Hati Seorang Anak

A Child’s Heart by Herman Hesse

=== tulisan ini mengandung spoiler ===

“Setiap udara yang kita hirup dikendalikan oleh suatu kekuatan dari luar dan peranan takdir.”

Ini adalah cerpen yang dibukukan. Hanya satu cerpen, kubaca kilat semalam, dan terjeda tidur, subuh selesai. Tak sampai seratus halaman, dicetak mungil, dan plotnya yang sederhana, tapi sangat berkesan. Ini tentang hati murni yang memaafkan, sangat manusiawi anak-anak tergoda, lalu menyembunyikan kejahatan, lalu saat terdesak, ‘mengakui’ dan karena buku ini didedikasikan untuk sang ayah yang baru saja meninggal, jelas sang ayah di sini memaafkannya. Hangat, hangat sekali menyaksi hubungan ayah-anak ini sekalipun berpijak pada tindakan kurang baik.

Kisahnya bermula saat Emil Sinclair kembali dari sekolah, tak ada siapapun di rumah. Ia bermaksud menemui ayahnya di lantai atas, kamar rahasia yang jarang sekali ia masuki sekalipun ia tinggal di sana sebelas tahun. Dalam penggambarannya sebagai pegangan betapa familiar rumah itu, ia sudah memandangi pintunya ribuan kali, dan seperti hal-hal umum lainnya, banyak hal luput dari perhatian saking biasanya.

Nah, di kamar atas, ayahnya taka da setelah ia mengetuk dan memberi salam. Harusnya, ia balik badan dan nanti ke sana lagi. Namun tidak, siang itu, ia dirasuki rasa penasaran. Ia nekad masuk dan melakukan hal-hal terlarang. Membuka-buka laci, memeriksa lemari, melihat-lihat benda pribadi. Dan begitulah, rasa penasaran itu berbuah tindakan jahat. Ia mengambil mata pena, mengantongi buah ara, dan merasainya. Betapa manisnya. Sejatinya ia takut, dan sudah prediksi akan ketahuan, tapi entah ada kelebat setan mana yang memasukinya, ia tetap saja mencurinya. Ah, apapun itu, sekalipun dari kamar ayahnya, mengambil barang bukan miliknya sendiri tanpa izin tetap saja mencuri. Sekalipun, ia mencoba mengatur tata letak buah, dan benda-benda lainnya. Ah, hati seorang anak yang penasaran. Betapa polosnya.

Itu Sabtu siang, nantinya ada pelajaran sore olahraga. Maka setelah keluar kamar, dan lalu gegas keluar rumah, hatinya mengalami kebimbangan. Seharusnya ke sekolah, ia malah berkelana. Dan dalam pengelanaan bertemu dengan temannya, Weber. Sobatnya yang orang miskin, yang akrab sering bermain ini menjadi semacam pelampiasan kebimbangan. Uang yang dikumpulkan bersama untuk membeli pistol, dikembalikan, mereka saling caci, dan akhirnya berkelahi. Jadi tontonan orang-orang, menjadi aneh, seorang Emil yang polos menjadi beringas dan nakal seketika.

Malamnya, saat makan malam, orangtuanya tampak curiga akan gerak-gerik Emil. Dan Emil yang gugup menambahkan rasa itu. Minggu, hari bebas bangun siang, ia mau ke gereja atau ke sekolah minggu, tentu saja ke gereja sebab tak banyak tuntutan, menyanyikan himme, dst. Dan begitulah, hari itu ia ditemui ayahnya untuk ‘diinterogasi’.

Awalnya tak mengaku, ia membeli buah ara di toko kue Haager. Ayahnya memastikan, mengajaknya ke toko tersebut. Dengan kebimbangan, mereka ke sana, tapi saat di tengah jalan emil bilang tokonya hari Minggu tutup. Semakin mengelak, semakin panik. Maka diajak ke rumah penjualnya, dan begitulah, di depan pintu ia meragu. Dan pengakuan disampaikankan. Menggeleng dengan hati mengabu.

Bagaimana respons seorang ayah yang mendapati anaknya melakukan kesalahan patut diacungi jempol. Sang ayah mengajarkan kesabaran, pengakuan, berjiwa besar, dan tindakan dan ucapan yang sangat pas.

