menyatroni sinema, dan akan selalu seperti itu. Seolah para hantu tak pernah habis atau mati. Jane Doe, mungkin bukan hantu sebab ia tak menampakkan diri dalam samar. Kedokteran medis merupakan suatu ilmu terapan yang empiris. Ia bahkan benda padat yang dioprek tubuhnya, ia tak melakukan panampakan yang mengagetkan. Ia sekadar badan mati yang rebahan. Jenis horror yang tampak lain kan? Itulah, hantu-hantu modernitas. Setting di ruang otopsi, aura takut menguar dengan kuat. Hantu-hantu masa kini memiliki ketertarikan aktif bukan hanya dalam masalah publik, tapi juga seni.

Semakin manusia mengenal hukum alam, semakin tekun manusia mencari tahu masalah supranatural. Bisa saja mengklaim tak percaya takhayul, tapi tak benar-benar meninggalkannya. Sekalipun telah meninggalkan dunia sihir dan alkimia, manusia akan selalu masih memiliki waktu yang melimpah dalam penelitian yang bersifat psikis. Mereka telah mencampurkan horror dengan realitas.

Kehidupan memiliki geometri rahasia yang tidak dapat diolah oleh akal sehat.

The Autopsy of Jane Doe | Year 2016 | England | Directed by Andre Ovredal | Screenplay Ian Goldberg, Richard Naing | Cast Brian Cox, Emile Hirsch, Ophelia Lovibond, Olwen Catherine Kelly | Skor: 4/5

Karawang, 220921

Rekomendasi Lee dan Handa, Thx.

Us: Misteri Dunia Terbalik

But the soul remains one.” – Red

Us memang sebuah penurunan dari debut hebat Get Out, tapi tetap sensasi merinding dan tahapan membuka kejut terasa sukses, bagaimana reaksi identitas utama, wow. Memang adegan slasher pembunuhannya bikin ngeri karena menampilkan darah yang banyak dan terlihat sadis, horror-nya lebih ngena tanpa hantu. Sensasi teror bayangan di cermin, oh itu kita!

Di Santa Cruz, California tahun 1986 Adelaide kecil (Madison Curry) terpisah dari orang tuanya di bazar malam, dengan baju album Thriller-nya Michael Jackson, ia berjalan mendekati pantai yang ada rumah hantu, di sana ia menatap cermin, dan bayangannya terasa hidup, bukan hanya terasa, dia keluar dari cermin! Kedua orang tuanya yang bingung, mendapati beberapa saat kemudian, Adelaide tampak linglung, ada memori yang hilang. Seolah sebagian masa-masa-nya tercerabut, kalau di Jawa semacam kena rep-rep, ada hantu nempel. Dari proses terapi, diminta segalanya harus dicerita ulang, seolah ia kena reset. Klu pertama.

Kukira Adelaide dewasa (diperankan dengan bagus banget Lupita Nyong’o) akan tumbuh error, ternyata ia bisa memiliki keluarga utuh yang bahagia. Tampak sangat bahagia, dan ideal. Di present day, ia sudah menikah dengan Gabe (Winston Duke), memiliki dua anak Zora (Shahidi Wright Joseph) dan Jason (Evan Alex), mereka sedang berlibur ke rumah pantai. Liburan bersama keluarga lain yang terdiri dari Kitty Tyler (Elizabeth Moss), Josh (Tim Heidecker), serta putri kembarnya Gwen dan Maggie. Apa yang ditampilkan di rumah berlantai satu itu, bagiku terlalu brutal. Adegan eksplisit seperti ini malah membuat skor turun.Malam itu, ada tamu tak diundang. Tampak aneh, karena ketika diusir tetap tenang menatap. Telpon polisi, pintu dikunci, tetap saja mereka berhasil masuk dan menguasai keadaan. Tamu itu semacam bayangan sang tuan rumah, dengan topeng, kata-kata serak terseret, air mata meleleh yang entah (awalnya) maksudnya apa. Mereka adalah kita, kata Jason. Ayah, ibu, dan dua anak masing-masing dinamai Red, Abraham, Pluto, dan Umbrae (diperankan sama). Seolah mereka adalah hasil-hasil pantulan cermin? Jason diminta ngumpet, Zora diminta lari yang lalu dikejar, Gabe yang sudah dihajar tongkat baseball, kesakitan mengerang. Dan inti dari semua ini, adalah Adelaide. Ia diborgol di meja, untuk diperlihat alasan sejatinya.

