
Revolusi Nuklir oleh Eko Darmoko
“Di dunia ini terlalu banyak serba kemungkinan, dan kita dipaksa untuk meneruskan hidup.”
Lelah, tapi puas. 22 cerpen dalam buku kecil 200 halaman. Sebagian sudah diterbitkan di media, sebagian besarnya belum. Semua yang berkisah di masa depan tampak kurang, atau kalau mau jujur tampak aneh. Burung besi berkisah, pohon android, dst. Semua yang dikisahkan di perjalanan gunung, tampak nostalgia. Ibadah puisi di Rinjani, petualang sekual Apocalyto, dst. Semua yang dikisahkan secara flashback tampak nyata, atau nyata yang dimodifikasi. Telinga putus, pacar yang hamil berencana memberi kejutan yang malah mengejutkan, hotel Kurt Cobain, dst.
Yang bagus menurutku adalah bagian-bagian yang sederhana. Malaikat pencabut nyawa yang mengambil kembarannya, itu kisah mudah dicerna, walau memilukan tapi malah terasa emosional. Atau pencabut nyawa yang diusir oleh PSK, klenik yang membuncah kan masih banyak berlaku di msyarakat. Atau Ayam Kampus yang mengambil keset kampus, tenang, diam, dan malah langsung in kan? Tak perlu muluk-muluk untuk berfantasinya. Kabar dari Brescia misal, itu malah tampak angun tentang kangen, dan bila menyangkut kangen, hal-hal bisa jadi menyentuh. Kapir lebih sederhana lagi, kunjungan ke rumah sahabatnya yang alim dan tatoan, dengan sambutan kontra akan kebiasaan. Lihatlah, mending cerita tuh yang umum sahaja. Yang penting kisahnya bagus, dituturkan dengan bagus, pembaca akan tertaut secara emosi.
Aku biasanya membahas satu persatu cerpen dalam buku kumpulan cerpen, tapi karena sedang suasana males seharis Magrib ini, dan cuaca Karawang yang biasanya panas malah diguyur hujan sebagai penanda untuk ngopi santuy, yo wes bahas singkat saja tiap cerpennya dalam satu kalimat, dimaktub dalam satu paragraf.
Nuklir yang merasai, proyek rahasia bocor dan diledakkan. Pendaki yang becinta di tanah seberang berujar, “aku lebih suka Frida Kahlo ketimbang Gabriel Garcia Marquez.” Silampukau mengoceh kepada burung-burung di pohon masa depan. Penasehat yang membunuh. Mel Gibson kelolotan celeng setan. Oh, mungkinkah teori hubungan biologis dikalahkan bayang-bayang kenangan? Keset, saksi bisu orang-orang terpelajar yang kurang ajar. Slamet yang malang. Sergapan kepiting gaib. The persistence of Memory. Nenek mendapat kunjungan istimewa. Roh korban pembunuhan dan pemerkosaan yang mencinta sahabatnya. Gadis panggilan, gadis penolong. “Kau harus ke Nordlingen!” Mabuk dan bisnis saling silang. Don Juan Dul Koplo. Begal pensiun. Kangen dua insan di kapal yang sama, pacar di Bresia mati, pacar di Jawa Timur bertahan. Dua orang sebatang kara disatukan, lalu dipilukan. Sejarah Tuhan mampir di dua rumah. Gairah membunuh penulis kalem, jangankan membunuhnya, menangkap bayangannya saja pun rasanya mustahil. Namanya Gregor Samsa, tapi orangtuanya tak tahu Franz Kafka, kok bisa?
“Ia tak ingin diganggu ketika sedang menulis. Bahkan Tuhan pun akan dibunuh jika sudah menggangu jam menulisnya.” Kalau diminta memilih yang terbaik, saya pilih yang ini. kutipan itu kunukil di cerpen ‘Wabah Bekicot’, penulis yang sedang bergairah akan dibunuh, tapi akhir yang aneh ditampilkan, dan kutipan ini mewakili isinya. Mungkin tertebak, tapi aku memang tak menebak sebab ngalir sahaja. Bagusnya, saat penulis sedang on high, dan produktif rasanya memang segala yang mengganggu laik dimusnahkan. Dunia koma, dan ketikan berkejaran.
Prediksiku, buku ini rasanya sulit juara, bahkan rasanya tak akan masuk daftar pendek. Temanya beragam, nan simpang siur. Ngoceh bebas ke mana-mana boleh saja, benang merahnya malah ngundet. Tagline, cerpen-cerpen dari masa depan hanya ditampilkan di awal buku, dan itu justru melegakan. Buku ini buku kelima yang kuterima, tapi malah jadi buku ketujuh yang selesai kubaca. Jujur saja, awal-awalnya boring. Makanya aku bilang, untung saja tema masa depan itu hanya di mula. Sulit sekali menulis masa depan, kata Niels Bohr, “Prediksi itu sulit sekali, terutama bila menyangkut masa depan.” Menulislah ke masa lalu, karena selalu aktual. Apa-apa yang sudah terjadi akan lebih mudah ditulis, dan dikisahkan, begitu pula dipahami pembaca. Tak ngawang-awang. Makanya cerpen-cerpen awal di buku ini kurang OK, sampai akhirnya kembali membumi.
Secara keseluruhan bagus, tak bosenin. Ditulis di banyak tempat, sejatinya jelas sebagian pengalaman pribadi. Tanpa mengenal secara personal, aku tahu Bung Eko suka mendaki gunung, buku-buku klasik, dan suka berpetualang. Seperti yang kubilang, buku yang berhasil adalah buku yang bisa membangkitakn emosi pembaca, melibatkannya, mengajaknya petualang. Revolusi Nuklir jelas melesat tinggi menembus awan, dengan congak dan percaya diri, setiap waktu siap meledakkan kalian.
Kita semua bosan acara tv, mengeluhkan cuaca panas, kesal sama tetangga yang cerewet, muak sama trending topic murahan. Singkatnya segala yang serba cepat tak otomatis nyaman. Kita semua merindukan suasana klasik sederhana tanpa gadget. Namun kita selalu memegang HP, menatap layar seolah semua yang muncul di sana penting. Lantas, apakah ini saat yang pas untuk revolusi?
Revolusi Nuklir | oleh Eko Darmoko | Editor Muhmmad Aswar | Pemeriksa Aksara Daruz Armedian | Tata sampul HOOK STUDIO | Tata isi @kulikata_ | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Juni 2021 | Penerbit Basabasi | iv + 200 hlmn; 12 x 19 cm | ISBN 978-623-305-218-4 | Skor: 4/5
Karawang, 191021 – Earl Klugh – Midnight in San Juan
Tujuh sudah, tiga otw
Thx to Intan P; thx to Basabasi Store.