Emil sendiri di Minggu malam itu merasakan kedamaian, ya ia salah, dan ia dihukum. Namun respons ayahnyalah yang menciptanya, maka tepat rasanya ia bilang, “Ketika berbaring di tempat tidur aku yakin ia telah benar-benar memaafkanku, lebih daripada aku memaafkan dirinya.”

Ini buku ketiga Herman Hesse yang kubaca setelah Siddharta dan Steppenwolf. Suka semua. Ini karena cerpen yang dibukukan, sangat tipis, maka ya anggap saja membaca cerpen. Pemenang nobel sastra, yang patut dikejari baca.

Hati Seorang Anak | by Herman Hesse | Diterjemahkan dari A Child’s Heart | Diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Richard dan Clara Winston | Edisi Picador, 1973 oleh Pan Books Limited | Penerjemah Anton WP. | Desain sampul Yudhi Herwibowo | Copyright 2006 | Penerbit Katta | Dicetaj Percetakan eL torros | Cetakan pertama, Juli 2006 | ISBN 979-99017-9-0 | 64 halaman, 12 x 18 cm | Skor: 4/5

Karawang, 041022 – Louis Armstrong feat Ella Fitzgerald – Summer

Thx to Erii, Jakarta

Bartleby si Juru Tulis – Herman Melville

Selamat tinggal Bartleby, aku pergi dari sini. Selamat tinggal, dan semoga Tuhan memberkatimu, entah bagaimana caranya. Ini untukmu…”

Bartleby si Juru Tulis (1-78). Sekarang aku harus berjuang untuk berhenti peduli dan tak akan lagi ikut campur, dan hati nuraniku setuju denganku, meskipun tentu saja aku tak kan seberhasil yang aku mau.

Waktu di mana manusia paling tenang dan bijak adalah tepat sesaat ia bangun dari tidurnya. Kisahnya sederhana, setting tempat minimalis dalam bilik kerja dengan tulisan embel-embel: kisah-kisah Wall Street, maka jelas mereka adalah orang kantoran di bursa saham. Dengan sudut pandang orang pertama, di mana sang pencerita adalah AKU maka kita diajak menelusur kehidupan tempat kerja era abad 19. Sebagai bos, awalnya aku mempekerjakan dua juru tulis dan satu pesuruh kantor. Ada si Catut, Kalkun dan Biskuit Jahe. Bukanlah nama yang lazim ditemukan di buku alamat, hanya panggilan akrab.

Kalkun tua orang Inggris berbadan pendek dan gemuk, usianya seumuran denganku sekitar enam puluh tahun. Di pagi ia sangat cerah dengan semangat pagi menggebu, setelah istirahat siang cahayanya redup, kehilangan gairah, kehabisan tenaga. Mengingat jelang sore yang loyo, kadang membuatku jengkel, tapi yah memang sudah uzur. Aku tetap menghargai tenaganya di pagi hari. “Saya anggap saya ini tangan kanan Tuan.”

Catut berumur dua puluh lima tahun, berjanggut, pucat dengan wajah mirip bajak laut. Kupikir ia adalah korban ambisi dan gangguan pencernakan. Ambisinya mencerminkan ketidaksabaran, usia muda menggebu, sejatinya sebagai penyalin itu harus sabar. Gangguan pencernakan itu menggangu sehingga ia mudah marah dan gugup. Tapi konsistensi energinya sangat diperlukan.”Hanya Tuan yang berhak memutuskan perihal ini.”

Perpaduan mereka cukup unik, Kalkun semangat pagi Catut paginya emosian. Kalkun loyo setelah istirahat, Catut menemukan ketenangan selepas makan siang. Kombinasi sempurna. Pekerja ketiga, Biskuit Jahe berusia dua belas tahun, ayahnya adalah pekerja penarik kereta yang bermimpi suatu saat anaknya bisa bekerja di balik meja, bukan di belakang kuda. Jadi ia menitipkan si Biskuit ke kantorku sebagai pesuruh untuk belajar tentang apa saja yang bisa disarikan, tentang hukum, keuletan, tukang antar surat, dan segala hal termasuk jadi cleaning service, gajinya satu dollar seminggu. Mengejar sebanyak mungkin pengalaman adalah hal paling berharga untuk remaja. “Dengan hormat Tuan, saya senang hati membelikan kertas surat untuk Tuan.”