Dalam larinya Zora dikejar bayangnya. “Run, Rabbit, run!” Gabe diadu dalam perahu di danau, yang mana hanya satu bisa keluar hidup-hidup dari air. Jason dan bayangnya memainkan api, karena Pluto memakai selambu kepala, kita tak tahu bagaimana wajahnya hingga nantinya terbuka dalam titik seram. Memainkan trik jitu dalam lemari tertutup. Dan Red vs Adelaide-lah kisah utama Us menemui jawab. Saya fokus ke sang protagonist, nyatanya yang perlu kita khawatirkan salah sasaran.

Keluarga Tyler sendiri tragis, lalu setelahnya malah tampak chaos di seluruh kota. Tv memberitahukan bagaimana huru-hara akibat ‘bayangan cermin’ yang menguasai kota. Itulah malam cekam yang terasa sangaaat panjang. Pertanyaan utama mungkin sangat umum, siapa selamat, siapa menang? Tapi Us tak melulu soal siapa yang bisa bertahan hidup di menit akhir. karena adegan jelang eksekusi ending di pantai malah membuat pening lainnya. Semua tampak baik-baik saja? Sampai akhirnya Jason menatap ngeri, tatapan kerut yang sama kita berikan saat kredit akhir tampak di layar. Tangan-tangan berpegangan melintas batas menjadi penghubung, menjelma konduksi kemanusiaan. Lantas apa yang kita cari dalam hidup ini sesungguhnya? Hand Across America.

Saya kutip al kitab Jeremiah 11:11 yang berbunyi, “Sebab itu beginilah firman Tuhan: Sesungguhnya, Aku mendatangkan ke atas mereka malapetaka yang tidak dapat mereka hindari, dan apabila mereka berseru-seru kepada-Ku, maka Aku tidak akan mendengrkan mereka.” Di sini, Tuhan murka dan menghukum manusia karena manusia melanggar perjanjian. Orang-orang yang kehilangan imannya pada Tuhan yang spiritual, akan mencari Tuhan duniawi. “Kita terjebak di 11:11.

Harapan di Yunani dipakai Hesiodos dengan ‘ekspektasi yang menipu’. Get Out memang masterpiece horror, debut yang akan menjadi titik pijak pembanding Jordan Peele di film-film berikutnya, maka ketika Us muncul dan tak bisa bicara di Oscar, jelas sebuah penurunan. Akting Lupita Nyong’o luar biasa, memainkan mimik, logat serak tertahan dengan air mata mengalir, seolah ada makhluk asing menginggapi. Semakin baik kondisi yang kita dapatkan, semakin cemas dan putus asa diri kita.

Setelah nonton Us jadi agak takut sama gunting, pegang gunting dengan mencekam kedua lubang menjadi terasa ngilu. Apalagi pegang persis di poster, seolah akan menikam. Us mencipta keseraman pula saat bercermin, dunia bayang yang misterius itu akankah memiliki jiwa jika lubang cacing terbuka? Orientasi hidup apa sih? Hidup seimbang apa sih? Panjang umur apa sih? Masuk surga apa sih? Jangan-jangan hidup ini ada dunia pararel yang menginginkan kehidupan kita? Bayang di ‘cermin’ itu membawa gunting untuk memenggal segala asa. Twist! Salut sama ide-ide nyeleneh Jordan Peele. Untuk kali ini, agak brutal tapi secara cerita memang amazing. Muncul bebera penafsiran terkait gambaran ayat dalam al kitab. Adegan absurd yang menampil hukuman manusia, serta berbagai arti ganda yang mematik iman. Kelinci? Sebuah kajian ambisiusitas yang akan diperdebat lagi, dan lagi di kemudian hari.