Pekerjaanku sebagai penengah dan pemburu surat, penyusun segala macam dokumen, jadi ketika membutuhkan satu lagi juru tulis aku pasang iklan lowongan. Dan muncullah Bartleby, rapi tapi pucat, pantas tapi mengundang iba, sedih tiada terobati. Orangnya tenang dan kalem, sehingga kurasa cocok untuk mengimbangi gejolak jiwa Kalkun dan emosian si Catut. Orang lain punya takdir yang lebih megah, tapi tujuan hidupku di dunia ini Bartleby, adalah memberimu bilik kerja untuk kau tinggali selama kau mau.

Awalnya sungguh memuaskan, Bartleby mampu menyalin banyak sekali dokumen seolah lapar, dan ia melakukannya dengan sangat baik karena terlihat menikmati pekerjaan ini. Sekali lagi, awalnya. Ia sama sekali tak mau istirahat menulis, ia menulis siang malam, kala ada matahari dan sinar lilin di kala butuh pelita. Bahkan jatah liburnya pun dihabiskan di kantor. Ada sesuatu dalam diri Bartleby yang membuatku berpikir bahwa ia tak mungkin menggunakan hari Minggu untuk berkarya atau melakukan hal sekuler. Waktu menempanya menjadi pendiam, sangat pendiam malah. Anti-sosial. Bekerja saking rajinnya bak mesin, jelas segala hal yang berlebihan juga ga bagus. Memang kesopanannyalah yang selain melunakan amarahku, menggerus kejantananku.

Masalah timbul kala salinan dokumen membutuhkan cek dan ricek. Sudah lazim satu juru tulis dengan yang lain saling silang untuk saling cek, aneh sekali Bartleby ga mau mengecek tulisan rekan kerja. Dengan simpel berujar, “Saya tidak mau.” Seakan itu adalah prinsip, sehingga didesak dan dipaksa bagaimanapun ia konsisten ga mau. Lebih parah lagi, salinannya sendiri akhirnya juga ga mau dicek lagi olehnya sendiri! Wuih weleh weleh weleh… ono opo rek. Permintaan bos yang lazim dan masuk akal terkait pekerjaan, lho. Biskuit Jahe sampai berkomentar, “Saya pikir ia agak gila.” Kemudian terpikir olehku bahwa kemalangan, kesendirian, kesepian yang ia alami pastilah sangat menyengsarakan.

Keteguhannya, kegigihannya, kengganannya untuk tak melakukan hal-hal tak penting, kerja kerasnya yang tanpa henti (kecuali ketika ia memilih untuk melamun di bilik kerjanya), ketenangannya, ketetapan perilakunya dalam keadaan bagaimanapun juga, menjadikannya berharga dari kantorku. Namun seberapa lama? Masalah gawat akhirnya muncul, karena bukan hanya tak mau mengecek salinan dokumen, bahkan Bartleby menolak instruksi lainnya, segala instruksi bos! Ga mau kirim naskah, ga mau merapikan dokumen, ga mau dipanggil ke ruangan, ga mau segala perintah. Emoh! Emboh! Ogah! Dan kemudian muncullah segala hal aneh, agak mistis, dan segala kelangkaan sifat manusia. Bartleby freak, ada apa gerangan? Surat surat pembawa pesan kehidupan itu melaju menuju ajal.

Sayang sekali pengalaman pertama saya dengan Penulis besar Herman Melville ternyata seperti ini, biasa saja. Padahal kemahsyuran Moby Dick begitu tinggi. Banyak hal tentang Melville dibicarakan dalam dunia literasi. Menanti-nanti dialihbahasakan dengan sabar dan diwujudkan OAK dengan memilih cerita pendek. Padahal ini hanya satu cerita pendek, kenapa berani berdiri sendiri? Harusnya bisalah ditambah dua tiga cerita lagi, why? Jelas saya tak puas menuntaskan hanya satu cerita pendek satu buku, harga jadi pertimbangan utama, kepuasan petualangan nanggung. Dan walaupun kisahnya lumayan keren, secara overall jadinya ga plong. Ada yang mengganjal, ada sesuatu yang menahan, ada yang kurang. OAK menyebutnya fiksi/novel pendek, saya menyebutnya buku satu cerpen.

Kubaca cepat, kala dalam angkot perjalanan ke IIBF September lalu, dan kutuntaskan sekali duduk. Bayangkan, satu cerpen dalam satu buku! Kurang worth it dibeli, tapi yah karena buku-buku Herman sulit dicari di Indonesia kurasa sepuluh tahun ini harganya bisa tiga kali lipat. Masak sih, Penulis sebesar beliau penerbit major ga ada yang mau ambil?

OAK sendiri menerbitkan exclusive karena cetakan ini dinomori! Ini pertama kalinya saya punya buku dengan nomor seri. Sudah jelas mereka melihat masa depan, buku ini masuk kolektor edition, cult novel dan layak dipajang dalam rak perpustakaan. Saya mendapatkan edisi nomor 226. Akan abadi, tak seperti Penerbitnya sendiri yang mengejutkan tahun ini tutup.
Herman Melville adalah seorang guru dan awak kapal, anak ketiga dari delapan bersaudara. Kedua kakeknya adalah pahlawan perang kemerdekaan, kedua orang tuanya adalah orang berada. Lahir pada tanggal 1 Agustus 1819 di New York, nama aslinya tak memakai huruf ‘e’ di akhir, yaitu Melvill. Debut bukunya tahun 1846, Typee yang terinspirasi kala petualangan ke pulau Polinesia sukses, dilanjutkan Omoo setahun berselang, lalu Mardi (1849), Redburn (1849) dan White Jacket (1850). Setahun berselang barulah novel fenomenalnya terbit, Moby Dick. Novel inilah yang mengangkat namanya, menjadikannya penulis terkenal yang mengangkat secara finalsial. Sayangnya buku-buku berikutnya kembali meredup sehingga beliau kembali mengalami masalah keuangan, Pierre (1852), Israel Potter (1855) dan Confidence Man (1857). Bartleby, Si Juru Tulis ada dalam kumpulan cerita pendek Piazza Tales yang terbit tahun 1856. Jadi wahai para penerbit indie kesayangan kita semua, kapan maha karya Moby Dick dialih bahasakan?

Apakah kau tahu kau menyengsarakanku karena kau tak mau beranjak dari pintu kantor lamaku meski sudah lama diusir?”

Bartleby, Si Juru Tulis | Herman Melville | Oak, 2017 | Diterjemahkan dari Bartleby, the Scrivener: A Story of Wall-Street | Pertama terbit oleh Dix, Edward and Co. Tahun 1856, New York | Penerjemah Widya Mahardika Putra | Penyunting Widya Mahardika Putra | Penggambar sampul Ika Novita | Penata letak Hengki Eko Putra | Pemeriksa aksara Solihin | Penerbit Oak | Cetakan pertama, Maret 2017 | ix + 78 hlm.; 12 x 18 cm | ISBN 978-602-60924-1-0 | Skor: 3/5

Karawang, 181218 – Ari Laso – Mengejar Matahari
Atlanta 1-1 Lazio, seharusnya.

The Dinner #3

The Dinner #3

“… Hidangan utamanya baru saja datang…”

Buku pertama yang kubaca pasca menyusun Best 100 Novels. Mereview-nya ketunda mulu, sampai tiga kali kesempatan duduk depan laptop guna menuntaskannya. Memang butuh perjuangan lebih keras untuk melakukan sesuatu sekalipun kita mencintainya. Semakin ke sini, dunia digital makin rumit dan menggeser segala yang manual. Saya merasakan semakin canggih HP yang kupunya malah makin menjauhi intelektual waktu berharga. Aneh sekali. Nah The Dinner ini jua absurd, bagaimana teknologi menjadi pengungkap semua kasus pembunuhan yang tak terencana yang meneror banyak aspek. Bagaimana kehidupan orang terkasih justru bisa menjadi mata pisau tajam yang mengancam. Novel psokologis yang sejatinya bagus sekali sedari awal sampai pertengahan. Sayangnya tensinya tak terjaga aman, setelah makan malam usai kisah malah menuai anti-klimak. Dengan label lingkaran merah ‘SEGERA Difilmkan’ saya yakin sekali ini bakal jadi film indi ataulah masuk film-film festival yang gaungnya hanya terdengar antar movie freak nan snob, tak akan sampai blockbuster. Hanya kejutan besar yang akan menjadikannya jadi perbincangan banyak khalayak.