Hidup yang baik bukan berarti menolak penderitaan, yang sesungguhnya adalah menderita untuk alasan-alasan yang benar. Ophelia, call the police!

Us | Year 2019 | Directed by Jordan Peele | Screenplay Jordan Peele | Cast Lupita Nyong’o, Winston Duke, Elizabeth Moss, Tim Heidecker, Shahadi Wright Joseph, Evan Alex, Yahya Abdul Mateen II, Anna Diop Madison Curry | Skor: 4/5

Karawang, 290420 – 040520 – Bill Withers – The Same Love That Made Me Laugh

Happy Birthday Meyka, Sudah tiga lima saja ya. Waktu berlari dengan liarnya.

Horor Keluarga: Aneh di Awal, Mengerikan di Tengah, Tragis di Akhir

The Strange Thing about the Johnsons directed by Ari Aster

I want someone to look at the way Isaiah looks at his daddy.”

Ini adalah film orang sakit. Penuh gangguan, memualkan, tak masuk akal, dan janggal menyeluruh. Namun film yang uniklah yang akan diingat manusia generasi berikutnya. Jelas bukan film untuk semua kalangan. Minggir kalian, penonton berjantung lemah!

Ceritanya seorang remaja melakukan onani di kamarnya, tiba-tiba pintu dibuka dan ayahnya masuk. Malu, gegas ditutup selimut, tapi oleh ayahnya dibilang bahwa tindakan itu normal, di usianya saat ini wajar. Se-natural matahari terbit dari timur. Jreng… jreng… Yang tak diketahui oleh ayahnya, yang lalu kita lihat secara langsung, saat kamera menyorot dekat adalah objek onani Isiah muda (Carlon Jeffery) adalah foto ayahnya sendiri! Wow, sebuah pembuka kisah yang tak lazim. Nyeleneh… pembuka yang sungguh absurd.

Empat belas tahun kemudian, Isiah dewasa (Brandon Greenhouse) melangsungkan pernikahan. Seolah ia menjadi calon suami yang normal, tapi dari sini relung-relung kejut disusun ungkap. Ibunya Joan (Angela Bullock) mencarinya ketika pesta sudah berlangsung, tak ketemu juga di berbagai ruang, sampai akhirnya di sebuah kamar belakang, dengan lubang intip yang membuatnya kaget luar biasa. Suaminya sedang nganu sama anaknya yang baru nikah! Duh… sakit. Pertengahan kisah yang mengerikan. Horor keluarga disusun berbahan lego tersayat dari dalam.

Sidney (Billy Mayo) adalah penulis yang sukses, bukunya banyak best seller. Sebagai publik figure, ia tentu saja menjaga nama baik. Fakta penyimpangan seks putranya terendam lama. Namun, kali ini ia memutuskan menuliskan kisahnya dalam buku memoar. Menulis dengan sembunyi, karena jiwa muda anaknya tentu akan meluap marah. Sampai di sini, muncul kejanggalan, muak, marah, misuh sejatinya bisa kalian apungkan. Serba salah juga jadi ayah di posisi itu. Ketika draf buku sudah ada, dan akan diproses ke penerbit, dilema muncul dan dalam adegan dramatis, keluarga yang tampak harmonis dan ideal ini hancur seketika. Ini adalah jenis film sakit, tragedi keluarga dengan cambuk panas membara. Endingnya benar-benar tragis sampai ke sumsum.