Buku ini saya baca tahun lalu saat santai, awalnya mau kejar kandidat untuk 100 novel terbaik tapi ga sampai, dan memang pada akhirnya tak masuk. Kisahnya tentang keluarga calon Perdana Menteri Belanda yang makan malam keluarga. Awalnya memang tenang, makan bersama antar kakak adik terpandang bersama para istri. Berempat, menikmati restoran mahal. Aku ingin melakukan ini semua sebagai keluarga. Jika aku harus memberikan definisi kebahagiaan, akan kukatakan, kebahagiaan tidak membutuhkan apa pun kecuali kebahagiaan itu sendiri, kebahagiaan tidak membutuhkan pembenaran. Saat akhirnya sebuah kasus dibuka, kasus pembunuhan yang melibat anak mereka, segalanya bak angin ribut yang menodongkan belati tajam ke arah mereka.
Aku akan mengendalikan diriku seperti dirimu menahan nafas di dalam air, dan aku akan bersikap seolah-olah tidak ada yang aneh sama sekali dengan tangan orang asing yang melambai ke makanan di atas piringku. Tentu aku menyadari, di restoran yang lebih mahal, kualitas dianggap lebih penting ketimbang kuantitas, tetapi akan ada ruang kosong dan kehampaan. Pilihan makin sulit, saat fakta demi fakta dibuka. Melalui rekaman cctv mesin ATM bagaimana suatu malam seorang gelandangan terbunuh tak sengaja oleh dua anak remaja.

Seperti sepucuk pistol di atas panggung pementasan, ketika seseorang mengacung-acungkan pistol selama babak pertama, kau bisa memastikan bahwa akan ada yang ditembak dengan pistol itu sebelum tirai diturunkan. Itu adalah aturan drama pertunjukkan. Aturannya menyebutkan bahwa pistol tidak akan muncul di panggung bila tidak ada yang menembaknya. Sang calon perdana menteri makin kalut, bagaiman jika terus maju dan menang karena elektabilitas memang tinggi, dan mengetahu anak mereka adalah pembunuh. Apakah berani menjatuhi hukuman berat itu?
Itulah sebabnya ia memilih berlari.

Katanya kau dapat melakukannya sendiri di tengah udara segar dan dia bertingkah seolah gagasan itu datang dari dirinya sendiri. Dia sudah lupa bahwa aku sudha mulai berlari beberapa tahu lalu dan tak sekalipun melewatkan kesempatan melayangkan komentar sinis tentang ‘adiknya yang berlari-lari kecil.’ Karena di Belanda yang maju, masyarakatnya yang modern di mana setiap orang dewasa katanya jaminan makmur secara ekonomi maka kasus ini tergolong riskan.

Seperti ketika kau tidak membuang buku buruk ketika sudah membacanya setengah bagia, kau akan tetap menyelesaikannya dnegan enggan, begitulah ia bertahan hidup bersama Serge – mungkin bagian akhirnya akan memperbaiki sebagian hubungannya. Daddy dan mommy ingin berbicara denganku. Daddy dan mommy mencintaiku lebih dari apa pun di dunia. Ya, keluarga menjadi tumpuan. Keluarga adalah segalanya. Sepakat. Jabatan bisa jadi sebuah jaminan karir, tapi keluarga adalah kata istimewa yang tak boleh goyah oleh apapun.

Ya, bersikap polos adalah cara terbaik melakukannya, pasti tak terlalu sulit bagiku memainkan ayah polos. Lagi pula, seperti itulah diriku, naif. Kau tidak berbuat salah, kau hanya menendang bola ke jendela. Itu hanya sebuah kecelakaan. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja, tetapi itu tidka bisa menjadi alasan untuk mengataimu seperti itu. menenangkan sang anak, termasuk anak angkat yang mulai terkuak menyimpang? Sungguh mulia. Bila kau merusak sesuatu meskipun tak disengaja, kau harus membayar kerusakannya.

Memperbaiki segalanya harus dengan konsekuen bersama. Pengorbanan demi orang terkasih, lebih mulia ketimbang takhta yang menjanji.

Di Belanda kau memiliki jaringan keselamatan sosial. Seharusnya tidak ada yang terpaksa menggelandang dan tidur di bilik ATM. “Kau tahu apa yang sebaiknya dalam hal ini? Lupakan sejenak, selama tidak ada yang terjadi maka tidak akan ada yang terjadi.” Satu sepatu tenis dapat merujuk pada puluhan ribu pemakai sepatu tenis, tetapi sebaliknya puluhan ribu sepatu tenis sulit untuk ditelusuri ke astu pemilik yang spesifik.

Perang sebaiknya meletus di luar sana, atau serangan teroris akan lebih baik dengan banyak korban jiwa warga sipil yang akan membuat orang-orang menggeleng-geleng khawatir. Ambulan datang dan pergi, kereta api atau kereta bawah tanah yang terguling, bagian depan gedung berlantai sepuluh yang terbakar – hanya itu cara agar wanita tunawisma di bilik ATM dapat menghilang di belakang layar, menjadi peristiwa kecil di antara peristiwa-peristiwa besar. Benar luka itu akan tetap ada, tetapi sebuah luka tidka harus menghalangi kebahagiaan. Selama waktu berjalan, aku akan bersikap senormal mungkin.

Ini bukan sekadar tentang pesta, ini tentang masa depanmu…” Salah satu istilah abstrak, masa depan. Masa depan anak tercinta, setiap pengorbanannya sangat pantas. Abad pertengahan, kalau kau renungkan lagi, adalah zaman yang membosankan, kecuali beberapa pemberontakan keji, sangat sedikit yang terjadi pada saat itu.

Aku juga akan menangis jika sebodoh itu.”

Kau mengatakan sesuatu yang setajam pisau kepada seseorang agar dia terus mengingatnya seumur hidup. Terkadang pembicaraan menemui jalan buntu. Demi Michel. Demi Michel. Aku akan menahan diriku bertindak. Tentu saja itu mengerikan, kita semua telah diajarkan untuk mengatakan bahwa itu mengerikan, tetapi dunia tanpa bencana dan kekerasan – bencana alam maupun kekerasan otot dan darah – akan sangat membosankan.

Aku memikirkan tentang waktu, waktu yang berlalu tepatnya, betapa satu jam dapat terasa sangat lama, tiada akhir juga terasa gelap, panjang, dan kosong. Siapapun akan berfikir seperti itu, tidak perlu memikirkan tentang ruang dan waktu yang btidka terbatas.

Bila itu yang terjadi maka situasiku menjadi lebih menyedihkan daripada yang kukira.

Tetapi kita harus tetap objektif, ini sebuah kecelakaan. Kecelakaan yang dapat memberikan dampak sangat besar pada kehidupan anak-anak kita, pada masa depan mereka. “Demi kepentingan terbaik anakku, dan juga demi negeri ini, aku akan menarik pencalonanku.

Masa depan itu akan hancur jika kau berhenti mengikuti keinginanmu untuk memerankan politisi mulia. Hanya karena kau tak sanggup menjalani hidup dengan menanggung sesuatu, kau menganggap bahwa hal ini juga berlaku pada anakku.

Apakah aku perlu mengetahui ini? Apakah aku ingin mengetahui soal ini? Apakah ini akan membuat kami lebih bahagia sebagai keluarga?

The Dinner | by Herman Koch | diterjemahkan dari The Dinner | terbitan Ambo | Anthos Uitgevers, Amsterdam, 2009 | original published Het Diner | copyright 2009 | Penerbit Bentang | penerjemah Yunita Chandra | penyunting Ade Kumalasari | perancang sampul Fahmi Ilmansyah | pemeriksa aksara Intan Puspa | penata aksara Martin Buczer | cetakan pertama, April 2017 | vi + 350 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-291-240-8 | Skor: 3,5/5

Nice Guy Eddie: Ayolah, beri saja satu dolar. | Mr Pink: hm-mh. Aku tidak memberi tip. | Nice Guy Eddie: Apa maksudmu, kau tidak memberi tip? | Mr Pink: Aku tidak setuju soal tip. – Quentin Tarantino, Reservoir Dogs

Karawang, 02-171217 030618 – Angela – Yesterday Once More # Sevendust – Forever Dead

#3 #Juni2018 #30HariMenulis #ReviewBuku