Oedipus Complex. Hal pertama yang berteriak di kepalaku adalah teori ini. Oedipus, sang penafsir teka-teki Spinx. Apa rangkaian misterius ulah takdir bagi kita? Ada keyakinan primitif yang populet, terutama di Persia, bahwa seorang penganut Magi yang bijaksana hanya lahir dari hasil inses. (Lahirnya Tragedi, Nietzsche). Bagaimana seorang anak membunuh bapaknya. Abuse is abuse, tak peduli siapa pelakunya. Apa yang ditampilkan di layar tampak menjijikkan, mengingat CV Ari Aster, ini memang mainannya. Saya belum sempat menyaksikan Midsomar, tapi jelas saya kurang suka Hereditary. Memainkan tragedi, ironi, dan kemuakan ke tingkat yang tak terperi. Tak banyak darah, tampak cerdas, tapi memainkan pikiran dengan menjijikkan sungguh perlu dipikir ulang. Ga sehat buat otak, mungkin sedikit di bawah A Serbian Film, yang jelas sama-sama bikin pening kepala beberapa lama. Menjadikan panadol laik dibeli dan ditelan dengan kedut di dahi.

Permainan psikologi dengan memori dan hasrat seks memunculkan berbagai spekulasi. Bisa saja ini penyakit menyimbang, laiknya cinta sesama yang terus digunjing gulir, atau kontroversi ada tiadanya tuhan, The Strange mencapai tahap lebih tinggi karena nafsu itu justru kepada orang tuanya sendiri. Teori Sigmund Freud yang membenci ayahnya? Wait, di sini justru anaknya mencintai ayahnya terlalu tinggi! Entah apapun namanya yang akan diteliti, jelas ini adalah sebuah kesalahan. Kesalahan besar, no debat.

Untuk sebuah film pendek, jelas ini sukses mencipta hit secara instan. Ketika kalian tak bermodal besar, buatlah cerita pendek dengan gagasan tak biasa, maka The Strange muncul. Percayalah, sepuluh tahun sejak sekarang, film ini masih akan dibicarakan dengan perdebatan sengit, laik ga-nya sebuah pemikiran nyeleneh menjijikan dicipta.

One of the most disturbing and evocative movies I’ve ever seen. Drama satir keluarga, dengan ide yang aneh. Seperti kata Oscar Wilde, “Kebanyakan orang adalah orang lain.”

The Strange Thing about the Johnson | Short movie | Year 2011 | Directed by Ari Aster | Screenplay Ari Aster | Cast Billy Mayo, Brandon Greenhouse, Angela Bullock, Daniele Watts, Carlon Jeffery | Skor: 3/5

Karawang, 010420 – 120420 – Roxette – You Don’t Understand Me

The Strange Thing about the Johnsons bisa ditonton di Youtube: https://youtu.be/sqyQMX4rwHs

00.07

A Monster Calls by Patrick Ness

Konon, masa muda hanya datang sekali. Tapi bukankah masa muda berlangsung untuk waktu yang lama? Lebih lama daripada yang sanggup kaujalani. – Hilary Mantel, An Experiment in Love

Kaupikir aku mungkin datang untuk menjatuhkan musuh-musuhmu. Membantai naga-nagamu. Kisah adalah makhluk liar. Begitu kau melepaskannya, siapa yang tahu kekacauan apa yang mungkin mereka ciptakan?”

Sang monster muncul persis setelah tengah malam, seperti monster-monster lainnya. Tepatnya jam 00.07. Buku ini sempat kubacakan untuk Hermione, menyesuaikan waktu, saya bacakan jelang tidur lewat tengah malam. Dapat dua bab, tapi setelah kubaca sepintas tulisan kover belakang bahwa ini cerita tentang tragedi, tentang sebuah masa sulit menghadapi kematian, saya berhenti. Saya berhenti melanjutkan baca teman tidur Hermione, tepat di halaman 44 ketika sang monster memperkenalkan diri. Maka Hermione akan mengenang monetr itu bernama Herne, karena terhenti di bagian ini: Aku Herne sang Pemburu. Keputusan tepat, setelahnya kuganti bacaan Winnie The Pooh (A.A. Milne), sisa Panggilan sang Monster kubaca sendiri, secara kilat selesai sore ini.

Kisahnya tentang Conor O’Malley yang kesepian. Ia tinggal sama ibunya yang sakit keras, rambutnya sudah tidak ada, kurus kering. Hubungan ibu-anak ini poin utama novel ini. Rajutan kesan, anak semuda itu memaksanya menjadi kuat hati. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan Amerika, neneknya yang tinggal terpisah sesekali datang, untuk menginap. Sebagai anak tunggal, ia merasa sendiri kala ibunya muntah-muntah, pening, dan butuh perawatan.

Di sekolah, ia berteman dengan Lily, teman kecil yang sudah sangat akrab lama. Sering membantunya, bahkan ketika Conor kena bully oleh genk trio Harry, Sully, dan Anton. Miss Kwan, gurunya sering melidunginya juga. Mengingat nasibnya, mengingat masalahnya. Beberapa kawan juga menjaga jarak, beberapa guru memberi semacam kelonggaran padanya. Kondisi ini mencipta Conor semakin terajut sendu. Salah satu guru meminta tugas, Menulis Kehidupan.

Saat-saat seperti inilah muncul sang monster. Monster pohon yew di dekat gereja dan pekuburan yang ada belakang di kebun rumah. Monster itu selalu muncul tepat jam 00.07, awalnya Conor menolak, entah ini mimpi atau kenyataan yang tersamar. Monster itu datang memanggilnya di luar rumah, mengetuk jendela kamarnya, memasuki dunia maya. Monster itu datang untuk menuturkan kisah. Total ada empat cerita. Bukan sembarang cerita karena ini menyangkut sejarah pohon yew belakang rumahnya dan nantinya tentang dia. Pohon yew adalah pohon penyembuh.

Kisah pertama tentang pangeran muda yang tersingkir dari takhta kerajaan. Pohon yew sudah ada ribuan tahun lalu, ada kerajaan di sekitar situ. Perang dan perebutan kekuasaan mencipta sang raja kehilangan anak dan lalu istrinya, hanya pangeran muda yang jadi tumpuan penerus takhta. Maka sembari menanti usia 18 tahun, ia menikah lagi dengan putri kerajaan seberang. Muncul desas-desus sang ratu muda adalah penyihir. Maka saat raja mangkat, ia sementara memegang tampuk pimpinan, sang pangeran muda yang merasa terancam kabur dengan kekasihnya putri petani biasa. Dalam pelariannya, ia beristirahat di bawah pohon yew, terjadilah apa yang terjadi. Pangeran terbangun mendapati kekasihnya tewas, ia menyebut ibu tirinya yang membunuh, maka rakyat bersatu menggulingkan, sebelum dibakar, monster pohon yew menyelamatkan ratu untuk hidup tenang jauh dari lingkaran kekuasaan. Ada kejutan, bagaimana twist itu disimpan di penghujung kisah pertama.

Kisah kedua terentang sekitar 150 tahun yang lalu. Seorang apoteker yang serakah, kasar, getir nan pintar meramu obat hidup dalam kungkungan cibir rakyat. Pria yang hidup dengan keyakinan, apoteker sang tabib. Ia tampak tamak, mementingkan diri sendiri ketimbang pasiennya, pria yang hanya memikirkan diri sendiri. Ilmu pengobatan memang mahal, ia punya harga! Sementara hidup seorang pendeta dengan dua putrinya yang cantik yang tinggal sekitar gereja, dekat pohon yew. Sang apoteker meminta pohon yew untuk ditebang karena khasiatnya banyak, ramuan dengan pohon yew dikenal sangat mujarab, tapi pendeta bergeming. Ia mempertahankan pohon itu sebagai pelindung gereja dan pekuburan. Namun kasus pelik muncul, kedua putrinya sakit keras, ia meminta sang apoteker menyelamatkannya bahkan seandainya pohon itu harus dirobohkan. Ia menolak, putrinya wafat. Pohon yew marah, ia pun memporakporandakan rumah dia. Siapa? Twist lagi. Porak poranda-pun bukan sekadar kiasan, karena ia di sebuah kamar di rumah nenek dengan jam klasik yang mahal, rusak parah tak berbentuk bak kapal pecah.

Kisah ketiga tentang pria tak kasat mata yang semakin muak menjadi orang tak terlihat. Bukan berarti dia benar-benar tak kasat mata, orang-oranglah yang telah terbiasa untuk tak melihat dirinya. Dan jika tak seorang pun melihatmu, apa artinya kau benat-benar ada? Kemudia suatu hari pria tak kasat mata memutuskan: aku akan membuat mereka melihatku. Dia memanggil sosok monster. Adegan itu terjadi di kantin sekolah, Conor menghajar pimpinan genk Harry hingga babak belur. Jelas ini adalah present day.

Kisah keempat, sebagai penutup adalah kisah kunci utama keseluruhan A Monster Calls. Dia menginginkan hal yang paling berbahaya dari Conor, dia menginginkan kebenaran. Kalau kau tidak menceritakannya, biar aku yang menceritakannya kepadamu. Adegan kunci, ketika ibunya sekarat. Conor memanggil monster, ia datang ke kuburan menendang-nendang pohon, lalu dalam dimensi lain bertemu ibunya, antara menggenggam erat terus tangan mom dengan segala konsekuensi atau melepas ke kehidupan berikutnya? Conor Malley harus menuturkan kebenaran sejati. Dari kisah kedua kita tahu pohon yew bisa menjadi ramuan obat yang murajab, berhasilkah menyembuhkan mom?

Dengan ilustrai ciamik Jim Kay, apa yang terbaca dengan sangat indah bisa terbayangkan. Gambar-gambar fantastis dan keheningan-keheningan yang menggugah. Benar-benar mumpuni, gambar-gambar itu bercerita, memetakan beberapa adegan kunci, pohon hidup yang tampak seram, menghantui. Gambar paling ‘nyaman’ ada di halaman 148-149, monster raksasa duduk terpekur di gedung kantor kebun belakang neneknya seolah menanti, hey… lakukan sesuatu!

Satu lagi halaman 106-107 kejadian sesaat sebelum ditutur kisah kedua, grandma akan marah besar karena ia mematahkan jarum jam klasik. Ini jenis kerusakan yang bakal diharapkan dari seorang bocah laki-laki. kisahnya berakhir dengan kehancuran yang tepat.

Di sela kedatangan monster yew, ayahnya datang dari Amerika. Beberapa adegan trenyuh disajikan, ia bertengkar dengan neneknya, ketidakcocokan, kemarahan masa lalu. Hubungan ayah-dan-Conor yang timbul tenggelam, memintanya membawa ke Amerika, tapi menolak ia punya kehidupan di sana. Lalu dengan kemarahan pulang, karena istrinya melahirkan. Janji akan kembali dua minggu lagi.

Hubungan dengan neneknya juga kurang mesra, banyak perbedaan, banyak yang tak cocok. Maka tiap ia menginap di rumahnya dan tidur di kamarnya, ia kesal. Namun ini keadaan darurat sayang, mom sakit keras. Mom-nya, anak pertama grandma: penghubung mereka untuk kembali merajut darah. Ini memang kisah sedih, bijak namun juga berani dan tampak seram. Ga cocok untuk jadi cerita pengantar tidur anak-anak.

A Monster Calls, ini bukan kisah tentang apa yang kuinginkan darimu, tapi tentang apa yang kau inginkan dariku. Kisah-kisah ini penting, bisa jadi mereka lebih penting daripada apa pun. Jika mereka mengandung kebenaran.

Panggilan Sang Monster | by Patrick Ness | Diterjemahkan dari A Monster Calls | Copyright 2011 | From original idea by Siobhan Dowd | Ilustrai Jim Kay | 615 16 4 002 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Nadya Andwiani | Editor Barokah Ruziati | ISBN 978-602-03-2081-6 | 216 hlm; 21 cm | Skor: 4.5/5

Untuk Siobhan

Karawang, 220320 – Foreginer – I Want To Know What Love Is